Agama Islam

Strategi Dakwah Sunan Kalijaga: Menggunakan Budaya dan Kesenian sebagai Wahana Islamisasi di Jawa

Written by Yufi Cantika

Strategi dakwah Sunan Kalijaga – Sunan Kalijaga lahir sekitar tahun 1400-an dari keluarga bangsawan Tuban yaitu bupati Tuban bernama Tumenggung Wilatikta dan istrinya bernama Dewi Nawangrum. Saat itu, nama aslinya adalah Raden Syahid (dalam beberapa sumber dieja menjadi Raden Said). Sebagai keturunan bangsawan, ia memiliki beberapa nama, seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, Ki Dalang Sida Brangti dan Raden Abdurrahman.

Mengenai asal-usulnya, ternyata ada dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama, Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab dan Jawa. Sedangkan pendapat lain berdasarkan Babad Tanah Jawi mengungkapkan bahwa Sunan Kalijaga adalah orang Arab. Meski silsilahnya kembali ke kakeknya, Sunan Kalijaga masih memiliki silsilah dengan Abbad bin Abdul Muthalib, paman Nabi Rasulullah SAW.

Sejak kecil, Sunan Kalijaga sudah diinisiasi Islam oleh ustadnya. Tujuannya agar nilai-nilai dasar keislaman Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah SAW dapat menjadi pedoman yang baik bagi kehidupan beragamanya. Selain itu, sejak kecil ia juga diajarkan untuk memiliki jiwa kepemimpinan, terutama dalam menyelesaikan suatu masalah. Jelas, dia selalu menjadi orang yang memimpin atau memulai ide saat bermain dengan rekan-rekannya. Namun, dia tidak pernah merasa sombong dan selalu rendah hati, sehingga dia sangat disayang oleh teman-temannya.

Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa ada dua versi massa pemuda Sunan Kalijaga. Dalam versi pertama, dikisahkan bahwa Sunan Kalijaga yang saat itu masih menggunakan nama Raden Said seolah-olah sebagai seorang pencuri. Namun, ia melakukan pencurian dan perampokan ini bukan untuk keuntungannya sendiri melainkan untuk dibagi kepada orang biasa.

Saat itu, Raden Said yang sejak kecil sudah mengenyam pendidikan agama mengkhawatirkan keadaan masyarakat Tuban yang masih dibebani kemiskinan dan membuat jiwanya memberontak. Raden Said tentu saja pernah menyatakan ketertarikannya pada ayahnya, namun ayahnya hanyalah seorang raja bawahan kerajaan pusat Majapahit.

Kemudian, solidaritas dan empati Raden Said terhadap masyarakat Tuban membuatnya mengambil langkah nekat berupa mencuri bahan makanan dari gudang Kadipaten. Usai melakukan pencurian, Raden Said diam-diam membagikannya kepada masyarakat Tuban. Namun, perbuatan tersebut diketahui oleh para pengawal Kerajaan, yang mengakibatkan dia dihukum diusir dari Tuban.

Setelah diusir, Raden Said mengembara tanpa tujuan namun tetap dengan misi yang sama yaitu mencuri untuk kepentingan rakyat. Setelah itu ia menetap di hutan Jatiwangi, menjadi preman spesialis merampok orang kaya yang melewati kawasan hutan. Sedangkan versi kedua mengungkapkan bahwa sejak kecil, Raden Said adalah sosok yang nakal dan tumbuh menjadi seorang yang sadis. Bahkan konon dia membunuh orang dan mengambil julukan Brandal Lokajaya.

Singkat kata, kenakalan Raden Said berakhir setelah ia bertemu dengan Sunan Bonang dan ia langsung bertaubat. Menurut Serat Lokajaya, saat itu Raden Said sedang bersembunyi di hutan untuk mengintai calon mangsa yang lewat. Kebetulan saat itu ada seorang lelaki tua yang memakai baju gemerlap, tak lain adalah Sunan Bonang. Kemudian, Raden Said segera mendekati dan menyita kekayaan Sunan Bonang, namun Sunan mengetahui niatnya dan menghilangkan kesaktiannya dengan menjelma menjadi empat wujud. Melihat itu, Raden Said ketakutan dan kabur. Namun, kemanapun ia pergi, Sunan Bonang selalu menemukan cara untuk mencegahnya hingga Raden Said terpojok, Raden Said ketakutan dan bertobat di hadapan Yang Maha Kuasa.

