in

Review Novel Kerudung Merah Kirmizi

Kerudung Merah Kirmizi – Kerudung Merah Kirmizi adalah sebuah novel yang terbit pada tahun 2002 karya Remy Sylado, laki-laki keturunan Sulawesi Selatan ini adalah seorang sastrawan yang pernah menjadi wartawan Indonesia.

Nama Remy Sylado sudah tidak asing lagi dalam khazanah sastra Indonesia. Ia bahkan tidak hanya aktif di dunia literasi, tetapi juga terlibat dalam dunia teater dan film. Remy juga memiliki keahlian dalam bermusik. Remy Sylado dengan karya-karyanya banyak mengangkat tema-tema sosial dan politik, serta menggambarkan dengan jujur bagaimana kehidupan dan budaya di Indonesia.

Remy Sylado dikenal sebagai seorang seniman yang serba bisa. Remy bahkan tidak pernah main-main dengan hal yang berkaitan dengan dunia kepenulisan, ia sering memburu bahan-bahan untuk novelnya sampai ke perpustakaan luar negeri. Ia diakui sebagai salah satu penulis Indonesia dan karya-karyanya banyak memenangkan penghargaan sastra.

Novel “Kerudung Merah Kirmizi” ini adalah salah satunya, yang mengantarkan Remy Sylado memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2002, sebuah penghargaan bergengsi di bidang sastra. Novel ini menceritakan tentang kisah cinta dengan latar masa orde baru yang penuh dengan kesewenang-wenangan dan pandangan budaya patriarki yang kuat di dalamnya.

Novel ini menggambarkan secara telanjang lika-liku seorang pengusaha yang memanfaatkan oknum aparat dan para bandit untuk mencapai tujuannya. Remy Sylado merangkai cerita yang tersaji dalam “Kerudung Merah Kirmizi” penuh dengan keharuan dan ketegangan menjadi kisah yang menarik.

Lalu, bagaimana alur dari novel Kerudung Merah Kirmizi karya Remy Sylado ini? Yuk, langsung kita simak bersama-sama review singkat ini, agar kamu semakin yakin untuk memiliki novel Kerudung Merah Kirmizi

 

Review Novel Kerudung Merah Kirmizi Karya Remy Sylado

Kerudung Merah Kirmizi karya Remy Sylado adalah novel yang dilatar belakangi suasana penindasan sewenang-wenang pada masa orde baru. Menggambarkan secara transparan tentang seorang pengusaha yang berusaha mengamankan oknum aparat keamanan dan para bandit untuk memperlancar usahanya dalam mencapai tujuan.

Novel ini menceritakan tentang seorang janda yang memiliki dua anak bernama Myrna Andriono, ia ditinggal mati oleh suaminya yang berprofesi sebagai pilot dan bekerja sebagai penyanyi hotel berbintang. Ia berusaha melanjutkan hidup untuk membuang kenangan masa lalu di tengah kerasnya kota metropolitan.

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Tokoh Myrna, digambarkan sebagai perempuan dengan paras yang cantik dan gaun seksi serta rayuan dari para lelaki hidung belang, belum lagi gunjingan para tetangga tentang dirinya yang menjadi seorang janda. Tetapi, ia akan begitu anggun dan santun ketika sudah bertemu dengan anak-anaknya.

Ditinggal mati oleh suaminya membuat Myrna merasakan trauma takut yang membuatnya merasa tidak yakin akan menemukan pria lain yang baiknya seperti suaminya. Hingga ia bertemu dengan Pa Luc, seorang laki-laki yang berhasil meluluhkan hati Myrna.

Luc Sondak, seorang duda bijak flamboyan asal Pulau Dewata. Asmara pun tumbuh di antara keduanya beriringan dengan musik galau pra-Beatles seperti “Star Dust” milik Hoagy Carmichael atau “Autumn Leaves” dari Joseph Kosma.

Konflik kemudian terjadi karena adanya tokoh Om Sam yang ingin menguasai lahan Pa Luc di Bali yang ia dengar kabar bahwa lahan itu banyak menyimpan harta karun. Om Sam digambarkan sebagai seorang antagonis di tengah-tengah kisah Myrna sebagai seorang janda.

Om Sam adalah gambaran pengusaha itu sendiri yang terjadi di masa orde baru dan menginginkan tujuannya tercapai sehingga ia melakukan segala cara. Remy Sylado mencerminkan problematika seorang pengusaha di dalam “Kerudung Merah Kirmizi” sangat transparan, sang antagonis terang-terangan bersikap sewenang-wenangnya.

