Agama Islam

Memahami Arti Istilah Maksum dalam Islam: Makna dan Konsep Penjelasannya

Memahami Istilah Maksum dalam Islam: Makna dan Penjelasannya
Written by Yufi Cantika

Memahami Arti Istilah Maksum dalam Islam – Para nabi dan rasul merupakan manusia pilihan yang diutus oleh Allah SWT untuk memperbaiki umat manusia. Mereka adalah pendidik, pendakwah, pembimbing, sekaligus pemberi contoh kebaikan. Salah satu di antara mereka adalah Nabi Muhammad Saw. Dia adalah contoh insân kâmil (manusia sempurna), yang setiap perkataan dan perbuatannya selalu berusaha untuk diikuti dan menjadi uswah dalam kehidupan.

Muhammad juga merupakan nabi terakhir yang membawa risalah untuk seluruh umat, yang kedatangannya sebagai basyîr (pembawa berita gembira) dan nadzîr (peringatan). Selaku penerima wahyu (Al-Qur’an), dia pun menjadi mufasir pertama yang menjelaskan maksud dari ayat-ayat Al-Qur’an tersebut melalui sunah atau hadisnya.

Banyak literatur yang membahas tentang kemuliaan akhlak Muhammad yang lahir akibat kekaguman terhadapnya, baik dari segi fisik maupun nonfisik. Tidak hanya dari kaum muslim saja, ada juga nonmuslim yang kagum dengan keluhuran budinya.

Sebagai contoh, Michael Hart yang menempatkannya di urutan pertama dalam bukunya berjudul Seratus Tokoh Dunia yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah. Hal ini bukan berarti menafikan beberapa orang yang justru membencinya dengan melontarkan hal-hal negatif dan memfitnahnya. Perlakuan itu sudah terjadi semenjak Muhammad masih hidup.

Kelebihan yang Allah SWT berikan kepada Muhammad ternyata mempunyai alasan dan tujuan yang sangat besar. Al-Qur’an yang diwahyukan kepadanya merupakan anugerah sekaligus amanah yang sangat besar dan berat untuk diterimanya. Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar yang diberikan kepadanya di samping mukjizat-mukjizat lainnya.

Kitab tersebut secara tersurat mengandung undang-undang kehidupan yang mencakup segala aspek kehidupan. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, tidak semua orang dapat memahaminya dengan baik, termasuk orang Arab sendiri. Muhammad di sinilah berperan. Allah SWT memberikan kepadanya legitimasi untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an yang tentunya di bawah bimbingan dan petunjuk langsung dari-Nya, yang ─ disebut sebagai hadis atau sunah.

Maksum Sebagai Salah Satu Sifat yang Dimiliki Nabi

Menjadi seorang nabi berarti menjadi sebagai seorang mubalig. Salah satu faktor keberhasilan seorang mubalig adalah sikap dan tingkah lakunya. Menjadi seorang nabi dan rasul seperti Muhammad memang dituntut untuk memiliki akhlak yang mulia dan terpelihara dari kesalahan dan dosa (maksum). Hal ini akan memengaruhi jalannya misi kenabian yang diembannya.

Tidak mungkin seorang pendakwah ada yang mau mengikutinya jika dia melakukan tindakan kebalikan dari segala yang diserukannya, serta tidak pantas pula seorang yang mengajak kepada kebaikan melakukan perbuatan dosa dan kemaksiatan. Kemuliaan akhlak menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan dakwah seseorang.

Allah SWT banyak menyebut ayat-ayat yang memuji kemulian akhlak Muhammad dalam Al-Qur’an. Selain itu, Allah SWT juga mengabadikan beberapa ayat yang seolah-olah tidak sejalan diturunkan untuk menegur beberapa sikap Muhammad, yang disebut dengan ayat ‘itâb (celaan).

Ketika merespon hal ini, terdapat banyak perbedaan pendapat dari berbagai kalangan, terutama kalangan ulama kalam (teolog Islam) dan ulama tafsir. Perbedaan ini boleh jadi disebabkan oleh perbedaan intelektualitas dan mazhab, terutama mazhab ilmu kalam, serta sikap dalam memosisikan Al-Qur’an dan Muhammad.

Dalam kajian teologi Islam, Allah SWT di satu sisi mengutus Muhammad dengan menyertakan sifat maksum baginya di samping sifat siddîq, amânah, tablîgh, dan fathânah. Sifat maksum tersebut menjadi penentu keempat sifat lainnya. Dikarenakan kemaksumannya, Muhammad dapat menjadi seorang yang mampu berlaku benar dan jujur, dapat dipercaya, mampu menyampaikan ─ risalah Allah SWT tanpa melakukan revisi, menambah atau menguranginya, serta seorang yang cerdas.

