Agama Islam

Pengertian Hukum Syara yang Ditetapkan Berdasarkan Alquran dan Sunnah

Written by Yufi Cantika

Sebagai umat Islam, kita tentu ingin beribadah sesuai dengan aturan yang diberikan oleh Allah SWT. Hukum-hukum Allah telah ditetapkan dalam kitab-kitab yang diturunkan-Nya dan melalui nabi, rasul, serta wali yang diturunkan ke bumi.

Secara bahasa, hukum berarti Al-Qadha’ (القضاء) yang berarti keputusan. Sedangkan pengertian hukum syara’ secara istilah adalah :

هو خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلفين، طلباً أو تخييراً، أو وضعاً

Artinya: “Adalah titah syariat yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf, baik berupa tuntutan, pilihan, dan peletakan”.

Hukum syara’ dapat diartikan sebagai apa-apa yang telah ditetapkan oleh titah syariat, yaitu Alquran dan Sunnah. Hukum syra’ berkaitan dengan perbuatan mukallaf baik berupa perkataan atau perbuatan dalam melakukan atau meninggalkan sesuatu.

Hukum syara’ tidak berkaitan dengan keyakinan atau akidah seseorang. Mukallaf yang dimaksud adalah siapa saja yang dalam keadaan dibebani syariat termasuk ana kecil dan orang gila.

Salah satu yang harus dipahami oleh seorang muslim adalah hukum syara’. Hukum syara’ merupakan nama hukum yang disandarkan pada syariat atau syariah. Yakni, suatu ketentuan yang berasal dari Allah SWT dan Rasul baik dalam bentuk tekstual ataupun hasil pemahaman ulama. Oleh sebab itu, hukum syara’ juga dapat dikatakan berasal dari Alquran dan Hadis.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa hukum syara’ terbagi menjadi dua, yakni tuntutan dan peletakan (wadh’i). tuntutan berupa perintah ataupun larangan baik yang bersifat pasti ataupun tidak pasti. Serta juga pilihan apakah mau mengerjakan atau meninggalkannya.

Sementara itu, yang kedua, yakni wadh’i atau peletakan yang mana merupaka perkara-perkara yang diletakkan oleh pembuat syariat yang menetukan terwujudnya suatu hukum atau kesempurnaannya.

Melansir dari berbagai sumber, berikut pembagian hukum syara’.

Pembagian Hukum Syara’

Berdasarkan pengertian hukum syara’ di atas maka hukum syara’ dapat dikategorikan dalam 2 jenis sebagai berikut.

1. Hukum Taklifi

Melansir dari laman Nasehatquran.com, hukum taklifi merupakan tuntutan yang dibebankan kepada mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan dan pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan suatu pekerjaan.

Hukun taklifi dikelompokkan menjadi beberapa macam di antaranya wajib, haram, mubah, mandub, dan makruh. Berikut penjelasan kelima kategori tersebut.

  • Wajib

Wajib merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh pembuat syariat yang harus dikerjakan. Seseorang yang melakukan perkara wajib akan diberikan ganjaran dan mendapatkan hukuman jika meninggalkannya.

Grameds dapat mengenal wajib dengan nama lain di antaranya fardhu, faridhah, hatmun, mahtum, dan lazim. Dalam pandangan kalangan hafiyyah, fardhu dan wajib berbeda. fardhu atau faridhah adalah istilah hukum yang ditetapkan dengan dalil qath’i seperti Al-Quran dan hadits mutawatir. Sedangkan yang ditetapkan dengan dalil dzanni seperti hadis ahad maka ia disebut wajib.

Bagaimana Membumikan Syariat Islam

Hukum wajib sendiri dapat dikategorikan menjadi empat sebagai berikut.

  1. Berdasarkan Keterikatan Waktu

Berdasarkan keterikatan waktu, hukum wajib dikelompokkan menjadi dua di antaranya sebagai berikut.

  • Wajib Mutlaq atau Wajib Muwassa’, yaitu kewajiban yang waktu pelaksanannya luas dan tidak terikat dengan waktu tertentu, seperti menqadha’ puasa Ramadhan.
  • Wajib Muqayyad atau Wajib Mudhayyaq, yaitu kewajiban yang pelaksanaannya terikat oleh waktu tertentu, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan lain sebagainya.
  1. Berdasarkan Ketentuan Objek

Berdasarkan ketentuan objek, hukum wajib dibedakan menjadi dua kategori sebagai berikut.

  • Wajib Mu’ayyan, yaitu kewajiban yang sudah ditentukan dan tidak ada pilihan lain selain yang sudah menjadi ketentuan, seperti wajibnya puasa di bulan Ramadhan, wajibnya Haji, dan lain sebagainya.
  • Wajib Ghairu Mu’ayyan atau Wajib Mukhayyar, yaitu kewajiban yang dibolehkan menentukan salah satu diantara beberapa pilihan. Contohnya adalah kaffarah bagi orang yang melanggar sumpah.
  1. Berdasarkan Kadarnya

Berdasarkan kadarnya, hukum dibedakan menjadi dua kategori di antaranya sebagai berikut.