Kemudian, hadir tokoh-tokoh lain yang dibuat oleh Remy memiliki keterkaitan antara satu sama lain. Varian plot yang disajikan bertemu di satu titik yang sama. Ada seorang aktivis mahasiswa bernama Emha, putri Luc bernama Laksmi, Winata selaku polisi dan teman kecil Myrna, Satria dan Kartika anak Myrna, dan seterusnya.

Masing-masing tokoh dalam novel ini memiliki cerita dan pengembangan karakter yang baik. Myrna yang berjuang untuk bertahan hidup dan menata masa depan dengan anak-anaknya. Satria dengan pola pikir yang dewasa meskipun masih kecil. Kartika yang gampang terkena hasutan. Pa Luc yang memiliki keyakinan meskipun hanya sekali pandang. 

Dela, seorang keponakan yang menghabiskan masa mudanya sebagai simpanan pamannya sendiri. Lalu, paman Dela yang gelap mata hingga akhirnya asmara Myrna harus pupus lagi. Lalu, bagaimana akhir dari novel Kerudung Merah Kirmizi ini? Temukan jawabannya dengan membeli bukunya di gramedia.com. 

 

Kelebihan dan Kekurangan Novel Kerudung Merah Kirmizi

Pros & Cons

Pros
  • Remy menyajikan plot yang menjanjikan, varian plot di setiap karakter novel memiliki keterkaitan di satu titik yang sama.
  • Kerudung Merah Kirmizi menyentil masa-masa orde baru yang penuh dengan kesewenang-wenangan.
Cons
  • Bagi pembaca yang tidak senang dengan sad ending tidak dianjurkan untuk membaca ini, karena penulis menjadikan beberapa tokoh mati.
 

 

Kelebihan Novel Kerudung Merah Kirmizi

Kirmizi adalah merah kotor, tetapi kita dapat melihat bahwa ada mukjizat melalui orang yang memberi cinta. Merah kotor itu akan berubah menjadi seputih sajlu karena besarnya cinta dapat mengubah hal yang demikian.

Kerudung Merah Kirmizi diciptakan oleh Remy Sylado dengan menghadirkan beberapa tokoh. Tokoh utamanya sendiri adalah seorang janda anak dua bernama Myrna yang ditinggal mati oleh suami baiknya dan harus menyambung hidup sebagai penyanyi hotel. Myrna kemudian jatuh cinta dengan Pa Luc yang memberinya cinta seperti suaminya, namun sayangnya cinta mereka harus kandas karena seorang pengusaha yang serakah membunuh Pa Luc.

Novel ini memiliki kelebihan dari segi plot, varian plot yang disajikan oleh Remy sangat menonjol pada masing-masing karakter. Novel ini seperti cerita bersambung yang terhubung di titik yang sama dengan beberapa konflik yang terjadi sekaligus. Namun itulah yang menjadi daya tarik novel karena pembaca akan menyadari bahwa di antara konflik tersebut pada akhirnya membentuk sebuah kisah yang menarik.

Novel ini juga memberikan sindiran pada tata kehidupan saat ini, banyak orang berharap tentang adanya perubahan perilaku, tabiat, dan juga kebiasaan buruk. Sedangkan tanpa sadar kita semua malah terjebak dan terus melakukan hal yang sama.

Kekurangan Novel Kerudung Merah Kirmizi

Selain kelebihan, novel ini juga memiliki kekurangan. Bagi kamu yang merasa tidak nyaman dengan sad ending, novel ini tidak direkomendasikan karena beberapa tokoh dijadikan mati oleh Remy Sylado. Meski begitu, “Kerudung Merah Kirmizi” ini adalah novel yang layak untuk dibaca. Novel dengan ketebalan 616 halaman ini memberikan gambaran pada pembaca tentang kekuatan dari cinta itu sendiri yang bisa melunakkan kekerasan hati seseorang dan mengubah segalanya.

 

Mengenal Remy Sylado, Seorang Seniman Multitalenta

Yusbal Anak Perang Imanuel Panda Abdiel Tambayong atau lebih dikenal dengan nama Remy Sylado adalah laki-laki yang lahir pada 12 Juli 1943 di Malino, Makassar, Sulawesi Selatan. Ia lahir dari pasangan Johannes Hendrik Tambajong dan Juliana Caterina yang menamatkan sekolah dasar di Makassar dan melanjutkan pendidikannya di Semarang pada tahun 1954.

