in

Review Novel Filosofi Kopi Karya Dee Lestari

Filosofi Kopi merupakan sebuah novel fiksi yang ditulis oleh novelis sekaligus penyanyi ternama, Dee Lestari. Nama Dee Lestari tentunya sudah tak asing lagi, karena ia sudah melahirkan berbagai karya populer, seperti Supernova, Perahu Kertas, dan Rectoverso.

Layaknya karya-karya Dee Lestari yang lain, novel Filosofi Kopi yang pertama kali terbit pada tahun 2006 ini sangat populer di masyarakat luas. Cerita novel ini bahkan telah diadaptasi menjadi film layar lebar dengan judul yang sama pada tahun 2015, dan sekuelnya pada tahun 2017.

Novel Filosofi Kopi bahkan berhasil dianugerahi sebagai karya sastra terbaik tahun 2006 oleh majalah Tempo. Pada tahun yang sama, Filosofi Kopi juga berhasil dinobatkan menjadi 5 Besar Khatulistiwa Award kategori fiksi.

Novel ini mengisahkan tentang sebuah kedai kopi bernama Filosofi Kopi. Kedai ini tidak besar dan dapat dibilang sederhana dibandingkan dengan kedai kopi atau kafe lain yang ada di Jakarta. Namun, di kedai ini, setiap inci dipersiapkan dengan intensitas.

Hal ini tak lain dan tak bukan berkat kehadiran Ben yang kini telah menjadi salah satu barista andal yang ada di Jakarta. Kini, bukan hanya pecinta kopi saja yang datang ke kedai kami, melainkan mereka yang tak suka minum kopi sama sekali juga ada yang berkunjung ke sini.

Sampai pada suatu hari, seorang pria menantang Ben untuk membuat kopi yang memiliki rasa sempurna. Kopi yang jika diminum akan membuat seseorang yang meminumnya menahan napas, karena takjub. Gong besarnya adalah pria itu menawarkan imbalan yang sangat besar untuk mendapatkan kopi yang sempurna.

Melalui novel Filosofi Kopi ini, Dee ingin mengisahkan bagaimana perjuangan seorang yang memiliki minat menekuni dunia kopi dan memaknai kopi dari sudut pandang kehidupan.

Profil Dee Lestari – Penulis Novel Filosofi Kopi

Sumber foto: tribunnews.com

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Dewi Lestari Simangunsong atau yang kerap dipanggil dengan nama Dee Lestari merupakan wanita kelahiran 20 Januari 1976. Dee Lestari merupakan seorang penyanyi, penulis lagu, dan novelis yang namanya sudah populer di Indonesia.

Dee Lestari merupakan anak keempat dari lima bersaudara, buah hati dari pasangan Yohan Simangunsong dan alm. Tiurlan br Siagian. Nampaknya bakat seni memang mengalir dalam darah kepada seluruh anggota keluarga Simangunsong. Sebab, tiga saudara perempuan Dee juga aktif menggeluti bidang seni.

Dee Lestari merupakan alumni SMA Negeri 2 Bandung dan alumni Universitas Parahyangan, Bandung, mengambil jurusan Ilmu Hubungan Internasional. Sejak kecil, Dee diketahui telah akrab dengan dunia musik.

Ayahnya yang merupakan seorang anggota TNI diketahui pintar bermain piano, meski belajar secara mandiri. Dee dikenal sebagai seorang penyanyi. Pada bulan Mei 1994, Dee Lestari bersama dengan Rida Farida dan Indah Sita Nursanti membentuk grup vokal bernama Rida Sita Dewi (RSD), ia juga pernah menjadi penyanyi latar untuk Iwa K, Chrisye, dan Java Jive.

Trio RSD ini kemudian meluncurkan album pertamanya yang berjudul Antara Kita pada tahun 1995. Kemudian dilanjutkan dengan album kedua yang bertajuk Bertiga, yang dirilis pada 1997. Trio RSD kemudian tergabung di dalam naungan Sony Music Indonesia, dan merilis album bertajuk Satu pada tahun 1999. Karir Dewi Lestari sebagai seorang penyanyi dapat dibilang cukup sukses membawa namanya dikenal masyarakat Indonesia.

Ditambah lagi, pada tahun 2003 Dee Lestari menikah dengan penyanyi R&B ternama, Marcell Siahaan. Melalui pernikahan tersebut, pada tahun 2004, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki yang bernama Keenan Avalokita Kirana. Namun, pernikahan mereka tidak bertahan terlalu lama. Dee Lestari menggugat cerai Marcell Siahaan pada tahun 2008.

