in

Pengertian Broken Home, Penyebab, Dampak & Cara Mengatasinya

Broken Home: Pengertian, Penyebab, Dampak dan Cara Mengatasinya – “Setiap hari aku mendengar isak tangis Ibu dan jeritan Ayah yang menggelegar setiap kali mereka bertengkar.  Aku bersembunyi di dalam kamar sambil memeluk adik yang menangis ketakutan. Kadang aku mendengar suara pecahan benda yang Ayah banting ke lantai. Kami sangat ketakutan, aku benci mendengar mereka saling berteriak. Aku sayang Ayah dan Ibu, tapi aku tak mau keadaan terus begini”

Keadaan di atas adalah keadaan dimana suatu hubungan pernikahan yang kerap menjadi awalnya perpisahan. Ketidakcocokan, kekecewaan, perselingkuhan, kecanduan, atau rasa cinta yang hilang sering menjadi penyebab retaknya hubungan rumah tangga. Percekcokan selalu terjadi hingga harus menyakiti satu sama lain.

Tidak hanya perasaan suami atau istri yang terluka, namun hancurnya perasaan anak-anak yang melihat atau mendengar orangtuanya saling berseteru. Tidak ada lagi perasaan hangat diantara mereka, yang tersisa hanya ketakutan atau kebencian pada salah satu orangtuanya.

 

Pengertian Broken Home

Broken home merupakan istilah dimana suatu keluarga yang tidak harmonis sehingga harus mengalami perpecahan.

Seorang suami dan istri yang awalnya disatukan dalam ikatan cinta harus terpisah karena tidak ada kecocokan sehingga mengakibatkan suasana menjadi tidak kondusif lagi. Bagi kamu yang kesulitan untuk menerima dan menghargai diri, buku Broken Home: An Inspiring Life Journey bisa kamu jadikan referensi.

Broken Home: An Inspiring Life Journey-Hc
Broken Home: An Inspiring Life Journey-Hc

tombol beli buku

Penyebab Broken Home

1. Perceraian orangtua

Perceraian kerap menjadi faktor utama yang membuat kondisi rumah tangga dikategorikan broken home. Perpisahan antara suami dan istri meninggalkan luka yang mendalam bagi anak-anak. Mereka bingung harus memilih untuk tinggal bersama ayah atau ibu mereka, belum lagi stigma di masyarakat begitu lekat pada keluarga yang mengalami perceraian.

 

2. Ketidakdewasaan orangtua

Orangtua yang memiliki egoisme dan egosentrisme kerap bertikai satu sama lain. Egoisme adalah suatu sifat buruk pada diri manusia yang selalu mementingkan dirinya sendiri. Sedangkan egosentrisme adalah sikap yang menjadikan dirinya sebagai pusat perhatian.

Sifat seperti itu bisa jadi dikarenakan adanya luka batin yang dialami orangtua saat kecil dan belum terselesaikan hingga dewasa. Sosok anak kecil dalam diri mereka kerap meronta ingin diperhatikan, ada perasaan yang lama terpendam belum diselesaikan, akhirnya berimbas pada hubungan saat berumah tangga.

Ketidakmampuan untuk bisa berdamai pada diri sendiri, ekspektasi yang terlalu tinggi pada pasangan akhirnya memicu keretakan pernikahan.

Setiap orang tua juga pastinya memiliki kekurangan karena begitu banyak persiapan yang perlu dilakukan, baik persiapan fisik, emosi-psikologis, dan terutama persiapan lewat pengetahuan. Oleh sebab itu, buku Tak Ada Sekolah Tuk Jadi Orang Tua hadir untuk mengatasi permasalahan tersebut.

tombol beli buku

 

3. Tidak adanya tanggung jawab dalam diri orang tua

Kesibukan orangtua akan karir, hubungan sosial, atau hobi bisa mengikis rasa tanggung jawab pada keluarganya. Seorang ayah yang terlalu sibuk bekerja, lalu sepulang dari kantor ia larut dalam hobinya bermain games.

Begitu juga sang ibu yang terlalu asyik dengan kesibukannya bersosialisasi dengan teman-temannya. Ditambah lagi kecanduannya menonton Drakor seakan menjadi prioritas utama dibandingkan mengurus anaknya.

