in

Review Novel Gong Nyai Gandrung Karya Sekar Ayu Asmara

Kata orang-orang, di setiap tempat pasti memiliki “penghuni” yang berasal dari dunia lain. Sebab, manusia dan makhluk tak kasat mata memang hidup secara berdampingan. Hanya saja, ada makhluk yang mengganggu dan tidak mengganggu sama sekali. Apakah kalian percaya akan pernyataan itu?

Novel Gong Nyai Gandrung ditulis oleh Sekar Ayu Asmara, penulis asal Indonesia. Novel ini diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada September 2020. Novel dengan sampul yang cantik ini ternyata isinya tidak secantik yang dibayangkan. Ini bukan cerita sejarah mengenai asal usul sebuah gong, melainkan kisah horor yang terjadi di sebuah rumah.

Novel singkat yang hanya memiliki total 184 halaman ini mengisahkan tentang pasangan pengantin baru, Waru dan Kintan, yang mulai berburu rumah untuk tempat tinggal mereka berdua. Pilihan mereka akhirnya jatuh pada sebuah rumah di wilayah Magelang. Ketika melihat foto-foto rumah itu dari sang broker, mereka langsung jatuh cinta dengan tampilan setiap ruangannya.

Ketika pertama kali mengunjungi rumah itu, mereka disambut oleh Mbok Jum dan Pak Wage, dua orang penjaga rumah itu. Mereka begitu ramah dan siap sedia membantu Waru dan Kintan. Semakin mereka menelusuri rumah besar itu, mereka mulai menemukan ruangan-ruangan baru yang memancing banyak pertanyaan.

Apalagi pendopo yang berlokasi di halaman belakang, yang tidak ditunjukkan si broker dalam foto-foto yang dikirimnya. Lalu, ada tempat koleksi buku-buku tua berbahasa Belanda dan Jawa, ruang bawah tanah, dan beberapa lukisan sosok kuda, serta peralatan gamelan beserta sebuah gong, yang menumpuk berdebu di gudang. Setelah menemukan gong itu, Waru dan Kintan mulai mendapatkan mimpi buruk. Sesekali mereka sampai terbangun tengah malam, mendengar suara kuda, serta melihat sosok yang bisa menghilang. Sebetulnya apa yang ada di rumah itu?

Profil Sekar Ayu Asmara – Penulis Novel Gong Nyai Gandrung

Sumber foto: goodreads.com

Sekar Ayu Asmara adalah wanita asal Indonesia yang lahir di Ibu Kota, Jakarta. Sekar Ayu Asmara menghabiskan masa kecil dengan berpindah-pindah di sejumlah negara, mengikuti karir ayahnya sebagai diplomat. Ia pernah tinggal di Turki, Belanda, dan Afghanistan. Sosok Sekar Ayu Asmara dikenal sebagai pecinta sendi.

Seluruh bidang seni yang dia tekuni, dipelajarinya secara mandiri atau otodidak. Baik itu sebagai pelukis, produser musik, sutradara film, penulis skenario, dan penulis novel. Film pertamanya yang berjudul Biola Tak Berdawai berhasil mendapatkan penghargaan The Naguib Mahfouz Prize di Cairo International Film Festival 2003. Penghargaan bergengsi ini juga diberikan kepada sang sutradara film pertama.

Film Biola Tak Berdawai juga mendapatkan penghargaan Best Actress untuk Ria Irawan di Asia Pacific Film Festival, Shiraz, Iran 2003. Sementara Bali International Film Festival, Indonesia 2003, memberikan penghargaan Best Actor untuk Nicholas Saputra dan Best Music untuk Addie MS. Film Biola Tak Berdawai telah diadaptasi menjadi novel oleh Seno Gumira Ajidarma. Film kedua Ayu Sekar Asmara yang berjudul Belahan Jiwa, juga mendapatkan penghargaan The Best International Feature Film di ajang New York International Independent Video and Film Festival 2007.

