Agama Islam

Pengertian Ijma dan Qiyas Beserta Jenis dan Contohnya

Written by Yufi Cantika

Pengertian Ijma dan Qiyas – Dalam agama Islam terdapat sumber hukum yang dijadikan sebagai panduan dalam menjalani kehidupan di dunia ini, salah duanya adalah ijma dan qiyas. Sumber hukum Islam ini berisi tentang berbagai macam hal yang berkaitan dengan kehidupan, mulai dari hal-hal yang boleh dilakukan di dunia ini hingga hal-hal yang tidak boleh dilakukan. Selain itu, sumber hukum Islam juga berisi tentang hal-hal yang bisa meningkatkan pahala dan hal-hal yang dapat menjauhkan diri dari Allah SWT.

Tanpa adanya sumber hukum Islam, maka umat Islam akan sulit menentukan arah kehidupan yang baik dan sulit mengetahui cara agar bisa mendekatkan diri kepada Allah. Setiap permasalahan yang ada di dunia ini sudah ada di dalam sumber hukum Islam, sehingga bagi umat Islam sudah seharusnya menaati setiap hukum Islam yang sudah berlaku.

Sumber hukum Islam ini dibagi menjadi 4, yaitu yang pertama adalah Al-Quran, kemudian ada Hadits, yang ketiga ada Ijma, dan yang keempat adalah Qiyas. Jadi, bagi umat Islam untuk mencari sumber hukum dari suatu permasalahan dan solusinya harus dari Al-Quran terlebih dahulu. Jika di dalam Al-Quran tidak ketemu tentang solusi dari suatu permasalahan dal Al-Quran, maka barulah dicari melalui hadts yang sudah ada.

Namun, terkadang ada beberapa permasalahan yang solusinya tidak ditemukan pada sumber hukum Islam Al-Quran dan Hadits, lalu bagaimana solusi dari permasalahan tersebut? Pada masa itu, hal seperti itu pernah ditanyakan oleh sahabat Nabi langs kepada Nabu Muhammad SAW. Pertanyaan tersebut sudah dijawab oleh Nabi Muhammad SAW.

Namun, ketika Nabi Muhammad SAW wafat, pertanyaan itu muncul dan para sahabat tidak bisa menemukan jawabannya dari suatu permasalahan yang sedang terjadi karena tidak ada dasar hukumnya dalam Al-Quran dan Hadits.

Karena sudah tidak aa yang bisa ditanyakan lagi, maka uma Muslim mulai mencari hukum Islam yang sifatnya lebih kompleks agar setiap permasalahan dunia dapat ditemukan solusinya. Dari keinginan itulah, maka lahirlah sumber hukum Islam yang baru, yaitu Ijma dan Qiyas. Meskipun Ijma dan Qiyas termasuk sumber hukum Islam, tetapi kedudukannya masih di bawah Al-Quran dan Hadits.

Ijma dan Qiyas hingga saat ini sering digunakan untuk menemukan solusi dari suatu permasalahan yang tidak ada di dalam Al-Quran dan Hadits. Lalu, sebenarnya ap aitu Ijma dan ap aitu Qiyas? Grameds, simak ulasan ini sampai selesai, ya, selamat membaca.

Pengertian Ijma

Secara bahasa, ijma berarti sebagai suatu hal berupa mengumpulkan berbagai macam perkara yang kemudian memberi hukum atas perkara tersebut serta meyakini hukum tersebut. Sedang secara umum, ijma adalah sebuah kebulatan atau keputusan dari pendapat-pendapat yang berasal dari para ahli ulama ijtihad setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW serta menggunakan hukum syara’.

Selain itu, mengutip dari laman almanhaj, secara baasa, ijma berasal dari kata ajma’a yjjimiu ijma’an dan memakai isim maf’ul mujma. Oleh karena itu, ijma mempunyai dua arti atau dua makna. Pertama, kalimat ajma’a fulan ‘ala safar memiliki arti bahwa ia telah bertekad dengan kuat untuk safat dan telah menguatkan niatnya.

Kemudian, makna kedua ijma adalah sepakat. Dalam kalimat ajma’ muslimun ‘ala kadza artinya adalah mereka akan sepakat terhadap sebuah perkara atau masalah yang sedang terjadi. Dengan begitu, umat Muslim menjadi lebih tenang ketika menghadapi suatu permasalahan dan tidak akan tersesat dan berjalan di jalan yang baik dan benar.