Sang anak hanya ditinggal bersama asisten rumah tangga hanya bisa memaklumi keadaan orangtuanya, meskipun jauh dari lubuk hatinya ia memendam kerinduan ingin mendapat perhatian. Ketika sang anak merasa ia bukan lagi menjadi prioritas, ia akan menarik diri dan ikut larut dengan kesibukannya.

4. Jauh dari Tuhan

Dalam suatu pernikahan, hubungan antara suami-istri itu seperti segitiga. Tuhan  diibaratkan berada di sisi paling atas, suami di sisi sebelah kiri dan istri di sisi sebelah kanan.

Jika mereka dekat dengan Tuhan, maka hubungan rumah tangga akan mengerucut dan semakin dekat satu sama lain. Namun sebaliknya, jika sepasang suami dan istri jauh dari Tuhan maka hubungan keduanya akan saling menjauh satu sama lain.

Atas dasar itulah kedekatan dengan Tuhan menjadi hal yang utama dalam suatu pernikahan. Semakin jauh dari Tuhan, akan banyak godaan yang menghampiri setiap pasangan suami – istri. Ketidakmampuan seorang suami menjadi imam dalam rumah tangga bisa menjadi faktor utama perpisahan dalam rumah tangga.

Ketidakdekatan dengan Tuhan bisa berdampak dalam keharmonisan rumah tangga. Perbuatan tercela seperti berzina, berjudi, berselingkuh, berbohong, atau menipu menjadi pencetus retaknya mahligai pernikahan.

 

5. Faktor ekonomi

Percekcokan karena faktor ekonomi seperti PHK yang dialami suami, ketidakpuasan akan materi yang dituntut sang istri, ketidaksanggupan suami  memenuhi kebutuhan  keluarga bisa memicu keretakan rumah tangga.

Pada dasarnya manusia memerlukan pemenuhan sandang, pangan dan papan. Apa akibatnya jika suami tak mampu memberi nafkah yang cukup bagi keluarga?. Entah itu karena musibah yang dialami suami seperti PHK, atau rendahnya rasa juang dalam mencari nafkah bagi keluarga.

 

6. Kehilangan kehangatan dalam keluarga

Sejatinya hubungan dalam satu keluarga harus terjalin komunikasi yang baik satu sama lain. Adanya quality time antara ayah, ibu dan anak harus terjalin setiap hari. Apa jadinya jika di dalam suatu rumah mereka larut dalam kesibukannya masing-masing?

Adakalanya sang ayah ingin segelas kopi hangat dan masakan yang dibuatkan oleh istrinya. Terlepas masakan buatannya lezat atau tidak, itulah perhatian sang istri dalam menyuguhkan cinta bagi keluarganya.

Adakalanya juga sang Ibu menginginkan pujian di meja makan saat makan malam. walaupun ia hanya bisa menyuguhkan masakan sederhana, namun pujian sang suami atau lahapnya sang buah hati bisa menjadi pengobat lelah setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan domestik.

Sang anak sejatinya ingin diberi perhatian oleh orangtuanya. Ia ingin ditanya apa perasaannya hari ini?, Bagaimana eksul yang ia ikuti? Bagaimana pelajaran di sekolah? Atau hadiah apa yang ia inginkan jika mendapat nilai bagus?.

Bisa dibayangkan betapa hangatnya suatu rumah jika mereka saling memberi perhatian satu sama lain. Apa jadinya jika yang terjadi adalah kebalikannya, kesibukan masing-masing menjadikan rumah begitu sepi dan hubungan antar keluarga sangat dingin tanpa cinta.

 

7. Kurangnya edukasi dalam hubungan rumah tangga

Pernikahan adalah ibadah dengan pahala terbanyak, karena ujiannya juga sangat berat. Dalam mengarungi hubungan rumah tangga dibutuhkan edukasi antar pasangan agar dapat saling menyayangi, menghormati dan menghargai satu sama lain.

Ketika sudah memiliki anak, orangtua diharuskan menggali informasi mengenai pengasuhan. Pengasuhan saat anak baru dilahirkan, ketika anak mencapai akil baligh hingga mereka dewasa. Peranan orangtua sangat penting dalam perkembangan anak. Apa jadinya jika orangtua tidak memiliki edukasi tentang pernikahan atau pengasuhan? Tentunya romantisme antar pasangan terganggu dan pengasuhan anak menjadi tidak ideal.