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Hingga saat ini, Sekar Ayu Asmara telah menerbitkan delapan novel, yaitu Kitab Kencan, Ajaklah Tuhan ke Tanah Jawa, Jakarta Rock ‘N’ Roll, Gong Nyai Gandrung, Blue Morpho, Doa Ibu, Kembar Keempat, dan Pintu Terlarang. Kisah novel Pintu Terlarang juga telah diadaptasi menjadi film layar lebar oleh Joko Anwar.

Sinopsis Novel Gong Nyai Gandrung

Langit biru saat itu tidak dihiasi awan. Pada jam delapan pagi, panas matahari belum terlalu menyengat walaupun tetesan embun terakhir telah menguap. Mobil SUV Kijang berwarna silver melintas keluar kota Yogyakarta. Waru Wisanggeni mengemudikan mobil itu dengan santai, sesekali ia menikmati pemandangan. Waru adalah sosok lelaki tampan dengan wajah campuran Timur Tengah, Barat, dan Tionghoa.

Di sampingnya, ada seorang perempuan bernama Kintan Puspita, teman SMA Waru yang sekarang sudah resmi menjadi istrinya. Waru paling suka melihat mata Kintan. Mata perempuan itu bagaikan sebuah pertunjukan perasaan. Waru dapat melihat kapan hati Kintan bersedih, kapan dia sedang serius memikirkan sesuatu, dan kapan dia ingin bermesraan.

Selama 4 tahun menempuh kuliah di kota yang kaya budaya, Waru sebenarnya sudah memutuskan untuk membangun masa depan jauh dari hidup di kota kelahirannya, Jakarta. Kebetulan sekali, Kintan juga memiliki visi yang sama dengannya. Mereka berdua tidak ingin membangun keluarga di Jakarta. Jakarta memang kota kelahiran mereka, tetapi Jawa Tengah sepertinya menjadi masa depan mereka.

Sebab, Jakarta sudah terlalu padar. Kondisi jalanan sering membuat orang malas keluar rumah. Ditambah lagi, Waru lelah dengan semua pemberitaan tentang posisi pejabat dan gubernur yang sangat menyilaukan, hingga gelar itu menjadi diperebutkan kaum oportunis. Menjadi DKI 1 seolah membuat orang mendapatkan jaminan kekuasaan. Sebagai jaminan hidupnya akan makmur.

Kintan dan Waru bertemu saat mereka sama-sama mengisi acara Festival Seni se-SMA di Jakarta Selatan. Waru mengikuti pameran lukisan, sedangkan Kintan bagian dari grup dance yang memeriahkan pentas seni pertunjukan. Mereka berdua saling curi pandang, saling deg-degan. Waktu mengantre untuk beli es cendol, Waru pun mengajak Kintan untuk berkenalan. Hingga sekarang, es cendol masih menjadi minuman wajib setiap kali mereka merayakan hari jadi mereka.

Waru kemudian meneruskan pendidikan seni di Yogyakarta, sedangkan Kintan mendapatkan beasiswa untuk memperdalam tarian kontemporer di Singapore Dance Institute yang berlokasi di ujung Holland Road. Meskipun menjalani LDR, cinta mereka bisa tetap dijaga dan hubungan mereka terjalin dengan baik.

Setiap liburan panjang, mereka pasti mereka bertemu di Jakarta atau Yogyakarta atau Singapura. Jarak antara Jakarta, Singapura, dan Yogyakarta cukup dekat dengan sekali tempuh menggunakan pesawat terbang. Mereka kemudian sepakat untuk menikah setelah Waru menyelesaikan pendidikannya. Tak ada keraguan bagi Kintan dan Waru juga sudah mantap.

Mereka berdua memiliki komunikasi yang baik, yang selalu dibilang sebagai faktor paling penting dalam suatu hubungan. Mereka dapat membicarakan apa saja secara terbuka. Kejujuran tak akan pernah membuat mereka tersinggung atau sakit hati. Mereka juga memiliki sifat yang sama-sama pragmatis. Menyukai semuanya yang serba praktis.

