in

Review Buku Titik Nol Karya Agustinus Wibowo

Buku Titik Nol: Makna Sebuah Perjalanan merupakan buku yang ditulis oleh Agustinus Wibowo. Agustinus Wibowo dikenal sebagai seorang penulis sekaligus fotografer perjalanan. Buku Titik Nol pertama kali diterbitkan pada tahun 2013. Buku Titik Nol merupakan sebuah catatan perjalanan panjang penulis sendiri, Agustinus Wibowo, yang juga memuat refleksi dari suatu perjalanan dan kisah sang Ibunda yang berjuang menghadapi kanker.

Dalam buku Titik Nol ini, pembaca akan mengenal sosok penulis yang memiliki dua karakteristik berbeda. Karakteristik yang pertama adalah sosok yang tidak kenal lelah dan gagah berani. Karakteristik kedua adalah sosok yang seperti orang biasa, mengalami ketakutan, kesedihan, kecemasan, dan takut untuk mencari arti hidup.

Kisah ini dimulai dari mimpi Agus untuk melakukan perjalanan dari Beijing ke Afrika Selatan. Rencana awal yaitu dengan menyebrang ke Tibet, lalu ke Nepal, India, dan Pakistan. Buku ini mengisahkan perjalanan Agus bertemu dengan banyak orang yang tentunya berbeda latar belakang, kebiasaan, karakter, dan kebiasaan, yang kemudian membuka pandangan baru tentang hidup.

Perjalanan Agus tak selalu lancar, karena ia melakukan perjalanan ini dengan metode backpacker yang pastinya akan dipenuhi penuh suka dan duka. Ditambah lagi, dengan budget yang terbatas, Agus harus mencari jalan alternatif bersama para backpacker lain. Meskipun perjalanannya dipenuhi cobaan, seperti terkena diare dan hepatitis akibat sanitasi di India yang buruk, dicopet, mengalami perang di Afganistan, tetapi Agus selalu memandang dan memaknai hal-hal yang positif dari kejadian itu.

Hal-hal tersebut, baginya mampu membuat dirinya bisa belajar memaknai apa arti hidup. Namun, mimpi itu harus berhenti sejenak di Afganistan. Di tengah perjalannya mengunjungi negeri orang, Agus mendengar kabar bahwa ibunya mengidap penyakit kanker. Agus pada akhirnya pulang setelah 10 tahun meninggalkan rumah.

Ia kembali untuk melihat sang ibunda yang telah terbaring lemah. Di samping ibunya, Agus merasa belum sempat berbakti. Namun, justru di samping sang ibu, ia menjadi mengerti mengenai makna perjalanan yang selama ini ia cari.

Buku Titik Nol menjadi bacaan yang menarik dan menginspirasi, terutama bagi kalian yang suka melakukan perjalanan ke negeri orang yang jauh di sana.

Profil Agustinus Wibowo – Penulis Buku Titik Nol

Sumber foto: hipwee.com

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Agustinus Wibowo merupakan pria kelahiran 8 Agustus 1981. Agustinus Wibowo merupakan seorang penulis dan fotografer perjalanan asal Indonesia. Setelah ia berhasil lulus kuliah dari bidang Ilmu Komputer di Universitas Tsinghua Beijing, pada tahun 2005, Agustinus memulai perjalanannya mengelilingi benua Asia melalui jalur darat.

Dimulai sejak tanggal 31 Juli 2005 dari China, Agustinus melintasi negara-negara yang ada di Asia Tengah dan Asia Selatan. Agustinus sempat menetap selama 3 tahun di Afganistan untuk bekerja sebagai jurnalis foto. Agustinus mencari uang untuk membiayai perjalanannya yang jauh itu secara mandiri.

Ia bahkan sampai rela berhenti di suatu negara untuk bekerja, jika tabungannya untuk melakukan perjalanan sudah mulai habis. Agustinus bekerja dengan mengirimkan artikel ke berbagai media lokal atau internasional, dan menjadi jurnalis foto di media. Selain itu, Agustinus juga membuat catatan perjalanannya ke berbagai negara untuk dikirimkan ke media.

Catatan petualangan Agustinus sempat dimuat sebagai rubrik reguler bertajuk “Petualang” di Kompas.com. Catatan perjalanan itu memiliki kisah yang menarik, sehingga kemudian diterbitkan dalam bentuk buku oleh Gramedia Pustaka Utama. Buku pertama Agustinus berjudul Selimut Debu: Impian dan Kebanggaan dari Negeri Perang Afghanistan, yang pertama kali diterbitkan pada tahun 2010, dan menjadi buku pionir di Indonesia yang menuliskan narasi perjalanan dengan gaya nonfiksi kreatif.