 

Dampak Broken Home Bagi Anak

1. Rendahnya rasa percaya diri

Anak yang mengalami kondisi broken home akan mengalami kehilangan rasa percaya diri karena tekanan mental yang ia terima. Kurangnya perhatian dari sang ibu atau tidak adanya pelukan hangat sang ayah bisa menjadikan seorang anak menjadi rendah diri. Hilangkan ketidakpercayadirian tersebut dengan berbagai ajaran pada buku Transformasi Diri dibawah ini.

Transformasi Diri
Transformasi Diri

tombol beli buku

2. Lemahnya Iman

Tidak adanya figur positif dalam diri anak menjadikan mereka ikut jauh dari Tuhan. Seorang ibu sejatinya menjadi sekolah pertama dalam mengajarkan nilai-nilai agama, serta sosok ayah yang seharusnya menjadi contoh baik bagi keluarga.

Anak yang tidak memiliki salah satu figur tersebut akan hilang arah dan semakin jauh dari Tuhan. Mereka bisa tumbuh menjadi anak yang jauh agama dan melakukan perbuatan tercela. Oleh sebab itu, sangat penting untuk memulai pendidikan agama sejak dini seperti halnya yang dibahas pada buku Kekuatan Iman dan Ihsan.

Kekuatan Iman Dan Ihsan
Kekuatan Iman Dan Ihsan

tombol beli buku

3. Kurang Kasih Sayang

Kurangnya perhatian yang didapat dari orangtua menjadikan mereka tidak cukup merasakan kasih sayang. Mereka juga menjadi anak yang tidak terbiasa mengutarakan perhatian pada orang lain. Ia bisa menjadi sosok yang dingin, cuek ataupun kasar.

 

4. Gangguan Mental

Traumatik saat sang anak melihat orangtuanya bertengkar, kekerasan fisik atau verbal yang dilakukan orangtua akan membuat anak menjadi depresi.

Seiring berjalannya waktu ia akan merasa selalu cemas, takut, tertekan, bahkan ingin mengakhiri hidup. Gangguan Mental sendiri bukanlah sesuatu yang mudah di sembuhkan, namun untuk lebih memahami permasalahan ini, Grameds dapat membaca buku Semoga Kamu Baik-Baik Saja.

Semoga Kamu Baik-Baik Saja
Semoga Kamu Baik-Baik Saja

tombol beli buku

 

5. Kebencian Pada Orangtua

Kurangnya kasih sayang dan perlakuan buruk orangtua menjadikan anak merasa kecewa yang begitu dalam. Ditambah lagi jika anak melihat bentuk kekerasan orangtuanya, sulit bagi mereka untuk menghapus memori tersebut sehingga akan membentuk kebencian.

Saat sang anak menjadi korban broken home, ia tidak mampu mengetahui permasalahan yang terjadi. Mengapa orangtuanya bertengkar, mengapa mereka berpisah, mengapa Tuhan tidak memberikan cobaan yang demikian berat?. Ia belum mampu menelisik permasalahan lebih dalam dan melemparkan semuanya pada orangtua.

Chicken Soup for the Soul: Kekuatan Memaafkan
Chicken Soup for the Soul: Kekuatan Memaafkan

tombol beli buku

 

6. Menarik Diri

Ada masanya seorang anak yang mengalami broken home akan menarik diri dari lingkungannya. Ia merasa takut akan pandangan teman-teman terhadapnya, ia iri dengan keharmonisan keluarga orang lain, ia hanya ingin menyendiri untuk diberi kesempatan bisa berdamai dengan keadaan yang menimpanya.

Aku (Tidak) Menyerah - Taklukkan Burnoutmu, Nyalakan Kembali
Aku (Tidak) Menyerah – Taklukkan Burnoutmu, Nyalakan Kembali

tombol beli buku

7. Insecurity

Anak yang hidup dalam keluarga tidak harmonis akan merasa insecure atau kecemasan. Ia bisa takut akan masa depannya, takut bertemu orang baru, takut dikhianati, takut disakiti hingga takut ditinggalkan. Hal ini dikarenakan kurangnya kasih sayang yang cukup dalam diri mereka.