Kemaksuman merupakan sebuah keniscayaan bagi seorang nabi di samping sifat-sifat lainnya. Muhammad ‘Âlî al-Sâbûnî menyebutkan bahwa para nabi memiliki enam sifat, termasuk di dalamnya maksum. Sifat-sifat tersebut adalah siddîq (benar atau jujur), amânah (tepercaya), tablîgh (menyampaikan risalah), fathânah (cerdas), al-salâmah min al-‘uyub al-munaffirah (bebas dari cacat yang menjijikkan), dan ‘ismah (terbebas dari dosa). Keempat sifat pertama itu menunjukkan bahwa para nabi dan rasul adalah sosok maksum.

Makna dari Maksum

Maksum merupakan salah satu sifat yang dimiliki oleh para nabi dan rasul Allah SWT. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), maksum artinya terbagi, terpisah, tercerai, dan lepas, sedangkan secara istilah berarti bebas dari segala dosa.

Imam Muhammad Shirazi (2002) mendefinisikan maksum berarti bebas dari dosa dan kesalahan. Secara istilah, maksum berarti suci dari berbuat dosa atau terpelihara dari berbuat dosa, kesalahan, dan kekeliruan.

Sriwahyuni (2017) dalam penelitiannya berjudul Kemaksuman Nabi: Kajian Ayat-Ayat ‘Itâb terhadap Nabi Muhammad Saw menguraikan jika maksum ditinjau dari akar kata yang membentuknya berasal dari kata ashoma atau ashama, yang juga mengakar kepada kata Ish-mah yang artinya “memelihara”.

Kata maksum di dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 13 kali dalam berbagai bentuk, tetapi semuanya mengandung satu pengertian, yaitu menahan diri. Secara singkat, ma’sûm berarti orang yang terpelihara, sedangkan ismah adalah pemeliharaan atau perlindungan.

Menurut istilah, ma’sûm berarti suci dari berbuat dosa atau terpelihara dari berbuat dosa, kesalahan-kesalahan, dan kekeliruan-kekeliruan. Dalam Ensiklopedia Akidah Islam (2003) disebutkan bahwa ‘ismah dalam konteks teologi berarti pelindungan Tuhan terhadap para nabi-nabi-Nya, sehingga mereka bersifat ma’sûm, yaitu terhindar dan terlindung dari perbuatan dosa.

Syeikh Ja’far al-Shubhani (1991) dalam bukunya berjudul ‘Ishmah: Keterpeliharaan Nabi dari Dosa menyebutkan bahwa kata ‘ismah yang benar mempunyai satu akar kata yang menunjukkan arti ٌ إِمْسَاك: menahan diri, ٌ مَنْع: mencegah, dan ٌ مُلاَزَ مَة: penetapan/tidak meninggalkan. Semua itu mengandung satu pengertian, yaitu ٌ عِصْمَة, yang berarti pemeliharaan Allah SWT terhadap hamba-Nya dari keburukan yang akan menimpanya dan hamba itu berpegang teguh kepada Allah SWT, dengan demikian dia tercegah dan terlindungi.

Apabila berpijak dari pengertian di atas, ketika dikatakan ً عَصَمْت ُ فُلاَنا, itu berarti “saya memelihara si fulan”, yakni saya menyediakan sesuatu untuknya, dia berpegang teguh dengan sesuatu yang diperoleh di tangannya, dia berlindung dan berpegang teguh dengannya.

Kata وَٱعْتَصِمُوا۟ بِحَبْلِ ٱللَّهِ dalam Surah Ali-Imran ayat ke-103 berarti berpegang teguh dan memeliharanya dengan sungguh-sungguh serta segala kemampuan. Adapun kata فَٱسْتَعْصَمَ dalam Surah Yusuf ayat ke-32 mengandung makna mencegah dan menahan diri.

Apabila definisi-definisi di atas dibandingkan satu sama lain, maksud dari maksum secara umum tidak jauh berbeda. Hanya saja, dalam hakikatnya terjadi perbedaan antara golongan tertentu dalam menentukan sosok yang dianggap maksum, misalnya antara Sunni dan Syi’ah.

Konsep maksum di kalangan Sunni hanya berlaku bagi para nabi dan rasul saja, sehingga yang dimaksudkan dengan ‘ismah menurut kelompok ini adalah pemeliharaan Allah SWT terhadap para nabi dan rasul-Nya dari perbuatan dosa dan maksiat, serta dari kemungkaran-kemungkaran dan perkara-perkara yang diharamkan. Maksum bersifat esensial yang melekat dalam diri para nabi dan rasul yang membedakan mereka dengan manusia umumnya.