Sifat-sifat ini tidak berlaku jika menyangkut profesi mereka. Keduanya akan berubah menjadi makhluk perfeksionis ketika berhadapan dengan pekerjaan. Keseimbangan dan kontras ini yang bisa membuat mereka semakin yakin untuk melangkah dan menatap masa depan. Pada awalnya kedua sejoli ini hanya ingin mengadakan upacara akad di masjid saja. Namun, keluarga Kintan keberatan karena Kintan merupakan anak tunggal. Mereka pun menginginkan upacara pernikahan dengan tradisi adat Jawa.

Waru adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Wardiman, sang ayah, merupakan pemilik jaringan hotel terbesar di Bali dan Indonesia Timur. Seluruhnya yang ada di bawah bendera Kalya Hotels. Kalya Hotels di Bali berlokasi di beberapa wilayah seperti di Legian, Canggu, Sanur, Ubud, Jimbaran, dan Nusa Dua. Ibu Waru bernama Amira, putri Jenderal Poeger yang gugur di Dili ketika masih menjadi Timor Timur.

Amira tak menyelesaikan pendidikan seni rupa di IT karena keburu dilamar oleh Wardiman. Ibu Amira sudah empat kali menyelenggarakan ngunduh mantu untuk keempat kakak Waru yang semuanya laki-laki. Dan kali ini, ia menyerahkan semuanya kepada Waru. Apa pun keinginan Waru dan Kintan, orang tua akan mengikuti saja. Dua bulan setelah resepsi, Waru dan Kintan pamit kepada orang tua mereka dan pamit kepada Kota Jakarta. Barang-barang mereka dikirim melalui jasa kurir pindahan profesional. Langsung mereka berangkat melalui jalur selatan yang menuju Yogyakarta. Mereka jalan dengan santai melalui Tasikmalaya sampai Kebumen.

Semalam mereka menginap di Yogyakarta dan sengaja berangkat pagi, supaya dapat menikmati pemandangan. Setelah melewati Muntilan, Waru memperlambat laju kendaraan. Begitu masuk kota Magelang mereka mampir dulu untuk sarapan di warung Sop Serenek Pak Parto yang berlokasi dekat terminal lama.

Setelah perut kenyang, Waru dan Kintan melanjutkan perjalanan pulang. Ya, benar, pulang. Sekarang pulang bukan berarti Jakarta lagi. Mereka telah memiliki rumah di Magelang, yang berlokasi di Jalan Sukasrana nomor 13. Ketika melihat foto-foto rumah itu dari sang broker, mereka langsung jatuh cinta dengan tampilan setiap ruangannya.

Ketika pertama kali mengunjungi rumah itu, mereka disambut oleh Mbok Jum dan Pak Wage, dua orang penjaga rumah itu. Mereka begitu ramah dan siap sedia membantu Waru dan Kintan. Semakin mereka menelusuri rumah besar itu, mereka mulai menemukan ruangan-ruangan baru yang memancing banyak pertanyaan.

Apalagi pendopo yang berlokasi di halaman belakang, yang tidak ditunjukkan si broker dalam foto-foto yang dikirimnya. Lalu, ada tempat koleksi buku-buku tua berbahasa Belanda dan Jawa, ruang bawah tanah, dan beberapa lukisan sosok kuda, serta peralatan gamelan beserta sebuah gong, yang menumpuk berdebu di gudang. Setelah menemukan gong itu, Waru dan Kintan mulai mendapatkan mimpi buruk. Sesekali mereka sampai terbangun tengah malam, mendengar suara kuda, serta melihat sosok yang bisa menghilang. Sebetulnya apa yang ada di rumah itu?