Buku ini menjadi titik awal yang memulai karir Agustinus sebagai seorang penulis. Setelah sukses dengan buku pertamanya, Agustinus kembali menerbitkan buku keduanya yang berjudul Garis Batas: Perjalanan di Negeri-Negeri Asia Tengah, yang diterbitkan pada tahun 2011. Setelah itu, Agustinus masih melanjutkan menulis dengan menerbitkan buku ketiganya yang berjudul Titik Nol: Sebuah Makna Perjalanan pada tahun 2013.

Buku Titik Nol ini merupakan sebuah catatan perjalanan dengan gaya penulisan yang orisinil, dan dipadukan dengan memoar. Buku keempat yang ditulis Agustinus berjudul Jalan Panjang Untuk Pulang, yang berhasil diterbitkan pada tahun 2016. Agustinus sebagai seorang penulis telah diakui dalam lingkup internasional, karena ia berhasil menjadi salah satu tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair.

Agustinus sangat lihai dalam menulis, karena ia memiliki kemampuan berbahasa dan berkomunikasi dengan penduduk asal negeri yang dikunjunginya. Agustinus diketahui menguasai banyak bahasa, seperti Bahasa Indonesia, Mandarin, Inggris, ia juga pernah belajar Bahasa Jepang, Rusia, Prancis, dan Jerman saat berada di bangku sekolah. Ia juga pernah belajar secara mandiri untuk mempelajari Bahasa Farsi, Bahasa Urdu, Bahasa Kirgiz, Bahasa Tajik, Bahasa Uzbek, Bahasa Kazakh, Bahasa Turki, Bahasa Mongol, dan Bahasa Tok Pisin.

Sinopsis Buku Titik Nol

Buku ini mengisahkan tentang perjalanan Agustinus Wibowo menyusuri negeri-negeri yang jauh. Tak seperti buku petualangan biasa yang menyajikan keindahan negeri lain, buku ini mengisahkan perjalanan Agustinus Wibowo menyusuri negeri-negeri yang sulit dikunjungi, negara yang sedang dilanda ketegangan dan konflik. Agustinus melakukan perjalanan itu dengan cara yang tidak biasa, ia tidak sekedar berkunjung saja, tetapi juga berinteraksi dengan akrab bersama masyarakat asal tempat itu, dan menelusuri dengan dalam kebudayaan masyarakat setempat.

Perjalanan Agustinus tak selalu berjalan lancar. Ia bahkan beberapa kali hampir kehilangan nyawanya, karena menghadapi cuaca yang ekstrem, berada di tengah situasi perang atau konflik bersenjata, menjadi korban pencopetan, dan menderita sakit yang parah, karena lingkungan yang buruk. Meskipun dilanda berbagai cobaan, Agustinus Wibowo mampu beradaptasi dan menikmati perjalanannya itu dengan positif.

Perjalanan Agustinus dimulai saat ia disekolahkan oleh orang tuanya di Universitas Tsinghua yang merupakan perguruan tinggi terbaik di China. Sebab, Agustinus Wibowo merupakan seorang keturunan Tionghoa, dan orang tuanya sangat ingin ia belajar di negeri leluhurnya itu. Di sana, ia harus beradaptasi dengan lingkungan, cuaca, kebudayaan, dan orang-orang baru.

Namun, Agustinus bukan sosok seperti yang diharapkan oleh orang tuanya. Agustinus suka menjelajah dan berpetualang. Ketika liburan kuliah, Agustinus memilih untuk melakukan perjalanan dengan menjadi backpacker untuk menyusuri Xinjiang, dengan keinginan untuk bertemu dengan etnis Uyghur. Padahal, sangat sulit untuk masuk ke Xinjiang dan bisa bertemu Muslim Uyghur, karena pemerintah China membatasi, bahkan melarang orang asing untuk masuk ke Xinjiang.

Tak berhenti di situ, Agustinus kembali melanjutkan perjalanan menjelajahi Tibet di pegunungan Himalaya. Himalaya yang disebut sebagai atap dunia, yang untuk mencapainya perlu melewati medan yang berat, cuaca ekstrem, dan banyak pos pemeriksaan di Tibet. Agustinus juga menceritakan tentang pengalaman spiritual, berbagai ritual yang dilakukan oleh para Biksu dan umat Buddha di Tibet, pandangan hidup, dan budaya masyarakat Tibet. Agustinus juga menceritakan secara detail tentang masyarakat Tibet yang hingga saat ini masih dicurigai oleh pemerintah China, karena ingin memisahkan dari China daratan.

Agustinus juga mengungkapkan sisi lain dari berbagai ritual yang diselenggarakan di Tibet pada saat itu, yang tidak lagi murni. Ritual itu diselenggarakan bukan untuk kepentingan budaya atau kepercayaan masyarakat, tetapi ritual itu kini diselenggarakan dengan tujuan untuk menarik minat turis, karena setiap tempat ritual itu memungut biaya yang tidak sedikit bagi para pengunjungnya. Ia menegaskan bahwa Tibet tak lagi seperti dulu.

