Sosiologi Teori

Teori Konflik Menurut Para Ahli

Written by Fiska

Setiap manusia pasti memiliki konflik baik dengan dirinya sendiri atau dengan lingkungan sekitar. Konflik akan terus ada dalam setiap perjalanan hidup manusia. Ia akan datang kapan saja dan di mana saja. Namun, tenang saja, setiap konflik pasti ada jalan keluarnya atau penyelesaiannya.

Konflik-konflik ini jika ditelaah akan menemukan penyebab dan pola. Sehingga, dapat dirumuskan beberapa teori konflik. Berikut akan dibahas mengenai teori konflik, faktor penyebab, sampai dengan dampak adanya konflik.

Pengertian Konflik

Konflik menjadi bagian dari gejala sosial yang selalu hadir dalam kehidupan manusia. Sifatnya inheren artinya konflik akan terus terjadi setiap ruang dan waktu, di mana saja dan kapan saja. Dalam pandangan ini, masyarakat menjadi arena atau tempat konflik atau pertentangan dan integrasi yang senantiasa berlangsung.

Oleh sebab itu, konflik dan integrase sosial menjadi gejala yang selalu ada dalam setiap kehidupan sosial. Adapun hal-hal yang mempengaruhi munculnya konflik dan integrasi adalah adanya persamaan dan perbedaan kepentingan sosial.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik dirumuskan sebagai percecokan; perselisihan; pertentangan; ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama (pertentangan antara dua kekuatan, pertentangan dalam diri satu tokoh, pertentangan antara dua tokoh, dan sebagainya).

Kita dapat berkaca bahwa setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki kesamaan yang sama persis baik dari sisi etnis, kepentingan, kehendak, kemauan, tujuan, dan sebagainya. Dari setiap konflik, ada beberapa yang dapat diselesaikan, tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan hingga menimbulkan aksi kekerasan.

Istilah “konflik” sendiri secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama. Dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Pada umumnya, istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antara pribadi. Dapat berupa konflik kelas sampai pertentangan dan peperangan internasional.

Coser merumuskan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan status yang langka. Kemudian, kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.

Adapun konflik sosial dapat dipahami sebagai pertentangan antaranggota atau masyarakat yang sifatnya menyeluruh di setiap lini kehidupan. Konflik merupakan proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan tanpa mempertimbangkan adanya norma dan nilai yang berlaku.

Konflik sendiri juga dapat dipahami sebagai suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.

Menurut Lawang, konflik didefinisikan sebagai perjuangan untuk mendapatkan hal-hal langka seperti nilai, status, kekuasaan, dan sebagainya. Yang mana tujuannya tidak hanya memperoleh keuntungan, tetapi juga menundukkan lawannya.

Konflik juga dapat dipahami sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya dalam proses perebutan sumber-sumber kemsyarakatan (ekonomi, sosial, politik, dan budaya) yang relatif terbatas.

Sementara itu, konflik sosial merupakan salah satu bentuk interaksi antara satu pihak dengan pihak lain di dalam masyarakat yang ditandai dengan adanya sikap saling mengecam, menekan, hingga menghancurkan. Ia dapat terjadi ketika dua pihak atau lebih bertemu dan memiliki kepentingan yang relatif sama terhadap suatu hal yang sifatnya terbatas.

Dalam wujudnya yang ekstrem, konflik dapat terhadu hanya sekadar memertahankan hidup, tetapi juga bertujuan untuk sampai ke status pembinaan eksrem orang atau kelompok lain yang termasuk dalam golongan lawan atau pesaingnya.

Melansir dari laman tirto.id, menurut Gir dalam Al-Hakim, pertentangan sebagai konflik memiliki kriteria sebagai berikut.