Kelebihan Novel Gong Nyai Gandrung

Kelebihan pertama dari novel Gong Nyai Gandrung ini terletak pada pemilihan judulnya dan desain sampul novel ini. Sebab, sampul novel yang berwarna-warni dan tampak ceria, serta judul novel ini dapat membuat pembaca menjadi terkecoh dengan mengira kisah ini tentang kebudayaan atau kesenian tari Jawa. Ini menjadi sebuah hal yang unik, dan dianggap sebagai twist pertama yang disajikan.

Kemudian, kisah mistis ini dinilai sangat menarik. Kisah yang lebih menitikberatkan pada latar belakang keluarga yang kaya raya, yang menikah muda, dan mencintai budaya Jawa Tengah, lalu memutuskan untuk tinggal di sebuah rumah yang berlokasi di Magelang. Jalan ceritanya sangat ringan dan mengalir.

Sekar Ayu Asmara mampu menjelaskan latar cerita dengan sangat baik, sangat detail. Beberapa pembaca sampai percaya bahwa tempat-tempat yang digambarkan dalam kisah ini adalah tempat yang nyata. Sekar juga menyajikan narasi kisah yang tak kalah detail, dari cara upacara adat, kondisi rumah, dan kejadian lainnya.

Kemudian, Sekar Ayu juga mampu membangun kedua karakter pasangan muda ini yang realistis dan dinilai selaras dengan karakter pasangan muda yang bisa ditemukan di dunia nyata. Lalu, buku ini cukup kental dengan budaya Jawa, yang membuat pembaca dapat mempelajari budaya Jawa secara tidak langsung. Novel yang tipis ini dinilai berhasil menuangkan cerita yang penuh menegangkan dan penuh dengan misteri. Ditambah lagi, Sekar Ayu Asmara juga menyajikan plot twist yang tidak tertebak.

Kekurangan Novel Gong Nyai Gandrung

Kekurangan yang ditemukan pada novel ini, yakni pada bagian akhir cerita, di mana terkesan buru-buru diselesaikan. Sedangkan, pembaca masih menemukan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Namun, hal ini bergantung pada preferensi tiap orang, dan bisa jadi memang gaya si penulis untuk mengakhiri kisah yang menggantung dan mengundang spekulasi.

Kemudian, pembaca menemukan banyak detail yang tidak perlu untuk dibahas, seperti tentang furniture rumah. Detail tersebut bagus untuk memperjelas gambaran latar tempat cerita, tetapi terlalu banyak. Pembaca merasa bahwa detail tersebut membuat fokus cerita menjadi teralihkan.

Pesan Moral Novel Gong Nyai Gandrung

Melalui kisah ini, kita dapat belajar untuk tidak mudah mengambil keputusan untuk hal yang besar. Seperti Waru dan Kintan yang tertarik dengan rumah yang akan menjadi tempat tinggal mereka, hanya dari sejumlah foto saja. Untuk memutuskan tempat tinggal, ada baiknya untuk melakukan survey langsung selama beberapa kali, supaya menghindari kejadian seperti yang dialami mereka ini.

Selain itu, melalui kisah ini, kita juga dapat belajar untuk senantiasa mencintai budaya Nusantara. Seperti Waru dan Kintan yang mencintai budaya Jawa. Sebab, pada zaman ini jarang ditemukan anak muda yang masih mencintai budaya tradisional. Sikap mereka berdua ini dapat diteladani oleh para anak muda di zaman ini.

Sekian artikel ulasan novel Gong Nyai Gandrung karya Sekar Ayu Asmara. Bagi kalian yang penasaran untuk menelusuri kisah mistis di rumah Waru dan Kintan, kalian bisa mendapatkan novel ini hanya di Gramedia.com.

Written by Nandy

Perkenalkan saya Nandy dan saya memiliki ketertarikan dalam dunia menulis. Saya juga suka membaca buku, sehingga beberapa buku yang pernah saya baca akan direview.

Kontak media sosial Linkedin saya Nandy