Bahasa Indonesia

Konotasi : Pengertian, Contoh, Ciri-Ciri, Jenis Dan Perbedaannya Dengan Denotasi

Konotasi 1
Written by Siti Badriyah

Konotasi adalah – Kata konotasi dan denotasi pasti istilah yang sering didengar dan tidak asing lagi di telinga kita, tentunya karena dua kata ini akan muncul di materi pelajaran bahasa Indonesia. Mungkin grameds masih bingung apa istilah konotasi dan juga denotasi. Kedua istilah ini mengacu pada makna yang terkandung dalam suatu kata.

Kita sebagai manusia tentunya menggunakan bahasa untuk dijadikan sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi dengan manusia lainnya di kehidupan sehari-hari. Dalam berkomunikasi, seseorang terkadang menggunakan kalimat yang memiliki makna kias atau bukan makna yang sebenarnya.

Konotasi kerap kali digunakan untuk memperindah suatu kalimat ungkapan pada sebuah kata. Hal ini bisa kita temui pada karya sastra seperti pantun, puisi, cerpen dan lain-lain. Dalam artikel ini akan dibahas lebih lengkap mengenai konotasi. Jadi, simak artikel ini sampai habis,Grameds.

Pengertian Konotasi

Konotasi 1Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konotasi adalah tautan pikiran yang menimbulkan nilai rasa pada diri seseorang ketika ia sedang berhadapan dengan sebuah kata.

Makna konotasi merupakan suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna ini bisa muncul karena pembicara ingin mengungkapkan perasaan setuju, tidak setuju, senang, tidak senang dan sebagainya kepada pendengar atau pembicara.

Tentunya, pemilihan kata konotasi haruslah hati-hati dan jangan sampai salah memilih kata. Misalnya, kata ‘kurus-kering’ untuk menggantikan kata ‘ramping’, dalam sebuah konteks yang saling melengkapi, kesalahan semacam ini sangat mudah diketahui. Namun, akan sulit jika perbedaan makna antara kata-kata yang bersinonim, tetapi memiliki perbedaan arti yang besar dalam konteks tertentu.

Penggunaan konotasi ini sendiri sering dijumpai pada sebuah cerpen, pantun, puisi, lagu, atau beberapa karya seni terutama karya sastra lainnya. Konotasi juga bertujuan untuk memperindah sebuah kalimat ungkapan.

Ciri- Ciri Makna Konotasi

Untuk bisa memahami konotasi, berikut adalah beberapa ciri-ciri konotasi yang perlu kamu ketahui:

  1. Makna konotasi terjadi jika kata itu memiliki nilai rasa, baik positif atau negatif. Jika tidak memiliki nilai rasa, maka bisa juga disebut dengan berkonotasi netral.
  2. Makna konotasi dari sebuah kata bisa saja berbeda dari satu kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lain. Sesuai dengan pandangan hidup dan norma yang ada pada masyarakat tersebut.
  3. Makna konotasi bisa mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Fungsi Makna Konotasi

Konotasi yang digunakan dalam sebuah karya tulis tentu memiliki fungsinya. Berikut adalah fungsi-fungsi dari makna konotasi atau kata konotasi yang Grameds perlu ketahui:

  1. Untuk memperindah sebuah tuturan
  2. Untuk memperhalus sebuah tuturan
  3. Untuk menunjukkan rasa tidak suka kepada orang lain
  4. Untuk menunjukkan rasa kemarahan kepada orang lain
  5. Untuk mengumpat orang lain karena reaksi emosinya
  6. Untuk meningkatkan intensitas makna.

Jenis Konotasi

Konotasi itu sendiri memiliki 2 jenis, yaitu konotasi baik dan konotasi tidak baik. Berikut adalah penjelasannya.

Konotasi Baik

Konotasi baik merupakan kata-kata yang memiliki arti baik dan oleh sebagian orang dianggap memiliki nilai rasa yang enak, akrab, sopan dan tinggi. Namun, dalam konotasi baik ini juga dibagi menjadi dua yaitu konotasi tinggi dan konotasi rendah.

Konotasi Tidak Baik

Konotasi tidak baik merupakan kata-kata yang oleh beberapa orang dianggap memiliki rasa yang tidak sopan, tidak pantas, kasar dan bisa saja menyinggung perasaan orang lain. Konotasi tidak baik sendiri terbagi menjadi lima yaitu konotasi berbahaya, konotasi tidak pantas, konotasi tidak enak, konotasi kasar, dan konotasi keras.

Contoh Kata Konotasi

Konotasi 1sumber : pexels.com

Agar kamu tidak bingung dan lebih mudah dalam memahami kata konotasi, maka bisa simak contoh kata konotasi di bawah ini.

