Sosial Budaya Teori

Teori Relativisme Kultural HAM

Written by Fiska

Manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya, yakni hak asasi manusia (HAM). Hak tersebut tidak dapat direbut atau diciderai oleh siapapun. Hak tersebut harus dipenuhi apapun yang terjadi. Namun, sayangnya yang terjadi justru sebaliknya.

Pelanggaran HAM ada di mana-mana. Menyasar siapa saja baik anak-anak maupun orang dewasa. Adapun HAM harus dipahami atau disesuaikan dengan budaya  masing-masing negara. Salah satunya dengan menerapkan teori relativisme kultural HAM.

Berikut akan dipaparkan mengenai HAM sampai teori relativisme kultural HAM yang telah dirangkum dari beberapa laman di internet dan beberapa artikel jurnal. Grameds dapat menyimak paparan berikut ini.

Pengertian dan Sifat Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia (HAM) menjadi hak paling dasar yang dimiliki oleh manusia. Mengutip pendapat dari Jack Donnely, “hak asasi manusia merupakan hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena ia diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia”

Secara alamiah, setiap manusia memiliki hak asasi. Menurut Rhona K. M. Smith, dkk, “… meskipun setiap orang terlahir dengan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, budaya dan kewarganegaraan yang berbeda-beda, ia tetap mempunyai hak tersebut.”

Hak asasi manusia memiliki dua sifat, yakni universal dan tidak dapat dicabut. Universal memiliki arti bahwa HAM berlaku untuk setiap manusia. Tidak peduli bagiaman bentuk, rupa, golongan, strata, atau pengelompokkan manusia lainnya.

Sementara, tidak dapat dicabut berarti HAM tetap melekat dalam segala situasi dan kondisi serta tidak akan pernah bisa dihilangkan, selama ia menjadi manusia. Mengutip pernyataan dari Rhona K. M. Smith, dkk, “… seburuk apapun perlakuan yang telah dialami seseorang atau betapapun bengisnya perlakuan seseorang, ia tidak akan berhenti menjadi manusia dan karena itu tetap memiliki hak tersebut.”

Sebagai contoh pelanggaran universal dan tidak dapat dicabut dapat diamati melalui penerapan hukuman mati di Indonesia untuk pelaku-pelaku narkotika. Sebagaimana diatur dalam Pasal 113, Pasal 114, Pasal 116, Pasal 118, Pasal 119, Pasal 121 dan Pasal 133 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Dalam undang-undang tersebut, hukuman mati merupakan pelanggaran bagi sifat universal HAM karena pelaku tindak pidana narkotika merupakan manusia. Tidak hanya itu, pelanggaran bagi sifat tidak dapat dicabut dari HAM karena pelaku tindak pidana narkotika tetaplah manusia. Seburuk apapun sikap dan perbuatannya atau sebanyak apapun korban yang ditimbulkan dari tindak pidana yang telah ia lakukan.

HAK ASASI MANUSIA DALAM PERSPEKTIF HUKUM NASIONAL

https://www.gramedia.com/products/why-musical-instrument-sound-alat-musik-suara?utm_source=literasi&utm_medium=literasibuku&utm_campaign=seo&utm_content=LiterasiRekomendasi

Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia

Karl Vasak, seorang ahli hukum dari International Institute of Human Rights di Strasbourg, Jerman membagi perkembangan hak asasi manusia (HAM) menjadi tiga tahapan. Ia menggunakan istilah generasi untuk menonjolkan adanya substansi dan ruang lingkup HAM pada kurun waktu tertentu.

Karl Vasak mengamini slogan revolusi Prancis, “liberte, egalite dan fraternite”. Artinya kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Mengutip dari Rhona K. M. Smith, dkk, Vasak berpendapat bahwa masing-masing slogan tersebut memiliki cerminan perkembangan dari kategori-kategori atau generasi-generasi hak yang berbeda.

Berikut rincian lebih lanjut mengenai pembabakan perkembangan hak asasi manusia yang dirumuskan oleh Karl Vasak.

1. Generasi Pertama Hak Asasi Manusia

Generasi pertama hak asasi manusia diwakili oleh “kebebasan”. Hak-hak dari generasi pertama sering disebut sebagai hak klasik karena tuntutan atas hak-hak ini muncul pada abad ke-17 dan ke-18. Ketika sedang terjadi revolusi yang menuntut persamaan hak di Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat.

