in

Apa itu Toxic Positivity? Kenali Lebih Dalam Apa Saja Ciri dan Dampaknya

Toxic positivity adalah perilaku yang mendorong seseorang untuk berusaha keras berbuat dan berfikir positif hingga menekan emosi negatif keluar.

Jika seseorang menjadi terlalu positif sehingga menekan habis-habisan emosi buruk yang keluar. Ini mampu menyebabkan stres berlebihan dan membuat orang tersebut tidak bisa rileks.

 

Kamu mungkin sering mendengar tentang istilah toxic relationship dan toxic friends. Lalu, bagaimana dengan toxic positivity? Bagaimana sebuah sifat positif dapat menjadi sebuah toxic yang justru berdampak sebaliknya? Berikut ulasannya untuk kamu.

Dalam sebuah proses kehidupan ada kalanya manusia mengalami masa-masa berat, terutama ketika memasuki usia-usia quarter life crisis. Seseorang mungkin dapat berubah menjadi sangat sensitif terhadap hal-hal sepele mulai dari ucapan teman atau dari postingan instagram.

Quarter Life Crisis
Quarter Life Crisis

tombol beli buku

Tentunya hal tersebut wajar-wajar saja sebagai manusia sebagian besar pernah mengalami masa sulit di fase hidup mereka sendiri-sendiri. Akan tetapi kadang kita tidak menyadari bahwa usaha-usaha yang kita lakukan sebagai bentuk pertahanan diri justru berbalik tidak seperti yang kita harapkan. Dalam contoh ini salah satunya adalah kecenderungan bersikap toxic positivity.

Apa itu Toxic Positivity?

Apapun yang berhubungan dengan istilah toxic selalu bermakna negatif. Toxic sendiri merupakan istilah yang kerap digunakan untuk menyebutkan sifat-sifat buruk yang menempel atau mendarah daging seperti racun yang membawa dampak tidak baik. Toxic positivity merupakan perilaku yang mendorong seseorang untuk berusaha keras berbuat dan berfikir positif hingga menekan emosi negatif keluar.

Mengapa ini tidak bagus? Apapun yang berlebihan akan selalu berakibat buruk, begitu juga jika seseorang menjadi terlalu positif sehingga menekan habis-habisan emosi buruk yang keluar. Ini mampu menyebabkan stres berlebihan dan membuat orang tersebut tidak bisa rileks.

Sebagai makhluk hidup yang memiliki emosi, mengutarakan sebuah emosi negatif bukanlah hal yang buruk. Ada kalanya manusia perlu mengeluarkan rasa marah, sedih, khawatir, kecewa bahkan frustasi supaya batin tidak selalu tertekan.

Orang dengan toxic positivity cenderung akan selalu memperlihatkan sisi baik dan positif dirinya namun di dalam hatinya mati-matian menahan emosi untuk keluar. Jika secara tidak sengaja dia mengeluarkan emosi maka dia akan merasa bersalah.

Ciri-ciri Seseorang dengan Toxic Positivity

Kamu mungkin penasaran bagaimana caranya mengetahui tanda-tanda seseorang mulai memiliki kecenderungan toxic positivity. Pada umumnya perilaku tersebut muncul dari ucapan-ucapan orang, yang niatnya memotivasi, tetapi rupanya justru terdengar merendahkan atau berdampak buruk bagi orang lain.

1. Tidak Jujur Terhadap Perasaan Sendiri

Terkadang niat kita memang baik, untuk memunculkan sisi positif dari dalam diri dihadapan banyak orang supaya orang lain terpengaruh menjadi positif juga. Namun jika seseorang memnforsi diri untuk terlihat positif hingga tidak mengijinkan emosi keluar, maka itu bukanlah hal yang baik.

Seseorang dengan toxic positivity cenderung sulit berdamai dengan diri sendiri. Dia akan sulit menerima saat emosi negatif tersebut keluar dari dalam dirinya. Bahkan dia akan cenderung merasa bersalah jika emosi negatif muncul meskipun secara tidak sengaja.

2. Sulit Mengelola Emosi

Bersikap tidak terbuka dengan diri sendiri juga akan membuat orang tersebut sulit mengelola emosinya. Sehingga secara batin dan jiwanya pun menjadi semakin tidak tenang. Sebab, emosi yang tidak terkontrol.

Belajar Sains Sulit dan Membosankan? Kamu Bisa Belajar Sains dengan Seru dan Menyenangkan Disini!

3. Menghindari Masalah

Untuk menekan perasaan-perasaan negatif muncul orang yang memiliki kecenderungan toxic positivity akan memilih menghindari permasalahan dan bukannya mencari solusi. Hal ini juga tidak tepat, sebab dalam hidup kita pasti akan menemui permasalahan yang serupa dan semakin sering menghindarinya hanya akan membuat kita menghadapi masalah yang jauh lebih besar.