Dee Lestari kemudian menikah lagi pada akhir tahun 2008 dengan seorang pakar penyembuhan holistik yang bernama Reza Gunawan. Mereka menikah di Sydney, Australia, dan dari hasil pernikahan ini mereka dikaruniai anak perempuan yang bernama Atisha Prajna Tiara.

Nama Dee Lestari mulai dikenal sebagai seorang novelis ketika ia menerbitkan novel yang berjudul Supernova pada tahun 2001. Sebelum Supernova diterbitkan, tidak banyak orang yang mengetahui bahwa Dee memang suka menulis.

Padahal, karya tulis Dee Lestari pernah dimuat oleh beberapa media. Contohnya, salah satu cerpennya yang bertajuk “Sikat Gigi” pernah dimuat di buletin seni Jendela Newsletter, yang merupakan media asal Bandung yang berbasis budaya independen dan eksklusif untuk kalangan sendiri. Selain itu, pada tahun 1993 juga Dee sempat mengirimkan tulisannya yang berjudul “Ekspresi” ke Majalah Gadis, yang pada saat itu sedang mengadakan lomba menulis. Dee Lestari berhasil mendapat gelar sebagai juara pertama dalam lomba itu.

Novel Supernova : Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh, yang menjadi debutan Dee Lestari sebagai seorang penulis pertama kali diterbitkan pada 16 Februari 2001. Novel Supernova ini sangat sensasional dan populer. Dalam waktu 35 hari saja, novel Supernova habis terjual sebanyak 12.000 eksemplar. Hingga saat ini, diketahui novel Supernova yang pertama telah terjual lebih dari 75.000 eksemplar.

Pada bulan Maret 2020, Novel Supernova juga diterjemahkan ke dalam bahasa asing, yaitu Bahasa Inggris dan menembus pasar internasional. Dalam menerjemahkan karyanya itu, Dee Lestari bekerja bersama Harry Aveling, seorang ahli penerjemah karya sastra.

Setelah sukses dengan novel debutnya, Dee Lestari kembali menerbitkan novel lanjutan Supernova, yakni Supernova 2: Akar. Novel ini resmi diterbitkan pada tanggal 16 Oktober 2002. Novel Supernova 2 ini sempat mengundang kontroversi, karena dessin sampul novel ini menggunakan lambang aksara suci yang dianggap melecehkan umat Hindu. Pada akhirnya, disepakati untuk mengganti desain sampul buku Supernova 2 pada cetakan berikutnya.

Pada bulan Januari 2005, kembali merilis novel ketiga dari seri novel Supernova, yakni Supernova 3: Petir. Kisah yang diceritakan dalam novel ini masih berhubungan dengan dua novel sebelumnya, hanya saja terdapat sejumlah 4 tokoh baru dalam novel ini.

Cukup lama jeda waktu Dee untuk menghasilkan karya lagi. Selama 3 tahun dari tanggal terbit novel terakhirnya, Dee Lestari baru menerbitkan novel terbarunya yang berjudul “Rectoverso” pada bulan Agustus 2008. Tema yang diusung dalam novel ini adalah Sentuh Hati dari Dua Sisi.

Pada bulan Agustus 2009, Dee Lestari menerbitkan novel Perahu Kertas. Novel Perahu Kertas ini sangat populer di masyarakat luas, bahkan sudah berhasil diadaptasi menjadi sebuah film layar lebar.

Pada tahun 2012, Dee Lestari kembali merilis novel keempat dari seri novel Supernova yang bertajuk Supernova 4: Partikel dengan tokoh utama Zarah. Diikuti pada bulan Oktober 2014, novel lanjutan dari seri novel Supernova yang berjudul Supernova 5: Gelombang diterbitkan. Pada tanggal 26 Februari 2016, Dee Lestari berhasil menyelesaikan seri novel Supernova dengan merilis Supernova 6: Inteligensi Embun Pagi (IEP).

Sejumlah karya yang pernah ditulis Dee Lestari dalam genre fiksi, yaitu Supernova 1: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (2001), Supernova 2: Akar (2002), Supernova 3: Petir (2004), Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade (2006), Rectoverso (2008), Perahu Kertas (2009), Madre (2011), Supernova 4: Partikel (2012), Supernova 5: Gelombang (2014), Supernova 6: Inteligensi Embun Pagi (2016), Kepingan Supernova (2017), Aroma Karsa (2018), Rapijali 1: Mencari (2021), Rapijali 2: Menjadi (2021), Rapijali 3: Kembali (2021). Ada juga karya Dee Lestari yang masuk ke dalam genre non fiksi, yaitu Di Balik Tirai Aroma Karsa (2019) dan Rantai Tak Putus (2020).

