in

Review Buku The Courage to be Disliked

Buku The Courage to be Disliked ditulis oleh Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga, dan pertama kali diterbitkan pada 12 Desember 2013. Buku ini berisikan penjelasan mengenai pandangan hidup berdasarkan teori psikologi Alfred Adler?seorang psikolog, dokter dan terapis. Teori psikologi ini juga dapat disebut sebagai aliran psikologi individual, yang dijabarkan melalui percakapan antara seorang pemuda dan filsuf.

Fenomena Jepang yang mengajarkan kita pelajaran sederhana namun mendalam yang diperlukan untuk membebaskan diri kita yang sebenarnya dan menemukan kebahagiaan abadi. The Courage to be Disliked menunjukkan kepada Anda bagaimana membuka kekuatan dalam diri Anda untuk menjadi diri Anda yang terbaik dan paling sejati, mengubah masa depan Anda dan menemukan kebahagiaan abadi.

Menggunakan teori Alfred Adler, salah satu dari tiga raksasa psikologi abad ke-19 bersama Freud dan Jung, penulis menjelaskan bagaimana kita semua bebas menentukan masa depan kita sendiri, bebas dari belenggu pengalaman masa lalu, keraguan, dan harapan orang lain. Ini adalah filosofi yang sangat membebaskan, memungkinkan kita mengembangkan keberanian untuk berubah, dan mengabaikan batasan yang dapat kita dan orang-orang di sekitar kita tempatkan pada diri kita sendiri.

Buku The Courage to be Disliked telah menjadi salah satu buku paling laris di Asia, dengan penjualan yang mencapai lebih dari 3,5 juta kopi. Jika anda sedang mencari kebahagiaan sebagai sesuatu yang bisa anda pilih untuk diri anda sendiri, buku ini dapat menjadi jawaban yang lugas dan sederhana.

Buku The Courage to be Disliked akan memandu anda melalui konsep pengampunan diri, perawatan diri, dan pembersihan pikiran, sehingga membuka kekuatan dari dalam diri anda untuk menemukan kebahagiaan abadi, serta menjadi orang yang benar-benar anda inginkan.

Profil Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga – Penulis Buku The Courage to be Disliked

Sumber foto: namess.org

Ichiro Kishimi merupakan pria kelahiran tahun 1956, yang merupakan seorang philosopher dan psikolog Adlerian, serta penerjemah bahasa Inggris dan Jerman. Ichiro Kishimi menyandang gelar M.A. di filosofi, dari Universitas Kyoto.

Ichiro Kishimi juga merupakan Direktur Masyarakat Psikologi Adlerian Jepang, mantan konselor di Maeda Clinic di Kyoto, dan pernah menjadi pengajar filsafat dan bahasa Yunani kuno di berbagai universitas, seperti Kyoto University of Education dan Nara Women’s University.

Saat ini, Ichiro mengajar psikologi pendidikan dan psikologi klinis di Meiji School of Oriental Medicine di Suita, Osaka. Ichiro Kishimi saat ini juga memiliki sebuah kantor konseling pribadi di Kameoka, Kyoto, dan menghabiskan waktu luangnya dengan memberikan kuliah tentang Psikologi Adlerian dan pendidikan anak.

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Fumitake Koga merupakan pria berusia 49 tahun, yang lahir pada tahun 1973 di Prefektur Fukuoka, Jepang. Fumitake Koga merupakan seorang penulis profesional yang telah memenangkan berbagai penghargaan.

Fumitake Koga telah merilis banyak karya best seller yang berhubungan dengan bisnis dan non-fiksi umum. Fumitake Koga mengenal psikologi Adlerian saat ia berusia akhir dua puluhan, dan dari situ, ia sangat terpengaruh oleh ide-ide yang menentang kebijaksanaan konvensional.

Setelah itu, Fumitake Koga kerap mengunjungi Ichiro Kishimi di Kyoto, untuk mengumpulkan esensi psikologi Adlerian darinya, dan mencatat metode “format dialog” klasik dari filsafat Yunani yang digunakan dalam buku yang ditulis mereka. Adapun, buku yang mereka tulis bersama, yaitu The Courage to be Disliked dan The Courage to be Happy.

