in

Review Novel Dua Belas Pasang Mata Karya Sakae Tsuboi

Dua Belas Pasang Mata – Sobat Grameds, tahukah manfaat dari membaca buku novel? Bukan hanya sekadar media hiburan dan mengisi waktu luang saja, lho. Namun, ada banyak manfaat dan tentunya berdampak positif pada otak. Membaca novel mampu meningkatkan daya imajinasi dan kreativitas pembaca sekaligus sangat berguna untuk mengingat informasi jangka panjang agar pembaca tidak mudah pelupa.

Membaca novel terjemahan menjadi salah satu langkah unik untuk memberikan pengalaman serta pengetahuan membaca yang berbeda. Tidak kalah saing dengan novel lokal, novel terjemahan juga disukai oleh hampir seluruh kalangan. Terkadang, penulis mancanegara berhasil memikat pembaca dengan unsur kebudayaan yang digambarkan di dalam novel. Oleh karena itu, pembaca dapat mengetahui sudut pandang yang berbeda dari membaca novel terjemahan.

Novel terjemahan memiliki kosakata dan gaya bahasa yang lebih berat dibandingkan dengan novel lokal. Hal ini sangat bermanfaat karena pembaca mampu meningkatkan kemampuan berbahasa dengan baik. Apalagi beberapa penulis mancanegara sukses mendapatkan berbagai penghargaan dari karya-karyanya berupa novel.

Salah satu novel terjemahan paling terpopuler dan menyandang gelar best seller adalah novel Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi. Novel ini menceritakan seorang guru yang ditugaskan untuk mengajar di suatu desa nelayan miskin. Kisahnya sungguh mengharukan dan penuh dengan ajaran moral yang disampaikan oleh penulis. Tidak perlu berlama-lama lagi, langsung saja simak ulasan review novel Dua Belas Pasang Mata karya Sakae Tsuboi di artikel ini ya!

Mengenal Sakae Tsuboi, Penulis Dua Belas Pasang Mata

Sumber: wikipedia.org

Sakae Tsuboi dikenal sebagai seorang penulis novel dan puisi yang berasal dari Pulau Shodo, Distrik Shozu, Prefektur Kagawa, Jepang (dekat Laut Seto). Ia lahir pada tanggal 5 Agustus 1899 dan meninggal dunia pada tanggal 23 Juni 1967. Sejak dini, Sakae memang menyukai bidang penulisan.

Setelah lulus dari Sekolah Dasar, ia langsung bekerja sebagai juru tulis di kantor pos dan kantor desa di Pulau Shodo sekitar 10 tahun. Pada tahun 1925, Sakae menikah dengan seorang penyair bernama Shigeji Tsuboi dan memutuskan tinggal di Tokyo. Di sana, ia bertemu dengan beberapa penulis novel perempuan seperti Yuriko Miyamoto dan Ineko Sata yang membuat dirinya semakin bersemangat untuk membuat karya tulis fiksi.

Saat masa perang berlangsung, Sakae telah menciptakan beberapa novel dengan kisah seputar anak-anak. Dari karya-karyanya itu, ia memperoleh berbagai penghargaan sastra dan mendapatkan apresiasi dari masyarakat setempat. Tahun 1952, novel Nijushi no Hitomi atau Dua Belas Pasang Mata memperoleh angka penjualan tertinggi dan disukai oleh banyak orang. Saking populernya, novel ini diangkat ke film layar lebar dan disutradarai oleh Keisuke Kinoshita.

Cek di Balik Pena : Baby Chaesara

Novel Dua Belas Pasang Mata menceritakan kekejaman dan aksi ketidakmanusiawian terhadap tokoh anak-anak yang terlibat perang modern di dalam karyanya tersebut. Novel ini mengarah pada novel anti perang dan pandangan cinta damai dari penulis.

Akan tetapi, Sakae tidak menjelaskan penyebab, pencegahan, dan pembenaran perang sehingga lebih fokus terhadap cinta damai umat manusia. Karena itulah, novel ini sungguh menyentuh hati dengan kisahnya yang begitu mengharukan.

Sinopsis Novel Dua Belas Pasang Mata

Oishi, seorang perempuan bertubuh mungil yang baru saja ditugaskan mengajar di suatu desa nelayan yang miskin. Oishi merupakan guru baru bagi kedua belas anak-anak di sana. Selama mengajar, Oishi banyak mengenal seputar kehidupan sederhana dan rasa kasih sayang yang telah ditunjukkan pada murid-muridnya.

Sayangnya, kebahagian yang dialami oleh Oshi terjadi dalam beberapa waktu saja. Mereka harus menghadapi kisah pilu yang menyedihkan akibat perang yang terjadi di kawasan itu. Oishi dan murid-muridnya harus menyesuaikan diri seiring dengan perubahan zaman.