  • Wajib Muqaddar atau Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang telah ditentukan kadarnya, seperti jumlah raka’at pada shalat fardhu, jumlah minimal pembayaran zakat, dsb.
  • Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan kadarnya, seperti berinfak di jalan Allah, bersedekah, memberi makan anak yatim, dsb.
  1. Berdasarkan Subjek Hukumnya

Berikut rincian wajib berdasarkan subjek hukumnya.

  • Wajib Aini atau Fardhu Ain, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap individu, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dsb.
  • Wajib Kifa’i atau Fardhu Kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan secara kolektif, yang apabila sudah terwakili maka gugurlah kewajiban itu. Seperti shalat jenazah, jihad fi sabilillah, amar ma’ruf nahi munkar, dsb.
  • Haram

Haram merupakan sesuatu yang dilarang oleh pembuat syariat yang harus ditinggalkan. Orang yang meninggalkan hal-hal haram akan mendapatkan pahala. Namun, orang yang melakukannya akan mendapatkan dosa.

Haram sendiri dapat dikategorikan menjadi dua kelompok sebagai berikut.

  • Haram lidzatihi atau haram karena zatnya. Yaitu perbuatan yang pada asalnya haram menurut hukum syar’i. Contoh : syirik, zina, mencuri, memakan babi, dan lain sebagainya.
  • Haram lighairigi atau haram karena selainnya. Yaitu perbuatan yang pada asalnya diperbolehkan atau disyariatkan, namun karena adanya faktor lain yang dapat menimbulkan kerusakan dan kemudharatan maka perbuatan itu menjadi haram.

Sebagai contoh minum alkohol menjadi haram karena mengandung khamer. Orang yang minum alkohol akan kehilangan kontrol diri dan dapat melakukan hal maksiat lainnya. Seperti zina, membunuh orang, dan sebagainya.

  • Mubah

Mubah merupakan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan perintah dan larangan. Sebagai contoh makan, tidur, minum, dan sebagainya.

Segala perbuatan yang pada asalnya tidak diperintahkan dan tidak dilarang oleh syariat. Hal ini disebabkan jika perbuatan tersebut dilatarbelakangi oleh sesuatu yang diperintahkan atau dilarang maka perbuatan tersebut mengikuti hukum yang melatarbelakanginya.

Sebagai contoh mempelajari bahasa Arab yang hukum asalnya adalah boleh. Namun, karena kita diwajibkan untuk mengetahui kandungan dari Al-Quran dan As-Sunnah maka tidak mungkin kita bisa mengetahuinya tanpa mempelajari bahasa Arab. Sehingga mempelajari bahasa Arab hukumnya menjadi wajib atas dasar latar belakang tersebut.

Contoh lain seperti makan dan minum. Hukum asalnya adalah mubah, namun apabila dilakukan secara berlebihan hingga membahayakan dirinya maka ia menjadi haram.

Syarah Ushulus Sittah: Penjelasan Tentang Enam Prinsip Beragama

  • Mandub

Mandub merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh pembuat syariat yang tidak harus dikerjakan. Seorang yang mengerjakan sesuatu mandub sedang mencari pahala akan mendapat pahala, tetapi jika tidak dikerjakan maka tidak akan mendapat hukuman.

Mandub atau sunnah memiliki beberapa tingkatan di antaranya sebagai berikut.

  • Pertama, sunnah muakkadah. Adalah sunnah yang selalu dikerjakan oleh Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam. Contohnya melaksanakan shalat sunnah dua rakaat sebelum subuh.
  • Kedua, sunnah ghairu muakkadah. Adalah sunnah yang tidak selalu dikerjakan oleh Nabi sallallaahu ‘alaihi wasallam artinya sesekali beliau meninggalkannya, seperti shalat tarawih, shalat empat rakaat sebelum dan sesudah dzuhur, dan lain sebagainya.

Dalam Islam juga terdapat sunnah adat, yakni perbuatan Nabi Muhammad SAW yang bukan dalam rangka ibadah kepada Allah. Seperti, cara berpakaian, jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi, cara berkendara, cara berjalan, dan sebagainya.

  • Makruh

Makruh merupakan sesuatu yang dilarang oleh pembuat syariat dalam bentuk ketidakharusan. Ketika, seseorang meninggalkan perkara makruh maka akan diberikan pahala. Namun, jika melakukannya, orang tersebut tidak akan berdosa.

Penggunaan istilah makruh diamini oleh para ulama kecuali ulama hanafiyyah. Baginya, makruh terdiri dari dua, yakni makruh tahrim dan makruh tanzih. Makruh tahrim adalah sesuatu yang dilarang atau diharamkan oleh syariat akan tetapi dalilnya bersifat dzanni al-wurud (dugaan kuat).