Mengutip Rhona K. M. Smith, dkk yang memaparkan hak-hak yang termasuk dalam generasi pertama ini meliputi, “…hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan atas hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan yang sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil.”

Hak-hak generasi pertama ini menuntut tidak adanya campur tangan negara ataupun pihak-pihak luar dalam pemenuhan hak-hak tersebut. Campur tangan negara atau pihak-pihak luar ke dalam hak-hak geenerasi pertama justru akan dianggap sebagai pelanggaran.

Oleh sebab itu, hak-hak generasi pertama sering kali disebut sebagai hak negative. Hal ini justru yang menjadi pembeda serta ciri khas dari hak-hak generasi pertama.

2. Generasi Kedua Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia generasi kedua diwakili oleh kata “persamaan”. Generasi ini menuntut adanya perlindungan dan pemenuhan dari negara untuk hak-hak sosial, budaya, dan ekonomi. Hak-hak generasi ini menuntut adanya peran aktif dari negara untuk memenuhinya.

Oleh sebab itu, hak-hak generasi kedua ini disebut sebagai hak-hak positif. Rhona K. M. Smith, dkk menjabarkan hak-hak positif sebagai berikut.

Yang dimaksud dengan positif di sini adalah bahwa pemenuhan hak-hak tersebut sangat membutuhkan peran aktif negara. Keterlibatan negara di sini harus menunjukkan tanda plus (positif), tidak boleh menunjukkan tanda minus (negatif). Jadi untuk memenuhi hak-hak yang dikelompokkan ke dalam generasi kedua ini, negara diwajibkan untuk menyusun dan menjalankan program-program bagi pemenuhan hak-hak tersebut.

Hak Asasi Manusia Dan Human Trafiking

https://www.gramedia.com/products/why-musical-instrument-sound-alat-musik-suara?utm_source=literasi&utm_medium=literasibuku&utm_campaign=seo&utm_content=LiterasiRekomendasi

3. Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia

Pada generasi ketiga, kata yang mewakili generasi ini adalah “persaudaraan”. Hak-hak generasi ketiga muncul karena adanya tuntutan dari negara-negara dunia ketiga atau negara berkembang atas tatanan internasional yang adil.

Rhona K. M. Smith, dkk menggambarkan hak-hak yang termasuk dalam generasi ketiga di antaranya, “…(i) hak atas pembangunan; (ii) hak atas perdamaian; (iii) hak atas sumber daya alam sendiri; (iv) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (v) hak atas warisan budaya sendiri.”

Hak-hak tersebut mirip dengan hak-hak dari generasi kedua, tetapi ada dalam tataran internasional. Melihat perkembangan HAM, dapat disimpulkan bahwa tuntutan atas HAM (utamanya generasi pertama), berawal dari adanya tuntutan untuk membebaskan diri dari kekuasaan yang absolutism negara dan tekanan kekuatan sosial lainnya (misalnya tekanan dari kaum bangsawan).

Hal tersebut seperti yang muncul pada revolusi yang bergejolak di Perancis, Inggris, dan Amerika Serikat pada abad ke-17 dan ke-18. Tuntutan pemenuhan HAM berkembang menjadi generasi kedua dan pada tingkatan internasional menjadi generasi ketiga.

Konsep Teori Relativisme Kultural HAM

Dalam gagasan mengenai relativisme budaya, kebudayaan dianggap sebagai satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah moral. Rhona K. M. Smith, dkk menambahkan bahwa gagasan HAM memiliki ikatan dengan konteks budaya pada negara-negara berkembang dan negara-negara Islam.

Gagasan ini sangat terkenal pada dasawarsa 1990-an, terutama menjelang Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia di Wina. Gagasan ini secara lantang disuarakan oleh para pemimpi dan cendekiawan di negara-negara tersebut.

Relatif di sini berabrti tidak mutlak atau nisbi. Atau dapat juga diartikan sebagai “pandangan bahwa pengetahuan itu dibatasi, baik oleh akal budi yang serba terbatas maupun oleh cara mengetahui yang serba terbatas.”

