Pendidikan

Tujuan Pembelajaran: Pengertian, Prinsip dan Kurikulum di Indonesia

Written by Gilang P

Tujuan Pembelajaran – Masa-masa sekolah erat kaitannya dengan pembelajaran-pembelajaran yang harus dilakukan setiap harinya. Hari ini belajar matematika, besok IPA, lusa sejarah, dan hari-hari selanjutnya diisi oleh materi-materi yang telah dirancang sebelumnya.

Pembelajaran dimulai dari anak-anak ketika masuk bangku sekolah sampai lulus. Umumnya pembelajaran dilakukan di sekolah, tetapi tidak menutup kemungkinan, dapat dilakukan di luar kelas. Seperti mengadakan kelompok diskusi ataupun kelas-kelas jalanan bersama anak-anak jalanan.

Di sekolah pembelajaan mengacu pada kurikulum yang berlaku, biasanya ditetapkan oleh pemerintah. Namun, ketika membuka kelas-kelas mandiri dan merdeka, kurikulum atau sistem pembelajaran biasanya dirancang sendiri.

Lalu, sebenanrnya pembelajaran itu apa. Berikut penjelasan secara rinci mengenai pembelajaran.

Pengertian Pembelajaran

Menurut Mahsudi, Toha, dkk, pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang kompleks. Pada hakikatnya, pembelajaran tidak hanya sekadar menyampaikan kesan tetapi juga menjadi bagian aktivitas professional yang menuntut guru dapat menggunakan keterampilan dasar mengajar secara terpadu serta menciptakan situasi efisien.

Adapun Trianti merumuskan pembelajaran dengan definisi sederhana dan definisi secara kompleks. Adapun secara sederhana, pembelajaran merupakan produk interaksi berkelanjutan antara pengembangan dan pengalaman hidup.

Adapun secara kompleks, pembelajaran merupakan usaha sadar dari seorang guru untuk mengarahkan atau membantu proses belajar siswa untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Caramya dengan melakukan interaksi dengan siswa menggunakan sumber-sumber belajar yang berkaitan.

Menurut Hardini dan Puspitasari, pembelajaran merupakan suatu aktivitas yang secara sengaja dilakukan untuk memodifikasi berbagai kondisi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan, biasanya dicatat sebagai kurikulum.

Pembelajaran menjadi proses yang erat kaitannya dengan proses belajar. Siswa atau seseorang harus memiliki motivasi dalam diri atau dorongan dari luar untuk mulai belajar dan menekuninya. Pada dasarnya, manusia merupakan makhluk pembelajar. Ia akan belajar di manapun dan kapan pun.

Hilgard dan Bower merumuskan definisi belajar sebagai keterhubungan antara perubahan tingkah laku seseorang dengan sesuatu di situasi tertentu. Penyebabnya berupa pengalaman berulan dalam situasi yang sama, yang mana perubahan tingkah laku tidak dapat dijelaskan atau dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang.

Menurut gagne, belajar akan terjadi jika suatu situasi yang mendorong stimulus dengan isi ingatan yang mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga perbuatannya (perfomance) berubah dari waktu sebelum ia mengalami sitausi itu ke waktu sesudah ia mengalami situasi tadi.

Adapun menurut Morgan dan Purwato, belajar merupakan suatu perubahan yang relative menetap dalam tingkah laku yang terjadi sebagai suatu hasil latihan atau pengalaman.

Sardiman juga turut menyumbangkan pemikirannya terkait definisi belajar. Baginya, belajar merupakan kegiatan jiwa-raga, kegiatan fisik untuk menuju pribadi manusia yang berkembang seutuhnya. Artinya menyangkut unsur cipta, rasa, dan karsa, ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik.

Pembelajaran Universal di Sekolah Inklusi

Prinsip-prinsip Pembelajaran

Dalam menjalankan pembelajaran, pendidik dan peserta didik harus memegang beberapa prinsip berikut ini. Tujuannya ketercapaian visi, misi, dan apa yang direncanakan dapat tepat sasaran. Grameds dapat menyimak perinciannya sebagai berikut.

1. Perhatian dan Motivasi

Perhatian memegang peranan penting dalam kegiatan pembelajaran. Ia menjadi salah satu motivasi bagi siswa atau pemelajar dalam mempelajari sesuatu secara serius. Peserta didik tidak akan menerima suatu materi jika tidak ada perhatian yang diberikan oleh tenaga pendidik.

Selain perhatian, motivasi juga memegang peranan penting dalam kegiatan belajar. Gage dan Berliner merumuskan motivasi sebagai tenaga yang menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang.

