Psikologi

Pengertian Imitasi: Dampak, Tahap-Tahap, dan Contoh Imitasi dalam Interaksi Sosial

Pengertian, Dampak, Tahap-Tahap, dan Contoh Imitasi dalam Interaksi Sosial
Written by Sevilla Nouval

Pengertian Imitasi – Interaksi sosial dapat terjadi karena adanya beberapa faktor pendorong. Salah satunya adalah imitasi yakni meniru perilaku orang atau pihak lain. Lebih lengkapnya, pengertian imitasi adalah perilaku yang dilakukan seseorang melalui pengamatan terhadap perilaku yang ditunjukkan dari objek lain ketika ia akan memperoleh pengetahuan baru mengenai suatu perilaku yang diamatinya dan mencoba untuk meniru perilaku tersebut.

Dengan kata lain, proses imitasi tidak berlangsung dengan sendirinya. Sebelum seseorang mengimitasi atau meniru orang lain, terlebih dahulu ia menerima, mengagumi, dan menjunjung tinggi orang yang diimitasi atau ditiru itu. Sesuatu yang ditiru dalam perilaku imitasi ini bisa berupa apa pun, seperti tingkah laku, gaya hidup, penampilan, norma, nilai, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Melalui imitasi, seseorang mempelajari nilai dan norma di masyarakat atau sebaliknya, ia mempelajari perbuatan yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku.

Semua itu bergantung kepada nilai yang berlaku di lingkungannya. Apabila seseorang dibekali nilai dan kaidah yang baik, tentu akan meniru hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi kehidupannya. Sebaliknya, seseorang yang tidak dibekali nilai dan kaidah yang baik akan meniru hal-hal tidak baik.

Pengertian Imitasi

Imitasi atau meniru adalah suatu proses kognisi untuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang dilakukan oleh model dengan melibatkan indra sebagai penerima rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari rangsang dengan kemampuan aksi untuk melakukan gerakan motorik. Proses ini melibatkan kemampuan kognisi tahap tinggi karena tidak hanya melibatkan bahasa namun juga pemahaman terhadap pemikiran orang lain.

Imitasi saat ini dipelajari dari berbagai sudut pandang ilmu seperti psikologi, neurologi, kognitif, kecerdasan buatan, studi hewan (animal study), antropologi, ekonomi, sosiologi dan filsafat. Hal ini berkaitan dengan fungsi imitasi pada pembelajaran terutama pada anak, maupun kemampuan manusia untuk berinteraksi secara sosial sampai dengan penurunan budaya pada generasi selanjutnya.

Dalam kehidupan nyata, imitasi ini berkaitan dengan kehidupan sosial, sehingga tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa seluruh kehidupan sosial itu terinternalisasi dalam diri anak berdasarkan faktor imitasi. Dengan demikian, secara umum imitasi adalah proses sosial atau tindakan seseorang untuk meniru orang lain melalui sikap, penampilan gaya hidup, bahkan apa saja yang dimiliki oleh orang lain (Sasmita, 2011).

Sarsito (2010) mengatakan imitasi adalah suatu proses kognisi untuk melakukan tindakan maupun aksi seperti yang telah dilakukan oleh model dengan melibatkan indera sebagai penerima rangsang dan pemasangan kemampuan persepsi untuk mengolah informasi dari rangsangan, dengan kemampuan aksi untuk melakukan gerakan motorik.

Beberapa konsep imitasi di atas selaras dengan pandangan Barlow (2003), yang mengatakan imitasi sebagian besar dilakukan manusia melalui penyajian contoh perilaku (modeling), yaitu proses pembelajaran yang terjadi ketika seseorang mengobservasi dan meniru tingkah laku orang lain. Sementara itu, menurut Bandura (2007) imitasi adalah perilaku yang dihasilkan ketika seseorang melihat model atau orang lain melakukan sesuatu dalam cara tertentu dan mendapatkan konsekuensi dari perilaku tersebut.

Pihak yang melakukan imitasi akan meniru sama persis tindakan yang dilakukan oleh pihak yang diimitasi, tanpa pikir panjang tentang tujuan peniruannya. Adapun perilaku yang diimitasi menurut Soekanto (2005) dapat berwujud penampilan (performance), sikap (attitude), tingkah laku (behavior), gaya hidup (life style) pihak yang ditiru.

Namun, imitasi tidak terjadi secara langsung melainkan perlu adanya sikap menerima, dan adanya sikap mengagumi terhadap apa yang diimitasi itu. Melalui imitasi, seseorang belajar nilai dan norma di masyarakat atau sebaliknya ia belajar suatu perbuatan yang menyimpang dari nilai dan norma yang berlaku. Baik anak maupun orang dewasa belajar banyak hal dari pengamatan dan imitasi tersebut.