Insecurity Is My Middle Name
Insecurity Is My Middle Name

tombol beli buku

8. Pemberontak

Anak yang tumbuh di keluarga tidak utuh cenderung menjadi pemberontak. Rasa kecewa yang mereka alami, kurangnya perhatian dan hilangnya kepercayaan pada sosok orangtua menjadikan anak tidak lagi menghargai orangtuanya. Anak merasa tidak perlu lagi pandangan orangtua yang sudah lebih dulu gagal memberikan kenyamanan bagi mereka.

Tak Apa untuk Merasa Tak Baik-Baik Saja
Tak Apa untuk Merasa Tak Baik-Baik Saja

tombol beli buku

9. Tidak Teguh Pada Prinsip

Seorang anak yang tidak memiliki tempat untuk mencurahkan perasaannya, ia cenderung mencari tempat untuk menghibur diri. Ia akan hidup tanpa arah dan tujuan dan memiliki pandangan berubah-ubah sesuai lingkungan dimana ia berada saat itu.

Hal ini dikarenakan tidak adanya “rumah” yang menanamkan nilai dan norma yang mendasar dalam kehidupannya. Sementara prinsip adalah hal yang harus dibentuk sedari mereka kecil, agar sang anak bisa berpegang teguh pada core value yang diajarkan orangtuanya.

Menjadi Pribadi Tahan Banting
Menjadi Pribadi Tahan Banting

tombol beli buku

10. Merasa Hidupnya Sia-sia

Ketika seorang anak merasa kehilangan orang yang disayangi, ia akan merasa hidupnya tidak berarti lagi. Pupus sudah harapan serta asa yang ingin ia capai selama ini. Tidak adanya perhatian dan dukungan penuh kedua orangtua menjadikan ia menyerah begitu saja.

Aku Bukannya Menyerah, Hanya Sedang Lelah
Aku Bukannya Menyerah, Hanya Sedang Lelah

tombol beli buku

11. Kasar

Anak adalah peniru ulung orangtuanya. Ia bisa merekam apa yang ia lihat, baik itu verbal atau perbuatan. Tak sengaja semua kenangan itu terekam dan ia menjelma menjadi sosok yang meniru perbuatan orangtuanya.  Traumatik yang mereka alami juga bisa mendorong perbuatan agresif bahkan hingga sang anak tumbuh dewasa.

 

12. Terlalu Mengasihani Diri

Anak yang mengalami broken home juga bisa merasa larut dalam kesedihan hingga ia merasa hidupnya yang paling menyedihkan. Ia cenderung mengasihani diri dan merasa hidupnya tidak adil. Ia bisa menyalahkan orangtuanya, menyalahkan nasib hingga menyalahkan Tuhan.

Ia akan merasa tidak seberuntung teman-temannya yang memiliki orangtua lengkap, memiliki barang yang ia inginkan, mendapat kehangatan dan dukungan penuh dari orangtua mereka, merasakan quality time yang selama ini ia idam-idamkan. Anak akan semakin terpuruk jika melihat kehidupan orang lain yang sepertinya lebih sempurna, padahal ia tidak mengetahui bahwa orang lain pun mengalami cobaan yang berbeda-beda.

Gratitude
Gratitude

tombol beli buku

 

Cara Mengatasi Broken Home

Dalam kondisi pernikahan yang tidak ideal, suami – istri diharuskan mencari solusi demi kebaikan anak-anak. Jika usaha mediasi gagal dan tidak ada jalan lain, perpisahan kerap dipilih agar mereka tidak saling menyakiti satu sama lain. Meskipun perceraian adalah hal yang dibenci Tuhan, namun perpisahan bisa menjadi jalan keluar untuk menyelamatkan masa depan anak-anak. Ada beberapa cara untuk meminimalisir dampak negatif dari broken home, diantaranya adalah:

 

1. Mengajak anak mendekatkan diri dengan Tuhan

Ajak anak untuk merefleksi kehidupan yang dialami saat ini. Tanamkan nilai-nilai agama dan yakinkan bahwa apa yang sudah menjadi guratan takdir adalah skenario terbaik yang Tuhan beri. Daripada terus menangisi hidup, lebih baik berserah diri agar Tuhan memberikan kebahagiaan di kemudian hari.

 

2. Melakukan co-parenting

Seorang anak tidak akan pernah bisa memilih untuk tinggal bersama salah satu orangtuanya. Dari lubuk hatinya ia masih ingin bersama ayah dan ibunya. Maka orangtua sebaiknya bisa menekan ego agar tetap melakukan co-parenting untuk membesarkan anak bersama-sama.