  • Sebuah konflik harus melibatkan dua pihak atau lebih di dalamnya;
  • Pihak-pihak tersebut saling tarik-menarik dalam aksi-aksi saling bermusuhan (mutually opposing actions);
  • Mereka biasanya cenderung menjalankan perilaku koersif untuk menghadapi dan menghancurkan “musuh”;
  • Interaksi pertentangan di antara pihak-pihak itu berada dalam keadaan yang tegas, karena itu keberadaan peristiwa pertentangan dapat dideskripsikan dengan mudah oleh para pengamat sosial yang tidak terlibat dalam pertentangan.

Konflik Keagenan dan Tata Kelola Perusahaan di Indonesia

https://www.gramedia.com/products/microsoft-excel-untuk-menyusun-laporan-keuangan?utm_source=literasi&utm_medium=literasibuku&utm_campaign=seo&utm_content=LiterasiRekomendasi

Teori Konflik Menurut Para Ahli 

Para ahli sosiolog merumuskan teori-teori konflik. Berikut beberapa pemikiran ahli sosiolog mengenai konflik yang telah dirangkum dari laman tirto.id.

1. Teori Konflik Karl Marx

Konflik dalam pandangan Karl Marx merupakan suatu bentuk pertentangan kelas. Ia juga memperkenalkan konsep struktur kelas di masyarakat. Masyarakat dilihat sebagai arena ketimpangan (inequality) yang mampu memicu konflik dan perubahan sosial.

Marx melihat konflik di masyarakat berkaitan dengan adanya kelompok yang berkuasa dan dikuasai. Konflik kelas timbul karena adanya pertentangan kepentingan ekonomi. Setidaknya teori Karl Marx menyangkut empat teori dasar berikut ini:

  • struktur kelas di masyarakat;
  • kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara kelas yang berbeda;
  • adanya pengaruh besar dilihat dari kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang;
  • adanya pengaruh dari konflik kelas terhadap perubahan struktur sosial.

Pertentangan menurut Karl Marx dipicu oleh perbedaan akses terhadap sumber kekuasaan, yakni modal. Dalam masyarakat kapitalis, hal tersebut berakibat pada dua kelas yang saling bertentangan, yakni kelas borjuis dan proletariat.

2. Teori Konflik Lewis A. Coser

Lewis A. Coser berpendapat bahwa konflik memiliki fungsi positif jika mampu dikelola dan diekspresikan sewajarnya. Teori konflik yang dikemukakakn oleh Lewis A. Coser mempengaruhi sosialogi konflik pragmatis atau multidisipliner, yang digunakan untuk mengelola konflik dalam perusahaan ataupun organisasi modern lainnya.

Teori ini memandang sistem sosial memiliki sifat fungsional. Konflik tidak selalu bersifat negative. Ia juga dapat mempererat hubungan antarindividu dalam suatu kelompok.

Coser meyakini keberadaan konflik tidak harus bersifat disfungsional. Oleh sebab itu, keberadaan konflik dapat memicu suatu bentuk interaksi dan memberikan konsekuensi yang sifatnya positif. Tidak hanya dengan itu, dengan adanya konflik juga mampu menggerakkan anggota kelompok yang terisolasi menjadi berperan aktif dalam aktivitas kelompoknya.

Coser juga mengelompokkan konflik sosial menjadi dua jenis, yakni konfliik realistis dan konflik non-realistis. Konflik realistis merupakan konflik yang timbul karena adanya kekecewaan individu maupun kelompok terhadap berbagai bentuk permasalahan dalam hubungan sosial. Sementara, konflik non-realistis tercipta karena adanya kebutuhan untuk melepaskan ketegangan dari salah satu atau dua pihak yang sedang berkonflik.

3. Teori Konflik Ralf Dahrendorf

Menurut Ralf Dahrendorf, konflik akan muncul melalui relasi-relasi sosial dalam sistem. Oleh sebab itu, konflik tidak mungkin melibatkan individu ataupun kelompok yang tidak terhubung dalam sistem.

