Ekonomi Teori

Teori Kutub Pertumbuhan: Pengertian, Sejarah, dan Faktor-Faktor

Written by Fiska

Manusia dan ekonomi saling berkaitan erat. Taraf kesejahteraan hidup manusia dapat dilihat dari tingkat ekonominya. Semakin tinggi tingkat ekonominya maka taraf kehidupannya semakin baik pula.

Hal tersebut dapat dilihat dari konsumsi makanan, kebutuhan sekunder, dan tersiernya yang menggunakan bahan terbaik. Berbeda dengan masyarakat yang tingkat ekonominya rendah. Mereka cukup bisa makan dan bertahan hidup saja sudah cukup.

Kesejahteraan ekonomi seseorang atau masyarakat daerah tertentu ditentukan oleh beberapa hal. Salah satuya tingkat pendidikan, kekayaan alam, dan sebagainya. Perputaran ekonomi dapat dianalisis menggunakan teori kutub pertumbuhan. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai teori kutub pertumbuhan yang dirangkum melalui tulisan berjudul “Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole)” yang disusun oleh DR. Ir. Ken Martina Kasikoen, MT.

Konsep Teori Kutub Pertumbuhan

Perroux berpendapat bahwa fakta dasar dari perkembangan spasial, sebagaimana halnya dengan perkembangan industry. Perroux berpendapat bahwa “pertumbuhan tidak terjadi di sembarang tempat dan juga tidak terjadi secara serentak; pertumbuhan itu terjadi pada titik-titik atau kutub-kutub perkembangan, dengan intensitas yang berubah-ubah; perkembangan ini menyebar sepanjang saluran-saluran yang beraneka ragam dan dengan efek yang beranekaragam terhadap keseluruhan perekonomian”.

Menurut Perroux, faktor dari pembangunan dapat disebabkan oleh suatu konsentrasi (aglomerasi) tertentu bagi kegiatan ekonomi dalam suatu ruang yang abstrak.

Adapun Boudeville mendefinisikan kutub pertumbuhan (growth pole) sebagai “sekelompok industri yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke seluruh daerah pengaruhnya”.

Tidak hanya itu, Boudeville juga merumuskan konsep growth pole sebagai suatu model perencanaan yang bersifat operasional, yang menjelaskan suatu kondisi pertumbuhan akan tercipta pada wilayah yang menyebabkann muncullnya kutub (polarized region).

Glasson memperkuat teori kutub pertumbuhan dengan merumuskan beberapa konsep dasar dan perkembangan geografik yang mendukung adanya kutub (polazired region). Berikut rinciannya.

  1. Konsep “leading industries” dan perusahaan-perusahaan propulsip menyatakan pada pusat kutub pertumbuhan terdapat perusahaan-perusahaan propilsip yang besar, yang termasuk dalam “leading industries” yang mendominasi unit-unit ekonomi lainnya.
  2. Konsep polarisasi, menyatakan bahwa pertumbuhan yang cepat dari leading industries mendorong polarisasi dan unit-unit ekonomi lainnya ke dalam kutub pertumbuhan.
  3. Konsep “spread effect” atau “trickling down effect” menyatakan bahwa pada waktunya, industri propulsip dinamik dari kutub pertumbuhan akan memencar keluar dan memasuki ruang di sekitarnya.

Manajemen Pembangunan Kabupaten & Kota

Sejarah Teori Kutub Pertumbuhan

Menurut Misyoshi, sejarah konsep kutub pertumbuhan (growth pole) terbagi dalam beberapa tahap. Tahap pertama merupakan kelahiran konsep growth pole. Tahap kedua, penerapan konsep growth pole secara geografis. Tahap ketiga, yakni penyebab ketidakseimbangan wilayah yang dianalisis berdasarkan konsep growth pole. Tahap keempat, yakni tahap menuju perbaikan konsep growth pole.

Konsep ini dibangun oleh Perroux pada 1955. Konsep ini didasarkan pada faktor-faktor aglomerasi dan teori-teori lokasi terdahulu. Hal tersebut dikarenakan konsentrasi pertumbuhan ekonomi pada ruang tertentu—yang sebelumnya digambarkan oleh Perroux pada ruang abstrak.

Model struktur ruang yang muncul sebelumnya, yaitu teori tempat sentral (central place theory), telah menuai kritik, dan konsep growth pole merupakan jawaban atas kritik terhadap teori tempat sentral tersebut. Dalam praktek konsep growth pole cenderung berkembang lebih jauh daripada dasar teoritiknya sendiri.