4. Motivasi yang Cenderung Menghakimi

Pernahkah kamu bercerita tentang sebuah masalah dengan teman, tetapi justru merasa seperti sedang dihakimi seolah akulah penyebab semua masalahmu sendiri. Jika memang begitu, mungkin temanmu tidak menyadari bahwa dia memiliki kecenderungan toxic positivity juga.

Memberikan sebuah motivasi seharusnya dapat membantu seseorang menjadi bangkit lagi dari keterpurukan, atau bahkan menemukan solusi dari masalah. Bukan justru membuat orang lain merasa terbebani. Salah satu contoh kalimat yang sering diucapkan, seperti:

“Kamu pasti bisa kalau mencoba sekali lagi, tapi sayangnya kamu yang terlalu cepat menyerah sih..”

“Tidak perlu sedih kalau ditolak, lagi pula wajar sih karena yang lainnya memang lebih baik dari kamu kok.”

“Masalah itu tidak perlu dianggap besar deh, sebenarnya sumber masalahnya itu dari kamu sendiri.”

“Udah tidak usah dipikirkan kata orang, lagian kamu juga kenapa masih belum lulus. Memangnya sesulit apa sih?”

5. Membandingkan Diri dengan yang Lain

Terkadang seseorang tanpa sadar menggunakan perbandingan supaya dirinya atau lawan bicaranya tampak lebih baik sedikit dari yang lain. Namun, kondisi ini tampaknya tidak tepat jika diterapkan sebagai kata-kata untuk memotivasi seseorang. Sebab, akan membuat orang yang meminta pendapat menjadi tampak menyedihkan karena terlalu mudah menyerah dan tidak sepositif dia.

Beberapa contoh ucapan-ucapan yang cenderung membandingkan yaitu sebagai berikut.

“Tau nggak, kamu itu pasti bisa tapi sayang sekali kamu orangnya gampang menyerah, tidak sabar sih…”

“Ah masalah segitu mah biasa, kalau aku pernah mengalami yang lebih parah tapi aku tidak pernah stres seperti kamu.”

Melihat ciri-ciri diatas, kita mungkin pernah mengalami situasi serupa baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun, jika kamu atau orang di lingkungan kamu termasuk salah satu yang memiliki toxic positivity, penting untuk membimbing mereka supaya sifat tersebut tidak berlarut-larut. Sebab hal ini juga berdampak tidak baik bagi diri sendiri serta orang lain.

Dampak yang Terjadi pada Seseorang dengan Toxic Positivity

Tanpa disadari hal-hal sederhana yang biasanya kita ucapkan serta ekspektasi-ekspektasi berlebihan dapat memicu dampak buruk bagi kesehatan mental dan jiwa.

1. Memicu Stres

Toxic positivity membuat seseorang cenderung memikirkan banyak hal demi menekan emosi negatif yang ada. Dia akan menjadi overthinking karena kumpulan hal-hal yang ada di kepalanya. Hal ini dapat memicu stres yang berlebihan pada orang tersebut.

Stres yang berlebihan dapat berakibat paling buruk pada kesehatan mental. Beberapa orang bahkan mengalami perubahan fisik seperti berat badan menurun hingga sakit jika mengalami stres berlebihan.

Coping With Depression: Jangan Mau Kalah dari Depresi!
Coping With Depression: Jangan Mau Kalah dari Depresi!

tombol beli buku

2. Anxiety

Kecenderungan ingin terlihat selalu positif, berusaha tampil baik yang berlebihan akan membuat seseorang yang memiliki toxic positivity cenderung lebih gelisah dan was-was. Di dalam pikirannya akan selalu muncul ketakutan kalau saja dia tidak menampilkan yang terbaik, kalau saja dia melakukan kesalahan hingga mengeluarkan emosinya.

Hal-hal seperti itu pun pada umumnya tidak akan berani dia ceritakan sebab akan merusak image yang sudah mati-matian dibangunnya. Dia mungkin akan sangat tidak tenang sehingga membuat perasaan gelisah terus bersarang di dalam jiwanya.

3. Mengalami Gangguan Kesehatan Mental

Jika seseorang dengan pikiran penuh, selalu gelisah setiap saat tentu akan sangat mudah untuk mengalami stres hingga merusak kesehatan mental. Sebab hal tersebut merupakan racun yang bersarang di dalam pikiran dan hati yang akan sangat merugikan diri sendiri serta orang lain.