Para khilafah dan petinggi negara merupakan orang-orang yang melakukan ijma di awal-awal ijma diterapkan. Dari kegiatan ijma tersebut, mereka sudah dianggap dan dipercaya oleh umat Muslim pada saat itu untuk membuat sumber hukum Islam melalui kegiatan ijma. Sumber hukum Islam, ijma berhasil dibuat berkat adana musyawarah oleh para khilafah. Namun, saat ini orang-orang yang membuat sumber hukum Islam harus memenuhi syarat-syarat yang sudah ditentukan.

Dikarenakan ijma dapat dijadikan sebagai sumber hukum Islam, maka tidak boleh sembarang orang dalam membuat ijma. Dengan kata lain, hanya para ahli yang sudah berhasil mencapai mujtahid yang di mana pendapatnya sudah bisa dipertanggungjawabkan, sehingga sumber hukum Islam yang dihadirkan dapat memberikan manfaat dan kebaikan bagi semua umat Muslim.

Selain itu, waktu yang terus berkembang dan zaman yang juga ikut berkembang membuat musyawarah kegiatan ijma juga ikut berkembang. Saat ini, untuk membuat ijma atau sumber hukum Islam yang ketiga harus diikuti oleh beberapa pihak, seperti ahli ushul fiqih, para ulama, dan orang-orang ahli ijtihad.

Dalil Ijma dalam Al-Quran

Kegiatan ijma yang bertujuan untuk menghasilkan sumber hukum Islam, dalilnya ada di dalam ayat-ayat Al-Quran, diantaranya:

1. Surat An-Nisa Ayat 115

ijmaArtinya:

Siapa yang menentang Rasul (Nabi Muhammad) setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dalam kesesatannya dan akan Kami masukkan ke dalam (neraka) Jahanam. Itu seburuk-buruk tempat kembali.

2. Surat Al-Baqarah Ayat 143

ijmaArtinya:

Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan *40) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.

*40) Umat pertengahan berarti umat pilihan, terbaik, adil, dan seimbang, baik dalam keyakinan, pikiran, sikap, maupun perilaku.

Kedudukan Ijma

Kedudukan ijma di kalangan beberapa ulama berbeda atau bisa dibilang beberapa ulama memiliki pendapat yang berbeda tentang ijma. Mengutip dari laman siswadywordpress.com bahwa menurut Jumhur ulama’ ushul Fiqh jika rukun-rukun ijma sudah terpenuhi dengan baik, maka ijma yang telah dibuat dapat dijadikan sebagai hujjah yang pasti (qath’i). Oleh karena itu, ijma tersebut wajib diamalkan atau dikerjakan serta tidak boleh ada yang melanggarnya. Bagi seseorang yang melanggarnya bisa dianggap sebagai kafir.

Selain itu, suatu permasalahan yang sudah ada hukumnya melalui kegiatan ijma, maka generasi ushul fiqh selanjutnya tidak boleh membahas permasalahan yang sudah terjadi sebelumnya. Hal ini dikarenakan hukum ijma merupakan hukum syara’ yang sifatnya sudah qath’i atau pasti. Selain itu, hukum ijma ada diurutan ketiga dalam dalil syara’ setelah hukum berdasarkan Al-Quran dan Hadits.

Namun, bagi beberapa ulama kalangan Syi’ah, dan seorang tokoh Mu’tazilah, Ibrahim bin Siyar al Nazzam memiliki pendapat bahwa ijma tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Ibrahim bin Siyar al Nazzam mengungkapkan bahwa struktur social dan budaya pada setiap daerah tidak selalu sama, sehingga ijma tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.

Jenis Ijma

Menurut para ulama ushul fiqh, ijma terdiri dari dua jenis, yaitu ijma Al Sukuti dan ijma Al Sarih.

Ijma Al Suukuti

Ijma Al Suukti adalah jenis ijma pada saat para ulama atau para ahli ijtihad mengambil keputusan untuk diam, tetapi diamnya para ulama atau para ahli ijtihad karena sudah setuju dengan semua pendapat yang telah disampaikan oleh para ahli ijtihad dan ulama lainnya.

Ijma Al Sarih. 