Pengamatan yang dilakukan individu menghasilkan suatu perilaku imitasi yang dilihat dari orang sekitarnya, sehingga timbullah tingkah laku. Hal itu sejalan dengan pendapat Bandura (2006) yang mengatakan bahwa tingkah laku manusia harus dikaitkan dengan respon-respon yang dapat diamati. Tingkah laku tersebut merupakan hasil melakukan pengamatan individu di lingkungannya. Khususnya pada anak sebagai peniru ulung, anak selalu mengamati perilaku yang tampak dari lingkungan terutama keluarga.

Berdasarkan beberapa pengertian imitasi yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa imitasi adalah perilaku yang dihasilkan seseorang dengan mencontoh atau melihat individu lain melakukan sesuatu, baik dalam wujud penampilan, sikap, tingkah laku dan gaya hidup pihak yang ditiru. Dalam hal ini perilaku imitasi lebih dilihat kepada anak terutama dalam lingkungan keluarga melalui pengamatan secara langsung.

1. Kajian Psikologi Imitasi

Imitasi harus dibedakan dengan peniruan gerakan yang sama saja (mimikri) maupun peniruan tujuan (emulasi), tetapi pada proses imitasi manusia melakukan prinsip peniruan suatu aksi dengan memahami tujuan aksi dan diarahkan oleh pencapaian target tujuan (goal).

Imitasi sering dikaitkan pula dengan teori belajar sosial dari Albert Bandura. Selain itu dengan imitasi, dikatakan bahwa anak membentuk teori pemikirannya (theory of mind) melalui imitasi terhadap aksi orang lain maupun persepsi terhadap rangsang yang diterima dari lingkungannya.

2. Kajian Neurosains

Ditemukannya mirror neuron system atau sistem saraf cermin pada monyet jenis macaque yang dipublikasikan pada tahun 1996 oleh Giacomo Rizzolati dari Universitas Parma Italy memberikan bukti neurologis bahwa imitasi penting.

Sistem saraf cermin adalah saraf binatang dan manusia yang menyala saat melakukan suatu aksi maupun menyaksikan aksi yang sama dilakukan oleh binatang atau manusia lain. Sistem saraf cermin (SSC) terletak pada bagian precortex otak. SSC ini membantu untuk memahami tindakan yang dilakukan oleh orang lain, sehingga memungkinkan untuk diimitasi.

Faktor dalam Melakukan Imitasi

Imitasi tidak berlangsung secara otomatis melainkan dipengaruhi oleh sikap menerima terhadap apa yang diamati. Ada beberapa faktor sehingga seseorang mengadakan perilaku imitasi, sebagai berikut:

1. Faktor Psikologis

Untuk mengadakan imitasi atau meniru ada faktor psikologi lain yang berperan salah satunya adalah aspek kognitif. Yaitu bagaimana manusia memikirkan sesuatu dan melakukan interpretasi terhadap berbagai pengalaman yang diperoleh. Di samping itu aspek ini juga menjelaskan bahwa perilaku yang baru dan kompleks dapat diciptakan dengan observasi atau melihat suatu model yang dilihatnya secara langsung maupun tidak langsung. Sehingga seseorang melakukan suatu imitiasi tersebut.

Menurut Mussen dan Conger (1984), imitasi dapat terjadi sebagai tanggapan suatu keinginan untuk mirip dengan orang lain atau keinginan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Sikap yang ditiru selama tiga tahun pertama dalam hidup, tergantung sebagian pada tingkat perkembangan kognitif anak yang menentukan perilaku apa saja yang ditangkap seorang anak sebagai suatu tantangan yang bukan tidak mungkin.

Motivasi untuk mirip dengan yang lain dan tingkat timbulnya emosi yang dipengaruhi orang lain, menentukan siapa yang akan ditiru oleh anak itu, serta motivasi dalam mencapai tujuan menentukan apa saja yang akan ditiru.

2. Lingkungan Keluarga

Imitasi sudah berlangsung sejak individu masih kecil dan dimulai dari lingkungan keluarga. Bagi anak, lingkungan keluarga merupakan lingkungan yang paling berpengaruh, setelah itu sekolah, baru kemudian masyarakat. Keluarga adalah lingkungan terkecil yang dibangun oleh orang tua bersama anggota keluarga lainnya.