Setelah kejadian itu, Raden Said menjadi murid Sunan Bonang, dengan syarat Raden Said harus menunggu Sunang Bonang di tepi sungai sambil memegang tongkatnya. Penantian Raden Said di tepi sungai itulah yang membuatnya disebut Sunan Kalijaga, artinya menjaga kali (sungai).

Menurut sejarah, Sunan Kalijaga memiliki tiga istri, Dewi Sarah, Siti Zaenab dan Siti Hafsah.

  • Dari pernikahannya dengan Dewi Sarah, ia dikaruniai 3 orang anak, Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah dan Dewi Sofiah.
  • Sedangkan dari pernikahannya dengan Siti Zaenab (putra Sunan Gunung Jati), ia memiliki 5 orang anak, Ratu Pembayun, Nyai Ageng Panenggak, Sunan Hadi, Raden Abdurrahman dan Nyai Ageng Ngerang.
  • Lalu, sejak menikah dengan Siti Khafsah, nama anaknya tidak jelas. Perhatikan bahwa Siti Khafsah adalah putri Sunan Ampel.

Umur Sunan Kalijaga diperkirakan lebih dari 100 tahun, yaitu antara pertengahan abad ke-15 dan akhir abad ke-16, sehingga tepat ia juga mengalami akhir pemerintahan Majapahit pada tahun 1478. Ia bahkan turut serta dalam upaya perencanaan pembangunan Agung Katedral Cirebon dan Katedral Agung Demak. Sunan Kalijaga kemudian wafat sekitar tahun 1680 dalam usia 131 tahun. Ia dimakamkan di desa Kadilangu yang terletak di Demak.

Wilayah Dakwah Sunan Kalijaga

Sumber: Wikipedia.id

Daerah yang pernah menjadi basis dakwah Sunan Kalijaga adalah Jawa Tengah. Sunan Kalijaga dalam berdakwah dalam perjalanan khususnya dari satu daerah ke daerah lain. Arah gerak yang digunakan Sunan Kalijaga ketika berdakwah adalah Demak barat dan Demak selatan.

Sunan Kalijaga berdakwah di sebelah barat, tujuannya adalah pantai utara pulau Jawa. Daerah yang dilalui Sunan Kalijaga di sebelah barat adalah Juwana, Pati Jepara, Pandan Arang (Semarang), Kendal, Pekalongan, Tegal, hingga Cirebon. Sedangkan daerah yang dilalui Sunan Kalijaga di sebelah selatan adalah Kartasura, Pajang dan Klaten melalui Salatiga dan Boyolali. Sunan Kalijaga dengan terus berdakwah dari satu daerah ke daerah lain membuatnya terkenal sebagai da’i keliling dan dikenal luas di masyarakat Jawa.

Status pulau Jawa pada abad ke-15 dikuasai oleh kerajaan Majapahit yang menganut agama Buddha Siwa. Agama Siwa-Budha merupakan perpaduan antara Hindu dan Budha.40 Kerajaan Majapahit mulai ada dan memerintah dari tahun 1294 sampai 1527 Masehi. . Oleh karena itu, ketika rombongan pertama Wali Sanga tiba di Jawa, masih banyak orang yang belum masuk Islam.

Sehingga status orang Jawa pada masa Wali Songo, khususnya pada masa Sunan Kalijaga, tetap terbenam dalam peradaban Jahiliyah. Karena pada masa Sunan Kalijaga sebelum jatuhnya Kerajaan Majapahit. Selanjutnya, sebelum Islam masuk ke tanah Jawa, masyarakat Jawa menganut kepercayaan Hindu-Budha dan animisme serta dinamis.

Dengan demikian, seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa, termasuk kebudayaan, masih sangat dipengaruhi oleh agama Hindu-Budha dan sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamis. Animisme dan dinamisme merupakan kepercayaan yang diwarisi dari nenek moyang yang melekat pada masyarakat Jawa. Bahkan dengan masuknya agama Hindu-Buddha, kepercayaan animisme dan dinamisme masih mempengaruhi kehidupan masyarakat Jawa.