Teori Dahrendorf memaparkan jika relasi-relasi di struktur sosial ditentukan oleh kekuasaan. Adapun kekuasaan yang dimaksud adalah kekuasaan atas kontrol dan sanksi yang memungkinkan pemilik kekuasaan memberikan perintah dan meraih keuntungan dari mereka yang tidak berkuasa.

Dalam pandangan Dahrendorf, konflik kepentingan menjadi sesuatu yang tidak dapat terhindarkan dari relasi antara pemilik kekuasaan dan mereka yang tidak berkuasa. Awalnya, Dahrendorf merumuskan teori konflik sebagai teori parsial yang diterapkan untuk menganalisis fenomena sosial. Kemudian, ia melihat masyarakat memiliki dua sisi yang berbeda, yakni kerja sama dna konflik.

Oleh sebab itu, Dahrendorf menganalisis konflik sosial dengan perspektif dari sosiologi fungsionalisme struktural untuk menyempurnakan teorinya. Dia juga mengadopsi teori perjuangan kelas Marxian untuk menyusun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industry.

Ia menghubungkan antara pemikiran fungsional mengenai struktur dan fungsi masyarakat dengan teori konflik antarkelas sosial. Tidak hanya itu, Dahrendorf juga tidak melihat masyarakat sebagai suatu hal yang statis, tetapi dapat berubah oleh adanya konflik sosial yang terjadi.

Memahami Sejarah Konflik Aceh

https://www.gramedia.com/products/microsoft-excel-untuk-menyusun-laporan-keuangan?utm_source=literasi&utm_medium=literasibuku&utm_campaign=seo&utm_content=LiterasiRekomendasi

Faktor Penyebab Terjadinya Konflik

Para sosiolog berpendapat bahwa akar dari adanya konflik adalah adanya perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, kekuasaan, dan status sosial yang sifatnya terbatad dalam hubungan sosial, politik, dan ekonomi.

Secara sederhana, penyebab konflik dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni.

  • Kemajemukan Horizontal

Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarakat yang mejemuk secara kultural, seperti suku bangsa, agama, ras dan majemuk sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir dan cendekiawan.

Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakteristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara.

  • Kemajemukan Vertikal

Kemajemukan vertikal, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertikal dapat menimbulkan konflik sosial kerena ada sekelompok kecil masyarakat yang memiliki kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan kewenangan yang besar.

Sementara beberapa di antaranya tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan kewenangan. Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik sosial.

Namun, ada beberapa sosiolog yang mengklasifikasikan faktor penyebab terjadinya konflik sebagai berikut.

  • Perbedaan Pendirian dan Keyakinan

Perbedaan pendirian dan keyakinan dapat menyebabpak konflik antarindividu ataupun antarkelompok. Dalam konflik-konflik seperti ini, terjadi bentrokan-bentrokan pendirian. Masing-masing pihak berusaha mengalahkan lawannya.

Mereka berusaha untuk memusnahkan secara simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak sependapat. Dalam realitas sosial, tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama. Sehingga, perbedaan pendapat, tujuan, dan keinginan yang memberikan pengarujh pada timbulnya konflik sosial.

  • Perbedaan Kebudayaan

Perbedaan individu dapat memicu konflik antarindividu bahkan antarkelompok. Pola-pola kebudayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola perilaku uang berbeda di kalangan khalayak kelompok yang luas.

Tidak hanya itu, perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnosentrisme, yakni sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya merupakan yang paling baik. Jika masing-masing kelompok memiliki sikap demikian maka akan berpotensi menimbulkan konflik antara penganut kebudayaan.

  • Perbedaan Kepentingan

Setiap kelompok atau individu pasti memiliki tujuan kepentingan masing-masing. Mereka akan bersaing dan berkonflik untuk memperebutkan kesempatan dan sarana.

Bentuk-Bentuk Konflik

Konflik-konflik yang terjadi di masyarakat dapat diklasifikasikan dalam beberapa bentuk di bawah ini.