Pembentukan sifat atau karakter anak berhubungan dengan sosialisasi atau suatu proses penanaman nilai dan aturan dari orang tua kepada anak. Penanaman nilai tersebut, seperti faktor yang memotivasi anak berperilaku keagamaan. Awalnya anak melihat aktivitas yang dilakukan oleh orang tuanya.

Ketika anak menyenangi hal itu maka anak akan mengimitasikan tanpa mengetahui esensi dari perbuataan yang dilakukan, sehingga timbullah motivasi anak untuk meniru. Hal itu tentu saja terjadi karena pada masa anak peniru ulung, anak telah memiliki minat dan keinginan namun belum mampu mengungkapkan minat dan keinginan tersebut secara baik (Jalaludin, 2010). Minat dan keinginan anak hanya dapat dilihat melalui gerak gerik dan tingkah lakunya

3. Media Massa

Imitasi akan terus berkembang ke lingkungan yang lebih luas, yaitu masyarakat. Imitasi dalam masyarakat semakin cepat dengan berkembangnya media masa, seperti tayangan televisi. Dalam era komunikasi dapat ditambahkan media masa sebagai faktor yang sangat berpengaruh lebih dari yang lain, karena dilihat terus menerus dan berulang-ulang.

Tayangan adalah pesan atau rangkaian pesan dalam bentuk suara, berbentuk grafik, karakter, baik yang bersifat interaktif maupun tidak, yang dapat diterima melalui perangkat penerimaan pesan dan siap untuk dipertunjukkan (Kurniasih, 2004).

4. Interaksi Sosial dengan Teman Sebaya

Tidak hanya melalui media masa saja, namun interaksi sosial atau teman sebaya juga sangat berpengaruh dalam imitasi anak. Interaksi dengan teman sebaya dalam proses interaksi memiliki peranan penting, terutama pada imitasi dalam aspek perilaku keagamaan.

Hal ini dijelaskan oleh Nurhayati (2007), interaksi teman sebaya mempunyai peranan penting dalam religius anak melalui dua hal sebagai berikut:

  • Melalui interaksi teman sebaya, anak akan mengetahui apakah perilakunya yang telah dibentuk berdasarkan standar nilai religiusitas dalam keluarga dapat diterima atau ditolak oleh lingkungannya.
  • Interaksi teman sebaya akan menimbulkan motivasi bagi anak untuk hanya berperilaku sesuai yang dapat diterima oleh lingkungannya.

Dampak Imitasi

Mengutip buku Ilmu Pengetahuan Sosial Sosiologi Jilid 1 oleh Tim Mitra Guru (2007), ada dua dampak yang ditimbulkan dari perilaku imitasi, yaitu dampak positif dan negatif.

1. Dampak Positif

Imitasi dapat mendorong seseorang untuk melakukan dan memenuhi norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku sehingga tercipta kondisi masyarakat yang harmonis, selaras, stabil, dan teratur. Misalnya, mengikuti gaya seorang penyanyi terkenal, meniru pola hidup sehat masyarakat lain, dan sebagainya.

2. Dampak Negatif

Dampak negatif imitasi terjadi jika dapat mendorong seseorang untuk menentang norma-norma atau kaidah-kaidah yang berlaku. Dalam hal ini, imitasi dapat melemahkan pengembangan daya kreasi seseorang. Contohnya, seseorang meniru gaya hidup bintang rock pujaannya dengan memakai anting, menggunakan obat-obatan terlarang, dan sebagainya.

Tahap-Tahap Imitasi

Imitasi adalah proses peniruan tingkah laku seorang model, sehingga disebut juga proses modeling. Ini dapat diaplikasikan pada semua jenis perilaku yang memiliki kecenderungan yang kuat untuk berimitasi. Proses ini tidak dilakukan terhadap semua orang tetapi terhadap figur-figur tertentu seperti orang-orang terkenal, orang yang memiliki kekuasaan, orang yang sukses, atau orang yang sering ditemui.

Figur yang biasanya menjadi model tersebut adalah orang tua itu sendiri. Namun menurut Tarde (2010) sebelum orang mengimitasi suatu hal, terlebih dahulu haruslah terpenuhi beberapa syarat, yaitu:

  • Memiliki minat/perhatian yang cukup besar akan hal tersebut.
  • Menjunjung tinggi atau mengagumi hal-hal yang akan diimitasi.
  • Ingin memperoleh penghargaan sosial seperti yang ditiru.

Imitasi sering dikaitkan dengan teori belajar sosial dari Bandura, karena belajar sosial dikenal sebagai belajar observasi atau belajar dari model, yaitu proses belajar yang muncul dari pengamatan, penguasaan pada proses belajar imitasi, serta peniruan perilaku orang lain. Di dalam imitasi ada proses belajar meniru atau menjadikan model tindakan orang lain melalui pengamatan terhadap orang tersebut. Dalam teori belajar sosial, individu belajar tidak melalui pengkondisian, tetapi melalui pengamatan.