  1. Rini adalah anak yang ringan tangan dan baik. Kata ‘ringan tangan’ bermakna anak yang rajin dan suka menolong.
  2. Mutiara merupakan anak emas dalam keluarganya. Kata ‘anak emas’ memiliki makna anak yang paling disayang.
  3. Karena besar kepala, Reni dijauhi oleh teman-temannya. Kata ‘besar kepala’ memiliki makna sombong.
  4. Pejabat tersebut mencari kambing hitam untuk mempertahankan jabatannya. Kata ‘kambing hitam’ memiliki makna orang yang disalahkan.
  5. Jika kamu memiliki masalah sebaiknya diselesaikan dengan hati dingin. Kata ‘hati dingin’ bermakna sabar
  6. Pak Bambang menjadi tangan kanan polisi untuk membantu memecahkan kasus penculikan. Kata ‘tangan kanan’ memiliki makna orang kepercayaan
  7. Banyak pahlawan yang sudah gugur dalam medan perang. Kata ‘Gugur’ memiliki makna meninggal dunia.
  8. Seorang kuli tinta sedang melakukan peliputan berita. Kata ‘kuli tinta’ memiliki makna wartawan.
  9. Kesuksesan instan yang ia peroleh membuat dirinya menjadi lupa daratan. Kata ‘lupa daratan’ memiliki makna sombong atau lupa diri.
  10. Para buruh merasa bahwa perusahaan tempat mereka bekerja hanya menjadikannya sebagai sapi perah saja. Kata ‘sapi perah’ memiliki makna orang yang dimanfaatkan oleh orang lain untuk mendapatkan sebuah keuntungan.
  11. Sesudah berkunjung kerumah Pak RT, Riri menjadi buah bibir di kampungnya. Kata ‘buah bibir’ memiliki makna bahan pembicaraan.
  12. Dengan berat hati, bos memecat karyawannya karena kesalahan yang ia lakukan. Kata ‘berat hati’ memiliki makna tidak tega.
  13. Pelaku pencurian sudah dijebloskan ke dalam jeruji besi. Kata ‘jeruji besi’ memiliki makna penjara.
  14. Kamu harus bisa berlapang dada atas kegagalanmu. Kata ‘lapang dada’ memiliki makna menerima dengan tabah.
  15. Yuyun menjadi anak sebatang kara karena orang tuanya meninggal. Kata ‘sebatang kara’ memiliki makna sebagai tidak memiliki keluarga.
  16. Ibu membawa banyak buah tangan sehabis rekreasi. Kata ‘buah tangan’ memiliki makna oleh-oleh.
  17. Putri dikenal sebagai anak kutu buku di sekolahnya. Kata ‘kutu buku’ memiliki makna orang yang suka belajar atau membaca buku.
  18. Para tikus kantor sebaiknya jangan diberikan hukuman yang ringan. Kata ‘tikus kantor’ memiliki makna koruptor.
  19. Di masa pandemi banyak pedagang yang terpaksa gulung tikar. Kata ‘gulung tikar’ memiliki makna bangkrut.
  20. Naufal memutuskan untuk gantung raket. Kata ‘gantung raket’ memiliki makna berhenti atau pensiun dalam olahraga bulu tangkis.
  21. Ayah bekerja membanting tulang untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Kata ‘banting tulang’ memiliki makna bekerja keras.
  22. Devi selalu menggunakan jalan pintas saat menghadapi ujian. Kata ‘ jalan pintas memiliki arti menggunakan cara yang tidak baik atau melakukan kecurangan.
  23. Deni disuruh angkat kaki dari rumah karena ketahuan mencuri barang milik temannya. Kata ‘angkat kaki’ memiliki makna pergi.
  24. Devi adalah bunga desa karena wajahnya yang cantik. Kata ‘bunga desa’ memiliki arti perempuan yang paling cantik di desa itu.

Perbedaan Konotasi dan Denotasi

Jika pernah mendengar kata konotasi pasti grameds juga akan mengenal apa yang dimaksud dengan denotasi. Mungkin beberapa orang akan kesulitan untuk membedakan kedua hal ini. Namun, keduanya memiliki perbedaan yang sangat bisa dilihat secara langsung.

Denotasi adalah makna yang sebenarnya. Denotasi berarti juga makna apa adanya yang melekat pada sebuah objek. Dengan kata lain, denotasi memiliki makna asli, tidak menimbulkan rasa baik itu negatif maupun positif, dan memiliki sifat yang umum.

Selain itu, denotasi juga memiliki makna yang eksplisit dan objektif berdasarkan objek yang dilihat dan ditangkap panca indera manusia.

Jadi, secara sederhana, kata konotasi bermakna tidak sebenarnya dan kata denotasi bermakna sebenarnya.