1. Berdasarkan Sifatnya

Berdasarkan sifaatnya, konflik dapat dikelompokkan menjadi dua bentuk, yakni konflik destruktif dan konflik konstruktif. Berikut rinciannya.

  • Konflik Destruktif

Konflik destruktif merupakan konflik yang terjadi karena adanya perasaan tidak senang, dendam, benci dari seseorang atau suatu kelompok kepada pihak lain. Misalnya kasus konflik Poso, Ambon, Kupang, dan sebagainya yang terjadi karena bentrokan fisik sehingga menyebabkan hilangnya nyawa dan harta benda.

  • Konflik Konstruktif

Konflik konstruktif merupakan konflik yang sifatnya fungsional. Ia akan muncul jika terjadi perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok yang menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu konsesnsus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbedaan pendapat dalam sebuah organisasi.

2. Berdasarkan Posisi Pelaku yang Berkonflik

Konflik juga dapat dikelompokkan berdasarkan posisi pelaku yang sedang berkonflik. Berikut rinciannya.

  • Konflik Verbal

Konflik verbal merupakan konflik antarkomponen masyarakat dalam suatu struktur yang disusun secara hierarkis. Seperti, konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan sebuah kantor.

  • Konflik Horizontal

Konflik horizontal merupakan konflik yang terjadi antara individu atau kelompok yang kedudukannya relatif sama. Sebagai contoh konflik yang terjadi antara organisasi massa.

  • Konflik Diagonal

Konflik diagonal meripakan konflik yang terjadi karena ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrim. Misalnya konflik yang terjadi di Aceh.

Menurut Soerjono Soekanto, konflik dikelompokkan menjadi lima bentuk sebagai berikut.

  • Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.
  • Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras.
  • Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.
  • Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.
  • Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan negara.

Adapun menurut Ralf Dahrendorf, konflik dalam dikelompokkan menjadi empat macam sevagai berikut.

  • Konflik antara atau yang terjadi dalam peranan sosial, atau biasa disebut dengan konflik peran. Konflik peran adalah suatu keadaan di mana individu menghadapi harapanharapan yang berlawanan dari bermacam-macam peranan yang dimilikinya.
  • Konflik antara kelompok-kelompok sosial.
  • Konflik antara kelompok-kelompok yang terorganisir dan tidak terorganisir.
  • Konflik antara satuan nasional, seperti antar partai politik, antarnnegara, atau organisasi internasional.

Musik, Konflik, dan Perdamaian: Studi Etnomusikologis

https://www.gramedia.com/products/microsoft-excel-untuk-menyusun-laporan-keuangan?utm_source=literasi&utm_medium=literasibuku&utm_campaign=seo&utm_content=LiterasiRekomendasi

Dampak dari Adanya Konflik

Konflik memberikan dinamika dalam kehidupan sosial masyarakat. Konflik tidak selalu berdampak buruk dalam masyarakat. Berikut dampak positif dan dampak negative dari adanya konflik.

1. Dampak Positif dari Konflik

Berikut dampak positif dari konflik di masyarakat.

  • Menggugah masyarakat yang pasif untuk menjadi aktif dalam berperan di lingkungannya.
  • Bertambahnya rasa soilidaritas suatu kelompok ketika terjadi konflik.

2. Dampak Negatif dari Konflik

Berikut dampak negatif dari adanya konflik di masyarakat.

  • Dapat menghancurkan kesatuan kelompok karena konflik yang terjadi tidak mendapatkan solusi penyelesaiannya.
  • Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada karena ketidakpatuhan anggota masyarakat yang sedang berkonflik.
  • Adanya perubahan kepribadian individu yang semula pendiam dan penyabar menjadi beringas, agresif, dan mudah marah.

About the author

Fiska

Saya Fiska Rahma Rianda dan saya suka dunia menulis dan membaca memang menjadi hobi yang ingin disalurkan melalui sastra. Saya juga senang mereview buku serta membaca buku-buku yang berkaitan dengan sebuah teori.

Kontak media sosial Linkedin saya Fiska Rahma