Motivasi memiliki kaitan yang erat pada minat. Peserta didik yang memiliki minat terhadap suatu bidang tertentu maka akan cenderung tertarik perhatiannya dan timbul motivasi untuk mempelajari hal tersebut.

2. Keaktifan

Belajar menjadi suatu kegiatan berupa tindakan dan perilaku peserta didik yang kompleks. Kompleksitasnya dapat dilihat dari dua sisi, yakni peserta didik dan pendidik.

Dari sisi peserta didik, belajar dipandang sebagai suatu proses baik secara fisik maupun mental dalam menghadapi bahan ajar. Adapun, dari sisi tenaga pendidik, proses pembelajaran dipandang sebagai proses pembelajaran yang tampak melalui perilaku belajar mengenai suatu hal.

Anak dilihat dari kecenderungan psikologisnya memiliki sifat yang aktif. Ia memiliki dorongan untuk berbuat sesuatu, memiliki kemauan, dan aspirasinya sendiri. Ia memiliki imajinasi dan keinginan sendiri.

Dimiyati dan Mudjiono berpendapat bahwa proses belajar terjadi atau tidak bergantung pada diri peserta didik. Hal ini menunjukkan bahwa belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain juga tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Belajar akan terjadi apabila anak aktif mengalami dan berusaha melakuka belajar dengan sendirinya atau terdorong oleh motivasi.

3. Keterlibatan Langsung atau Berpengalaman

Setiap peserta didik memiliki kemampuan atau potensi baik terlihat maupun yang tidak terlihat. Jika potensi-potensi tersebut diarahkan ke jalan yang baik dengan pendampingan yang optimal. Maka potensi-potensi dari setiap peserta didik dapat berkembang dengan maksimal dan tepat sasaran.

Edgar Dale berpendapat bahwa belajar yang paling baik adalah melalui pengalaman secara langsung. Untuk mendukung pendapatnya, Dale membuat klasifikasi pengalaman dari yang paling konkret sampai yang paling abstrak. Klasifikasi tersebut disebut dengan kerucut pengalaman (cone of experience).

Teori tersebut menunjukkan adanya keterlibatan langsung atau pengalaman setiap peserta didik terjadi secara bertingkat. Mulai dari yang paling abstrak sampai konkret.

Perlu menjadi catatan bahwa keterlibatan secara fisik tidak menjamin keaktifan belajar. Oleh sebab itu, dalam setiap pembelajaran memerlukan keterlibatan peserta didik secara fisik, mental, dan emosional. Caranya dengan merancang pembelajaran secara sistematis, pelaksanaan pembelajaran dilakukan dengan mempertimbangkan karakteristik peserta didik dan karakteristik mata pelajaran.

4. Pengulangan

Pengulangan dapat menjadi salah satu metode yang efektif dalam proses pembelajaran. Caranya dengan mengulang setiap materi atau latihan berulang kali untuk memantapkan hasil pembelajaran.

Pembelajaran yang efektif dilakukan dengan berulang kali memberikan materi yang sama kepada peserta didik sampai mereka memahaminya. Bahan ajara atau target sesulit apapun jika disampaikan berulang kali memberikan kemungkinan besar akan dipahami oleh peserta didik.

Menurut Ahmad Zayadi dan Abdul Majid, peningkatan kemampuan peserta didik dalam belajar dapat dilakukan dengan memberikan penguatan dorongan serta bimbingan pada beberapa peristiwa pembelajaran peserta didik. Tentu hal tersebut mendorong kemudahan bagi peserta didik untuk melakukan pengulangan atau mempelajari materi secara berulang kali.

Cara belajar dengan mengulang-ulang materi atau melatih kemampuan secara berulang harus mematuhi prinspi-prinsip dalam belajar. Menurut Thorndike, dalam belajar setidaknya harus mematuhi tiga prinsip berikut ini.

  • Law of readines, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut.
  • Law of exercise, belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan ulangan.
  • Law of effect, yaitu belajar akan bersemangat apabila mengetahuai dan mendapatkan hasil yang baik. Belajar akan berhasil apabila peserta didik itu memiliki kesiapan untuk belajar, pelajaran itu selalu dilatihkan/diulangi serta peserta didik lebih bersemangat apabila mendapatkan hasil yang memuaskan.

Inquiry Dalam Pembelajaran Sistem Gerak Dan Pencernaan Manusia

5. Tantangan

Perkembangan peserta didik dapat dirangsang dengan memberikan tantangan-tantangan dalam mencapai tujuan atau suatu hal. Tantangan dapat diwujudkan dalam kegiatan pembelajaran berupa bahan, alat pembelajaran, situasi, dan/atau kegiatan kepada peserta didik.