Oshi dikenal dengan sebutan Oishi-Koshi dan menarik perhatian bagi seluruh penduduk di desa. Gayanya tampil seperti ‘kebarat-baratan’. Bagi penduduk desa, menggunakan pakaian ala barat dan mengendarai sepeda disebut sebagai ‘kebarat-baratan’.

Hal ini dikarenakan belum ada modernisme di tempat tersebut. Perbedaan antara Oishi dengan warga setempat membuatnya sempat diabaikan dan tidak ada satu orang pun yang ingin menyapanya. Namun, bu guru dengan tubuh mungil itu ternyata mengundang rasa penasaran pada anak-anak.

Pada pagi hari, Oishi harus melewati jalanan berliku dan menempuh jarak ke Desa Tanjung sekitar 8 km. Inilah alasan mengapa Oishi selalu berangkat mengajar ke sekolah dengan menggunakan sepeda. Bukan karena ingin dibilang ‘kebarat-baratan’ melainkan jarak tempuh yang sangat jauh demi mempercepat waktu. Anak-anak yang melihat Oishi sambil bersepeda, langsung berlarian dan mengejar bu guru yang melintasi jalanan dari desa menuju sekolah.

Selama mengajar, Oishi memberikan julukan kepada kedua belas murid agar mereka saling mengenal satu sama lain. Murid-murid pun menyukai Bu Guru Oishi dan merasa nyaman dengannya. Terutama, pelajaran musik yang sangat disukai oleh anak-anak.

Kejadian lucu juga kerap menghampiri pada saat jam belajar sehingga membuat gelak tawa bersama dengan Bu Guru Oishi. Terkadang, Oishi mengajak muridnya untuk belajar di luar ruangan seperti pantai dekat teluk. Cara belajar yang menyenangkan semakin membuat murid tak pernah bosan  sekaligus menghidupkan suasana baru.

Namun, Bu Guru Oishi harus berhenti mengajar karena cedera pada kakinya yang mengharuskan dirinya beristirahat di rumah. Berbulan-bulan lamanya, kedua belas murid berencana untuk pergi ke Desa Pohon Pinus tempat Oishi tinggal. Mereka berpikir Desa Pohon Pinus itu sangat dekat. Ternyata tidak.

Kaki-kaki kecil mereka melangkah demi selangkah dan mengingat jelas jalanan yang begitu jauhnya. Sesampainya di sana, Ibu dari Bu Guru Oishi menyuguhkan bakmi kepada anak-anak dan saling berfoto bersama.

Bertahun-tahun kemudian, kehidupan pahit mulai melanda negara Jepang. Seluruh desa mengalami depresi termasuk Desa Pohon Pinus dan Desa Tanjung. Setiap laki-laki diwajibkan ikut berperang sehingga banyak perempuan yang kehilangan suami dan anak laki-laki mereka.

Pada masa perang berlangsung, seluruh penduduk mulai serba kekurangan khususnya bahan pangan. Ikan tidak mudah ditangkap pada masa itu, sehingga mereka harus memakan roti dan gandum yang ditumbuk sendiri.

Bahkan, ada orang tua yang tega menjual anaknya kepada orang kaya demi mendapat uang dan mendapatkan sesuap makanan.  Penyakit mulai menyebar dan pelan-pelan merenggut nyawa setiap penduduk desa. Salah satu murid Bu Guru Oishi pun meninggal dunia akibat penyakit tersebut.

Ingin tahu gambaran peperangan yang ada di dalam novel Dua Belas Pasang Mata? Dan ingin merasakan kesulitan dan perjuangan bagi para korban perang? Langsung dapatkan novelnya di gramedia.com.

Review Novel Dua Belas Pasang Mata

Sumber: ebooks.gramedia.com

Detail Buku:

Judul buku: Dua Belas Pasang Mata

Penulis: Sakae Tsuboi

Jumlah halaman: 248 lembar

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Tanggal terbit: 4 September 2016

Berat: 0.175 kg

ISBN: 9786020332819

Lebar: 13.5 cm

Bahasa: Indonesia

Harga: 49.500 (soft cover)

65.000 (E-Book cover baru)

Novel Dua Belas Pasang Mata terdiri dari sepuluh bab dengan kisah yang menyentuh hati pembaca. Novel ini berfokus pada dampak perang yang terjadi kepada penduduk suatu negara. Penulis, Sakae Tsuboi tidak ingin menampilkan penyebab, pencegahan, dan pembenaran dari berlangsungnya perang. Namun, Sakae ingin menekankan pandangan cinta damai terhadap umat manusia dan pasca perang yang telah mengubah masalah pendidikan dan kesehatan.

Novel ini disebut sebagai novel anti perang karena menceritakan sudut pandang polos antara guru dengan murid-muridnya. Selama perang berlangsung, mereka menjalani aktivitas dengan gembira dan mulai mengisahkan latar belakang dari setiap murid satu per satu.