Contoh Kata Denotasi

Konotasi 1sumber : pixabay.com

Jika sebelumnya sudah diberikan contoh kata konotasi, maka agar kamu mudah membedakannya, maka kamu juga perlu mengetahui beberapa contoh kata denotasi.

  1. Cuaca siang ini terasa sangat panas. Kata ‘panas’ memiliki makna suhu yang tinggi.
  2. Kaca itu jatuh dan hancur lebur. Kata ‘hancur lebur’ memiliki makna rusak menjadi pecahan kecil-kecil.
  3. Boni memetik buah rambutan yang masih hijau. Kata ‘hijau’ memiliki makna muda.
  4. Sungai ciliwung meluap akibat hujan deras. Kata ‘meluap’ memiliki makna melimpah dengan banyak.
  5. Saat kecil wendi memiliki kebiasaan menggigit jari. Kata ‘menggigit jari’ memiliki makna memasukkan jari ke mulut dan menggigitnya.
  6. Paman memiliki sapi perah. Kata ‘sapi perah’ memiliki makna sapi yang diambil air susunya.
  7. Security itu bekerja hingga dini hari. Kata ‘dini hari’ memiliki makna pagi sekali.
  8. Tangan Rino terbakar ketika sedang bermain api. Kata ‘bermain api’ memiliki makna melakukan permainan dengan api.
  9. Adikku duduk di kursi empuk yang terbuat dari busa. Kata ‘kursi empuk’ memiliki makna kursi yang nyaman diduduki.
  10. Setelah bermain, dian menggulung tikar dan menyimpannya kembali. Kata ‘gulung tikar’ memiliki makna menggulung tikar, tikar adalah anyaman yang biasa digunakan untuk alas duduk.

Nah, itulah penjelasan lengkap tentang konotasi beserta dengan perbedaannya dengan denotasi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya kalau konotasi sering digunakan pada karya sastra, maka kalau kamu ingin mencari buku yang berkaitan dengan sastra, maka bisa mendapatkannya di gramedia.com.

Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca.

Penulis : Christin Devina

Buku Terkait

Sosiologi Sastra

Sapardi Djoko Damono Sosiologi Sastra

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (20 Maret 1940 – 19 Juli 2020) adalah seorang pujangga berkebangsaan Indonesia. Ia kerap dipanggil dengan singkatan namanya, SDD. Ia adalah putra pertama pasangan Sadyoko dan Saparian. Sapardi dikenal melalui berbagai puisinya mengenai hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan, sehingga beberapa di antaranya sangat populer, baik di kalangan sastrawan maupun khalayak umum. Dalam dunia kesusastraan Indonesia, Sapardi kerap dipandang sebagai sastrawan angkatan 1970-an.

Apakah latar belakang sosial pengarang menentukan isi karangannya? Apakah dalam karya-karyanya si pengarang mewakili golongannya? Apakah karya sastra yang digemari masyarakat sudah dengan sendirinya tinggi mutunya? Sampai berapa jauhkah karya sastra mencerminkan keadaan zamannya? Apa pengaruh masyarakat yang semakin rumit organisasinya ini terhadap penulisan karya sastra? Apakah perkembangan bentuk dan isi karya sastra membuktikan bahwa sastrawan mengabdi kepada selera pembacanya?

Sederet pertanyaan di atas menunjukkan bahwa hubungan yang ada antara sastrawan, sastra, dan masyarakat bukanlah sesuatu yang dicari-cari. Buku Sosiologi Sastra karya Sapardi Djoko Damono ini memaparkan dengan jelas pendekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan. Sebuah pengantar singkat yang mengemukakan bahwa sastra bisa mengandung gagasan yang mungkin dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial dalam suatu masyarakat – atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Jurnalisme Sastrawi

Agus Sopian Jurnalisme Sastrawi

JURNALISME SASTRAWI merupakan satu genre dalam jurnalisme yang pada mulanya berkembang di Amerika Serikat tahun 1960-an. Genre ini menggabungkan disiplin paling berat dalam jurnalisme serta kehalusan dan kenikmatan bercerita dalam novel. Wawancara biasa dilakukan dengan puluhan, bahkan sering ratusan, narasumber. Risetnya mendalam. Waktu bekerjanya lama, bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan tentang orang biasa.

Beberapa wartawan majalah Pantau mencoba belajar memakai genre ini untuk mengembangkan jurnalisme berbahasa Melayu. Dari Agus Sopian hingga Linda Christanty memasukkan elemen-elemen jurnalisme sastrawi dalam karya mereka. Dari pembantaian orang Aceh hingga hiruk-pikuk larangan musik Koes Bersaudara, dari soal wartawan Ambon yang ikut memanasi sentimen Kristen-Islam hingga kemiskinan di Jakarta.