Kurt Lewin berpendapat bahwa peserta didik dalam situasi belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi belajar, peserta didik dihadapkan dengan bahan ajar maka muncullah motif atau strategi untuk mengatasi hambatan-hambatana dalam mempelajari bahan ajar.

Jika satu materi pembelajaran berhasil ditaklukkan. Maka peserta didik harus bersiap menaklukkan bahan ajar-bahan ajar selanjutnya.  Jika pendidik hendak menciptakan suasana atau motif yang yang kuat untuk mengatasi hambatan dengan baik maka bahan ajar yang diberikan harus lebih menantang.

6. Perbedaan Individual

Setiap peserta didik memiliki karakter dan keunikan tersendiri. Menurut Dimiyati dan Mudiyono, peserta didik merupakan individu yang unik, artinya tidak ada dua orang peserta didik yang sama persis, tiap peserta didik memiliki perbedaan satu sama lain. Perbedaan itu terdapat pula pada karakteristik psikis, kepribadian dan sifat-sifatnya.

Oemar Hamalik juga berpendapat bahwa perbedaan individu manusia, dapat dilihat dari dua sisi yakni horizontal dan vertikal. Perbedaan horizontal adalah perbedaan individu dalam aspek mental, seperti tingkat kecerdasan, bakat, minat, ingatan, emosi dan sebagainya. Sedang perbedaan vertikal adalah perbedaan individu dalam aspek jasmaniah seperti bentuk badan, tinggi dan besarnya badan, tenaga dan sebagainya.

Perbedaan-perbedaan tersebut memiliki pengaruh besar terhadap kegiatan dan keberhasilan pembelajaran yang dilakukan. Perbedaan-perbedaan yang dimiliki setiap peserta didik terlalu asbtrak. Namun, para ahli mengelompokkan tipe belajar peserta didik menjadi empat. Tujuannya mempermudah menghadapi cara-cara belajar siswa yang berbeda.

Berikut empat tipe belajar siswa.

  • Tipe auditif, yaitu peserta didik yang mudah menerima pelajaran melalui pendengaran.
  • Tipe visual, yaitu yang mudah menerima pelajaran melalui penglihatan.
  • Tipe motorik, yaitu yang mudah menerima pelajaran melalui gerakan.
  • Tipe campuran yaitu peserta didik yang mudah menerima pelajaran melalui penglihatan dan pendengaran.1

Kurikulum dari Waktu ke Waktu

Kurikulum diperlukan dalam proses pembelajaran. Tujuannya agar capaian, tujuan, dan harapan dapat tercapai secara tepat sasaran. Indonesia telah berkali-kali berganti kurikulum semenjak kemerdekaannya. Grameds dapat menyimak perubahan kurikulum dari waktu ke waktu pada penjelasan di bawah ini.

1. Kurikulum 1947, “Rentjana Pelajaran 1947”

Kurikulum pertama yang pahir pascakemerdekaan masihmenggunakan bahasa Belanda, yakni “leer plan” yang artinya rencana pelajaran. Istilah ini lebih terkenal daripada istilah “curiculum” dalam bahasa Inggris. Pendidikan diarahkan dari yang semula berorientasi pendidikan Belanda menjadi berorientasi kepentingan nasional.

Dasar yang ditetapkan dalam pendidikan adalah Pancasila. Kurikulum 1947disebut dengan “Rentjana Pelajaran 1947” yang dilaksanakan pada 1950. Kurikulum ini memuat setidaknya dua hal pokok, yakni daftar mata pelajaran dan jam pengajarnya serta garis0garis besar pengajaran.

2. Kurikulum 1952, “Rentjana Pelajaran Terurai 1952”

Pada 1952 kurikulum di Indonesia mengalami penyempurnaan setelah “Rentjana Pelajaran 1947”. Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut dengan Rentjana Pelajaran Terurai 1952. Kurikulum ini telah mengarah pada suatu sistem pendidikan nasional.

Hal yang paling menonjol dan menjadi ciri dari kurikulum 1952 adalah setiap rencana pelajaran harus memperhatikan isi pelajaran yang dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Silabus mata pelajarannya menunjukkan secara jelas bahwa satu guru mengajar satu mata pelajaran.

3. Kurikulum 1964, “Rentjana Pendidikan 1964”

Menjelang tahun 1964, pemerintah menyempurnakan lagi sistejm kurikulum di Indonesia. Kurikulum ini disebut dengan Rentjana Pendidikan 1964. Tujuan utamanya, yakni rakyat Indonesia mendapatkan pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang SD. Sehingga, pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana.

Pancawardhana teridiri dari moral, kecerdasan, emosional/artistik, jasmani, dan keprigelan. Namun, beberapa juga menyebutnya fokus pada pengembangan daya cipta, rasa, karya, karsa, dan moral.

