Sosial Budaya

Suku Sunda: Asal-Usul, Sejarah, dan Wujud Kebudayaannya

Written by Umam

Suku Sunda – Dewasa ini, pasti Grameds sudah tahu jika Indonesia memiliki begitu banyak suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah dari Sabang hingga Merauke. Suku-suku tersebut sudah ada sejak dahulu kala, bahkan sebelum masehi dan berkembang hingga detik ini. Salah satu suku besar yang ada di negara kita adalah Suku Sunda yang mayoritas mendiami daerah Jawa Barat dan Banten. Bahkan saking besarnya, menurut sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2003 pun menyatakan bahwa populasi suku Sunda di Indonesia mencapai jumlah 34 juta jiwa! Meskipun mayoritas suku ini ada di sebelah barat Pulau Jawa, tetapi persebarannya mencapai wilayah Lampung hingga Jakarta juga. Lantas, bagaimana sih asal-usul dari suku Sunda itu? Bagaimana pula wujud kebudayaan dan kesenian dari suku yang kerap disebut sebagai Tatar Pasundan ini? Supaya Grameds tidak penasaran akan hal-hal tersebut, yuk simak ulasannya berikut ini!

https://www.freepik.com/

Mengenal Suku Sunda Lebih Dekat

Populasi suku Sunda alias Tatar Pasundan ini paling banyak ada di Jawa Barat. Yap, wilayah yang memiliki luas mencapai 4.417.000 ha atau sekitar 35% dari luas Pulau Jawa dan Madura ini memang telah lama menjadi kampung halaman para masyarakat suku Sunda. Jika masyarakat pada umumnya menyebut suku ini dari Jawa Barat, maka masyarakat suku Sunda sendiri justru menyebut wilayahnya dengan istilah Tatar Sunda alias Dataran Sunda. Tatar Sunda maksudnya adalah wilayah (tanah; tatar) yang meliputi bagian barat dari Pulau Jawa, dengan batas sebelah Timur adalah Sungai Cimapali (sampai akhir abad ke-16 saja). Sementara itu, batas sebelah Tatar Sunda adalah laut yang memisahkan Pulau Jawa dengan Pulau Sumatera, yakni Selat Sunda.

Sementara itu, masyarakat Sunda lebih menyebut dirinya sendiri sebagai urang Sunda. Dalam bahasa Sunda, kata “urang” berarti ‘orang’. Yap, secara etimologis, kata “Sunda” yang berasal dari kata ‘su’ berarti segala sesuatu yang mengandung unsur kebaikan. Sedangkan menurut bahasa Sansekerta, kata “Sunda” terbentuk dari kata ‘Sund’ yang berarti bercahaya dan terang benderang. Ada juga dari bahasa Kawi yang menyebutkan bahwa kata “Sunda” ini bermakna ‘air, daerah yang banyak air atau subur, waspada’.

Istilah “Sunda” pun juga ditemukan dalam buku berjudul The Hammond World Atlas yang diterbitkan oleh majalah Time pada tahun 1980. Kala itu, Sunda Islands (Kepulauan Sunda) digunakan untuk menyebut seluruh kepulauan yang ada di Nusantara ini. Bahkan ketika zaman penjajahan lalu, pihak Portugis dan Belanda pun membagi wilayah Nusantara ini menjadi 2 gugusan kepulauan, yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil.

Mata Pencaharian

Grameds pasti sudah tahu bahwa sebagian besar wilayah Jawa Barat ini penuh dengan area perkebunan, terutama kebun teh. Itulah mengapa, masyarakat suku Sunda umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani alias bercocok tanam, karena kebanyakan masyarakatnya memang enggan merantau atau hidup terpisah dengan kerabatnya.

Kian hari, masyarakat suku Sunda pun beradaptasi dengan kecanggihan zaman dengan beralih profesi yakni mendirikan usaha percetakan, cafe, hingga warung mie instan (Warmindo) dan bubur kacang ijo (Burjo). Nyatanya, keberadaan Warmindo dan Burjo ini justru laris diminati oleh masyarakat dan bahkan telah menyebar di seluruh wilayah Pulau Jawa, terutama di sekitar daerah kampus.