Teori relativisme budaya memandang HAM secara berbeda-beda, terbatas pada wilayh tempat tinggal dan kebudayaan. Suatu hal yang menjadi hak bagi satu kelompok masyarakat belum tentu menjadi hak juga bagi kelompok masyarakat lainnya.

Perbedaan pandangan mengenai hak ini juga mendapat dukungan dari Todung Mulya Lubis yang menyebutkan, ““Perbedaan-perbedaan tradisi budaya di antara masyarakat menyebabkan perbedaan-perbedaan pula pada pemikiran dan persepsi tentang manusia, termasuk dalam hal hak asasi manusia.”

Teori relativisme budaya berseberangan dengan teori universalime yang memandang bahwa setiap individu memiliki hak asasi manusia yang sama. Joshua Preiss, seorang profesor filosifi dari Minnesota State University merumuskan beberapa karakteristik dari teori relativisme budaya sebagai berikut.

  • Tiap budaya yang berbeda memiliki kode moral yang berbeda pula;
  • Tiada standar obyektif yang dapat digunakan untuk menilai kode sosial yang satu lebih baik dari yang lain;
  • Kode moral dari masyarakat kita tidak memiliki status yang lebih baik, tapi hanyalah sebagai salah satu kode yang ada; Tidak ada kebenaran universal dalam etika yakni tiada kebenaran moral yang berlaku bagi semua orang pada tiap waktu;
  • Kode moral dari sebuah budaya hanya berlaku dalam lingkungan budaya tersebut; dan
  • Adalah sebuah arogansi ketika kita mencoba menghakimi tindakan orang lain. Kita harus bersikap toleran terhadap berbagai praktik yang hidup di berbagai kebudayaan.

Adapun standar dari Thomas Aquinas, Hugo de Groot dan John Locke tidak dapat diterapkan untuk menilai budaya di tempat lain. Hal ini disebabkan karena ide yang berkembang di dalam pemikiran Thomas Aquinas, Hugo de Groot dan John Locke sangatlah dipengaruhi oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat di tempat mereka berdomisili.

Aktor yang dikenal mempelopori pandangan relativisme budaya ialah Lee Kwan Yew dari Singapura dan Mahathir Muhammad dari Malaysia. Lee Kwan Yew menyatakan dalam sebuah ceramahnya di Jepang bahwa “di Asia Tenggara yang dicari itu tidak begitu berkaitan dengan demokrasi, melainkan dengan pemerintahan yang bertanggungjawab, yakni sutu kepemimpinan yang transparan dan tidak korup”.

Menurut Lee, yang terlebih dahulu dicari oleh bangsa-bangsa di Asia adalah pembangunan ekonomi yang ditopang dengan kepemimpinan yang kuat, bukan memberikan kebabasan dan hak asasi manusia.

Serupa dengan Lee, Mahathir Mohammad juga menyatakan, “saat kemiskinan dan tidak tersedianya pangan yang memadai masih merajalela, dan kebutuhan-kebutuhan dasar rakyat tidak terjamin, maka prioritas mesti diberikan kepada pembangunan ekonomi.”

Hak Asasi Manusia

Atas dasar itulah, Mahathir menolak adanya pemaksaan standar-standar hak asasi manusia dari satu negara ke negara lainnya. Sederhananya, kedua tokoh ini tidak memandang hak asasi manusia menjadi sesuatu yang penting atau urgent bagi bangsa-bangsa di Asia.

Untuk mempermudah Grameds dalam memahami teori relativisme kultural HAM, berikut beberapa poin penting dalam teori ini.

  • Kebudyaan menjadi satu-satunya sumber keabsahan haka tau kaidah moral.
  • Ham harus dipahami dalam konteks budaya masing-masing negara.
  • Di Asia yang menduduki urutan atas mengenai kepentingan bukanlah demokrasi melainkan pemerintah yang kuat, bertanggung jawab, transparan, dan tidak korup. Pembangunan ekonomi ditopang pemimpin yang kuat menjadi lebih penting daripada kebebasan individu atau HAM.

About the author

Fiska

Saya Fiska Rahma Rianda dan saya suka dunia menulis dan membaca memang menjadi hobi yang ingin disalurkan melalui sastra. Saya juga senang mereview buku serta membaca buku-buku yang berkaitan dengan sebuah teori.

Kontak media sosial Linkedin saya Fiska Rahma