Dari Tibet, Agustinus melanjutkan perjalanan ke Nepal, negeri di lereng Gunung Everest. Nepal menawarkan eksotisme bagi para petualang dan penjelajah. Ketika ia di Nepal, Agustinus bertemu dengan banyak penjelajah yang juga seorang backpacker dari berbagai negara. Di sana, ia menginap di losmen murah yang berlokasi di ibukota Nepal, Kathmandu. Ketika di Nepal ini, diceritakan bahwa Agustinus bertemu dengan seorang backpacker perempuan asal Malaysia yang bernama Lam Li, yang nantinya bertemu beberapa kali lagi dalam perjalanan selanjutnya.

Agustinus menceritakan banyak hal yang kontras, yang ia temukan di Nepal. Di suatu sisi Nepal, negara ini diselimuti penderitaan dan kemiskinan. Namun, di sisi lainnya, terdapat banyak tempat hiburan yang berdiri di ibu kota untuk menjamu para turis. Agustinus menggambarkan bahwa Nepal menawarkan tempat bagai surga, tetapi di sisi lain juga menawarkan kekelaman. Agustinus juga menceritakan bahwa Nepal adalah tempat di mana ia kehilangan dompet yang berisi sejumlah uang dan seluruh identitas dirinya.

Ketika itu, Ia seperti tidak memiliki tujuan untuk melanjutkan perjalanannya. Cobaan itu sempat membuat dirinya down. Namun, pada akhirnya Agustinus tetap melanjutkan perjalanan ke India. Ia melakukan perjalanan berhari-hari ke India dengan menggunakan kereta api.

Agustinus harus berdesakan di kereta api kelas ekonomi yang kumuh hingga akhirnya bisa sampai juga di India. Namun, ia menemukan India bukan seperti yang digambarkan dalam film-film Bollywood. Di India, ia menemukan laki-laki dapat kencing di pinggir jalan dengan seenaknya. Orang-orang bisa tidur begitu saja di stasiun dan tepi jalan, seperti hal yang sudah biasa.

Ia mendapatkan kesan kotor, kumuh, semrawut, dari pemandangan yang ia lihat sendiri di India. Selain itu, orang-orang India juga sulit untuk dipercaya. Sebab, di India marak terjadi penipuan. Di India, ia menginap di sebuah losmen murah yang tak jauh dari stasiun kereta api. Di India, Agustinus bertemu lagi dengan Lam Li, penjelajah wanita asal Malaysia, yang sebelumnya pernah bertemu di Nepal.

Di samping kesan yang cenderung negatif yang didapatkannya, India menawarkan sisi eksotisme lain, yaitu adanya pertapa Hindu dan tempat-tempat kuno yang menarik. Agustinus mengunjungi banyak tempat bersama Lam Li selama di India. Lam Li ia anggap sebagai sosok kakak, sosok ibu, sekaligus sosok kekasihnya. Lam Li juga dianggap sebagai guru yang dapat mengajarkan berbagai makna dari penjelajahan yang mereka lakukan.

Namun, memang sudah jalannya bahwa tak ada ikatan hubungan dalam jangka waktu lama antar sesama backpacker. Pada akhirnya, Agustinus dan Lam Li harus berpisah untuk melanjutkan petualangan mereka masing-masing. Agustinus melanjutkan perjalanannya ke Pakistan. Untuk sampai ke sana, ia harus menyeberangi perbatasan antara India dan Pakistan.

Ia juga menceritakan bagaimana India dan Pakistan pada zaman dahulu adalah tanah Punjab yang kemudian terpisah. Sejak perpisahan kedua negara itu hingga saat ini, orang India dan orang Pakistan saling mencurigai dan saling bersaing.

Di Pakistan, Agustinus merasakan masyarakatnya ramah dan akrab. Namun, Pakistan juga di sisi lain merupakan negara republik Islam. Maka itu, kehidupan bermasyarakat didominasi oleh keagamaan Islam. Dengan kata lain, segala hal di Pakistan dikaitkan dengan agama. Contohnya, ia menemukan para perempuan tak boleh berada di tempat umum tanpa ditemani oleh ayahnya, kakaknya, atau orang yang menjadi pelindungnya.

Di Pakistan, Agustinus menjalin hubungan yang baik dengan masyarakat asli sana. Agustinus juga sempat membantu para korban bencana alam yang terjadi di Kashmir. Selepas kondisi korban bencana gempa di Kashmir mulai stabil, Agustinus melanjutkan perjalanannya ke Afghanistan.

Pada waktu itu, Taliban yang sedang berkuasa di Afghanistan ditaklukkan oleh pasukan Nato dan Amerika Serikat. Namun, konflik dan perang masih terus berlanjut. Setiap saat terdengar suara ledakan bom, letusan tembakan, kekerasan, dan penculikan. Segala hal itu hampir menjadi hal yang biasa terjadi di Afghanistan.