Ketika di Semarang, Remy pernah bermain drama berjudul “Midsummer Night’s Dream” karya Shakespeare. Lalu, pada tahun 1959 hingga 1962 ia belajar di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Solo dan di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), dan Akademi Bahasa Asing di Jakarta. Remy Sylado

Nama Remy Sylado tidak bisa lepas dari sastra Indonesia, penyair yang dikenal sebagai pelopor puisi mbeling ini tidak hanya berperan sebagai seorang sastrawan. Tapi juga dikenal sebagai seorang seniman yang multitalenta. Ia menguasai berbagai bahasa asing, antara lain bahasa Mandarin, Jepang, Arab, Yunani, Inggris, dan Belanda.

Puisi mbeling sendiri berasal dari bahasa Jawa yang memiliki makna nakal tapi sembodo, susah diatur, dan memberontak. Pandangan yang menyatakan pemilihan kata-kata dalam puisi harus diatur dan harus sesuai dengan estetika itulah yang ingin diberontak oleh Remy, ia beranggapan jika pandangan itu selalu ada maka kaum muda akan takut untuk berkreasi secara bebas.

Puisi mbeling menggunakan bahasa atau bahkan ungkapan sehari yang dianggap kotor dan jorok. Bagi Remy yang terpenting adalah puisi itu dapat menggugah kesadaran masyarakat dan memiliki faedah. Sederhananya, Remy tidak ingin sebuah karya sastra hanya tercipta berdasarkan pakem-pakem tertentu.

Remy Sylado adalah seorang jurnalis, illustrator, penerjemah, sutradara teater, juga seseorang yang ahli dalam bahasa. Kecintaannya pada dunia menulis sudah ia tekuni sejak umurnya 18 tahun dengan menulis kritik, puisi, cerpen, novel, drama, dan karya lainnya.

Pada 1965, ia memulai karirnya sebagai wartawan di majalah Tempo, redaktur majalah Aktuil Bandung pada 1970, menjadi dosen di Akademi Sinematografi Bandung pada 1971, dan menjadi ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung. Remy Sylado dikenal karena sikap beraninya dalam menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan yang ia pimpin.

Dengan karya-karyanya yang beragam dan kualitasnya yang tinggi, Remy Sylado berhasil membangun reputasi sebagai salah satu penulis Indonesia yang berpengaruh. Karya-karyanya sering kali menghadirkan sudut pandang kritis terhadap kondisi sosial dan politik di Indonesia, serta memperlihatkan pemahaman mendalam tentang budaya dan sejarah Indonesia.

 

Biar Grameds nggak penasaran terhadap akhir cerita dari novel Kerudung Merah Kirmizi, langsung dapatkan segera bukunya di gramedia.com. Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca.

 

Penulis: Melani Wulandari

 

Rekomendasi Buku Terkait

Puisi Mbeling

 

Inilah buku pertama yang memuat puisi-puisi mbeling karya Remy Sylado, pencetus gerakan puisi mbeling, dari 1971 sampai 2003. Dipilih sendiri oleh sang penyair, 143 puisi dalam buku ini akan membuat kita tersenyum, tertawa terbahak-bahak, atau merenung. Namun jangan salah sangka, di dalam kelakarnya Remy sebenarnya sedang bersikap serius. Dia menelanjangi sikap feodal dan munafik masyarakat kita, terutama di kalangan pemimpin bangsa.

 

Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa)

 

Ca-Bau-Kan (Hanya Sebuah Dosa) adalah kisah cinta antara perempuan Betawi dan pedagang Tionghoa dalam latar awal abad ke-20 hingga pascakemerdekaan Indonesia. Remy Sylado menggunakan narator Ny. Dijkhoff, seorang perempuan Belanda yang datang ke Indonesia untuk mencari tahu asal-usul ibunya yang ternyata adalah seorang ca-bau-kan atau perempuan penghibur bagi masyarakat Tionghoa. Dalam kompleksitas tersebut, novel ini menyatakan peran masyarakat Tionghoa peranakan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia

 

Sumber: Berbagai sumber

 

 

Written by Nandy

Perkenalkan saya Nandy dan saya memiliki ketertarikan dalam dunia menulis. Saya juga suka membaca buku, sehingga beberapa buku yang pernah saya baca akan direview.

Kontak media sosial Linkedin saya Nandy