Hal ini disebabkan adanya kepercayaan animisme dan dinamisme yang menyatu dengan agama Budha-Hindu. Jadi, kepercayaan animisme dan dinamisme juga mempengaruhi budaya Jawa, seperti kepercayaan, adat istiadat, tradisi, budaya, dan ritual. Budaya yang dipengaruhi animisme dan dinamisme menjadikan budaya Jawa yang lahir dan hidup dalam masyarakat Jawa menjadi sinkron.

Dengan demikian, periode Hindu-Buddha mulai abad ke-8 M hingga jatuhnya kerajaan Majapahit pada awal abad ke-16 M meninggalkan budaya yang tertanam kuat dalam masyarakat Jawa. Sehingga budaya kuno masih memiliki pengaruh yang sangat kuat bagi masyarakat Jawa. Orang Jawa tetap setia pada agama dan kepercayaan kuno mereka, semua ajaran mereka berpusat pada kepercayaan mistis.

Dengan demikian, masyarakat Jawa pada masa Sunan Kalijaga masih tenggelam dalam peradaban Jahiliyah. Karena kebangkitan Islam dengan jatuhnya Majapahit adalah inti dari agama Hindu Budha. Orang Jawa jaman Sunan Kalijaga masih tenggelam dalam peradaban Jahiliyah, diperparah dengan perilaku orang Jawa zaman itu yang banyak tidak terpuji.

Masyarakat Jawa masih tunduk pada tata krama dan etika. Misalnya perilaku masyarakat Jawa yang tidak terpuji yaitu kejahatan berupa perampokan, pembunuhan, perjudian, perampokan dan minuman keras. Sehingga keadaan masyarakat Jawa yang masih tenggelam dalam peradaban Jahiliyah dan perilaku tercela mereka menjadi kendala utama yang dihadapi Sunan Kalijaga.

Selanjutnya keadaan ini menjadi pertimbangan dalam menentukan cara berdakwah Wali Songo termasuk Sunan Kalijaga. Maka, melihat keadaan masyarakat Jawa yang masih tenggelam dalam peradaban Jahiliyah dan perilakunya yang tidak terpuji, tidak mungkin dilakukan perubahan agama secara tiba-tiba, dari keyakinan Buddha-India menjadi ke Islam.

Karena akan sangat berbahaya jika Sunan Kalijaga dan para wali lainnya terus menyebarkan dan mengembangkan agama Islam kecuali dengan cara yang bijaksana dan progresif. Para tokoh besar, termasuk Sunan Kalijaga, mengetahui bahwa penduduk kerajaan Majapahit masih sangat lekat dengan budaya kunonya, yaitu agama Buddha-Hindu. Oleh karena itu, Wali Songo mengadakan diskusi bersama untuk membahas masalah ini.

Strategi Dakwah Sunan Kalijaga

Sumber: Young On Top

Dilansir dari berbagai sumber, di antara anggota Wali Songo, Sunan Kalijaga bertugas untuk berdakwah bagi penganut kepercayaan kuno. Dalam menyebarkan ajaran Islam, ia tetap mengenakan pakaian adat Jawa setiap hari dengan memasukkan unsur Islam. Hal ini dilakukan agar masyarakat dapat menerima kehadirannya di antara mereka. Selain itu, Sunan Kalijaga juga menggunakan strategi dakwah untuk menyebarluaskan ajarannya. Apa saja strateginya? Berikut ini penjelasannya:

1. Menggunakan Media Wayang

Sunan Kalijaga menggunakan wayang sebagai salah satu alat dakwahnya. Saat itu, kesenian wayang sangat digemari oleh masyarakat. Ia juga merantau ke daerah Pajajaran dan Majapahit untuk menjadi dalang.

Jika masyarakat ingin Sunan Kalijaga mementaskan wayang, ia tidak meminta bayaran apapun kecuali membacakan dua ayat syahadat. Dalam kesenian wayang ini, Sunan Kalijaga mengajarkan nilai-nilai tasawuf. Selain itu juga memunculkan ajaran Islam melalui tokoh Yudistira dan Bima.