 

Sinopsis Buku The Courage to be Disliked

Kita Memiliki Kecenderungan Untuk Percaya Bahwa Masa Lalu Pasti Menentukan Masa Depan. Padahal Pada Kenyataannya, Kita Selalu Mempunyai Kesempatan Untuk Berubah

Kita pasti sering mendapati kasus, di mana seorang anak menjadi korban penindasan dari temannya di sekolah atau mungkin dia dibesarkan dengan cara yang salah, cara didik yang kasar atau kejam. Ketika mendengar kasus tersebut, kita berasumsi bahwa anak itu pasti akan memiliki rasa trauma dari kejadian itu, dan membawanya ke situasi sosial yang ia hadapi di masa depan.

Sebaliknya, saat seorang anak terlalu dimanjakan saat waktu kecil, kita memiliki kecenderungan untuk menganggap bahwa di masa depan, anak itu tidak akan mampu menghadapi realita kehidupan yang keras, yang dipenuhi dengan ketidakadilan. Bagi sebagian orang, termasuk kita, akar penyebab dari masalah psikologi adalah kejadian pada masa lalu.

Namun, pandangan deterministik akan psikologi ini ditolak oleh Alfred Adler, seorang psikolog asal Austria. Ia mengemukakan bahwa pada kenyataannya, setiap dari kita memiliki kebebasan yang penuh untuk melakukan segala hal yang kita inginkan. Kita juga tidak perlu menjadi manusia yang didefinisikan oleh rasa trauma akibat masa lalu kita.

Banyak Orang Memiliki Pandangan Terhadap Hidup yang Spesifik, dan Cukup Sulit Untuk Mengubah Pandangan Ini.

Kita kerap kali membentuk berbagai kategori atau kelompok, dalam menentukan karakter seseorang. Salah satu contoh golongan karakter yang paling umum, yaitu pesimistis dan optimistis. Kita juga kerap kali berpikir bahwa karakter seseorang tidak akan berubah untuk seumur hidupnya.

Namun, ilmu psikologi Adlerian mempunyai pemahaman yang berbeda. Psikologi Adlerian tidak menyebut sikap bawaan seseorang sebagai karakter, tetapi menyebutnya sebagai gaya hidup. Perubahan penyebutan ini bertujuan untuk menyoroti bahwa karakteristik seseorang tidak ditentukan sejak ia lahir, tetapi, sikap yang mereka lakukan menjadi sebuah artikulasi dari pandangan mereka terhadap dunia. Dengan kata lain, jika anda memandang dunia secara negatif, maka anda akan bersikap pesimistis.

Adler mengemukakan bahwa kita memilih gaya hidup secara aktif, dan bisa memilih untuk menentukan pandangan kita terhadap dunia pada saat kita berumur sepuluh tahun. Keputusan ini umumnya didasarkan pada pengalaman positif dan negatif dalam hidup yang telah dialami.

Kita juga memiliki kecenderungan untuk terus mempertahankan pandangan yang telah kita pilih itu. Maka itu, tak jarang kita temui sejumlah orang yang kerap kali membahas bagaimana mereka ingin menjalani kehidupan yang berbeda, dan mereka tidak merasa bahagia akan hidup yang mereka jalani.

Dari sikap seperti ini, timbul kesan bahwa seseorang tersebut sangat ingin hidupnya berubah, tetapi menurut Adler, justru hal yang diinginkan mereka adalah sebaliknya. Jika mereka benar-benar ingin menjalani hidup yang berbeda, mereka harusnya telah melakukan sesuatu untuk menciptakan perubahan sejak lama.

Kebencian Atas Diri Sendiri yang Berdasarkan pada Persepsi akan Ketidaksempurnaan Diri Hanya Sebuah Strategi yang Kita Gunakan untuk Menjauh dari Orang Lain

Semua orang pasti memiliki kelemahan atau ketidaksempurnaan. Ketidaksempurnaan tersebut bahkan menjadi salah satu hal yang paling kita soroti ketika berkaca. Pasti ada saja rasa khawatir yang timbul akibat ketidaksempurnaan yang kita lihat dalam diri kita sendiri. Baik itu yang bersifat fisik atau non-fisik.

Hal ini bisa menjadi masalah di masa depan, jika anda menganggap ketidaksempurnaan yang sebetulnya tak seberapa itu sebagai sebuah masalah besar. Ada satu murid dari Ichiro Kishimi yang pernah mengatakan kepadanya bahwa ia membenci dirinya sendiri.

Ichiro lantas bertanya dengan heran, mengapa dirinya bisa membenci dirinya sendiri? Murid itu kemudian menjawab bahwa ia sangat menyadari ketidaksempurnaan yang ia miliki. Maka itu, ia tidak percaya diri dan memandang dunia secara pesimistis.

