Hukum

Apa Itu Hukum Karet? Perjalanan Pasal Karet dan Problematikanya

Written by Laeli Nur Azizah

Apa itu Hukum Karet? – Belum lama ini pasal karet di UU Informasi Transaksi Elektronik atau ITE sedang ramai diperbincangkan. Tapi, apakah Anda tahu apa itu hukum karet atau pasal karet? Pada dasarnya pasal karet merupakan sebuah pasal yang penafsirannya dapat berbeda-beda dan mudah sekali untuk diinterpretasikan secara sepihak. Menurut Pusat Penelitian Keahlian DPR, hukum karet merupakan suatu hukum yang tafsirannya sangat subjektif dari penegak hukum atau pihak lainnya. Sehingga bisa menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda.

Di dalam beberapa pasal dalam UU ITE khususnya, disebutkan pasal karet karena dapat menimbulkan multitafsir. Adanya pasal yang multitafsir ini menjadi salah satu penyebab banyaknya pelaporan. Presiden Jokowi sendiri pada tanggal 21 Februari 2021 lalu mengingatkan kembali bahwa semangat UU ITE merupakan bentuk aturan yang ditujukan untuk menjaga ruang digital Indonesia. Supaya lebih sehat, bersih, beretika, dan dapat dimanfaatkan secara baik dan produktif.

Karena menurut Jokowi, pasal-pasal yang ada di dalam UU ITE dapat menjadi hulu dari persoalan hukum yang ada. Terlebih lagi, menurut Jokowi dengan menghapus pasal-pasal karet yang memiliki tafsiran beragam dan mudah untuk ditafsirkan secara sepihak adalah salah satu cara terbaik.

Belakangan ini, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa UU ITE ini sudah banyak dipakai oleh masyarakat sebagai sebuah rujukan hukum untuk membuat laporan kepada pihak yang berwajib. Akan tetapi, di dalam penerapannya, seringkali timbul proses hukum yang dinilai beberapa pihak kurang memenuhi rasa keadilan.

Apa Itu Hukum Karet?

Hukum karet merupakan sebutan dari sebuah hukum, pasal, dan undang-undang yang dianggap tidak mempunyai tolok ukur yang jelas. Di Indonesia sendiri pasal-pasal yang berlaku dan dianggap sebagai pasal karet adalah sebagai berikut: penistaan agama, pencemaran nama baik, undang-undang lalu lintas, dan juga UU ITE. Sedangkan rancangan Undang-undang yang dinilai sebagai pasal karet adalah seperti pasal penghinaan terhadap presiden, pasal santet, Perppu Ormas, dan juga RUU Permusikan. Sementara menurut KBBI atau Kamus Besar Bahasa Indonesia, pasal karet merupakan pasal yang ada di dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya.

Sejarah Pasal Karet

Pasal karet ternyata sudah ada sejak zaman Hindia Belanda yang termuat di dalam BUKU II Kejahatan Bab II mengenai Kejahatan terhadap Martabat Presiden dan juga Wakil Presiden dan merupakan sebuah adaptasi dari peraturan pemerintah Belanda, yang mana melarang masyarakatnya mencemooh Ratu Belanda. Jika dilihat dari Bahasa Belanda, pasal penghinaan tersebut biasanya disebut dengan haatzaai artikelen atau ujaran kebencian. Walaupun begitu, pasal tersebut telah dihapuskan sejak tanggal 4 Desember 2006 oleh Mahkamah Konstitusi.

9 Jenis Pasal Karet UU ITE

Baru-baru ini, Damar Juniarto sebagai Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) mengungkapkan bahwa ada sembilan pasal yang bermasalah di dalam UU ITE. Menurutnya, pasal yang bermasalah ini harus dihapus karena rumusan karet dan ada kecenderungan duplikasi hukum. Salah satu pasal yang bermasalah tersebut masih berkaitan dengan pasal 27 ayat 3 yang membahas mengenai defamasi. Pasal yang satu ini disebut bisa digunakan untuk mengekang aktivitas berekspresi warga, jurnalis, dan juga aktivis.

Tak hanya itu saja, pasal tersebut juga berpotensi untuk mengekang masyarakat dalam mengkritik pihak kepolisian dan juga pemerintah. Selain pasal 27 ayat 3, di bawah ini adalah beberapa daftar pasal yang bermasalah lain karena rumusan pasalnya karet dan multitafsir.

