Kesenian

Kumpulan Peribahasa Bahasa Sunda yang Penuh Makna

Written by Gaby

Kumpulan Peribahasa Bahasa Sunda – Indonesia adalah negara yang memiliki keragaman suku dan budaya. Kekayaan budaya yang ada di Indonesia menghasilkan berbagai peribahasa dengan bahasa daerah masing-masing, tak terkecuali dengan peribahasa bahasa Sunda. Ada banyak sekali peribahasa yang berasal dari suku Sunda.

Berikut beberapa contoh peribahasa dalam bahasa Sunda yang berguna dalam mengarungi kehidupan.

Apa Arti Peribahasa?

Sebagaimana dilansir dari laman Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), peribahasa adalah kelompok kata atau kalimat yang tetap susunannya. Sementara itu, Puput Alviani berpendapat dalam karyanya yang berjudul Cakap Peribahasa, Puisi Baru, dan Pantun (2017:7), peribahasa merupakan bentuk bahasa kias atau bahasa yang tidak mengungkapkan makna langsung, tetapi menggunakan perbandingan. Perbandingannya biasanya berbentuk kalimat atau bisa juga berbentuk kalimat-kalimat ringkas yang berisi ungkapan, perumpamaan, perbandingan, nasihat, prinsip hidup, atau aturan tingkah laku kehidupan.

Menurut Satjadibrata (1945) dalam Rosidi (2005:5) paribasa (paripaos) merupakan kata-kata yang disusun menjadi ungkapan ucapan yang memiliki arti pengalaman hidup atau menjadi petuah. Selanjutnya, Gandasudirdja (1977: 80) menjelaskan bahwa paribasa merupakan ungkapan yang sudah tetap susunannya dan mengandung arti pengalaman hidup atau menjadi petuah, yang susunannya sudah ditetapkan oleh nenek moyang. Jika diubah susunannya tentu saja artinya pun akan berubah.

Ditinjau dari ilmu bahasa, Prawirasumantri (1973: 39) menjelaskan bahwa paribasa dalam ilmu bahasa merupakan perbandingan yang sudah menjadi perlambang tindakan dalam membentuk satu ungkapan (susunan kata yang sudah jelas polanya, sudah jelas bunyinya, dan sudah tentu cara mengukapkannya). Begitu juga menurut Sudrayat (2003: 99), paribasa merupakan ungkapan dalam bentuk kalimat (klausa) yang kata-katanya sudah tentu, dan maksudnya sudah jelas, biasanya mengandung arti perbandingan atau siloka tindakan hidup manusia.

Menurut Tamsyah (1994: 9-10), ada beberapa ciri utama yang bisa membatasi antara paribasa dan kalimat lain, di
antaranya:

  1. Paribasa sifatnya membandingkan, mengumpamakan;
  2. Paribasa merupakan ungkapan yang tidak memiliki arti yang sebenarnya;
  3. Paribasa merupakan bentuk kalimat (klausa) yang sangat dekat dengan hati yang mengungkapkannya;
  4. Paribasa tidak bisa diubah, dikurangi, dilebihkan, atau diperhalus kata-katanya, karena sudah berupa pakeman.

Berikut adalah peribahasa dalam bahasa Sunda yang berguna dalam mengarungi kehidupan sebagaimana dikutip dari buku Kumpulan Peribahasa Indonesia dari Aceh Sampai Papua karya Iman Budhi Santosa (2009).

Kumpulan Peribahasa Bahasa Sunda

Masyarakat Sunda sebagaimana etnik lainnya di Indonesia memiliki sejumlah sistem nilai moral dan pandangan luhur yang terdapat dalam wujud kebudayaan Sunda. Ekadjati (1995: 62) mengatakan bahwa nilai moral budaya Sunda merupakan jati diri etnik Sunda yang bersumber kepada nilai, kepercayaan, dan peninggalan budaya Sunda yang dijadikan acuan dalam bertingkah laku.

Bahasa dalam pewarisan nilai-nilai kebudayaan memiliki peran yang sangat penting, karena bahasa merupakan salah satu alat utama yang dipergunakan untuk mewariskan nilai-nilai budaya dalam suatu kelompok masyarakat. Bahasa Sunda digunakan oleh masyarakat Sunda di Jawa Barat sebagai alat komunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Salah satu unsur bahasa yang baku dan beku, baik dari segi struktur maupun makna (maksud) salah satunya adalah peribahasa.