4. Merasa Paling Benar

Sebagian orang yang memiliki kecenderungan toxic positivity mereka ingin dianggap menjadi sosok paling positif dalam lingkungannya. Hal ini membuat orang tersebut menutup mata terhadap kenyataan-kenyataan yang sebenarnya. Dia akan selalu mencari pembenaran bahwa apa yang dia lakukan adalah hal benar.

Sehingga tidak jarang timbul perasaan didalam hatinya yang menganggap masalah orang lain adalah hal sepele. Menganggap bahwa orang lain lebih lemah dan tidak mampu dibandingkan dirinya.

5. Sulit untuk Bersosialisasi

Memiliki sifat toxic positivity terkadang membuat orang tersebut tidak bisa jujur dengan diri sendiri bahkan orang lain. Padahal adakalanya sebuah masalah lebih baik diceritakan dengan seseorang supaya mendapatkan solusi.

Namun, dengan adanya sifat toxic ini seseorang menjadi tidak berani jujur bahwa dia sedang memiliki masalah. Hal tersebut jika terus menerus terjadi juga dapat membuat orang lain menjadi sulit bersosialisasi dengan dirinya. Sehingga tidak jarang orang dengan kecenderungan toxic positivity jarang bergaul. Atau sekalipun dia bergaul kemungkinan besar emosi-emosi yang dikeluarkan adalah kebahagiaan palsu yang hanya semakin menekan diri sendiri.

Bagaimana Cara Menghindari Perilaku Toxic Positivity?

Terkadang kita tidak menyadari bahwa diri sendiri berucap sesuatu yang dapat menyakiti orang lain, bahkan tidak sadar bahwa hal tersebut termasuk bagian dari toxic. Akan tetapi itu bukan berarti sifat toxic ini tidak dapat dihindari. Berikut ini beberapa cara supaya kita senantiasa terbebas dari sifat toxic.

1. Cobalah Mengelola Emosi

Tidak selamanya menahan emosi negatif itu hal yang baik. Cobalah mengelola emosi supaya tidak tertahan di dalam hati dan menjadi penyakit. Mengeluarkan rasa marah, khawatir, antusias, sedih yang selama ini tertahan dapat membuat pikiran menjadi lebih rileks.

Sebagai manusia, kita perlu tahu kapan waktu yang tepat untuk mengungkapkan emosi positif dan negatif kita supaya ketenangan jiwa menjadi seimbang.

Seni Mengendalikan Emosi
Seni Mengendalikan Emosi

tombol beli buku

2. Pahami Orang Lain

Ketika sedang berbincang atau menyampaikan curahan hati, kamu juga perlu memahami orang lain atau setidaknya mendengarkan mereka. Jika dirasa tidak mampu memberikan solusi kamu setidaknya jangan mengeluarkan kata-kata yang bersifat menghakimi. Sebab, satu kata yang menurut kita bukan hal besar terkadang berlaku sebaliknya terhadap orang lain.

3. Jangan Suka Membandingkan

Membanding-bandingkan baik hal yang baik ataupun hal negatif selalu akan menimbulkan dampak yang tidak baik. Berhentilah membanding-bandingkan diri sendiri maupun orang lain. Sebab, kita tidak benar-benar tahu kondisi orang yang dibandingkan tersebut.

Selain itu kebiasaan membandingkan bukannya membuat orang termotivasi justru lebih banyak menimbulkan rasa marah, benci dan menambah stres.

4. Berdamai dengan Diri Sendiri

Sebelum mulai memahami orang lain, pahamilah diri sendiri. Sebab, jika bukan dari diri sendiri yang mau memberi waktu dan berusaha memahaminya maka orang lain pun tidak akan bisa.

Kamu mungkin sering mendengar istilah berdamai dengan diri sendiri, namun hal ini merupakan proses penting yang perlu disadari. Mencoba menghargai dan mencintai diri sendiri mulai dari hal yang paling sederhana yakni mendengarkan isi hati.

Jika dirasa perlu meluapkan kesedihan, luapkan saja. Dengan begitu hati menjadi lebih tenang serta akan membantu kita menerima kenyataan yang sebenarnya. Bahwa wajar jika kita terkadang sedih, memaafkan diri ketika melakukan kesalahan dan jangan pernah selalu menyalahkan diri sendiri.

Dengan berdamai pada diri sendiri, hati akan jauh lebih ringan, kamu akan mudah berdamai juga dengan orang lain dan terhindar dari toxic positivity.

Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan
Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan

tombol beli buku

Kurangi Bermain Media Sosial

Tahukah kamu bahwa terlalu banyak bersosial media dapat menyebabkan stres? Dengan melihat media sosial, kita dapat mengetahui apa saja yang terjadi atau yang dibagikan orang lain di kanal yang sama. Tentu banyak pengguna media sosial yang membagikan momen menarik, hal-hal baru, cerita inspiratif atau apapun untuk menunjukan bahwa kehidupan mereka baik-baik saja.