Dee Lestari telah mendapatkan berbagai pengakuan dalam bentuk penghargaan sebagai penulis, seperti contohnya masuk ke dalam 5 Besar Khatulistiwa Literary Award 2001 untuk novel pertamanya, Supernova 1: Kesatria, Putri, & Bintang Jatuh (Khatulistiwa Literary Award 2001). Mendapatkan Penghargaan Sastra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tahun 2006 untuk karya Filosofi Kopi sebagai karya sastra terbaik, penghargaan ini diberikan oleh Kementerian Pendidikan & Kebudayaan Indonesia.

Selain itu, ia juga pernah memperoleh penghargaan Anugerah Pembaca Indonesia 2015 dalam kategori “Buku Fiksi Terfavorit” melalui bukunya yang berjudul Supernova 5: Gelombang oleh Festival Pembaca Indonesia, pada tahun 2015. Juga, mendapat IKAPI Awards tahun 2016 dalam kategori “Book of The Year 2016”, untuk bukunya yang berjudul Supernova 6: Inteligensi Embun Pagi, yang diberikan oleh Indonesia International Book Fair 2016.

Sinopsis Novel Filosofi Kopi

Dua orang lelaki bernama Ben dan Jody mulai dari nol untuk membangun sebuah usaha kedai kopi. Ben merupakan seorang barista yang pandai meramu kopi, dan tentunya sangat antusias dengan segala hal yang berkaitan dengan kopi. Oleh karena kegigihannya untuk membangun kedai kopi itu, Ben kemudian pergi keliling dunia demi mencari koresponden di mana-mana, untuk mendapatkan seluruh kopi terbaik yang ada di seluruh dunia. Ia juga berkonsultasi dengan dengan para pakar peramu kopi dari Paris, Roma, Amsterdam, new York, London, dan Moskow.

Ben, dengan kemampuan Bahasa Inggrisnya yang pas-pasan rela mengemis, agar ia diizinkan masuk ke dapur kafe atau kedai kopi, memantau ke bar saji, dan menemukan rahasia dari ramuan kopi yang dibuat oleh semua barista yang dikunjunginya. Ia rela melakukan itu semua hanya demi mengetahui takaran yang paling pas untuk membuat cappucino, cafe latte, espresso, irish coffee, russian coffee, macchiato, dan jenis kopi lainnya.

Kopi yang dibuat oleh Ben selalu dimaknai dengan berbagai filosofi menurut pendapatnya. Hal itu lah yang menjadi daya tarik dari kedai kopi yang dibangun Jody dan Ben. Oleh karena itu juga, ramai sekali pelanggan yang berkunjung ke kedai kopi mereka.

Sampai pada suatu hari, kedai kopi mereka didatangi seorang pria perlente yang sekiranya berumur 30 tahun-an. Di depan mereka, ia bertanya kepada Ben sang barista, ia mengumumkan dengan suara yang lantang, “Di kedai ini, apakah ada kopi yang memiliki arti: Kesuksesan merupakan wujud kesempurnaan hidup?” Pria itu menantang Ben untuk membuatkannya kopi yang rasanya sempurna dan tidak ada tandingannya di dunia.

Pria itu kemudian melanjutkan, “Kopi yang jika diminum akan membuat peminumnya menahan napas, karena sangat takjub, dan hanya bisa berkata: hidup ini sempurna”. Pria itu bahkan menawarkan imbalan sebesar 50 juta jika Ben bisa membuatkannya kopi yang sempurna.

Ben si ambisius tanpa pikir panjang menerima tantangan tersebut. Ia bekerja keras selama beberapa minggu untuk menghasilkan kopi terbaik. Perjuangannya itu membuahkan hasil, Ben kemudian menamai kopi tersebut sebagai “Ben’s Perfecto”. Pagi-pagi sekali, Ben menghubungi penantangnya melalui telepon untuk memintanya datang ke kedai di sore hari.

Pria itu datang, dan Ben langsung menyuguhkan secangkir Ben’s Perfecto sambil disaksikan seluruh pelanggan lain. Pria itu kemudian menyeruput kopi itu secara perlahan, dan setelah beberapa saat, ia berkata, “hidup ini sempurna”. Semua pelanggan lain yang menyaksikan itu langsung memberikan tepuk tangan yang riuh.