Peribahasa secara universal dimiliki oleh bahasa-bahasa yang ada di dunia dengan bentuk-bentuk baku dan baku, yang sering disebut pula idiom. Peribahasa sebagai ungkapan tradisional dibuat sebagai petuah, nasihat yang disampaikan secara tersirat dengan memperhatikan estetika bahasa yang tinggi (Widyastuti, 2012:133 dalam Abbas,
2014:16). Unsur tersebut diwariskan secara turun-temurun dengan struktur dan makna yang sama. Hal ini berdasarkan bahwa peribahasa memiliki aturan tetap, dengan maksud agar nilai-nilai budaya dari peribahasa tersebut tetap terjaga (Djajasudarma, 1997:1).

  • Benda sesampiran nyawa gegaduhan (harta dan nyawa adalah pemberitan Tuhan dan harus pasrah jika diambil sewaktu-waktu).
  • Mun kiruh ti girang komo ka hilirna (jika pemimpin tidak baik, rakyat yang dipimpinnya akan berbuat jauh yang tidak baik lagi).
  • Kudu ngukur kana jujur, nimbang kana awak (jangan berlebihan, karena sikap seperti ini akan mengundang kecaman banyak orang).
  • Gunung luhur beunang diukur, laut jero beunang dijugjugan, tapi haté jelema nejan déét teu kakobét (mengetahui isi hati yang terpendam dalam diri seseorang sangat sulit, karena apa yang tampak dalam perilaku mereka dengan apa yang dirasakan bisa berbeda).
  • Ka hareup ngala sejeujeuh, ka tukang ngala selangkah (bersikap hati-hat dalam menjalani kehidupan untuk menghindari timbulnya permasalahan yang tidak diinginkan).
  • Nu geulis jadi werijit nu lenjang jadi baruan (kecantikan dapat membahayakan dan menimbulkan malapetaka).
  • Ninggalkan hayam dudutaneun (jangan meninggalkan pekerjaan yang belum selesai).
  • Ulah agul ku payung butut, sagala nu dipiboga kadar titipan tinu Maha Kawasa (jangan sombong dengan yang dimiliki karena semua milik kita hanya titipan Tuhan Yang Maha Kuasa).
  • Kudu seubeuh méméh dahar, kudu nepi méméh indit (harus melihat ke depan/berpikir sebelum melakukan suatu perbuatan, pikirkan dampak atau risikonya sebelum bertindak).
  • Hirupmah tong asa aing uyah kidul sabab di alam dunyamah euweuh elmu panutup (hidup tidak boleh merasa paling hebat, sebab di dunia tak ada ilmu pamungkas).
  • Kudu ngaragap haté batur ari nyarita téh ulah ngeunah éhé teu ngeunah éon (harus mengerti perasaan orang lain, kalau berbicara jangan seenaknya).
  • Ngeduk cikur kedah mitutur, nyokél jahé kedah micarék (jujur, tidak mengambil hak orang lain, tidak korupsi, dan merugikan orang lain, ini akan menjadi bekal untuk menjalani kehidupan yang baik dan bahagia).
  • Harta banda ukur titipan, kade poho syukuran kanu Maha Kawasa (harta benda hanya titipan, jangan lupa bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa).
  • Tong ngalalaworakeun kanu jadi kolot, sabab indung tunggul rahayu bapa tangkal darajat (jangan menyia-nyiakan orang tua, sebab ibu sumber kemakmuran dan bapak sumber derajat seorang anak).
  • Lamun boga rejeki kudu bisa ngeureut neundeun meh isuk jaganing géto teu katalangsara (kalau punya rezeki harus bisa menyisihkan agar besok lusa tidak kesusahan).
  • Tata titi duduga peryoga (menjaga etika dan sopan santun).
  • Moal aya haseup mun euweuh seuneu, matak ogé ulah nyieun pucuk tigirang bisi nimbulkeun bancang pakewuh (tidak akan ada akibat kalau tidak ada sebab, makanya jangan membuat perkara, takutnya akan menimbulkan masalah).
  • Jadi jelema mah kudu jujur jeung hampang birit méh loba nu mikaresep (jadi orang harus jujur dan rajin agar banyak orang yang menyayangimu).
  • Sing boga pamadegan hirup, ulah jiga awi sumaér di pasir (harus punya pendirian janganlah plin-plan).
  • Lamun jangji kudu sacangreud pageuh sagolek pangkek (kalau janji harus ditepati hingga tidak dapat dipegang sama sekali).