Seperti yang telah dijelaskan, perilaku imitasi biasanya disebabkan oleh adanya minat, perbuatan, perhatian, ataupun sikap mengagumi pihak lain. Dikutip dari jurnal Hubungan Antara Celebrity Worship dengan Perilaku Imitasi pada Remaja oleh Yolanda Bilqis Sherly (2019), faktor-faktor itu kemudian berkembang menjadi imitasi yang dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut:

1. Atensi (Attention)

Yang pertama adalah memberi atensi atau perhatian. Maksudnya, untuk bisa melakukan tindakan imitasi, seseorang didorong dengan memerhatikan model atau objek tiruannya terlebih dahulu. Dari situ, ia dapat melakukan perilaku yang sama dari objek yang diimitasi.

Individu dapat belajar melalui observasi apabila ada model yang dihadirkan secara langsung ataupun tidak langsung, dan secara akurat ada aspek-aspek yang relevan dengan aktivitas model. Respon yang baru dapat dipelajari dengan cara melihat, mendengarkan dan memperhatikan orang lain, maka perhatian dalam hal ini menjadi sangat penting.

Namun seperti yang diketahui, tidak semua model yang dihadirkan akan mendapatkan perhatian dari individu. Oleh karena itu, supaya dapat mengamati dan belajar dari model maka perlu diarahkan dan ditingkatkan perhatiannya. Cara yang dipakai tidak selalu sama untuk semua orang, misalnya anak-anak berbeda dari orang dewasa dalam mengarahkan perhatian. Namun secara umum untuk meningkatkan perhatian dapat digunakan reward dan penonjolan pada kualitas model misalnya model mempunyai daya tarik tertentu.

2. Retensi (Retention)

Setelah aktivitas model diamati, subjek melakukan proses retensi dengan menyimpan memori mengenai model yang dilihat, kemudian disimpan dalam ingatannya. Namun, sebenarnya tidak semua informasi dari model akan disimpan olehnya. Biasanya, yang disimpan adalah informasi yang menarik perhatian dan minat subjek.

3. Pembentukan Perilaku (Behavior Formation)

Hal-hal yang telah dipelajari dan disimpan dalam memori oleh subjek dari model yang diimitasi kemudian akan diterjemahkan melalui tindakan atau perilaku.

4. Motivasi (Motivation)

Tahap terakhir yaitu tahap penerimaan dorongan yang dapat berfungsi sebagai penguatan. Penguatan dapat digunakan sebagai motivator untuk merangsang dan mempertahankan perilaku agar diwujudkan secara aktual dalam kehidupan.

Contoh-Contoh Imitasi

Untuk lebih memahami apa itu imitasi, berikut beberapa contoh imitasi positif dan negatif yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari.

1. Contoh Imitasi Positif

  • Meniru gaya pakaian artis idola.
  • Meniru gaya menyanyi dari penyanyi lain.
  • Meniru kebiasaan belajar dari siswa lain agar mendapat nilai akhir yang lebih baik.
  • Meniru taktik permainan bola basket dari klub basket terkenal.
  • Seorang ibu meniru ibu lainnya yang sukses dalam mendidik anak-anaknya.
  • Seorang siswa meniru perilaku gurunya yang amat disiplin dalam membagi waktu.
  • Mencontoh pembangunan tata kota dari negara lain.

2. Contoh Imitasi Negatif

  • Meniru kebiasaan minum-minuman keras dan pergaulan bebas antara pemuda dan pemudi.
  • Meniru hasil karya orang lain, baik dalam bentuk mencontek, membajak hak cipta, atau menjiplak (plagiat).
  • Meniru kebiasaan kebut-kebutan di jalan sehingga mengganggu kenyamanan pengguna jalan yang lain.
  • Meniru kebiasaan merokok.
  • Meniru gaya berpakaian yang bertentangan dengan norma atau kaidah yang berlaku.
  • Menggunakan handphone ketika sedang belajar di dalam kelas.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

About the author

Sevilla Nouval

Saya hampir selalu menulis, setiap hari. Saya mulai merasa bahwa “saya” adalah menulis. Ketertarikan saya dalam dunia kata beriringan dengan tentang kesehatan, khususnya kesehatan mental. Membaca dan menulis berbagai hal tentang kesehatan mental telah membantu saya menjadi pribadi yang lebih perhatian dan saya akan terus melakukannya.

Kontak media sosial Instagram saya Sevilla