Ketika ia berada di sebuah situasi sosial, ia berpikir berlebihan tentang bagaimana orang lain akan menilai setiap tingkah lakunya, dan bagaimana jika ia tidak bisa bertindak dengan ‘normal’ di depan orang lain. Ia percaya bahwa hidupnya akan menjadi lebih baik, jika ia dapat memperbaiki ketidaksempurnaan yang menjadi bagian dari dirinya, hal yang ia benci itu.

Maka itu, ia bahkan melakukan usaha dengan ikut kelas yang mengajarkan tentang bagaimana cara untuk mengembangkan rasa percaya diri. Ichiro Kishimi kemudian lanjut bertanya, “Bagaimana perasaanmu setelah mendiskusikan secara terbuka tentang rasa benci terhadap dirimu sendiri ini?

Ternyata, percakapan ini malah membuat perasaannya semakin memburuk. Ia sekarang semakin sadar akan alasan tidak ada orang lain yang mau menghabiskan waktu bersama seseorang yang buruk seperti dirinya. Dari situ, Ichiro Kishimi menemukan jawaban, yakni ketika murid itu mencela dirinya, secara tidak langsung ia telah membuat sejumlah alasan sempurna untuk menarik dirinya dari orang lain.

Jalani Hidupmu Sendiri, Jangan Menjadi Budak untuk Memenuhi Ekspektasi Orang Lain

Kerap kali, metode yang diterapkan dalam sistem pendidikan di sebagian besar negara adalah metode reward and punishment (penghargaan dan hukuman). Menurut penulis, metode pendidikan seperti ini adalah cara mendidik yang rapuh. Sebab, jika kita terbiasa belajar hanya untuk mendapat penghargaan, atau kita belajar karena takut akan mendapat hukuman, maka kita akan menemukan kesulitan dalam memotivasi diri sendiri ketika beranjak dewasa.

Kita dapat membebaskan diri kita dari metode didik ini dengan menerapkan pola pikir, bahwa kita tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi ekspektasi orang lain. Banyak ditemukan orang tua yang menekan anaknya yang sudah beranjak dewasa untuk mempertahankan tradisi keluarga atau untuk memenuhi ekspektasi sosial, dengan memaksa untuk mengemban profesi tertentu.

Risiko yang kemudian akan timbul jika hal ini diterapkan, yaitu anak tersebut akan terus merasa tertekan, karena ia merasa tidak cocok dengan pekerjaan yang dipaksakan itu. Pada akhirnya, hal ini akan membuat mereka merasa tidak bahagia.

Tak Perlu Ikut Campur Urusan Orang Lain, Ada Cara Lain untuk Menjalin Hubungan Dengan Orang Itu

Saat seorang anak mulai mendapatkan nilai buruk dan tidak peduli dengan tugas sekolah, sebagian besar orang tua akan meresponnya dengan bersikap lebih tegas kepada anak itu. Mereka akan berpikir bahwa kedisiplinan merupakan jawaban atas masalah tersebut.

Namun, menurut penulis, bersikap tegas bukan lah hal yang paling tepat untuk dilakukan. Bersikap tegas hanya akan membuat anak itu patuh kepada orang tua untuk waktu yang singkat saja. Anak juga tidak akan belajar mengenai tanggung jawab, jika orang tua hanya menyuruhnya saja dan tidak melakukan sesuatu yang lebih.

Contoh kasus di atas merupakan sebuah bentuk tindakan yang mencampuri urusan orang lain secara tidak langsung. Kemudian, timbul pertanyaan, ketika orang tua memaksakan kehendaknya, apakah itu demi kebaikan sang anak? Atau orang tua memiliki tujuan sendiri yang hanya dapat dipenuhi melalui pencapaian sang anak? Apakah mungkin itu hanya ego orang tua yang ingin membuktikan kepada orang lain bahwa mereka berhasil mendidik sang anak dengan cara yang baik dan tepat?

Penulis mengemukakan bahwa yang seharusnya orang tua lakukan jika menemukan situasi tersebut adalah memberikan kebebasan bagi anak untuk memilih. Namun, di waktu yang sama, orang tua juga harus memberitahu sang anak, bahwa mereka akan selalu memberikan dukungan dan akan selalu siap membantu jika anak memerlukan mereka.

Melalui cara ini, diharapkan sang anak dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab, lebih mandiri, lebih dewasa, dan rajin belajar. Sebab, hanya melalui belajar, mereka dapat menemukan jawaban atas rasa penasaran yang mereka miliki.