Ijma Al Sarih adalah jenis ijma yang di mana para ulama dan ahli ijtihad masing-masingnya menyampaikan pendapatnya terkait dengan permasalahan yang secara terjadi, baik itu disampaikan dengan lisan atau secara tertulis. Pendapat yang disampaikan ini berupa setuju atau tidak terhadap pendapat yang telah disampaikan oleh para ulama dan ijtihad lainnya.

Ijma Al Sarih ini memiliki sebutan yang cukup beragam, seperti ijma qauli, ijma hakiki, ijma bayani, dan lain-lain. Oleh karena itu, ada yang menyebut ijma Al Sarih dengan sebutan ijma hakiki atau yang lainnya. Meskipun memiliki sebutan yang berbeda, tetapi tetap tidak mengurangi arti dari ijma Al Sarih itu sendiri.

Itulah jenis-jenis ijma menurut ulama ushul fiqh. Selain itu, beberapa sumber juga mengatakan bahwa selaian ijma Al Sarih dan ijma Al Suukti, masih ada beberapa jenis ijma lainnya, seperti ijma ulama Madinah, ijma ahlul bait, ijma ulama kufah, ijma salaby, dan ijma Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar dan Umar). Setelah membahas jenis ijma, maka hal yang akan kita bahas selanjutnya adlah rukun ijma.

Rukun Ijma

Mengutip dari laman bincangsyariah bahwa dalam kitan ‘Ilm Ushul Fiqh, Abul Wahaf Khalaf berpendapat bahwa rukun ijma adalah suatu unsur dan hakikat utama yang harus ada ketika melakukan ijma. Beliau juga berpendapat bahwa rukun ijma ada 4, yaitu:

  1. Ketika ada suatu peristiwa atau permasalahan yang solusinya membutuhkan ijma, harus ada beberapa orang yang sudah setara dengan mujtahid. Suatu kesepakatan dalam ijma tidak bisa disahkan apabila tidak sesuai dengan kesepakatan pendapat dari semua mujtahid yang membuat ijma. Selain itu, apabila pada suatu waktu dan di sautu daerah sama sekali tidak ada mujtahid atau hanya ada satu saja, maka ijma tersebut tidak sah atau tidak boleh dipergunakan.
  2. Semua mujtahid yang ada pada pembuatan ijma harus memiliki kesepakatan atas hukum dari sebuah masalah tanpa harus memandang atau melihat suku, ras, kelompok, dan negeri tertentu. Dengan kata lain, ijma tidak bisa sah apabila para mujtahid memiliki kesepakatan secara menyeluruh.
  3. Kesepakatan dalam ijma bisa tercapai dan sah jika setiap mujtahid yang hadir sudah menyampaikan pendapatnya sebagai bentuk dari hasil usaha ijtihadnya. Adapun bentuk pendapat itu bisa berupa ucapan mengeluarkan fatwa dalam bentuk Tindakan dengan memberikan keputusan terhadap hukum dalam suatu pengadilan serta kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian pendapat bisa dalam bentuk perseorangan saja, tetapi hasilnya secara keselurahan semua para ulama dan mujtahid sudah memiliki pendapat yang sama.
  4. Kesepakatan hukum yang sudah dicapai saat melakukan ijma berasal dari hasil kesepakatan para ulama dan mujtahid secara keseluruhan. Apabil ada beberapa ulama atau mujtahid yang tidak setuju dengan hasil kesepakatan yang sudah ditentukan, maka hal seperti itu tidak bisa disebut dengan ijma. Jika, terjadi perbedaan pendapat, maka ada kemungkinan bahwa ijma yang akan dibuat memiliki kesalahan. Dengan kata lain, walaupun kesepakatan dalam membuat ijma sudah memiliki suara mayoritas yang setuju, tetapi masih ada sebagai ulama yang tidak setuju, maka tidak dapat dijadikan sebagai dalil syara’ yang pasti.

Contoh Ijma

Supaya lebih memahami apa itu ijma, maka kita perlu mengetahui contoh ijma apa saja. Berikut ini contoh ijma, diantaranya:

  1. Kesepakatan para ulama dan mujtahid atas diharamkannya minyak babi.
  2. Menghasilkan kesepekatan berupa membukukan Al-Quran yang dilakukan pada masa kepemimpinan Abu Bakar As Shidiq.
  3. Menjadi as-sunnah sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah sumber hukum Islam pertama, Al-Quran.

