Agama Islam

Pengertian Ittiba: Dasar Hukum, Tujuan, Jenis, dan Kedudukannya Dalam Syariat Islam

Written by Yufi Cantika

Ittiba Adalah – Bagi umat muslim, mempelajari ilmu fiqih hukumnya adalah wajib meskipun banyak yang menyadari akan hal tersebut. Ushul fiqh adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan yang membahas mengenai dalil-dalil atas dasar hukum asal fiqh. Tentu saja, dalil-dalil tersebut akan bersumber dari kitab suci Al-Quran, Hadits Nabi, Ijma’, dan Qiyas.

Dalam Ushul Fiqih ini, salah satu yang termasuk dalam ruang lingkupnya adalah Ittiba yang sama-sama harus dipelajari sebaik-baiknya oleh umat muslim. Sementara dua lainnya adalah taqlid dan talfiq. Mengingat bahwa ilmu tersebut akan menjadikan kita sebagai hamba Allah SWT yang mengikuti ajaran-Nya secara benar. Lalu sebenarnya, apa sih ittiba’ itu? Apa saja jenis-jenis dari ittiba’? Bagaimana pula kedudukannya dalam syariat Islam? Nah, supaya Grameds memahami akan hal tersebut, yuk simak ulasan berikut ini!

https://www.pexels.com/

Pengertian Ittiba’

Kata ittiba’ ini ternyata sudah diserap dalam Bahasa Indonesia lho… Yap, berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), ittiba’ ini diserap menjadi itibak yang berperan sebagai kata kerja dan berarti sebagai mengikuti (contoh). Jika dirunut secara bahasa, kata ittiba’ ini dapat juga diartikan sebagai iqtifa’ atau menelusuri jejak, qudwah atau bersuri teladan, dan uswah atau berpanutan. Atas dasar itulah, istilah ittiba’ ini berarti ‘menerima perkataan atau ucapan orang lain dengan mengetahui sumber atau alasan dari perkataan tersebut, baik dari dalil Al-Quran maupun hadits Nabi.’

Singkatnya, ittiba’ ini adalah upaya umat muslim untuk mengikuti atau menuruti semua yang telah diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan oleh Rasulullah SAW. Dengan kata lain, ittiba’ sama saja dengan melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam sesuai yang telah Nabi Muhammad SAW lakukan juga.

Definisi Ittiba’ Menurut Para Ulama

Definisi akan ittiba’ ini telah diungkapkan oleh banyak ahli agama. Nah, berikut adalah uraian mengenai definisi-definisi tersebut.

Ibnu Katsir

Menurut Ibnu Katsir, ittiba’ adalah mengikuti syariat dan agamanya (Al-Sunnah) dalam setiap perkataan dan amal perbuatannya, serta dalam berbagai keadaan yang dialaminya.

Muhammad Al-Amin Al-syinqithi

Berkaitan dengan ittiba ini, Beliau pernah berkata bahwa “Imam Ahmad berkata: Al-Ittiba’ berarti seseorang mengikuti ajaran yang bersumber dari Rasulullah dan para sahabatnya atau yang berasal dari para tabi’in, tetapi ittiba’ pada yang terakhir bukan sebagai kewajiban mutlak, hanya bersifat pilihan. 

Sedangkan Ibn Al-’Abd Al-Barr mengatakan: Al-Ittiba’ berarti mengikuti hujjah atau dalil Qath’i, yaitu mengikuti pendapat dari pihak otoritatif yang diwajibkan kepada kita untuk mengikutinya. Dalam hal ini, Rasulullah adalah pihak paling otoritatif yang memiliki legalitas untuk diikuti perintahnya.

Abd Ar-Rahman Ibn Nashir Al-Sa’di

Ittiba’ adalah mengikuti syariat yang diwahyukan Allah pada Rasul-Nya karena ia adalah penyampai (Mubaligh) wahyu Allah yang dengannya umat manusia mampu menggapai jalan hidayah, dan syariat atau wahyu tersebut merupakan sumber petunjuk dan rahmat dalam seluruh aspek ilmu, perbuatan, karakter diri, dan dalam seruan dakwahnya, baik dalam aqidah, ucapan maupun amal perbuatan, maka mengikutinya adalah dengan mengimplementasikan perintahnya dan meninggal larangannya.