Kehidupan yang mereka jalani tampak lurus tanpa hambatan dan bahagia selalu seperti kisah dongeng. Tanpa disadari terlalu banyak melihatnya membuat sebagian orang menjadi insecure terhadap kehidupannya sendiri. Kemudian pertanyaan-pertanyaan ‘mengapa hidupku biasa saja’ pun akan sering muncul. Terlebih lagi kamu juga akan sering membandingkan dirimu dengan mereka yang berada di media sosial.

Hal ini akan meninggalkan penyakit yang tidak baik bagi kesehatan mental. Serta akan memicu sifat toxic tersebut muncul. Oleh karena itu, penting untuk kita mengetahui kapan saat yang tepat untuk bermain media sosial dan kapan saatnya berhenti.

Berhenti dari dunia maya juga dapat memberikan mata serta pikiran kita rehat sejenak. Memberikan waktu untuk diri sendiri serta orang yang berada dalam lingkungan kita. Mengurangi bersosial media juga akan memberikan indra-indra kita lebih peka terhadap hal-hal sekitar yang secara alami mampu menstimulasi kembali indra dan pikiran.

Contohnya, mengurangi penggunaan gadget dapat mengurangi juga paparan layar yang tidak baik bagi mata, sebaliknya dengan begitu mata akan lebih sehat ketika melihat alam disekitar daripada layar ponsel. Pikiran juga akan jauh lebih rileks dan tenang karena tidak perlu meributkan postingan orang lain di media sosial.

 

Sudah paham ‘kan apa itu Toxic Positivity?

Setelah mengenal tentang toxic positivity, kamu mungkin sudah tahu dan paham bagaimana cara menghindarinya atau setidaknya tahu cara menyikapinya jika suatu saat menemukan masalah serupa di lingkunganmu.

Jika kamu tertarik untuk mengetahui lebih lanjut tentang perilaku toxic ini, atau materi pengembangan diri lainnya, kamu bisa membaca rekomendasi buku berikut supaya tetap termotivasi.

Gramedia hadir sebagai #SahabatTanpaBatas yang akan selalu menemani kamu selama masa-masa pandemi dan PPKM ini dengan menghadirkan rangkaian rekomendasi buku menarik tentang pengembangan diri. Supaya masa PPKM kamu tidak bosan lagi di rumah, kamu bisa membaca buku-buku best seller berikut.

Healing and Recovery
Healing and Recovery

tombol beli buku

Bagi kamu yang tertarik membaca buku motivasi atau buku pengembangan diri, maka salah satu buku yang tepat untuk kamu baca selama PPKM ini adalah buku karya David R.Hawkins ini. Buku Healing and Recovery ini memuat tentang panduan hidup supaya jiwa menjadi tenang. Salah satu caranya dengan menggunakan konsep healing yang dipaparkan dengan menarik dalam buku best seller ini. Bagaimana, tertarik?

Berpura-Pura Bahagia Itu Melelahkan: How to Avoid Toxic Happiness and to Live Without Worry?
Berpura-Pura Bahagia Itu Melelahkan: How to Avoid Toxic Happiness and to Live Without Worry?

tombol beli buku

Bagi seseorang yang memiliki kecenderungan toxic positivity ini rupanya mereka juga sering kali berusaha untuk tampak bahagia. Lalu bagaimana cara menyikapinya?

Dalam buku Berpura-pura Bahagia Itu Melelahkan ini, Asti Musman sang penulis akan mengajak kamu berdamai dengan diri sendiri serta menjadi lebih bahagia tanpa harus berpura-pura.

Bicara Itu Ada Seninya
Bicara Itu Ada Seninya

tombol beli buku

Ingin memberi motivasi teman namun takut justru menyakiti? Mungkin kamu perlu membaca buku karya Oh Soo Hyang ini terlebih dahulu. Dalam buku ini menjelaskan bagaimana cara berkomunikasi dengan baik, dan menarik. Sehingga setiap perkataan yang diucapkan pun memiliki makna dan kekuatan memotivasi. Buku ini menjadi best seller book yang sedang ramai di Korea Selatan serta Indonesia.

ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah."

logo eperpus

  • Custom log
  • Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
  • Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
  • Tersedia dalam platform Android dan IOS
  • Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
  • Laporan statistik lengkap
  • Aplikasi aman, praktis, dan efisien

Written by R Adinda

Dunia psikologi memang selalu menarik untuk dibahas. Selain menarik, dunia dengan mengetahui dunia psikologi akan membantu seseorang dalam dalam mengenali dirinya sendiri.