Konsep growth pole berkembang pesat dan digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan (disebut strategi growth pole) baik pada negara-negara sedang berkembang pada tahun 1960-an maupun negara maju. Kemudian diterapkan dan didiskusikan dengan serius pada tahun 1970-an.

Memasuki tahap kedua, yakni penekanan konsep growth pole. Para ahli ekonomi telah banyak membahas mengenai growth pole dan menghubungkannya dengan perencanaan wilayah di antaranya Boudeville, Hirschman dan lain-lain.

Boudiville merumuskan teori kutub pertumbuhan sebagai “satu set perluasan industri-industri yang berlokasi di suatu wilayah urban dan menyebabkan pembangunan kegiatan ekonomi lebih jauh melalui pengaruh zonanya”.

Adapun Friedmann merumuskan pola pembangunan wilayah di Amerika sebaiknya diterapkan pada semua negara yang sedang berkembang. Konsep ini banyak dianut oleh negara-negara berkembang di masa itu.

Kemudian, Gore menyimpulkan bahwa ahli ekonomi wilayah pada sekitar tahun 1960 memiliki hubungan dengan konsep growth pole yang pandangannya sama. Konsep pertumbuhan tersebut di antaranya adalah pertumbuhan terjadi secara bertahap, mereka percaya strategi growth pole dapat mencapai berbagai tujuan kebijakan wilayah dan hubungan antar wilayah secara empiris dapat dibuktikan kebenarannya.

Pada tahap ketiga, beberapa ahli ekonomi wilayah menjelaskan mengenai konsep growth pole yang menjadi penyebab ketidakseimbangan wilayah. Seperti Stohr dan Todling menyusun sebuah studi kasus dan menyimpulkan bahwa strategi growth pole tidak dapat membawa pembangunan ke wilayah belakangnya (hinterland).

Strategi ini mungkin sukses dalam mengurangi disparitas interregional, tetapi spread effect terhadap wilayah sekitarnya sangat lemah, bahkan menyebabkan terjadinya disparitas intra-regional. Pendapat Stohr dan Todtling didukung oleh Polenske yang menegaskan mengenai dua pemikiran pada teori kutub pertmbuhan yang menyatakan bahwa dominasi perusahaan-perusahaan tertentu adalah faktor positif dalam proses pembangunan.

Hal tersebut dikarenakan oleh kebutuhan untuk menolong sejumlah besar penduduk. Sehingga, para teori dependency menyatakan bahwa dominasi membawa pengambilalihan produk surplus di suatu wilayah tidak digunakan oleh penduduk setempat, tetapi untuk para kapitalis.

Pada tahap keempat, setelah mendapat banyak kritikan mengenai konsep teori kutub pertumbuhan maka beberapa ahli ekonomi wilayah melakukan berbagai perbaikan dan dukungan terhadap konsep ini.

Richardson mengemukakan bahwa kekecewaan terhadap kebijakan pusat pertumbuhan (growth pole) pada banyak negara bukan merupakan bukti bahwa prinsip polarisasi salah. Hal tersebut disebabkan oleh adanya optimisme yang berlebihan dan waktu yang singkat dalam menerapkan konsep ini.

Higgins menyatakan bahwa strategi growth pole bukan kesalahan teori Perroux, tetapi kesalahan suatu versi yang berbanding terbalik dengan penerapan teori ini melalui disiplin ilmu para ilmuwan tersebut.

Ciri-Ciri Pusat Pertumbuhan

Melansir dari laman Pahamify.com, sebuah wilayah dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan jika memiliki ciri-ciri berikut ini.

1. Adanya Hubungan Internal dan Beragam Aktivitas

Pada umunya, sebuah wilayah pusat pertumbuhan memiliki beragam aktivitas perekenomian di dalamnya. Aktivitas tersebut memiliki bentuk yang beragam di antaranya perumahan, perdagangan, perindustrian, pelabuhan, pergudangan, distribusi, hiburan, dan sebagainya.

Seluruh aktivitas perekonomian tersebut berpotensi dapat bercampur dan saling terinternalisasi dalam sebuah sebuah pusat pertumbuhan. Sebagai contoh Kota Surabaya yang terkenal memiliki beragam aktivitas perekonomian.

Seperti perniagaan, pendidikan, hingga pelabuhan yang terintegrasi di kota tersebut. oleh sebab itu, Surabaya bisa disebut atau dikelompokkan menjadi pusat pertumbuhan.