Sistem Kekerabatan

Pada dasarnya, setiap suku di Indonesia ini memiliki sistem kekerabatan yang berbeda-beda. Nah, pada suku Sunda ini sistem kekerabatan lebih bersifat bilateral alias garis keturunan dapat ditarik dari pihak Ayah maupun Ibu. Hampir sama dengan sistem keluarga lainnya, Ayah akan bertindak sebagai kepala sekaligus pemimpin keluarga. Untuk menyebut hubungan kekerabatan, baik secara vertikal maupun horizontal, suku ini menggunakan sistem Pancakaki.

Sejarah Singkat Suku Sunda

https://www.reddit.com/

Dilansir dari Sejarah Suku Sunda yang ditulis oleh Roger L. Dixon pada tahun 2000, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang tahu pasti kapan, darimana, dan bagaimana masyarakat suku Sunda awal menetap di wilayah Jawa Barat. Kemungkinan terjadi pada abad pertama masehi, yang mana terdapat sekelompok kecil suku Sunda tengah menjelajahi hutan-hutan pegunungan dan melakukan tradisi tebas bakar untuk membuka hutan.

Bahkan menurut sejarawan Bernard Vlekke, menyebutkan bahwa pada abad ke-11, wilayah Jawa Barat justru menjadi daerah yang paling terbelakang di Pulau Jawa. Sementara kerajaan-kerajaan besar bangkit di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur, tetapi di Jawa Barat hanya sedikit yang berlaku demikian. Jika membahas tentang pengaruh Hinduisme bagi masyarakat Sunda, maka jawabannya adalah adanya pengaruh dari Jawa. Meskipun sejarah besar yang masih diingat oleh masyarakat Sunda dan Jawa adalah Perang Bubat, yang terjadi antara Kerajaan Majapahit dengan Kerajaan Sunda, tetapi tetap saja tidak menutup kemungkinan bahwa Jawa banyak berpengaruh pada kehidupan suku Sunda.

Sebelum Belanda datang ke Indonesia pada 1596, agama Islam telah berpengaruh secara dominan di masyarakat Sunda, bahkan di antara kaum ningrat dan pemimpin masyarakat. Hal yang menonjol dari sejarah suku Sunda adalah hubungan mereka dengan kelompok-kelompok lain. Secara historis, suku Sunda tidak memainkan suatu peranan penting dalam urusan-urusan nasional. Beberapa peristiwa yang sangat penting telah terjadi di Jawa Barat tetapi biasanya peristiwa-peristiwa tersebut bukanlah kejadian yang memiliki karakteristik Sunda.

Wujud Kebudayaan Suku Sunda

Menurut Koentjaraningrat (1990), definisi dari kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia yang dilakukan dalam rangka kehidupan bermasyarakat untuk dijadikan sebagai milik sendiri dengan cara belajar. Singkatnya, kebudayaan itu pastilah memiliki 3 perwujudan yakni gagasan atau ide, tindakan atau aktivitas manusia, dan hasil karya manusia yang dapat dilihat secara kasat mata. Masyarakat suku Sunda tentu saja memiliki 3 perwujudan kebudayaan tersebut dan masih eksis hingga sekarang ini. Nah, berikut uraiannya!

Berwujud Ide Atau Konsep

Sunda Wiwitan

Pada dasarnya, Sunda Wiwitan ini adalah bentuk kepercayaan atau agama lokal yang berkembang di Tanah Pasundan. Sama halnya dengan agama lokal lainnya yang begitu melekat pada sistem kepercayaan berdasarkan tradisi leluhur, pandangan hidup, dan praktik persembahan yang dilakukan oleh masyarakat tertentu. Nah, dalam kepercayaan Sunda Wiwitan ini, masyarakat mempercayai adanya kehadiran kekuasaan tertinggi yang disebut sebagai Sang Hyang Kersa atau Gusti Sikang Sawiji-Wiji (Tuhan yang Satu atau Tunggal).

Menurut kepercayaan suku Sunda, Sang Hyang Kersa hidup di tempat yang tinggi dan agung yakni Bhuana Agung atau Buana Nyungcung. Kepercayaan ini juga setidaknya memiliki 3 lapisan kosmologis dunia yaitu Buana Agung yang merupakan tempat Gusti Sikang Sawiji-Wiji berada; Panca Tengah sebagai tempat manusia dan binatang hidup; Buana Larang sebagai tempat roh-roh jahat bersemayam.

Selain itu, Sunda Wiwitan juga memiliki konsep peranan hidup manusia yang dianut oleh suku Sunda, yaitu Tri Tangtu. Pada konsep Tri Tangtu ini mengacu pada pandangan akan konsepsi keseimbangan peneguh dunia dan dilambangkan dengan Raja sebagai sumber wibawa. Rama sebagai sumber ucap (yang benar), dan Resi sebagai sumber tekad (yang baik).