Pengertian Qiyas

Qiyas adalah salah satu dari empat sumber hukum Islam yang sudah disepakati oleh para ulama dan mujahid. Adapun ketiga sumber hukum Islam lainnya, yaitu Al-Quran, Hadits, dan Ijma. Secara bahasa kata qiyas berasal dari akar kata, qaasa-yaqishu-qiyaasan yang berarti pengukuran. Selain itu, secara bahasa qiyas berarti sesuatu tindakan untuk mengukur suatu hal atau peristiwa yang kemudian disamakan. Para ukama ushul fiqh mengatakan bahwa walaupun qiyas sangat beragam, tetapi masih mempunyai makna yang sama.

Sedangkan, menurut istilah, qiyas adalah suatu tindakan untuk menyamakan suatu hal yang tidak mempunyai nash hukum dengan sesuatu hal yang memiliki nash hukum, kemudian dilihat berdasarkan kesamaan illat yang diperhatikan sesuai dengan syara’. Menurut Imam Syafi’i, kedudukan qiyas berada di bawah dari ijma, sehingga qiyas menjadi sumber hukum Islam yang terakhir.

Rukun Qiyas

Sama halnya dengan ijma, qiyas juga memiliki rukun-rukunnya. Dengan rukun-rukun qiyas, maka qiyas menjadi sah. Oleh sebab itu, dalam menentukan qiyas, maka harus memenuhi rukun-rukun qiyas terlebih dahulu.

1. Ashl 

Ashl adalah asal mula dari suatu permasalahan yang sudah ada sebelumnya atau hukumnya sudah ada dalam bentuk ijma atau nash. Ashl juga memiliki nama lain yang lebih sering dikenal dengan sebutan musyabbah bi atau tempat mengqiyasakan.

2. Hukum Ashl

Hukum ashl adalah hukum syara yang sudah ditetapkan oleh nash serta sudah dikehendaki untuk melakukan penetapan terhada hukum far’u. Dengan kata lain, hukum ashl kedudukannya harus sejal, apakah termasuk sunnah, wajib, mubah, dan makruh.

3. Far’u

Far’u adalah cabang yang berasal dari masalah ashl (asal). Rukun far’u ini biasanya berasal dari suatu akibat dari sebab yang sudah ada sebelumnya.

4. Illat

Jika dilihat secara bahasa, illat bisa diartikan sebagai suatu alasan dan menjadi hukum ashl (asal) atau dapat dikatakan bahwa illat menjadi suatu alasan bagi persyariatan hukum.

Jenis Qiyas

Qiyas dibagi menjadi 3 jenis, yaitu qiyas illat, qiyas dalalah, dan qiyas shabah.

1. Qiyas Illat

Qiyas illat adalah jenis qiyas yang sudah memiliki suatu kejelasan dari kedua persoalan yang sudah dibandingkan dan diukur. Qiyas illat terdiri dari dua jenis, yaitu qiyas jail, qiyas khafi, dan qiyas.

2. Qiyas Dalalah

Qiyas dalalah adalah jenis qiyas yang sudah memperlihatkan kepada hukum yang sesuai dengan dalil illat. Qiyas dalalah bisa juga diartikan sebagai jenis qiyas yang dapat diterapkan dengan cara menghubungkan pokok dan cabang hukum berdasarkan illat.

3. Qiyas Shabah

Qiyas shabah adalah qiyas yang mempertemukan antara cabang qiyas dengan suatu pokok permasalahan yang berfungsi hanya untuk penyerupaan.

Dalil Qiyas dalam Al-Quran

Surat An-Nisa Ayat 59

ijma dan qiyas

Artinya:

Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).

Dalil tersebut juga dijadikan sebagai rujukan dalam melakukan atau membuat qiyas.

Contoh Qiyas

Contoh qiyas yang ada di dekat kita, diantaranya:

  1. Menentukan narkotika sebagai barang khamar atau minuman yang memabukkan.
  2. Sewa-menyewa ketika adzan shalat jumat memiliki hukum makruh.

Demikian pembahasan tentang ijma dan qiyas yang merupakan sumber hukum Islam yang ketiga dan keempat. Semoga semua pembahasan dalam artikel ini bermanfaat untuk Grameds.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

About the author

Yufi Cantika

Saya Yufi Cantika Sukma Ilahiah dan biasa dipanggil dengan nama Yufi. Saya senang menulis karena dengan menulis wawasan saya bertambah. Saya suka dengan tema agama Islam dan juga quotes.

Kontak media sosial Linkedin Yufi Cantika