Agustinus pada waktu itu dipercaya menjadi seorang fotografer bagi sebuah media lokal di Afghanistan. Pekerjaan itu menuntutnya untuk hadir di tengah-tengah konflik, mengambil dokumentasi dari kejadian-kejadian yang melibatkan bom, penembakan, penculikan, dan lain-lain. Bahkan, Agustinus juga hampir menjadi korban penculikan. Namun, ketika berada di Afghanistan ini, ia mendapatkan kabar dari orang tuanya, bahwa sang ibunda sedang parah.

Mama Agustinus mengidap kanker. Maka itu, dengan berat hati, Agustinus akhirnya memilih untuk pulang, dan mengobati mamanya berobat ke Beijing, China. Namun, pada akhirnya sang mama berpulang. Cerita perjalanan menyusuri negeri-negeri nan jauh ini ia persembahkan untuk sang mama yang telah berpulang.

Kelebihan Buku Titik Nol

Agustinus mampu menuliskan kisah perjalanannya secara indah, gaya bahasa yang digunakan mampu membuai para pembaca untuk merasakan berbagai emosi bersama dengan sosok Agus dalam cerita ini. Hal ini menjadikan buku ini bukan seperti catatan perjalanan seseorang saja, melainkan sebagai kisah kehidupan yang menginspirasi.

Buku Titik Nol tidak hanya memperkenalkan pembaca mengenai tempat-tempat indah yang menarik untuk dikunjungi. Namun, buku ini juga memberikan gambaran tempat tersebut sebagai tempat yang juga tidak sempurna, yang memiliki kekurangannya, sehingga menjadikan buku ini bersifat jujur dan membuka pandangan yang baru.

Agustinus Wibowo menuliskan buku ini dengan sarat akan makna yang mampu membuat para pembacanya merefleksikan diri dari pengalamannya. Agustinus menyertakan berbagai unsur kehidupan yang memperkaya kisah perjalanannya, seperti unsur persahabatan, keyakinan, cinta, hubungan dengang Sang Pencipta, dan lain sebagainya.

Kekurangan Buku Titik Nol

Bagi sebagian orang, buku dengan total 556 halaman ini menjadi bacaan yang cukup berat, karena setiap kisahnya bersifat reflektif dan membuat pembaca perlu merenungkan makna dari berbagai kisah tersebut. Hal ini baik, tetapi juga menjadikan pembaca perlu meluangkan waktunya untuk dapat menyelesaikan dan memahami makna cerita yang dituliskan dalam buku ini.

Pesan Moral Buku Titik Nol

Semua berawal dari mimpi. Mimpi membawa kita memiliki harapan untuk menjalani hidup di masa depan. Jangan berhenti untuk bermimpi, dan selalu berusaha untuk meraih mimpi.

Hal-hal sederhana yang terjadi dalam hidup adalah hal-hal yang sesungguhnya paling berharga. Namun, kerap kali dilupakan dan dianggap biasa, karena memang sudah terbiasa. Selalu ucap syukur kepada Sang Pencipta untuk segala hal yang masih bisa kita dapati hari ini. Sesederhana masih bisa bernafas masih bisa makan, masih bisa bertemu dengan orang terkasih, dan sebagainya.

Semua hal yang ada di dunia ini sesungguhnya adalah baik, jika kita dapat memaknai hal tersebut sebagai hal yang baik. Dari sini kita dapat mengetahui bahwa segalanya adalah tentang sudut pandang. Bagaimana kita memandang sesuatu adalah penentuan akan hasil yang kita dapatkan.

Begitu juga halnya yang menyangkut dengan kebahagiaan. Kebahagiaan sesungguhnya berasal dari diri sendiri. Jika kita memilih untuk bahagia dengan hal sederhana yang kita miliki sekarang, maka tak perlu menunggu untuk menjadi kaya raya.

Perjalanan hidup tak perlu dimaknai seperti awal dan akhir. Melainkan perlu dimaknai sebagai lingkaran tanpa ujung, yang mana hanya memiliki satu titik, yaitu titik nol. Titik nol tersebut akan menjadi pertanda bahwa hidup akan terus berputar, dan kita akan memulai perjalanan untuk akhirnya pulang.

Bagi kalian yang ingin mengetahui bagaimana suka duka petualangan menyusuri negeri orang, yuk segera dapatkan buku Titik Nol karya Agustinus Wibowo ini hanya di Gramedia.com.

Written by Nandy

Perkenalkan saya Nandy dan saya memiliki ketertarikan dalam dunia menulis. Saya juga suka membaca buku, sehingga beberapa buku yang pernah saya baca akan direview.

Kontak media sosial Linkedin saya Nandy