Ismah merupakan nikmat besar yang dikhususkan oleh Allah SWT untuk para nabi saja, sehingga dengan demikian terselamatkanlah mereka dari segala macam dosa dan maksiat, baik besar maupun kecil, serta terselamatkan dari menyalahi perintah-perintah Allah SWT, tidak seperti orang lain.

Dalam hal ini ‘ismah bukanlah suatu hal yang bisa dicapai oleh setiap orang, walaupun melalui usaha-usaha tertentu. Itu hanyalah anugerah dari Allah SWT. Hal ini tentunya berbeda dengan yang diyakini oleh komunitas Syi’ah. Mereka berpendapat bahwa maksum tidak hanya disandangkan kepada para nabi dan rasul, tetapi juga kepada para imam Syi’ah.

Konsep ‘Ismah atau Ma’sûm

Konsep ‘ismah atau ma’sûm merupakan suatu konsep yang hanya dibahas dalam Islam. Sriwahyuni (2017) berpendapat jika para teolog Yahudi tidak perlu membahas tema ini karena mereka beranggapan bahwa para nabi mereka banyak berbuat maksiat.

Begitu juga halnya dengan Nasrani, walaupun mereka mensucikan al-Masih dari segala aib dan cela, tetapi penyucian mereka itu tidak berdasarkan kemampuan analogi ilmiah bahwa al-Masih itu manusia yang diutus untuk mengajarkan manusia dan menyelamatkannya. Menurut mereka, dia adalah Tuhan yang berfisik. Oleh karena itu, mereka juga tidak perlu membahasnya karena ‘ismah adalah masalah manusia, bukan masalah Tuhan.

Para nabi dan rasul adalah manusia-manusia pilihan yang diutus oleh Allah SWT untuk memperbaiki umat manusia. Mereka adalah pendidik, pendakwah, pembimbing, sekaligus pemberi contoh kebaikan. Sebagai seorang pedidik, sudah sepatutnya sifat maksum ini melekat dalam pada diri mereka demi melancarkan misi dakwah yang diembankan oleh mereka.

Posisinya sebagai seorang nabi atau rasul sangatlah dituntut untuk menjadi teladan dalam segala hal. Allah SWT di sinilah menunjukkan letak salah satu kemurahan hati-Nya kepada para nabi dan rasul-Nya. Dia memerintahkan untuk menyampaikan risalah-Nya, tetapi Dia juga membekali mereka dengan ‘ismah.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dirinci bahwa seorang nabi atau rasul haruslah maksum. Hal ini dikarenakan agar menjadi teladan bagi umat manusia dan agar segala yang diwahyukan tidak luput sedikit pun, baik dikarenakan lupa atau ketidakjujuran.

Sebagian para ulama berpendapat bahwa ‘ismah terjadi sebelum dan sesudah diangkat menjadi nabi. Hal ini dikarenakan perjalanan hidup seseorang (meskipun belum menjadi nabi) mempunyai pengaruh terhadap perkembangan dakwahnya pada masa sesudah diangkat menjadi nabi.

Oleh karena itu, setiap nabi wajib berperikehidupan yang baik dan berjiwa bersih, sehingga tidak ada sandungan psikologis dalam mengemban risalah dan dakwahnya. Dalil yang digunakan adalah Surah Shâd ayat ke-47.

Dan sesungguhnya mereka di sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik“.

Menurut al-Sâbûnî (1992) dalam Membela Nabi, Allah SWT telah menjaga nabi-Nya sejak kanak-kanak. Dia melindunginya dari segala perilaku jahiliah pada masa kecil dan remaja hingga saat diangkat menjadi nabi. Dengan demikian sempurna pula kemaksuman dengan diberi tugas mengemban risalah.

Ada juga yang berpendapat bahwa kemaksuman terjadi setelah kenabian, baik dari dosa besar maupun kecil, sebab manusia tidak diperintahkan mengikuti mereka sebelum diangkat menjadi nabi. Sebelum itu, mereka layaknya manusia biasa. Namun, mereka tidak terjerumus ke dalam dosa.

Konsep ‘ismah menurut Taqiyyuddin al-Nabhani (2003) dalam al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah Juz 1 tidak berbeda dengan ulama lainnya, yaitu berupa pemeliharaan Allah SWT terhadap nabi-nabi-Nya dari dosa-dosa. Hanya saja, kemaksuman nabi dan rasul semata-mata terjadi setelah diangkatnya mereka sebagai nabi dan rasul bersamaan dengan wahyu yang disampaikan kepadanya.