Thaha Jabir Al-Alwani

Ittiba’ adalah mengimplementasikan perintah Allah dan Rasul-Nyaserta menelisik berbagi perbuatan dan keadaannya untuk kemudian mengaktualisasikannya dengan mengikuti jejak langkahnya (iqtidha’)

Al-Badani

Ittiba’ atau Al-Ittiba’ ini adalah mengimplementasikan perintah dan larangan yang beliau ajarkan seperti layaknya Al-Qur’an, karena masih dikategorikan sebagai wahyu Allah dan dengan mengaktualisasikan Al-Sunnah yang suci.

Nah, dari beberapa pendapat para ahli agama mengenai definisi dari ittiba’ ini dapat disimpulkan bahwa ittiba’ adalah upaya umat muslim untuk mengikuti dan menerapkan ajaran yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, baik secara perkataan maupun perbuatan untuk mencapai tujuan berupa wahyu Allah SWT.

Dasar Hukum Ittiba’

Keberadaan ittiba’ ini bukan hanya semata-mata pendapat ulama saja tanpa adanya alasan agama, melainkan terdapat dasar hukum yang bersumber dari kitab suci Al-Quran. Nah, berikut adalah beberapa dasar hukum akan pelaksanaan ittiba’ bagi umat muslim yang mana memang perintah dari Allah SWT.

Q.S. Al-A’raf ayat 3

ٱتَّبِعُوا۟ مَآ أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا۟ مِن دُونِهِۦٓ أَوْلِيَآءَ ۗ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ

Artinya:

“Ikuti apa yang dirutunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)”

Q.S. Ali’ Imran ayat 31

قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ ٱللَّهَ فَٱتَّبِعُونِى يُحْبِبْكُمُ ٱللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَٱللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Artinya:

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Q.S. An-Nahl ayat 43

وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

Artinya:

Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”

Q.S. An-Nisa ayat 27

وَٱللَّهُ يُرِيدُ أَن يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ ٱلَّذِينَ يَتَّبِعُونَ ٱلشَّهَوَٰتِ أَن تَمِيلُوا۟ مَيْلًا عَظِيمًا

Artinya:

“Dan Allah hendak menerima taubatmu, sedang orang-orang yang mengikuti hawa nafsunya bermaksud supaya kamu berpaling sejauh-jauhnya (dari kebenaran).”

Q.S. At-Taubah ayat 42

لَوْ كَانَ عَرَضًا قَرِيبًا وَسَفَرًا قَاصِدًا لَّٱتَّبَعُوكَ وَلَٰكِنۢ بَعُدَتْ عَلَيْهِمُ ٱلشُّقَّةُ ۚ وَسَيَحْلِفُونَ بِٱللَّهِ لَوِ ٱسْتَطَعْنَا لَخَرَجْنَا مَعَكُمْ يُهْلِكُونَ أَنفُسَهُمْ وَٱللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّهُمْ لَكَٰذِبُونَ

Artinya:

Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: “Jikalau kami sanggup tentulah kami berangkat bersama-sama mu”. Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.”

Dalam beberapa ayat Al-Quran tersebut, jelas diperintahkan bagi kita para umat muslim untuk mengikuti perintah-perintah Allah SWT. Kewajiban untuk mengikuti-Nya itu adalah sesuatu yang wajib dan tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Sebenarnya, masih banyak lagi ayat Al-Quran yang membahas mengenai kewajiban ittiba’ ini, sebut saja ada pada surah Yunus yang diungkapkan sebanyak enam kali terutama pada ayat 15, kemudian ada juga surah Hud yang diungkapkan sebanyak lima kali terutama pada ayat 97, dan masih banyak lagi.

Tujuan Ittiba’

Adanya ittiba’ yang menjadi salah satu hal wajib untuk dijalankan bagi kaum muslim tentu saja ada alasan. Dengan adanya ittiba’ ini, maka diharapkan supaya setiap kaum muslim, sekalipun mereka yang masih awam, dapat mengamalkan ajaran agama Islam dengan penuh rasa yakin tanpa diselimuti keraguan apapun. Tidak hanya itu saja, suatu ibadah atau amal itu jika dilakukan dengan penuh keyakinan maka akan menimbulkan keikhlasan dan kekhusyukkan di dalam diri muslim tersebut. Lagipula, keikhlasan dan kekhusyukan memang menjadi syarat sah dari pelaksanaan ibadah atau amal.