  • Ulah ngumbar nafsu sabab nafsu nu matak kaduhung awak nu bakal katempuhan (amarah janganlah diumbar, sebab amarah akan menimbulkan penyesalan dan kerugian di kemudian hari).
  • Munding dicekel tambangna, jelema dicekel caritannana. Kudu tijin kana jangji ulah lunca linci luncat mulang udar tina tali gadang (jika berbicara harus jujur dan kalau berjanji harus bisa dipegang dan jangan berkhianat).
  • Jadi pamingpin sing adil, tong cueut kanu hideung ponténg kanu konéng (jadi pemimpin harus adil, jangan memihak kepada golongan atau kelompok tertentu).
  • Sing daék peurih da hirupmah moal beunghar ku panyukup batur (harus mau berjuang sendiri meskipun sulit sebab hidup tidak akan kaya dengan pemberian orang lain).
  • Kudu akur jeung dulur hadé jeung baraya (harus rukun dengan saudara).
  • Sing soméah ulah goreng bagug dan basa mah teu meuli (harus ramah karena bicara sopan itu tak perlu bayar).
  • Jelemamah kumaha amal-amalan sabab melak bonténg bakal jadi bonténg melak cabé bakal jadi cabé (manusia akan memanen dari apa yang dia perbuat, jika berbuat baik akan menuai kebaikan, jika berbuat buruk akan menuai keburukan).
  • Kabagjaan teh sanes ku seerna harta, kabajaan teh ayana dina hate nu teu weleh ngucap sukur (kebahagiaan itu bukan soal banyaknya harta, kebahagiaan ada di dalam hati yang senantiasa mengucap syukur).
  • Urang miskin lain sabot teu ngagaduhan harta, nanging sabot urang atos kaleungitan mikacinta tina keluargi (orang miskin bukanlah ketika tak mempunyai harta, tetapi ketika kita telah kehilangan cinta dari keluarga).
  • Ulah nepika ngajadikeun cinta matak poho kana sagalana, komo nepika poho ka nu maha kawasa, asa ku kabina-bina (jangan sampai menjadikan cinta membuat lupa pada semuanya, apalagi sampai lupa kepada Tuhan yang Maha Kuasa).
  • Hirupmah tong asa aing uyah kidul sabab di alam dunyamah euweuh elmu panutup (hidup tidak boleh merasa paling hebat, sebab di dunia tak ada ilmu pamungkas).
  • Kudu silih asih silih asah jeung silih asuh (saling mengasihi, saling mengajari dan saling menjaga satu sama lain).
  • Ulah agul ku payung butut, sagala nu dipiboga kadar titipan tinu Maha Kawasa (jangan sombong dengan yang dimiliki karena semua milik kita hanya titipan Tuhan Yang Maha Kuasa).
  • Cai karacak ninggang batu laun laun jadi dekok (tetesan air sedikit yang kena batu, lama-kelamaan akan meninggalkan bekas di batu).
  • Kudu seubeuh méméh dahar, kudu nepi méméh indit (harus melihat ke depan (berpikir) sebelum melakukan suatu perbuatan, pikirkan dampak atau risikonya sebelum bertindak).
  • Sacangreud pageuh sagolek pangkek (komitmen, menepati janji serta konsisten).
  • Di dunya mah darma wawayangan baé, anging Allah nu ngusik malikeun (manusia tidak punya daya dan upaya, semua atas kehendak Allah SWT).
  • Ngeduk cikur kedah mitutur, nyokél jahé kedah micarék (jujur, tidak mengambil hak orang lain, tidak korupsi dan merugikan orang lain, kiranya menjadi bekal untuk menjalani kehidupan yang baik dan bahagia).
  • Kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balaréa (harus mengacu kepada hukum, menjunjung negara, dan mufakat untuk kebaikan bersama).
  • Kudu boga barang sorangan ulah adéan ku kuda beureum (harus punya barang sendiri, jangan merasa bangga dengan milik orang lain).
  • Kudu bisa mihapékeun manéh atau sing bisa mipahékeun diri (harus bisa menjaga diri dalam pergaulan atau harus pandai beradaptasi dengan lingkungan).
  • Bawa! tong sok ridu ku tanduk, engkémah butuh (bawa barang tertentu, jangan merasa ribet nanti juga akan butuh).
  • Kudu nulung kanu butuh nalang kanu susah (harus suka menolong kepada orang yang membutuhkan).
  • Tong pelit, kudu daék méré mawéh ka sasama (jangan pelit, harus dermawan, dan membantu sesama).

Nilai Kearifan dalam Peribahasa Sunda

1. Percaya Diri

Percaya diri merupakan salah satu aspek kepribadian yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Percaya diri adalah yakin terhadap kemampuan dan penilaian diri sendiri dalam melakukan tugas dan memilih pendekatan yang efektif. Orang yang percaya diri yakin dengan kemampuan mereka sendiri, serta memiliki pengharapan yang realistis, bahkan ketika harapan mereka tidak terwujud, mereka tetap berpikiran positif dan dapat menerimanya.

Pentingnya sikap percaya diri ini telah ditekankan sejak dahulu oleh leluhur masyarakat Sunda melalui peribahasa di bawah ini:

Adéan ku kuda beureum.