2. Melakukan Pendekatan Kepada Masyarakat

Sunan Kalijaga mencapai strategi dakwah kultural dengan jalan mengintegrasikan dan berbaur dengan seluruh lapisan masyarakat dan golongan masyarakat.50 Jadi, Sunan Kalijaga dalam kehidupan bermasyarakat tidak mementingkan asal usul dan kedudukan masyarakat. Sikap dan tingkah laku Sunan Kalijaga membuat masyarakat pada saat itu berpikir “sok campur dengan orang-orang jelek, sok campur dengan orang-rang abangan”.

Oleh karena itu, Sunan Kalijaga menerima semua orang Jawa. Tujuan Sunan Kalijaga adalah untuk mengenal dan mendekatkan diri dengan masyarakat Jawa. Dengan demikian, berkat kenalan dan kedekatannya dengan orang Jawa, Sunan Kalijaga membangkitkan simpati dan simpati orang Jawa, yang nantinya akan memudahkan proses Islamisasi orang Jawa. Selain itu, jalan ini telah membuat Sunan Kalijaga terkenal di kalangan semua kelas dan semua golongan masyarakat di Jawa.

3. Akulturasi, Mengubah Sesaji Menjadi Selametan

Salah satu bentuk kegiatan dakwah Sunan Kalijaga adalah mengganti sesaji dengan selametan. Dahulu, sebelum masuknya Islam ke Indonesia sekitar abad ke-15, masyarakat Jawa memiliki kepercayaan animisme dan dinamisme, yaitu kegiatan berupa pemujaan terhadap roh gaib dan roh leluhur. .

Kebiasaan masyarakat pada masa itu adalah mempersembahkan sesaji berupa bunga, terong pahit, kemenyan, buah-buahan, ayam goreng, dan telur rebus. Adat tersebut dilakukan sebagai bentuk pemujaan dan mendekatkan diri dengan sesajen. Biasanya baki sesajen diletakkan di pojok rumah, di bawah tempat tidur, di kaki pohon besar, di perempatan dekat rumah, di pinggir jembatan. Dalam praktiknya, sesajen tidak boleh dimakan dan dibiarkan dimakan atau dibusukkan oleh hewan.

Dalam dakwahnya, Sunan Kalijaga tidak serta merta menampik aktivitas yang biasa dilakukan masyarakat. Ia menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalamnya atau melalui proses dakwah Islamisasi. Istilah “sesajen” diganti dengan “selametan”, dari asal kata Islam, yang sebenarnya berarti “kedamaian” dan “kebahagiaan dan kemakmuran”.

Tujuannya diubah, dari dipersembahkan kepada roh gaib atau dewa sesembahan, menjadi sedekah berupa makanan kepada masyarakat yang , dalam hal ini masyarakat yang membutuhkan, kerabat, fakir miskin, dan anak – anak yatim piatu.

4. Tembang Lir-Ilir

Sunan Kalijaga menggunakan tokoh wayang dan syair Jawa sebagai sarana dakwah. Dalam cerita wayang dari ajaran agama Hindu, ia menceritakan kisah Ramayana dan Mahabarata. Untuk mendapatkan penerimaan sosial, ia menggunakan cerita dan tokoh wayang sebagai wahana dakwah tentang proses islamisasi. Ia tidak menggunakan cerita aslinya tetapi menggantinya dengan unsur Islami. Seni suara juga menjadi penunjang dakwah Sunan Kalijaga, khususnya dalam bentuk macapatan. Karya-karya Sunan Kalijaga yang terkenal seperti Dandanggula dan lir-ilir. Lirik lir-ilir adalah sebagai berikut:

Lir – ilir, lir – ilir Tandure wis sumilir 

Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar 

Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi Lunyu – lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotira 

Dodotira – dodotira kumitir bedah ing pinggir 

Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore Mumpung padang rembulane, mumpung jembar kalangane

Yo suarako…. Sura iyo ……

5. Grebeg dan Sekaten

Untuk menyebarkan ajaran Islam, Sunan Kalijaga juga mengadakan semacam perayaan yang oleh orang Jawa disebut “grebeg”. Ada tradisi bahwa Sekaten berasal dari kata “sekati” yang berarti “nama dua alat gamelan”.