Meskipun hak asuh anak jatuh pada ibunya, bukan berarti seorang ayah bisa lepas dari tanggung jawab untuk memenuhi tanggung jawabnya. Peran ayah tetap dibutuhkan dalam membangun pondasi kepercayaan diri dan peran ibu untuk membangun core value dalam diri seorang anak.

 

3. Tidak membohongi anak

Ketika orangtua harus berpisah, anak tidak boleh dibohongi dengan alasan apapun. Berikan penjelasan sesederhana mungkin bahwa ayah dan ibu sudah tidak bersama lagi. Beritahu juga bahwa perpisahan yang dialami oleh orangtua bukanlah salah mereka, namun karena semua ini adalah kesepakatan yang ayah-ibu pilih untuk menyelamatkan masa depan mereka.

 

4. Memberikan perhatian lebih

Meskipun anak akan hidup di keluarga yang tak lagi utuh, bukan berarti anak tidak mendapat perhatian lagi. Bangun lagi kedekatan dengan anak agar mereka tidak merasa kehilangan. Pahami bahasa cinta anak, apa yang mereka butuhkan itulah yang harus orangtua berikan.

 

5. Mengajak anak berempati pada orang lain

Tidak ada salahnya membawa anak pergi melihat anak jalanan yang harus bergelut mencari nafkah di jalan. Atau membawa anak ke panti asuhan atau yayasan anak yatim di sekitar rumah. Tanamkan rasa empati pada anak-anak yang kehilangan orangtua sejak kecil dan anak yang harus berjuang di jalanan untuk mencari sesuap nasi. Beri penjelasan bahwa kehidupan sang anak jauh lebih baik dari mereka, serta ajak mereka bersedekah agar mereka terbiasa menebar kebaikan dengan mencintai sesama.

 

6. Tidak menebar kebencian pada mantan pasangan

Meskipun sulit untuk bisa berdamai dengan mantan pasangan, namun orangtua harus memberikan pengaruh baik pada emosi anak. Jangan menebar benci dengan menceritakan hal buruk pasangan, imbasnya adalah anak akan merasa trauma dalam memilih pasangan hidup di kemudian hari. ia juga akan merasa insecure pada orang baru dan membenci orangtuanya seumur hidup.

 

7. Selalu berbicara dari hati ke hati

Berikan waktu kepada anak untuk bisa mengutarakan apa yang ia rasakan. Jangan hakimi perasaan anak, berikan ia semangat dan dukungan atas apa yang ia rasakan. Buatlah perasaannya menjadi lebih baik dan jangan lupa untuk memeluk anak setiap hari. Peluk erat mereka dan katakan bahwa mereka aman dan kehidupan akan baik-baik saja.

 

8. Berdamai dengan keadaan

Tidak ada yang salah dengan dengan rasa sedih atau kecewa. Tidak perlu lari dari keadaan sampai harus menyalahkan diri sendiri. Minta maaflah kepada anak atas segala perlakuan atau kejadian buruk yang mereka hadapi. Biarkan mereka menyelami segala emosi yang dirasakan, dan ajak mereka untuk berdamai dengan keadaan, katakan pada mereka  bahwa “It’s okay to be not okay” .

Itulah penjelasan mengenai broken home, dampak dan cara mengatasinya. Anda juga bisa membaca  buku tentang memaafkan dan berdamai dengan keadaan. Gramedia senantiasa menjadi #SahabatTanpaBatas bagi kamu untuk tetap tegar dan semangat. Mari bangkit dan hadapi dunia bersama-sama!

 

Berdamai Dengan Kenyataan Hidup
Berdamai Dengan Kenyataan Hidup

tombol beli buku

Penulis : Ratih Widiastuty

 

Sumber :

rahayuismaio.wordpress.com

dosenpsikologi.com

 



ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah."

logo eperpus

  • Custom log
  • Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
  • Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
  • Tersedia dalam platform Android dan IOS
  • Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
  • Laporan statistik lengkap
  • Aplikasi aman, praktis, dan efisien

Written by R Adinda

Dunia psikologi memang selalu menarik untuk dibahas. Selain menarik, dunia dengan mengetahui dunia psikologi akan membantu seseorang dalam dalam mengenali dirinya sendiri.