Pria itu kemudian mengeluarkan selembar cek dan memberikannya kepada Ben seraya berkata, “Selamat. Kopi ini sempurna”. Ben’s Perfecto kemudian menjadi menu favorit semua pelanggan yang datang ke kedai itu, sekaligus menjadi daya tarik yang mampu mendatangkan pelanggan baru. Sampai pada suatu hari ada seorang pria setengah baya yang mencoba kopi itu dan mengatakan bahwa rasa kopi tersebut hanya cukup enak.

Masih ada kopi yang lebih enak yang pernah dicobanya di suatu tempat di Jawa Tengah. Ben sontak merasa penasaran mendengar perkataan itu. Ia pun langsung mengajak Jody untuk menemaninya mengunjungi pedesaan di Jawa Tengah. Di penghujung jalan di jalan pedesaan itu, ada sebuah warung reot berbentuk gubuk yang berdiri di atas bukit kecil, dan dinaungi oleh pepohonan besar. Di halaman warung itu terdapat sejumlah tampi yang berisi biji kopi yang baru dipetik.

Mereka berdua kemudian memesan secangkir kopi tiwus kepada pemilik warung itu. Ben dan Jody kemudian langsung meminum kopi tersebut tanpa berbicara apapun. Mereka mendapati kopi itu memiliki rasa yang sempurna dan memiliki cerita serta filosofi yang menarik dibaliknya. Ben kemudian merasa gagal dan kembali ke Jakarta dengan perasaan putus asa.

Sampai pada akhirnya, Ben menyadari bahwa sesempurna apapun kopi yang dibuatnya, kopi adalah kopi. Kopi akan selalu memiliki sisi pahit yang tak dapat disembunyikan. Di sana juga kehebatan kopi tiwus, yakni memberikan sisi pahit yang dapat membuat seseorang melangkah mundur dan berpikir. Ben kemudian melanjutkan kehidupannya di kedai Filosofi Kopi.

Kelebihan Novel Filosofi Kopi

Premis cerita ini sangat sederhana dan dinilai unik, yakni hanya mengisahkan tentang dua orang yang berjuang menggeluti minatnya dalam membangun kedai kopi. Namun, kesederhanaan itu menjadikan cerita ini unik dan menarik untuk diikuti.

Dee Lestari tentunya tak usah diragukan lagi dalam segi gaya penulisannya. Dee Lestari melalui novel Filosofi Kopi ini lagi-lagi mampu membawa pembaca larut dalam setiap kalimat yang dibuatnya. Para pembaca dapat terbuai bukan hanya dari ceritanya, melainkan juga dari kalimatnya.

Novel Filosofi Kopi ini memiliki pesan moral yang mendalam mengenai arti kehidupan. Maka itu, novel Filosofi Kopi ini bukan hanya karangan fiksi yang dapat menghibur pembaca, melainkan juga dapat menjadi inspirasi bagi para pembaca.

Kekurangan Novel Filosofi Kopi

Target pembaca novel Filosofi Kopi ini dapat dikatakan terfokus pada para pecinta kopi. Maka itu, para pembaca yang tidak memiliki ketertarikan pada kopi mungkin mendapati kesulitan dalam memaknai filosofi mendalam dibalik sebuah kopi.

Pesan Moral Novel Filosofi Kopi

Setiap hal yang ada di dunia ini, sekecil apa pun hal itu, pasti memiliki makna. Tidak ada yang sia-sia di dunia ini. Pemaknaan itu, hanya bisa didapatkan dari diri sendiri, melalui pemikiran yang baik.

Dalam menggapai kesuksesan, pastinya diperlukan perjuangan dibaliknya. Perjuangan yang mungkin sangat panjang atau sangat berat, atau bahkan dinilai menyenangkan. Jadi, jangan patah semangat dan terus berjuang.

Dibalik kelebihan pasti ada kekurangan. Layaknya kopi, sesempurna apa pun kopi yang ada di dunia ini, kopi akan memiliki sisi pahit yang tak bisa dihindari.

Jika kita mencari hal yang lebih sempurna dari apa yang kita miliki saat ini, pastinya akan terus ada. Hal itu membawa kita kepada dua pilihan, yakni untuk bersyukur menerima hal yang telah kita miliki, atau terus mencari hal sempurna lain yang tak akan pernah ada habisnya.

Bagi kalian yang ingin mengetahui keseluruhan kisah Ben dan Jody, kalian bisa mendapatkan novel Filosofi Kopi karya Dee Lestari ini di Gramedia.com.

Written by Nandy

Perkenalkan saya Nandy dan saya memiliki ketertarikan dalam dunia menulis. Saya juga suka membaca buku, sehingga beberapa buku yang pernah saya baca akan direview.

Kontak media sosial Linkedin saya Nandy