Gagasan memadukan budaya grebeg dengan sekaten muncul ketika Sunan Kalijaga mencoba mengajak masyarakat ke masjid, yang saat itu bertepatan dengan perayaan maulid Nabi Muhammad.

Selain memainkan musik gamelan dan menari, kali ini Sunan Kalijaga juga mengajak masyarakat untuk menghiasi kompleks masjid. Awalnya, orang ragu-ragu untuk datang, tetapi lambat laun mereka berjalan melewati pintu dan diperintahkan untuk mengucapkan dua syahadat.

6. Gamelan

Dilansir dari Uny.ac.id, gamelan tersebut digunakan oleh Sunan Kalijaga sebagai sarana dakwah saat pentas dan acara lainnya.

Dalam pertunjukannya, ia menciptakan gamelan tabuhannya sendiri agar bisa diterima oleh masyarakat. Juga, gamelan digunakan untuk mengundang orang ke masjid. Alat musik tradisional ini juga digunakan dalam acara Grebeg dan Sekaten untuk menarik perhatian masyarakat.

Selain menggunakan gamelan, Sunan Kalijaga juga menggunakan tembang sebagai salah satu cara untuk menyebarkan dakwah Islamnya. Lagu ciptaan Sunan Kalijaga antara lain lagu Rumekso Ing Wengi dan lagu Lir-Ilir.

Lagu Rumekso Ing Wengi berisi tentang doa malam setelah sholat tahajud. Lagu ini digubah oleh Sunan Kalijaga karena pada saat itu masyarakat Jawa masih kesulitan dalam menghafal doa-doa dalam bahasa Arab. Selain itu, ada juga Tembang Lir-Ilir dan Gundul-Gundul Pacul yang berisi petuah hidup.

7. Membangun Masjid

Sunan Kalijaga dan wali lainnya membangun masjid bukan dengan gaya arsitektur Arab atau Persia. Gaya arsitektur yang diterapkan dalam pembangunan masjid adalah gaya arsitektur Jawa (Hindu-Buddha). Gaya arsitektur Jawa dapat dilihat pada Katedral Demak Islam yang atapnya bertingkat atau bertumpuk seperti punden berundak dan pada pelataran masjid terdapat pintu sebagai pintu masuk.

Sunan Kalijaga berjasa mendirikan masjid pertama di Jawa yaitu Masjid Demak. Masjid ini masih dikunjungi oleh umat Islam dari seluruh nusantara. Masjid yang didirikan pada tahun 1477 M ini menjadi pusat keagamaan terpenting di Jawa dan berperan penting dalam upaya menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa, termasuk daerah pedalaman. (Budiono Hadi Sutrisno, 2010: 184).

Selain itu, banyak karya – karya dan peninggaan Sunan Kalijaga, di antaranya yaitu :

  • Sokoguru Masjid Demak yang terbuat dari tatal.
  • Gamelan Nagawilaga.
  • Gamelan Guntur Madu.
  • Gamelan Nyai Sekati.
  • Gamelan Kyai Sekati.
  • Wayang Kulit Purwa.
  • Baju Takwa.
  • Tembang Dhandanggula.
  • Kain Batik Motif Garuda.
  • Syair Puji – Pujian Pesantren.

Dapat diketahui bahwa dalam misinya mengislamkan nusantara, Sunan Kalijaga tidak hanya berdakwah dalam bentuk gagasan dan kegiatan, tetapi ia membangun dan menciptakan karya berupa benda atau fisik. Hasil karya ini tidak lepas dari hasil akulturasi yang dilakukannya. Dia menggunakan budaya sebagai penghubung untuk Islamisasi.

Penulis: Ziaggi Fadhil Zahran

Baca juga artikel lainnya di “Gramedia Literasi”:

About the author

Yufi Cantika

Saya Yufi Cantika Sukma Ilahiah dan biasa dipanggil dengan nama Yufi. Saya senang menulis karena dengan menulis wawasan saya bertambah. Saya suka dengan tema agama Islam dan juga quotes.

Kontak media sosial Linkedin Yufi Cantika