“Karya-karya ini bukan cuma mewakili sesuatu yang baru dan menarik dalam jurnalisme di Indonesia, namun juga memenuhi panggilan mulia setiap wartawan: melayani warga.”

Pengantar Kajian Sastra

 Dwi Susanto, Dwi Susanto, S.S.M.Hum Pengantar Kajian Sastra

Setiap sastrawan pasti mendefinisikan sastra dengan berbeda-beda. Ada yang mengartikan karya yang imajinatif, fiktif, inovatif, alat untuk mengajar dan masih banyak lagi. Sastra diteliti bukan pada maksud ataupun kandungan yang ada, tetapi pada bentuk penggunaan bahasa. Sastra dengan demikian merupakan wujud dari keterampilan dalam memainkan bentuk bahasa sehingga bagi kaum formalisme sering disebut sebagai seni pertukangan bahasa.

Buku ini membahas beberapa topik dalam teori dan pengkajian kesusastraan yang ditulis dengan menitikberatkan pada topik-topik yang bersifat dasar dan umum dalam studi kesusastraan, terutama topik pengarang dan sastra, dunia sosial dan sastra, serta perempuan dan sastra. Topik tersebut disusun dengan memberikan pemahaman dasar sehingga dapat dijadikan acuan untuk pemahaman berikutnya dan disertai contoh kajian yang telah dilakukan.

Buku ini merupakan buku yang bersifat pengantar (umum) untuk memahami fenomena kesastraan. Sebagai buku pengantar, buku ini perlu dibaca untuk pemahaman fenomena kesastraan lebih lanjut. Meskipun buku ini ditujukan untuk topik kesastraan dan secara khusus dimaksudkan untuk buku pegangan dasar mahasiswa sastra (sastra Indonesia, sastra Nusantara, dan sastra asing; misal Prancis, Inggris, Jerman, Jepang, Arab, dan lain-lain), tetapi buku ini juga sangat berguna untuk mahasiswa Fakultas Sastra (Fakultas Ilmu Budaya) secara umum. Bahkan, para peminat sastra dan guru-guru bahasa dan sastra di sekolah-sekolah membutuhkannya sebagai referensi untuk melihat dunia sastra.”

Apresiasi Bahasa & Sastra Indonesia

Drs. I Ketut Dibia, S.Pd., M.Pd. Apresiasi Bahasa & Sastra Indonesia

Buku ini menyajikan kepada pembaca tentang apresiasi bahasa dan sastra. Terdiri dari beberapa bab, materi pembahasan di buku ini dibuka dengan pembahasan tentang konsep dasar apresiasi bahasa dan sastra Indonesia. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan ihwal bentuk-bentuk apresiasi bahasa dan sastra Indonesia. Selanjutnya dibahas perihal bentuk sastra Indonesia dan unsur-unsur bentuk sastra. Lalu disambung dengan pembahasan terkait apresiasi terhadap bentuk-bentuk sastra, dan ditutup dengan pembahasan tentang keterampilan apresiasi bentuk sastra.

Buku ini dapat dibaca oleh para mahasiswa-mahasiswi dari Fakultas Bahasa dan Sastra. Selain itu, dapat dijadikan buku ajar pula bagi para dosen dari Fakultas Bahasa dan Sastra. Para pecinta dan penikmat bahasa dan sastra atau masyarakat umum lainnya juga bisa menjadikan buku ini sebagai bahan bacaan untuk mengetahui dan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan terkait apresiasi bahasa dan sastra.

 Menulis Kreatif Sastra dan Beberapa Model Pembelajarannya

Menulis Kreatif Sastra dan Beberapa Model Pembelajarannya, terdiri dari 1 bab pendahuluan dan 3 bab berturut-turut membahas unsur dan model pembelajaran Penulisan puisi, cerpen dan naskah drama. Buku ini hadir untuk membawa guru dalam petualangan dan suasana belajar yang lebih mengedepankan aspek penggalian potensi diri. Guru tidak hanya bergelut dengan materi (teori) bahasa dan sastra. Guru diajak untuk memahami kegiatan belajar sastra Indonesia berdasarkan kehidupan sehari-hari. Guru akan lebih terasah untuk menggali potensi menulis sastra siswa dengan suasana belajar yang menyenangkan.Andri Wicaksono, M.Pd, lulus sarjana dari Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta dan magister dari Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta. Kini ia adalah dosen di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Bandar Lampung, Indonesia.

About the author

Siti Badriyah

Tulis menulis menjadi salah satu hobi saya. Dengan menulis, saya menyebarkan beragam informasi untuk orang lain. Tak hanya itu, menulis juga menggugah daya berpikir saya, sehingga lebih banyak informasi yang dapat saya tampung.

Kontak media sosial Instagram saya Siti Badriyah