in

Malam Suro Adalah Awal Pertama Tahun Baru pada Kalender Jawa

Tribun Travel

Suro merupakan sebutan bulan dalam kalender Jawa. Ia menjadi bulan pertama dalam permulaan tahun. Masyarakat Jawa mempercayai bahwa ketika bulan Suro tiba maka ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilakukan. Salah satunya menikah atau mengadakan hajatan di bulan itu.

Biasanya, di malam 1 Suro digelar syukuran atau perayaan penyambutan. Doa-doa dipanjatkan kepada Tuhan. Meminta keselamatan di tahun itu. Malam Suro juga erat kaitannya dengan hal-hal mistis.

Melansir dari laman resmi Kemendikbud Republik Indonesia, malam satu suro merupakan awal bulan pertama tahun baru, yakni di bulan Suro. Penanggalan 1 Suro mengacu pada kalender Jawa. Kalender Jawa sendiri diterbitkan pertama kali oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Kalender Jawa merupakan penggabungan antara penanggalan hijriyah atau kalender Islam, Hindu, dan masehi. Malam 1 Suro juga bertepatan dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Islam. Ia diperingati setelah maghrib.

Hal tersebut disebabkan oleh pergantian kalender Jawa ketika matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam seperti pergantian hari dalam kalender masehi.

Melansir dari laman Tirto.id, penelitian yang dilakukan Zainuddin dalam tulisan berjudul “Tradisi Suro dalam Masyarakat Jawa” disebutkan bahwa ada banyak kepercayaan yang memercayai hal-hal yang bersifat mitos dan dongeng.

Seperti, ritual mengunjungi tempat-tempat sakral dan keramat. Misalnya pergi ke makam untuk memeroleh kekayaan, rezeki, pelaris, sampai jodoh. Tidak hanya itu, terdapat juga aktivitas melempar sesaji, kurban ke laut (yang dianggap sebagai sedekah), dan makanan.

Malam 1 Suro juga dianggap sebagai gerbang antara dunia gaib dan manusia bertemu. Hal ini menyebabkan kesalahpahaman bahwa seharusnya hal-hal yang seharusnya suci malah menjadi ditakuti oleh masyarakat Jawa.

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Arti Malam 1 Suro bagi Orang Jawa

Peringatan malam 1 Suro tidak terlepas dari budaya keraton. Dulu, keraton sering kali melakukan upacara dan ritual yang diwariskan secara turun temurun. Kerton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta menganggap malam 1 Suro sebagai malam yang suci serta bulan yang penuh rahmat.

Melansir dari laman Tirto.id, ketika malam 1 Suro tiba, beberapa orang Jawa Islam percaya bahwa mendekatkan diri pada Tuhan menjadi salah satu cara membersihkan diri dan melawan nafsu duniawi. Oleh sebab itu, tidak jarang, mereka melakukan upacara individu, seperti tirakat, perenungan diri, atau lelaku.

Upacara tidak hanya dilakukan secara individu, tetapi juga dalam kelompok. Sebagai contoh kegiatan selametan khusus yang dilakukan sepanjang satu minggu.

Tradisi, Agama, Dan Akseptasi Modernisasi Pada Masyarakat Pedesaan Jawa

Sejarah dan Larangan Malam 1 Suro

Di masa kerajaan Islam, sekitar tahun 1628-1629, Mataram di bawah pimpinan Sultang Agung kalah ketika menyerang Batavia. Setelahnya, pasukan Mataram mulai terbagi menjadi beberapa keyakinan.

Oleh sebab itu, Sultan Agung menginisiasi pembuatan kalender tahun Jawa-Islam (penggabungan tahun Saka Hindu dan tahun Islam). Ketika malam tahun baru, yakni malam 1 Suro, Sultang Agung menciptakan kebudayaan Jawa yang mana tidak boleh berbuat sembarangan, tidak boleh berpesta, dan prihatin.

Hal tersebut perlu dilakukan agar hal-hal tersebut tercapai, yakni dengan menyepi, memohon kepada Tuhan, dan bertapa. Sultan Agung juga membuat penanggalan Jawa-islam sebagai upaya agar rakyatnya tidak terbelah karena perbedaan agama.

Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Sultan Agung menghidupkan tradisi setiam Jumat legi melakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Hal ini dilakukan bersamaan dengan laporan pemerintahan setempat sambil melakukan pengajian oleh para penghulu kabupaten.

Dari tradisi tersebut, masyarakat menganggap bahwa ketika 1 Suro dimulai pada hari Jumat legi maka menjadi keramat. Bahkan dianggap sial jika ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, haul, dan ziarah.

Tidak hanya itu, sebagian masyarakat percaya bahwa larangan malam 1 Suro, yakni dilarang berpergian kecuali untuk berdia atau melakukan ibadah lain. Melansir dari laman Cnnindonesia.com, berikut larangan-larangan di malam 1 Suro.

1. Larangan Keluar Rumah

Ketika malam 1 Suro, sebagian besar orang akan memiliki berdiam diri di rumah. beberapa keyakinan menyebut bahwa orang yang memiliki kesialan weton tertentu memang dilarang keluar rumah karena dapat mengalami kesialan.