Pusat dari kepercayaan Sunda Wiwitan ini adalah Kerajaan Padjajaran yang dalam perkembangan zaman ini justru semakin menghilang. Namun, kemudian terbagi menjadi beberapa jenis dengan ciri khas sejarah masing-masing, salah satunya adalah komunitas Agama Djawa Sunda (ADS) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.

Larangan-Larangan

Sama halnya dengan masyarakat suku lain, pada suku Sunda ini juga memiliki nasihat yang berupa larangan-larangan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tujuan dari larangan-larangan ini adalah keturunan mereka tidak sembarangan melakukan kesalahan atau bahkan melanggar sesuatu yang memang telah dilarang. Contoh larangan-larangan yang hingga saat ini masih melekat pada masyarakat suku Sunda adalah perkataan “Tidak boleh bermain di saat matahari tenggelam, nanti diganggu setan”, “Jangan makan makanan masam ketika matahari terbenam, nanti ibunya meninggal”, “Tidak boleh melangkahi padi, nanti akan mendapatkan penyakit yang disebabkan oleh setan”, dan masih banyak lainnya.

Indung Beurang

Di kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Sunda begitu menghormati dan menjunjung tinggi kaum perempuan. Salah satunya dengan menjadikan sosok Ibu sebagai panutan dengan menyebutnya sebagai Indung. Sementara Ayah tidak memiliki sebutan yang lebih tinggi. Menurut Hasan Mustapa, “Siapa yang mendidik anak dari kecil, sekalipun bukan manusia, harus disebut indung (ibu)”. Hal ini juga hampir sama dengan ajaran Islam yang meminta kita menyebut Ibu terlebih dahulu, kemudian baru Ayah.

Berwujud Tindakan atau Aktivitas

Bahasa Sunda

Grameds pasti tahu dong jika setiap daerah itu memiliki bahasa tersendiri sebagai identitas atau jati diri dari suku tersebut berasal. Nah, dalam suku Sunda pun memiliki bahasa khas yang termasuk dalam wujud kebudayaan aktivitas, yakni Bahasa Sunda. Pembelajaran Bahasa Sunda, baik secara lisan maupun tulisan telah diajarkan di lembaga pendidikan formal mulai dari jenjang Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas.

Ditinjau dari buku-buku terbitan Balai Pustaka tentang Bahasa Sunda, bahasa ini terbagi menjadi beberapa tingkatan yakni kasar pisan (sangat kasar), kasar (kasar), sedeng (sedang), lemes (halus), dan lemes pisan (sangat halus). Tingkatan-tingkatan tersebut ternyata merupakan usaha feodalisme masyarakat Sunda setelah Tanah Pasundan di bawah kekuasaan Kerajaan Mataram. Perkembangan bahasa Sunda ternyata sudah ada sejak abad Masehi, tepatnya sebelum tahun 1600 M. Secara garis besar, bahasa Sunda terbagi menjadi beberapa sejarah.

  1. Sejarah bahasa Sunda masa I (sebelum tahun 1600 M)
  2. Sejarah bahasa Sunda masa II (1600-1800 M)
  3. Sejarah bahasa Sunda masa III (1800-1900 M)
  4. Sejarah bahasa Sunda masa IV (1900-1945 M)
  5. Sejarah bahasa Sunda masa V (1945-sekarang)

Upacara Pernikahan

Wujud kebudayaan yang berupa aktivitas dan tindakan manusia selanjutnya adalah Upacara Pernikahan yang lebih cenderung ke tradisi. Yap, masyarakat suku Sunda ketika hendak melangsungkan pernikahan, pasti harus melalui beberapa tahapan yang cukup panjang terlebih dahulu karena memang sudah menjadi tradisi warisan nenek moyang. Bahkan setiap tahapan-tahapan upacara pernikahan Sunda ini harus dipersiapkan secara matang dari jauh-jauh hari. Tahapan-tahapan upacara pernikahan suku Sunda ini terbagi menjadi 3 tahap yakni sebelum, saat, dan sesudah upacara pernikahan.