Singkatnya, ittiba’ memiliki tujuan sebagai berikut:

  1. Mendapatkan hidayah.
  2. Memperoleh keberuntungan  dari Allah SWT.
  3. Teguh di atas kebenaran.
  4. Mendapatkan perlindungan dan pertolongan dari Allah SWT.
  5. Bergabung dengan barisan para nabi.
  6. Mendapati keluarga yang ikut menapaki jalan ittiba’.
  7. Terhindar dari rasa sedih dan takut.
  8. Memperoleh pintu taubat dan ampunan dari Allah SWT.

Jenis-Jenis Ittiba’

1. Ittiba’ Kepada Allah SWT dan Rasul-Nya

Sebagai seorang hamba-Nya, kita tentu saja harus taat kepada Allah SWT. Bagaimana caranya? Yakni dengan mengikuti apa perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dalam hal ini, juga telah difirmankan oleh Allah SWT dalam surah Al-Imran ayat 174, yang berbunyi:

فَٱنقَلَبُوا۟ بِنِعْمَةٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَفَضْلٍ لَّمْ يَمْسَسْهُمْ سُوٓءٌ وَٱتَّبَعُوا۟ رِضْوَٰنَ ٱللَّهِ ۗ وَٱللَّهُ ذُو فَضْلٍ عَظِيمٍ

Artinya:

“Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak ditimpa suatu bencana dan mereka mengikuti keridhaan Allah. dan Allah mempunyai karunia yang besar”

Sebenarnya, ayat tersebut membicarakan mengenai Peristiwa Badar Sughra (Badar kecil) yang mana terjadi setahun setelah terjadinya Perang Uhud. Kala itu, Abu Sufyan yang mana seorang pemimpin dari kaum Quraisy menantang Nabi dan sahabat-sahabatnya bahwa dirinya bersedia bertemu kembali dengan para kaum muslim pada tahun berikutnya di Badar. Namun kala itu tengah terjadi musim paceklik, Abu Sufyan pun merasa takut dan tidak melanjutkan perjalannya menuju Badar. Kemudian, dirinya menyuruh kawan-kawannya untuk pergi ke Madinah dan menakut-nakuti para kaum muslim dengan menyebarkan berita bohong.

Meskipun kala itu Abu Sufyan tidak jadi menuju Badar, Nabi Muhammad beserta sahabatnya tetap menuju Badar dan tetap saja perang tidak jadi dilaksanakan. Kebetulan, di Badar tengah mengalami musim pasar sehingga para kaum muslim justru melakukan perdagangan dan memperoleh laba besar yang kemudian dibawa pulang ke Madinah. Nah, berdasarkan ayat tersebut dijelaskan bahwa kaum muslim yang kembali ternyata justru membawa nikmat serta karunia dari Allah SWT melalui hasil perdagangannya yang disebabkan karena tidak terjadi perang.

2. Ittiba’ Kepada Selain Allah SWT dan Rasul-Nya

Berhubung kita masih hidup di dunia, tentu saja ittiba’ akan berkaitan dengan hal-hal selain Allah SWT dan Rasul-Nya. Ittiba’ ini mengikuti sesuatu yang tidak berlandaskan kepada Al-Quran dan Sunnah.

a) Ittiba’ Kepada Hawa Nafsu

Perlu diketahui ya Grameds bahwa terdapat penyakit yang mampu merusak amal perbuatan seseorang, salah satunya adalah ittiba’ kepada hawa nafsu. Maka dari itu, bagi yang telah “terkena” penyakit ini, segeralah membersihkan dan menyucikan diri. Hawa nafsu pada hakikatnya memang dapat membentuk perilaku manusia. Maka dari itu, Allah SWT selalu mengaitkan masalah penting dalam kehidupan dengan hawa nafsu.

Hawa nafsu dapat mengajak manusia untuk berbuat jahat. Namun bagi mereka yang mampu menahannya, maka selamatlah dirinya dari segala tipu muslihat setan. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam surah Al-Qashash, yang berbunyi:

“Maka jika mereka tidak Menjawab (tantanganmu, maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

b) Ittiba’ Kepada Syaitan

Grameds pasti sudah tahu dong jika yaitan atau iblis adalah makhluk Allah yang hidup di dalam dunia gaib dan bahkan sulit dijangkau oleh mata manusia. Setan termasuk dalam golongan bangsa jin yang sangat keterlaluan, yang mana telah menyimpang dari aturan dari Allah SWT selaku penciptanya. Setan juga akan terus berupaya menghasut manusia supaya tetap berjalan di jalannya yang sesat.