Tidak hanya itu, pada malam 1 Suro juga diyakini bahwa orang-orang yang bersekutu dengan setan sedang mencari tumbal untuk memupuk kekayaan atau menambah kesaktian mereka.

2. Tidak Boleh Bicara atau Berisik

Pada malam 1 Suro, tidak sedikit orang Jawa melakukan ritual bisu. Ritual ini sering kali dilakukan di area Keraton Yogyakarta. Tidak hanya itu, layaknya orang berpuasa. Ketika melakukan ritual ini, dilarang makan, minum, bahkan merokok.

Penanggalan Jawa

3. Tidak Menggelar Pernikahan

Menikah di bulan Suro, terutama pada malam 1 Suro diyakini berpeluang akan mendapatkan kesialan. Meskipun demikian, mernikah di bulan Suro tidak pernah dilarang dalam agama Islam. Dalam Islam sendiri, seluruh tanggal, bulan, dan waktu apapun merupakan waktu-waktu baik untuk mengegelar pernikahan.

4. Pindah Rumah

Ketika malam 1 Suro menjadi hari terlarang untuk keluar rumah. Waktu tersebut dianggap dapat memberikan kesialan jika seseorang melakukan pindah rumah.

Tradisi Peringatan Malam 1 Suro

Beberapa daerah di Jawa masih melaksanakan tradisi perayaan malam 1 Suro. Di antaranya adalah Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Melansir dari laman Regional.kontan.co.id, di Solo, perayaan malam 1 Suro terdapat hewan khas yang disebut dengan kebo bule (kerbau bule). Ia juga dikenal sebagai Kebo Bule Kyai Slamat dan keturunannya.

Leluhur kebo bule mrupakan hewan klangenan atau hewan kesayangan Paku Buwono II. Ia menjadi hewan kesayangan sejak istananya masih di Kartasura yang berjarak kurang lebih 10 km arah barat dari keraton yang sekarang.

Berbeda dengan Solo, di Yogyakarta perayaan malam 1 Suro biasanya dilakukan dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab. Mengacu pada catatan Madhan Anis

Melansir dari laman Tirto.id, berikut beberapa tradisi untuk memperingati malam 1 Suro di Yogyakarta.

1. Mubeng Benteng

Tradisi atau ritual ini dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri dan memohon keselamatan kepada Tuhan YME. Pada malam itu, mubeng benteng dilakukan dengan berjalan kaki mulai dari Keraton Yogyakarta, alun-alun utara, ke daerah barat (Kauman), ke selatan (Beteng Kulon), ke timur (Pojok Beteng Wetan), sampai ke utara lagi dan kembali ke Keraton.

Ketika proses mubeng benteng, para abdi dalem keraton mengenakan pakaian khas Jawa dan tidak beralaskan kaki. Di belakangnya, masyarakat umum akan mengikuti arak-arakan tersebut. Mereka juga tidak memakai alas kaki.

Berjalan tanpa alas kaki memiliki arti untuk lebih mendekatkan diri dan penunjukkan rasa cinta kepada alam semesta. Selama perjalanan dilakukan, seluruh peserta baik dari abdi dalem keraton dan masyarakat umum sama-sama melafalkan tasbih di jari kanan dan memanjatkan doa kepada Tuhan.

2. Jamasan Pusaka atau Ngumbah Keris

Di malam 1 Suro, Keraton Yogyakarta juga melakukan prosesi jamasan pusaka atau siraman pusaka. Dalam upacara tersebut, pusaka-pusaka milik Keraton Yogyakarta akan dibersihkan atau dimandikan.

Pusaka-pusaka yang dibersihkan di antaranya senjata, kereta, alat-alat berkuda, bendera, vegetasi, gamelan, serat-serat (manuskrip), dan lain-lain. Fungsi benda-benda tersebut pada zaman dahulu menjadi sorotan atau tolak ukur barang tersebut dapat dikategorikan sebagai pusaka.

Sementara itu, jamasan pusaka dilakukan untuk menghormati dan merawat seluruh pusaka yang dimiliki keraton. Namun, Keraton Yogyakarta mengungkapkan bahwa setidaknya ada dua aspek latar belakang pelaksanaan jamasan pusaka, yakni mengenai hal teknis dan spiritual.

Pada hal teknis, tradisi ini bertujuan untuk merawat benda-benda yang menjadi warisan dari orang-orang terdahulu. Adapun, aspek spiritual dari tradisi ini adalah sebagai penyambutan oleh masyarakat Jawa terhadap datangnya malam 1 Suro.

Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen Edisi Revisi



ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah."

logo eperpus

  • Custom log
  • Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
  • Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
  • Tersedia dalam platform Android dan IOS
  • Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
  • Laporan statistik lengkap
  • Aplikasi aman, praktis, dan efisien

Written by Arum Rifda

Menulis adalah cara terbaik untuk menyampaikan isi pemikiran, sekalipun dalam bentuk tulisan, bukan verbal.
Ada banyak hal yang bisa disampaikan kepada pembaca, terutama hal-hal yang saya sukai, seperti K-Pop, rekomendasi film, rekomendasi musik sedih mendayu-dayu, dan lain sebagainya.