a) Sebelum Pernikahan
  1. Neundeun Omong, yakni perjanjian antara orang tua pihak laki-laki kepada orang tua pihak perempuan untuk melaksanakan pernikahan.
  2. Ngalamar/Nyeureuhan/Nanyaan (Meminang), yakni orang tua pihak laki-laki akan meminta pihak (calon) pengantin perempuan. Caranya adalah dengan bertanya apakah si gadis masih dalam status bebas atau sudah bertunangan dengan orang lain.
  3. Papacangan (Tunangan), yakni pihak perempuan dan laki-laki akan berdekatan secara sewajarnya untuk lebih mengenal satu sama lain, dengan tetap dalam pengawasan orang tua kedua belah pihak.
  4. Seserahan, yakni menyerahkan pengantin laki-laki kepada calon mertuanya untuk dinikahkan kepada si perempuan. Upacara ini dilaksanakan 1-2 hari sebelum hari perkawinan dengan membawa barang bawaan berupa uang, pakaian perempuan, perhiasan, ditambah pula sirih, pinang, kue, beras, ternak, buah-buahan, kayu bakar, juga peralatan dapur dan rumah tangga.
  5. Helaran (Iring-Iringan), yakni calon pengantin laki-laki beserta keluarga akan iring-iringan menuju ke rumah calon pengantin perempuan. Seolah akan menjemput calon pengantin perempuan.
  6. Ngeuyeuk Seureuh (Menyiapkan Sirih Pinang), dilaksanakan pada malam hari sebelum hari pernikahan.
  7. Siraman, yakni dengan memandikan calon pengantin pada sehari sebelum hari pernikahan.
b). Upacara Pernikahan
  1. Akad Nikah (Ijab Kabul), yakni dengan diambilnya  ijab dan kabul dari calon pengantin pria dengan wali calon pengantin wanita serta penyerahan mas kawin sebagai tanda sahnya perkawinan.
  2. Munjungan (Sungkem), yakni dilakukan oleh kedua mempelai kepada orang tua dan keluarga yang lebih tua sebagai rasa terima kasih serta memohon restu untuk membangun rumah tangga.
  3. Sawer, yakni dilaksanakan di luar rumah yang dipimpin oleh juru rias atau juru sawer. Bahan-bahan yang disawer adalah: beras putih lambang kehidupan bahagia, kunyit lambang kemuliaan, bunga atau rampai lambang keharuman nama baik rumah tangga, uang logam lambang kekayaan, payung lambang kewaspadaan, sirih yang digulung berbentuk cerutu berisi gambir, kapur sirih, pinang, tembakau lambang keharmonisan suami istri, serta permen lambang manis budi dan ramah tamah.
  4. Nincak Endog (Injak Telur), yakni melambangkan  cara berkomunikasi atau pergaulan suami istri dalam kehidupan sehari-hari.
  5. Buka Pintu, yakni melambangkan percakapan antara kedua mempelai di dalam rumah yang mengandung nasihat dengan dipimpin oleh juru sawer.
  6. Huap Lingkung (Saling Menyuapi), yakni dengan kedua mempelai duduk bersanding sambil menyuapi satu sama lain, sebagai tanda saling mencintai.
c) . Setelah Pernikahan
  1. Numbas, yakni upacara selamatan sebagai bukti mempelai wanita masih perawan dan mempelai pria adalah pria yang sehat.

Tradisi Ruwatan

Wujud kebudayaan yang berupa aktivitas dan dianggap sebagai tradisi selanjutnya adalah Ruwatan. Tradisi ini hampir sama dengan yang ada di suku Jawa yang bertujuan untuk ‘melepaskan ancaman bahaya malapetaka dari yang melingkupinya’. Biasanya, Ruwatan di suku Sunda ini dilakukan untuk menghalau munculnya penyakit dan wabah, serta menyembuhkan seseorang dari penyakit yang tidak dapat dijelaskan secara medis. Tradisi ini akan dilaksanakan dengan membaca beberapa mantra dan harus dengan persiapan khusus. Mulai dari padi dan kelapa yang berjumlah ganjil, satu kendi air tape ketan, bubur beras putih dan merah, dan beberapa sesajen.

Berwujud Hasil Karya Manusia

Pada dasarnya, kebudayaan yang berwujud hasil karya manusia ini kerap dikenal sebagai kesenian daerah. Yap, kesenian itu memang bagian dari kebudayaan yang pastinya telah berkembang sejak dahulu kala, mengingat sebuah kebudayaan itu mesti sudah mengakar secara turun-temurun. Itulah mengapa, kebudayaan yang berwujudkan hasil karya manusia itu berkenaan dengan karya sastra, rumah adat, pakaian adat, hingga alat musik daerah.