Kata adéan berkaitan dengan kuda, yang berarti menaiki kuda dan membuat kuda agar bertingkah. Makna dari peribahasa ini adalah sombong dengan barang (pakaian) pinjaman atau milik orang lain (meminjam). Antara peribahasa dengan makna memang tidak ada kaitannya, karena besar kemungkinan peribahasa ini berasal dari sisindiran (bentuk puisi Sunda, sejenis talibun):

Adéan ku kuda beureum hadé ku banda deungeun.

Sikap sombong dengan menggunakan barang pinjaman (milik orang lain) merupakan contoh sikap tidak percaya diri dengan sesuatu yang dimilikinya. Sikap ini merupakan sikap yang tidak baik dan tidak dipedomani, tetapi sesungguhnya peribahasa ini memberi pandangan nilai kearifan masyarakat Sunda mengenai kepercayadirian. Peribahasa di atas semata-mata diungkapkan agar sikap tersebut dihindari dan tidak melakukan hal yang terkandung dalam peribahasa di atas.

2. Kerja Keras

Kerja keras adalah perbuatan melakukan sesuatu dengan gigih dan sungguh-sungguh untuk mencapai hasil yang optimal. Dengan kata lain, kerja keras adalah mengerjakan sesuatu dengan kesadaran dan kemampuan yang tinggi, sehingga mencapai hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Sikap kerja keras ini sangat ditekankan dalam kehidupan masyarakat Sunda. Data yang mendukung hal tersebut antara lain:

Mun teu ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih, mun teu ngoprék moal nyapék.

Unsur puitis dan kekuatan bunyi peribahasa di atas terletak dalam kata akal – akeul, ngarah – ngarih, dan ngoprék – nyapék, yaitu purwakanti sora. Dengan demikian, peribahasa ini mudah diingat. Makna denotasi dari peribahasa di atas adalah jika tidak menggunakan akal tidak akan membolak-balik nasi, jika tidak mencari tidak akan mengaduk nasi rebusan, jika tidak melakukan pekerjaan tidak akan mengunyah.

Menggunakan akal, mencari, dan melakukan pekerjaan merupakan cerminan usaha seseorang untuk mendapatkan rezeki. Rezeki yang ditampilkan dalam peribahasa ini adalah rezeki berupa pangan. Hal ini tercermin dari kegiatan proses pengolahan pangan dalam peribahasa.

Selanjutnya, dalam akhir peribahasa ditampilkan kata nyapék yang berarti mengunyah dan dapat dikonotasikan menjadi akitivitas makan. Oleh karena itu, peribahasa ini mengungkapkan bahwa jika seseorang tidak mau berusaha, dia tidak akan dapat makan (memenuhi kebutuhannya). Peribahasa ini mengekspresikan nilai budaya baik karena secara tidak langsung mengimbau seseorang untuk bekerja keras guna memenuhi semua kebutuhannya.

3. Kepemimpinan

Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk memengaruhi perilaku, pikiran, dan sikap kelompok orang, baik secara langsung atau pun tidak langsung tanpa adanya paksaan dari pemimpin mereka. Namun, karena mau melakukan dengan sukarela. Sikap-sikap yang mencerminkan nilai kepemimpinan sudah ditekankan dalam kehidupan masyakarat Sunda.

Selain itu, sikap kepemimpinan juga dapat ditemukan dalam peribahasa Sunda. Data yang mendukung hal tersebut, antara lain:

Leuleus jeujeur liat tali.

Jeujeur adalah joran atau gagang dari alat penangkap ikan. Gagang penangkap ikan yang baik adalah gagang yang bersifat lentur, tidak mudah patah, dan dapat mengangkat beban ikan yang berat. Tali adalah barang yang berutas-utas panjang yang biasanya digunakan untuk mengikat.

Jika diperhatikan dari sifat joran yang lentur dan kuat, juga tali yang mengikat hal ini dapat ditafsirkan jika peribahasa ini disebutkan kepada seseorang yang mempunyai sifat besar pertimbangan, sabar tidak mudah marah. Sifat ini termasuk ke dalam sifat yang harus dimiliki oleh para pemimpin “lentur” atau dapat mengikuti arah dan maksud dari anggota yang dipimpinnya, lalu “mengikat” anggota agar tetap bersama-sama.

Nah, itulah kumpulan peribahasa bahasa Sunda yang berguna dalam mengarungi kehidupan. Semoga bermanfaat untuk kalian semua.

About the author

Gaby

Hai, saya Gabriel. Saya mengenal dunia tulis menulis sejak kecil, dan saya tahu tidak akan pernah lepas dari itu. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya untuk bisa turut memberikan informasi melalui tulisan saya. Saya juga sangat menulis dengan tema kesenian. Dengan seni, hidup akan jadi lebih berwarna.

Kontak media sosial Instagram saya Gabriela