Mata pelajaran dikelompokkan menjadi lima bidang, yakni kecerdasan, moral, emosional/artistic, jasmaniah, dan keprigelan (keterampilan). Pendidikan dasar lebih menekankan atau berfokus pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis.

4. Kurikulum 1968

Kelahiran kurikulum, 1968 bersifat politis. Dari segi tujuan pendidikan, Kurikulum 1968 bertujuan bahwa pendidikan ditekankan pada upaya untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, dan sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan jasmani, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.

Dalam kurikulum ini tampak dilakukannya perubahan struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan jiwa pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Mata pelajaran dikelompokkan menjadi 9 pokok,

5. Kurikulum 1975

Kurikulum 19755 berfokus pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien. Latar belakang lahirnya kurikulum ini adalah pengaruh konsep di bidang manejemen, yaitu management by objective (MBO). Adapun metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan.

Setiap satuan pelajaran dirinci lagi menjadi tujuan instruktusional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), alat pelajaran, materi pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi. Kurikulum ini banyak menuai kritikan karena guru dibuat sibuk oleh penulisan rincian yang akan dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran.

Belajar dan Pembelajaran Modern

6. Kurikulum 1984, “Kurikulum 1975 yang Disempurnakan”

Kurikulum 1975 yang disempurnakan menjunjung process skill approach yang mengutamakan pendekatan proses. Siswa ditempatkan sebagai subjek belajar. Mereka melakukan pengamatan, pengelompokan, diskusi, sampai pelaporan.

Model pembelajaran ini disebut dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). Konsep CBSA yang elok secara teoritis dan bagus hasilnya di sekolah-sekolah yang diujicobakan, mengalami banyak deviasi dan reduksi saat diterapkan secara nasional.

ayangnya, banyak sekolah kurang mampu menafsirkan CBSA. Yang terlihat adalah suasana gaduh di ruang kelas lantaran siswa berdiskusi, di sana-sini ada tempelan gambar, dan yang menyolok guru tak lagi mengajar model berceramah. Akhiran penolakan CBSA bermunculan

7. Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999

Kurikulum 1944 menjadi upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Sayangnya, upaya memadukan tujuan dan proses belum berhasil. Sehingga, banyak menuai kritikan. Pasalnya, beban yang ditanggung siswa terlalu berat dari muatan nasional sampai muatan lokal.

Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain. Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum.

Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Kejatuhan rezim Soeharto pada 1998, diikuti kehadiran Suplemen Kurikulum 1999. Tapi perubahannya lebih pada menambal sejumlah materi pelajaran saja.

8. Kurikulum 2004, “KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi)”

Kurikulum 2004 menjadi penggantui kuriklum 1994.  Ia disebut dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Suatu program pendidikan berbasis kompetensi harus mengandung tiga unsur pokok, yakni pemilihan kompetensi yang sesuai, spesifikasi indikator-indikator evaluasi untuk menentukan keberhasilan pencapaian kompetensi, dan pengembangan pembelajaran.

KBK berfokus pada penekanan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman. Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi. Sumber belajar pun bukan hanya dari guru, tetapi juga dari sumber-sumber lainnya.

9. Kurikulum 2006, “Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)”

Pada kurikulum 2006, pemerintah menetapkan adanya standar kompetensi dan kompetensi dasar. Guru dituntut untuk dapat mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerah masing-masing.

Hasil pengembangan dari keseluruhan mata pelajaran akan dihimpun menjadi sebuah perangkat yang dinamakan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Penyusunan KTSP menjadi tanggung jawab sekolah di bawah bimbingan dan pemantauan dinas pendidikan daerah setempat.

10. Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 berbasis kompetensi memfokuskan pada pemerolehan kompetensi-kompetensi tertentu oleh peserta didik. Oleh karena itu, kurikulum ini mencakup sejumlah kompetensi dan seperangkat tujuan pembelajaran yang dinyatakan sedemikian rupa, sehingga pencapaianya dapat diamati dalam bentuk perilaku atau keterampilan peserta didik sebagai suatu kriteria keberhasilan.

Kegiatan pembelajaran diarahkan untuk membantu peserta didik menguasai sekurang-kurangnya tingkat kompetensi minimal. Sehingga, mereka dapat mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan konsep belajar tuntas dan pengembangan bakat. Setiap siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai tujuan sesuai dengan kemampuan dan kecepatan belajar masing-masing.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

Baca juga:

About the author

Gilang P

Saya menulis sekian banyak tulisan untuk menuangkan apa yang ada di pikiran–tentunya setelah diolah dan diracik sedemikian rupa agar menjadi menarik. Saya pikir, setiap orang bisa menulis tentang apa saja, selama mau belajar memahami.