Kita Semua adalah Bagian dari Alam Semesta, dan Anda Tidak Lebih Besar Dari Padanya

Menurut psikologi Adlerian, komunitas mempunyai peran yang penting dalam kehidupan manusia. Komunitas yang dimaksud dalam hal ini bukan hanya orang-orang yang kerap kali berinteraksi dengan kita dalam keseharian. Namun, komunitas yang dimaksud, termasuk manusia yang berada di luar lingkup interaksi kita, seperti hewan, tumbuhan, hewan, lingkungan, dan bahkan segala benda yang ada di seluruh alam semesta.

Dengan menerapkan pandangan seperti ini, Adler berharap bahwa kita dapat menemukan peranan yang bisa kita mainkan dalam komunitas yang ada di alam semesta. Selain itu, diharapkan kita juga semakin menyadari keberadaan mereka, agar kemudian rasa peduli dan perhatian kita kepada mereka akan muncul secara perlahan.

Kelebihan Buku The Courage to be Disliked

Ichiro Kishimi dan Fumitake Koga menuliskan buku ini dengan gaya seperti sedang berdiskusi. Gaya penyampaian seperti dua orang yang sedang berbincang ini, ditambah dengan membagi bahasan menjadi beberapa bab kecil, membuat buku ini nyaman untuk dibaca dan mudah untuk dimengerti. Buku The Courage to be Disliked ini juga dilengkapi dengan kutipan dan kata-kata mutiara yang indah, dan dapat memotivasi para pembaca.

Setelah membaca sinopsis buku The Courage to be Disliked ini, tentunya kita mengetahui bahwa banyak sekali pelajaran yang bisa kita dapatkan dari buku ini. Pada akhirnya, kita bisa memiliki pemahaman yang lebih dalam tentang dunia, memandang dunia secara lebih luas, dan menjalani hidup secara lebih sederhana, serta bisa merasa lebih bahagia.

Kekurangan Buku The Courage to be Disliked

Terdapat sejumlah istilah yang dianggap asing bagi orang awam yang tidak mengenal psikologi Adlerian. Istilah-istilah ini kemudian dapat menghambat pembaca yang tidak mengerti maknanya untuk dapat memahami makna dari pengajaran yang disampaikan.

Buku The Courage to be Disliked ini juga dianggap sebagai salah satu buku yang merupakan bacaan berat, yang perlu dibaca ulang ketika sedang mengalami masalah yang relevan. Bagi sebagian orang, untuk dapat meresapinya dibutuhkan ketenangan dan waktu yang tepat untuk membaca buku ini.

Pesan Moral Buku The Courage to be Disliked

Seringkali kita memusatkan hidup kita untuk mendapatkan apresiasi dan penghargaan dari orang lain. Ketika itu terjadi, tujuan hidup kita dipertanyakan. Apakah kita menjalani hidup ini untuk orang lain? Jika anda menjawab tidak, lantas mengapa anda sibuk untuk memenuhi ekspektasi orang lain?

Hal tersebut nampaknya perlu direnungkan oleh sebagian besar dari kita. Sebab, kebahagiaan yang kamu rasakan dari validasi orang lain sesungguhnya bukan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang sejati hanya akan dihasilkan oleh pikiran dan dirimu sendiri.

“Hal yang paling penting bukan lah dengan apa seseorang dilahirkan, tetapi bagaimana ia dapat memanfaatkannya”

Banyak orang yang sering berpikiran bahwa bawaan lahir adalah hal besar yang menentukan hidup seseorang. Padahal, tidak ada yang bisa mendefinisikan hal-hal yang dibawa sejak lahir. Bahkan, karakter seseorang juga bukan dibentuk dari lahir.

Sejatinya hidup akan terus berubah, dan yang menentukan kehidupan seseorang adalah dirinya sendiri, bagaimana caranya memandang dunia, bagaimana ia memaknainya, dan bagaimana ia bersikap atas hal yang terjadi di sekitarnya. Jadi, diri seseorang tidak ditentukan oleh masa lalunya.

Bagi kalian yang ingin mencari kebahagiaan untuk diri sendiri, dan melampaui segala keterbatasan yang ada, buku ini sangat cocok untuk kalian baca. Kalian bisa mendapatkan buku The Courage to be Disliked ini di www.gramedia.com.

Written by Nandy

Perkenalkan saya Nandy dan saya memiliki ketertarikan dalam dunia menulis. Saya juga suka membaca buku, sehingga beberapa buku yang pernah saya baca akan direview.

Kontak media sosial Linkedin saya Nandy