Adapun sebelum masa kenabian dan kerasulan—secara akal—boleh saja mereka melakukan hal-hal yang dibolehkan atas seluruh manusia, karena kemaksuman itu hanya untuk kenabian dan kerasulan.

Mengenai dosa besar atau kecil yang maksum, al-Nabhani mengatakan bahwa terhadap perkara yang secara pasti diperintahkan untuk dikerjakan dan diperintahkan untuk ditinggalkan—artinya mencakup seluruh perkara fardu dan haram—mereka semuanya maksum. Selain dari hal-hal tersebut, seperti yang makruh, mandûb, dan khilâfatul aula, mereka tidak maksum karena itu tidak bertentangan dengan kenabian dan kerasulan. Hal itu tidak tergolong maksiat.

Mandûb adalah segala sesuatu yang apabila dikerjakan akan mendapatkan pahala, tetapi jika ditinggalkan tidak mendapatkan siksa. Sunah sendiri adalah sesuatu yang dikerjakan oleh Muhammad secara rutin, sedangkan mustahab adalah sesuatu yang dikerjakan oleh Muhammad satu atau dua kali, seperti salat duha dan melakukan pengobatan dengan bekam. Adapun pengertian dari khilâfatul aula adalah melakukan sesuatu hal yang baik, tetapi ada hal lain yang lebih baik dan tepat untuk dilakukan (menyalahi yang lebih utama).

Ibnu Taimiyyah juga ikut menyumbangkan pikirannya tentang konsep kemaksuman. Menurutnya, para nabi itu maksum hanya berkenaan dengan tugasnya menyampaikan wahyu (tablîg) dari Allah SWT saja, sedangkan di luar tugas itu para nabi sebagai manusia biasa dapat melakukan kesalahan.

Sebagai contoh adalah pelanggaran Nabi Daud As, kelalaian Nabi Yunus As, dan juga kelengahan Muhammad Saw, yang semuanya termaktub dalam Al-Qur’an. Hanya saja, bila berbuat kekeliruan atau kesalahan, para nabi segera menyadarinya dan melakukan tobat nasuha (taubat yang tulus ikhlas). Justru tobat itulah yang mempertinggi kenabian dan kemanusiaan para nabi tersebut. Selain itu, bila berbuat salah atau keliru, para nabi tersebut segera mendapat peringatan atau teguran dari Allah SWT.

Mengenai sosok yang dianggap maksum, sebagian besar ulama Sunni meyakini bahwa ‘ismah hanya dikhususkan bagi para nabi dan rasul. Tidak terdapat dalam diri seorang pun selain mereka, sebab setiap manusia biasa selalu menjadi sasaran berbuat khilaf dan dosa.

Berbeda halnya dengan keyakinan yang terdapat dalam kelompok Syi’ah, ‘ismah tidak hanya berlaku untuk para nabi dan rasul, tetapi juga bagi para imam dan wâsî (penerima wasiat) mereka. Adapun dalil yang dijadikan hujjahnya adalah Surah Al-Ahzâb ayat ke-33.

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah SWT dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah SWT bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya“.

Al-‘Allâmah al-Sayyid Muhammad Husein al-Thabathaba`i dalam Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân Jilid 16 menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan sebagai berikut.

Sesungguhnya Allah SWT senantiasa memberikan kamu anugerah ‘ismah, dengan menyingkirkan keyakinan yang batil dan dampak perbuatan yang buruk dari kamu, wahai ahlul bait. Dan Allah SWT menghendaki sesuatu yang dapat menghilangkan pengaruh yang jelek, itulah ‘ismah”.

Pendapat ini berbeda jauh dengan pendapat kaum muslimin umumnya yang meyakini bahwa manusia selain nabi pasti pernah melakukan khilaf dan dosa.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai Istilah Maksum dalam Islam: Makna dan Konsep Penjelasannya. Berikut ini rekomendasi buku dari Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang agama Islam agar bisa memaknainya secara penuh. Selamat membaca.

Ringkasan Fiqih Islam : Ibadah & Muamalah

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

BACA JUGA:

About the author

Yufi Cantika

Saya Yufi Cantika Sukma Ilahiah dan biasa dipanggil dengan nama Yufi. Saya senang menulis karena dengan menulis wawasan saya bertambah. Saya suka dengan tema agama Islam dan juga quotes.

Kontak media sosial Linkedin Yufi Cantika