Ada yang orang tuanya berprofesi sebagai nelayan, tukang kayu, pengangkut barang, dan masih banyak lagi. Mereka semua dikumpulkan di dalam satu kelas dan saling mengenal satu sama lain. Penulis novel seolah-olah ingin menggambarkan kenyataan pahit selama perang dan menolak adanya perang di kehidupan mendatang.

Mungkin sebagian pembaca sudah mengetahui latar waktu pada novel ini. Perang yang dimaksud adalah kekalahan Jepang kepada sekutu pada tahun 1945 akibat dibomnya kota Hiroshima dan Nagasaki. Tentunya, perang tersebut berdampak langsung terhadap negara Indonesia. Namun, perhatian penulis tidak tertuju pada permasalahan perang melainkan jalan cerita Bu Guru Oishi dan murid-muridnya dalam menghadapi dampak perang yang berlangsung.

Pros & Cons

Pros
  • Penggunaan bahasa ringan, sederhana, dan mudah dipahami sehingga tetap bermakna
  • Kisah cukup menginspirasi pembaca
  • Konflik sederhana dan tidak terlalu kompleks
  • Pesan moral tersampaikan dengan baik
Cons
  • Terdapat beberapa rentang waktu dan bagian yang terlihat di-’skip’
  • Alur terasa sedikit lambat

Novel Dua Belas Pasang Mata yang ditulis oleh Sakae Tsuboi mendapatkan nilai 3.89 bintang dari pembaca situs Good reads. Berdasarkan opini pribadi, novel ini memiliki kelebihan dan kekurangan seperti yang tertera pada tabel di atas.

Kelebihan novel ini di antaranya menggunakan bahasa yang ringan, sederhana, dan mudah dipahami. Walaupun novel terjemahan, pembaca tidak kesulitan dalam menangkap diksi, arti, dan kosakata di dalamnya. Terlihat sederhana dan tidak terlalu tebal, novel ini mengandung makna kehidupan sehingga mampu membuat haru bagi yang membacanya.

Novel ini juga dapat menginspirasi pembaca karena berfokus pada kedamaian umat manusia. Karakter tokoh Bu Guru Oishi mampu menciptakan energi positif terhadap pendidikan dan kehidupan bermasyarakat. Misalnya saja, menghidupkan suasana tentram, menghargai orang-orang disekitarnya, dan menolak adanya perang karena memberikan dampak buruk bagi penduduk. Pesan moral yang tersirat maupun tersurat dapat tersampaikan dengan baik kepada pembaca. Bisa dibilang novel ini tidak lekang oleh waktu sekalipun perubahan zaman yang terjadi.

Konflik yang disajikan cenderung realistis dan dinilai sederhana. Secara keseluruhan, novel ini menjadi salah satu bacaan ringan yang cocok bagi semua kalangan sekaligus memberikan pemahaman baru terkait dampak perang yang terjadi di masa lampau. Alur ceritanya juga mengalir dan memiliki kutipan dialog yang bagus di dalamnya.

Selain kelebihan, novel Dua Belas Pasang Mata memiliki kekurangan seperti beberapa bagian atau scene yang diabaikan sehingga kesan bagi pembaca seperti ‘loncat-loncat’. Gaya bahasanya cenderung khas ala novel Jepang yang alurnya sedikit lambat dan kerap memberikan efek jenuh kepada pembaca. Walaupun begitu, novel ini patut diapresiasi karena memberikan kesan menarik dan mengajak pembaca untuk melihat perubahan besar terhadap kehidupan penduduk desa.

Nah, itu dia Review Novel Dua Belas Pasang Mata Karya Sakae Tsuboi yang bisa dijadikan gambaran besar dan referensi untuk Grameds. Apabila Grameds ingin mendapat informasi lebih lanjut seputar novel Dua Belas Pasang Mata dan buku-buku lainnya, bisa langsung mengunjungi situs gramedia.com ya!

Ada banyak pilihan buku menarik, berkualitas, dan tentunya original yang bisa dibeli juga, lho. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas pasti selalu membantu dalam mencari buku yang diperlukan oleh Grameds. Semoga bermanfaat ya.

Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca.

Nama Penulis: Riva Destira Ramadhani

Rujukan: 

  • https://id.wikipedia.org/wiki/Sakae_Tsuboi
  • https://www.goodreads.com/book/show/5259548-dua-belas-pasang-mata
  • https://ebooks.gramedia.com/id/buku/dua-belas-pasang-mata-nijushi-no-hitomitwenty-four-eyes-cover-baru
  • https://www.gramedia.com/products/dua-belas-pasang-mata-cover-baru
  • https://resensi.ilarizky.com/2016/08/resensi-buku-dua-belas-pasang-mata.html
  • https://hibooklover.wordpress.com/2022/03/19/review-buku-twenty-four-eyes-karya-sakae-tsuboi/

Written by Nandy

Perkenalkan saya Nandy dan saya memiliki ketertarikan dalam dunia menulis. Saya juga suka membaca buku, sehingga beberapa buku yang pernah saya baca akan direview.

Kontak media sosial Linkedin saya Nandy