Sementara itu, makruh tanzih adalah sesuatu yang dianjurkan oleh syariat untuk ditinggalkan sebagaimana makruh yang dikenal oleh para ulama pada umumnya.

2. Hukum Wadh’i

Melansir dari laman Pai.ftk.uin-alauddin.ac.id, hukum wadh’i berarti buatan atau bikinan. Hukum wadh’i yang dimaksudkan di sini yakni adanya sesuatu hukum yang bergantung pada ada atau tidaknya sesuatu yang lain seperti sebab, syarat, dan halangan hukum (manic).

a. Sebab

Yang dimaksud dengan sebab merupakan segala sesuatu yang dijadikan oleh syar’i sebagai alasan bagi ada atau tidak adanya hukum dan tidak adanya sesuatu itu melazimkan adanya hukum.

Misalnua, dalam firman Allah dalam QS Al-Maidah yang mana terkandung dua hukum. Pertama, hukum taklifi, yakni melanggar larangan mencuri. Kedua, terdapat pula hukum wadh’i karena ia mencuri sebagai alasan ia dipotong tangannya. Jadi, adanya pencuri memastikan adanya potong tangan.

b. Syarat

Yang dimaksud dengan syarat adalah tidak adanya sesuatu yang memastikan tidak adanya hukum. Tetapi tidak sebaliknya, yakni adanya sesuatu harus adanya hukum. misalnya firman Allah dalam QS Al- Baqarah ayat 110.

Arti QS Al-Baqarah ayat 110, “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”

Berdasarkan ayat tersebut, zakat menjadi hukum wajib. Namun, tidak cukup haul maka tidak ada hukum wajibnya. Namun, tidak pula cukupnya haul memastikan wajibnya zakat karena masih bergantung pada hal yang lain seperti nisab. Dalam hal ini, haul disebuy sebagai syarat, yakni salah satu syarat wajibnya zakat.

c. Mani’

Yang dimaksud dengan mani’ merupakan segala sesuatu yang dapat meniadakan atau membatalkan hukum. Misalnya, seseorang perempuan yang sedang dalam masa haid atau nifas dilarang melakukan salat.

Sederhananya, mani’nya di sini adalah haid dan nifas. Hal ini disebabkan adanya haid atau nifas itu maka tidak adanya kewajiban salat.

d. Rukhsah dan Azimah

Berikut penjelasan lebih rinci mengenai rukhsah dan azimah.

  • Rukhsah

Rukhsah berarti mudah dan ringan. Yang dimaksud rukhsah adalah perubahan sesuatu dari yang berat pada yang ringan atau yang lebih mudah. Karena adanya suatu sebab terhadap hukum asal. Seperti dalam firman Allah, QS An-Nisa’ ayat 101.

Arti dari ayat tersebut adalah “Dan apabila kamu bepergian di bumi, maka tidaklah berdosa kamu meng-qasar salat, jika kamu takut diserang orang kafir. Sesungguhnya orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.”

Ayat tersebut menjelaskan mengenai keringanan pada orang-orang yang sedang dalam perjalanan untuk mengqasar salatnya. Melansir dari laman bincangmuslimah.com, rukhsah dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori di antaranya sebagai berikut.

  • Rukhshah yang wajib diambil. Seperti memakan bangkai bagi orang yang hampir mati dan tidak menemukan makanan yang lain.
  • Rukhsah yang sunnah diambil. Seperti mengqashar shalat dalam perjalanan, tidak berpuasa bagi orang yang sakit, dan memandang wajah dan kedua telapak tangan perempuan yang hendak dipinang.
  • Rukhshah yang boleh diambil. Seperti mempraktekkan akad salam.
  • Rukhshah yang lebih utama tidak diambil. Seperti mengusap sepatu, menjamak shalat dalam keadaan tidak ada dharar, dan lain-lain.
  • Rukhsah yang makruh diambil. Seperti mengqashar shalat dalam perjalanan yang kurang dari radius 3 marhalah (120 km)

Dengan adanya rukhsah memberikan kemudahan bagi kehidupan manusia yang terhimpit oleh kesulitan dan hanya ada hal-hal haram atau tidak boleh di depan mata. Namun, hanya itu yang dapat menyelamatkan hidupnya.

  • Azimah

Azimah berarti teguh, berat, dan kuat. Azimah juga dapat dimaknai sebagai apa-apa yang disyari’atkan pada mulanya, dan tidak bergantung pada sesuatu uzur atau halangan seperti salat lima waktu sebelum ada uzur. Puasa Ramadhan sebelum ada uzur atau halangan. Demikian pula, kewajiban lainnya disebut sebagai azimah.

Aku Syar'i : Saatnya Berbenah Diri Sesuai Syariat dan Sunah

About the author

Yufi Cantika

Saya Yufi Cantika Sukma Ilahiah dan biasa dipanggil dengan nama Yufi. Saya senang menulis karena dengan menulis wawasan saya bertambah. Saya suka dengan tema agama Islam dan juga quotes.

Kontak media sosial Linkedin Yufi Cantika