1. Pasal 26 ayat 3 tentang penghapusan informasi yang tidak relevan. pasal ini bermasalah soal sensor informasi.
2. Pasal 27 ayat 1 tentang asusila. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan untuk menghukum korban kekerasan berbasis gender online.
3. Pasal 27 ayat 3 tentang defamasi, dianggap bisa digunakan untuk represi warga yang mengkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara.
4. Pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian. Pasal ini dapat merepresi agama minoritas serta represi pada warga terkait kritik pada pihak polisi dan pemerintah.
5. Pasal 29 tentang ancaman kekerasan. Pasal ini bermasalah lantaran dapat dipakai untuk memidana orang yang ingin lapor ke polisi.
6. Pasal 36 tentang kerugian. Pasal ini dapat digunakan untuk memperberat hukuman pidana defamasi.
7. Pasal 40 ayat 2a tentang muatan yang dilarang. Pasal ini bermasalah karena dapat digunakan sebagai alasan internet shutdown untuk mencegah penyebarluasan dan penggunaan hoax.
8. Pasal 40 ayat 2b tentang pemutusan akses. Pasal ini bermasalah karena dapat menjadi penegasan peran pemerintah lebih diutamakan dari putusan pengadilan.
9. Pasal 45 ayat 3 tentang ancaman penjara dari tindakan defamasi. Pasal ini bermasalah karena dapat menahan tertuduh saat proses penyidikan.

Perjalanan Pasal Karet UU ITE Beserta Problematika di Dalamnya

UU ITE adalah salah satu produk regulasi yang ada setelah reformasi yang mempunyai dinamika cukup panjang. Adapun substansinya, UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini mengatur tentang informasi elektronik dan juga transaksi dunia maya yang menyertainya. Kenapa kemudian kebijakan yang satu ini dibutuhkan adalah karena secara normatif, UU ITE akan memayungi regulasi sosial di dalam ranah digital. Walaupun demikian, implementasinya memiliki kisah yang berbeda-beda.

UU ITE dianggap mengancam kebebasan dalam berpendapat khususnya untuk masyarakat sipil ataupun kebebasan pers. Oleh karena itu, LBH Pers dan juga AJI Indonesia merekomendasikan pemerintah dan juga DPR untuk segera merevisi secara menyeluruh pada UU ITE. Tak hanya sebatas pasal penghinaan, tapi juga pencemaran nama baik sampai ujaran kebencian. Hasilnya, pada tanggal 25 November 2016, Presiden Joko Widodo menandatangani naskah perubahan pada Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 menjadi Undang-undang No 19 Tahun 2016.

Pada dasarnya, amandemen tersebut ternyata tidak merubah substansi yang ada di dalam pasal karet seperti apa yang sudah ditentukan oleh masyarakat. Sebab, di dalam perjalanannya, perubahan regulasi tersebut hanya bersifat formal. Misalnya saja, di dalam pasal 27 ayat 3 yang sebelumnya menekankan bahwa ancaman pidana untuk para pelaku yang melakukan pencemaran nama baik akan mendapatkan hukuman berupa denda senilai Rp. 1 miliar. Akan tetapi, setelah direvisi, perubahannya ternyata hanya mengurangi kuantitas atau jumlah dendanya saja yaitu menjadi Rp. 750 juta.

Selain itu, melalui revisi UU ITE ini, pihak pemerintah kembali menegaskan bahwa tetap mempunyai kewenangan untuk memutus akses atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutuskan akses pada informasi elektronik yang berisi hal-hal melanggar hukum. Tapi sayangnya, dinamika panjang terkait revisi tersebut pada akhirnya tidak menemukan titik terang sampai akhirnya tidak masuk ke dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas prioritas 2021.

Regulasi UU ITE tak hanya mempunyai makna ambiguitas yang menjadi diskursus masyarakat di zaman konvergensi sekarang ini. Akan tetapi hal itu juga melanggengkan kasus sebagai implikasinya.

Kasus mantan guru asal Mataram, bernama Baiq Nurul menjadi salah satu persoalan yang cukup pelik yang pernah terjadi karena UU ITE. Baiq Nurul dianggap telah melanggar pasal 27 karena menyebarkan konten asusila. Padahal pada kenyataannya, Baiq membuat pernyataan tersebut untuk tujuan pertahanan diri. Ia diketahui menjadi salah satu korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh atasannya. Akan tetapi, Ia justru terjerat pasal karet ini.

Di sisi lain, kasus Prita Mulyasari yang juga menjadi korban ambigunya UU ITE. Hampir sama dengan sebagian besar kasus yang dihadapi oleh jurnalis yang kritis, Ia langsung dituntut atas kasus pencemaran nama baik.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

Berikut ini adalah beberapa rekomendasi buku hukum yang dapat dijadikan sebagai referensi untuk mempelajari lebih dalam mengenai hukum karet:

1.UU Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE) No. 19 Tahun 2016

UU Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE) No. 19 Tahun 2016

2. Amandemen Undang-Undang ITE ( UU RI No.19 Tahun 2016 )

Amandemen Undang-Undang ITE ( UU RI No.19 Tahun 2016 )

3.Kamus Hukum

Kamus Hukum

Deskripsi:Secara umum, hukum merupakan himpunan peraturan yang dibuat oleh yang berwenang dengan tujuan mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang. Serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi yang melanggarnya. Indonesia adalah negara yang menganut sistem hukum campuran dengan sistem hukum utama, yaitu sistem hukum Eropa Kontinental dengan tidak mengenyampingkan sistem hukum adat dan sistem hukum agama, khususnya hukum (syariah) Islam.

About the author

Laeli Nur Azizah