Maka dari itu, Allah SWT selalu mewanti-wanti para umat-Nya untuk tidak mengikuti hasutan setan. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah An-Nur ayat 21 yang berbunyi:

Wahai orang-orang yang beriman! janganlah kamu mengikuti langkah- langkah setan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah setan, Maka Sesungguhnya dia (setan) itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang mungkar. Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

c) Ittiba’ Kepada Persangkaan

Dalam kitab suci Al-Quran, Allah SWT secara tegas mencela orang-orang yang mengikutsertakan masalah keyakinan dan akidah. Perbuatan itu sering dilakukan oleh orang-orang kafir sejak zaman dahulu, terutama dengan menyembah berhala menurut pada prasangka mereka saja. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah An-Najm ayat 23 yang berbunyi:

“…itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan apa pun untuk (menyembah) nya. Mereka hanyalah mengikuti dugaan, dan apa yang diingini oleh keinginannya. Padahal Sungguh, telah datang petunjuk kepada mereka dari Tuhan mereka”.

d) Ittiba’ Kepada Orang Kafir

Pada hakikatnya, orang kafir adalah mereka yang tidak beriman kepada Allah SWT dan terus mengingkari atau tidak percaya akan kerasulan dari Nabi Muhammad SAW. Allah SWT tentu saja sangat melarang kaum-Nya untuk mengikuti orang kafir. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah Al-Ankabut ayat 12, yang berbunyi:

“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Ikutilah jalan Kami, dan nanti Kami akan memikul dosa-dosamu”, padahal mereka sedikit pun tidak (sanggup), memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar pendusta.”

e) Ittiba’ Kepada Nenek Moyang

Adanya tradisi atau nenek moyang yang mana masih melekat dalam diri anak cucunya tentu saja dapat mengarahkan kepada hal kebaikan dan keburukan. Jika tradisi nenek moyang tersebut mengarah ke hal yang salah, tentu saja tidak boleh kita ikuti. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surah Al-Baqarah ayat 170 yang berbunyi:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak!). Kami hanya mengikuti apa yang telah Kami dapati pada nenek moyang kami (melakukannya)”. Padahal, nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?”

Kedudukan Ittiba’ Dalam Syariat Islam

Keberadaan ittiba’ terutama kepada Rasulullah SAW memiliki kedudukan tinggi dalam agama Islam, bahkan dapat menjadi pintu seseorang dalam diterimanya amal perbuatan di sisi Allah SWT. Maka dari itu, ittiba’ memiliki kedudukan dalam syariat Islam, yakni sebagai berikut:

  • Sebagai syarat diterimanya amal ibadah.
  • Sebagai salah satu prinsip dalam agama Islam, sebagaimana dalam surah Al-Kahfi ayat 110.
  • Sebagai sebab masuk surga.
  • Sebagai bukti cinta kepada Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dalam surah Al-Imran ayat 31.
  • Sebagai jalan mendapatkan cinta kepada Nabi secara sebenar-benarnya.
  • Sebagai jalan pelaksanaan perintah untuk taat kepada Rasul dan menjauhi ancaman yang berkaitan. Sebagaimana dalam surah An-Nisa ayat 59.
  • Sebagai sifat mukmin, sebagaimana dalam surah An-Nur ayat 51-52.
  • Sebagai tanda ketaqwaan, sebagaimana dalam surah Al-Hajj ayat 32.

Nah, itulah ulasan mengenai apa itu ittiba’ dan jenis-jenisnya, yang paling utama adalah ittiba’ kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Apakah Grameds sudah melaksanakan ittiba’ yang sesuai dengan ajaran syariat Islam?

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

Sumber:

Muhammad Zikra, Z. (2020). ITTIBA’AL-RASUL PERSPEKTIF AL-QUR’AN (Doctoral dissertation, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau).

JAYA, U. A. P. Al-IJITIHAD, AL-MUJTAHID, AL-ITTIBA’, FATWA, AT-TAQLID DAN MASHADIR AL-AHKAM.

Pulungan, E. N. (2020). Fikih: Ushul Fikih.

Baca Juga!

About the author

Yufi Cantika

Saya Yufi Cantika Sukma Ilahiah dan biasa dipanggil dengan nama Yufi. Saya senang menulis karena dengan menulis wawasan saya bertambah. Saya suka dengan tema agama Islam dan juga quotes.

Kontak media sosial Linkedin Yufi Cantika