2. Adanya Efek Penggandaan (Multiplier Effect)

Jika sebuah wilayah yang memiliki wilayah yang menjadi penghubung atau nodal atau yang memiliki ketergantungan antara daerah inti (pusat) dengan daerah belakang (interland). Oleh sebab itu, umumnya, daerah tersebut akan mengalami efek penggandaan ke wilayah-wilayah sekitarnya.

Hal tersebut dikarenakan sifatnya seperti simpul, nodal memiliki titik-titik pertumbuhan yang menyebar dari tengah ke wilayah-wilayah sekitarnya yang masih satu kota. Misalnya jika ada pembangunan bandara di sebuah wilayah.

Maka, wilayah bandara tersebut, perlahan akan memberikan pengaruh ke wilayah-wilayah sekitarnya yang akan menjadi pendukung bagi bandara tersebut. Bentuk kegiatan ekonomi yang menjadi pendukung bandara tersebut dapat berupa perumahan, tempat wisata, pusat perdagangan, perkantoran, hotel, ekspedisi, dan sebagainya.

Adapun efek dari penggandaan tersebut menjadi penting untuk diperhatikan sebelum membangun sebuah wilayah pusat pertumbuhan. Hal tersebut, nantinya akan berkaitan dengan kemudahan dalam membuka lapangan pekerjaan.

3. Mendorong ke Daerah Belakang

Umumnya, sebuah wilayah menjadi pusat pertumbuhan dipengaruhi oleh wilayah-wilayah di sekitar daerah tersebut. Misalnya, wilayah Jakarta dipengaruhi oleh Bekasi sehingga Bekasi memiliki nodalnya sendiri. Kemudia, menjadi sebuah kota sendiri.

4. Adanya Konsentrasi Geografis

Setiap wilayah memiliki spesialiasasi tertentu meskipun tempat tersebut telah menjadi pusat pertumbuhan yang memiliki beragam kegiatan perekonomian. Adanya konsentrasi geografis atau aglomerasi membuat sebuah wilayah pusat pertumbuhan memiliki fokus perekonomian.

Dengan keadaan seperti itu, pertumbuhan perekonomian wilayah tersebut akan menjadi lebih pesat karena adanya spesialisasi yang menjadi pembeda dengan wilayah-wilayah lain. Konsentrasi geografis juga turut mengambil peran dalam memberikan efek multiplier effect yang tinggi pada suatu wilayah yang menjadi wilayah pusat pertumbuhan.

Kinerja BUMN dan Pertumbuhan Ekonomi: Strategi Pengembangan Industri Pertanian

Penerapan Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Pole) di Indonesia

Konsep teori kutub pertumbuhan diadopsi oleh Indonesia menggunakan strategi pembangunan wilayahnya. Dampaknya, terbentuk megaurban pada berbagai wilayah yang sulit dibatasi, seperti Jabodetabek, Gerbangkertasusila, dan lain-lain.

Masalah berikutnya terjadi ketimpangan wilayah, terutama dalam hal kesejahteraan antara kota-kota utama dan wilayah di sekitarnya. Oleh sebab itu, ada kecenderungan masyarakat untuk mendekati kawasan potensial atau sumber penghidupan, yakni menuju kota-kota utama tersebut.

Faktor-Faktor yang Menyebabkan Suatu Wilayah Menjadi Pusat Pertumbuhan

Suatu wilayah dapat menjadi pusat pertumbuhan dipengaruhi oleh beragam seperti faktor geografis, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi suatu wilayah menjadi pusat pertumbuhan yang dirangkum dari laman Zenius.net.

  • Adanya industri sehingga banyak lapangan kerja dan tempat tinggal.
  • Kondisi geografis seperti iklim, jenis dataran, dan kesuburan tanah.
  • Lengkapnya fasilitas (tempat tinggal, kesehatan, dan sebagainya) dan infrastruktur (transportasi dan jalanan) sehingga menjadi pendukung kondisi ekonomi dan sosial.

The City (Kota) Boardbook Edisi Dwibahasa Inggris-indonesia

About the author

Fiska

Saya Fiska Rahma Rianda dan saya suka dunia menulis dan membaca memang menjadi hobi yang ingin disalurkan melalui sastra. Saya juga senang mereview buku serta membaca buku-buku yang berkaitan dengan sebuah teori.

Kontak media sosial Linkedin saya Fiska Rahma