Karya Sastra

Wujud kebudayaan yang berupa hasil karya manusia diantaranya adalah karya sastra. Yap, Sastra Sunda umumnya adalah karya kesusastraan yang ditulis dalam Bahasa Sunda dan berkenaan dengan kebudayaan suku Sunda. Karya sastra ini telah muncul sejak abad ke-11 dengan dituliskan di atas daun lontar menggunakan aksara Sunda Kuno, aksara Cacarakan, hingga huruf Arab. Jenisnya pun beragam, mulai dari yang berbentuk pantun, mantra, cerita wayang, hingga buku suci.

Salah satu karya sastra suku Sunda yang terkenal adalah Carita Parahiyangan yang berupa naskah kuno sejak abad ke-16. Carita Parahiyangan ini berisikan penjelasan akan bagaimana sejarah Tanah Sunda berdiri, terutama pada kekuasaan di dua ibukota Kerajaan Sunda, yakni Keraton Galuh dan Keraton Pakuan. Naskah yang ditulis dalam 47 lembar halaman ini mulanya ditulis di daun lontar menggunakan aksara Sunda Kuno. Saat ini, naskah asli dari Carita Parahiyangan sudah dapat dilihat di Museum Nasional Indonesia Jakarta.

Beberapa karya Sastra Sunda yang dikenal oleh masyarakat luas adalah:

  • Babad Cerbon
  • Cariosan Prabu Siliwangi
  • Carita Ratu Galuh
  • Carita Purwaka Caruban
  • Nagari
  • Carita Waruga Guru
  • Kitab Waruga Jagat
  • Layang Syekh Gawaran
  • Pustaka Raja Purwa
  • Kitab Pramayoga
  • Sajarah Banten

Kesenian

https://id.pngtree.com/

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kesenian itu telah menjadi bagian dari kebudayaan berwujud hasil karya manusia. Pada suku Tatar Pasundan ini ada banyak kesenian yang hingga saat ini dijadikan tradisi masyarakat untuk tetap dilestarikan. Mulai dari Sisingaan, Kuda Lumping, Kuda Renggong, Reog, hingga Wayang.

Sisingaan adalah kesenian tradisional yang berupa arak-arakan dengan empat orang dewasa menggotong patung berbentuk singa dan ditunggangi oleh anak kecil. Berhubung kesenian ini adalah arak-arakan, maka tentu saja akan diiringi oleh suara tabuhan gendang dan terompet. Saat ini, kesenian Sisingaan masih dilakukan di hari-hari bersejarah seperti hiburan resmi, kegiatan HUT Kemerdekaan RI, dan beberapa hari besar lainnya.

Kuda Lumping menjadi salah satu kebudayaan berwujud hasil karya manusia yang menggunakan kayu berbentuk kuda. Yap, dalam prosesnya pun akan mendatangkan “dukun” untuk mengundang roh halus sehingga orang yang memainkannya akan kesurupan. Ketika orang tersebut sudah kesurupan, maka dirinya akan menunggangi kayu berbentuk kuda dan diiringi dengan suara tabuhan gendang serta terompet. Perlu diketahui bahwa kesenian ini hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang telah terlatih, karena ketika kesurupan tak jarang mereka akan memakan kaca, rumput, ataupun benda-benda berbahaya lainnya.

Wayang selain menjadi kesenian khas Indonesia juga menjadi peninggalan kebudayaan suku Sunda, khususnya Wayang Golek. Yap, Wayang Golek ini adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang dalang. Tak lupa dengan iringan musik degung dan nyanyian sinden. Cerita yang dibawakan biasanya Ramayana, Mahabharata, dan tokoh-tokoh dari tanah India lainnya.

Nah, itulah ulasan mengenai apa itu suku Sunda beserta asal-usul, sejarah, hingga peninggalan kebudayaan yang berwujud gagasan, aktivitas manusia, dan hasil karya manusia. Sebenarnya, masih ada banyak sekali kesenian yang menjadi bagian kebudayaan berwujud hasil karya manusia dari suku Sunda, sebut saja ada rumah adat bernama Badak Heuay, alat musik bernama Angklung, tari daerah bernama Tari Jaipong, pencak silat Cikalong, kain tenun Majalaya, dan lainnya.

Sumber:

Mengenal Suku Sunda (https://www.academia.edu/8861195/Mengenal_Suku_Sunda)

Dixon, Roger L. (2000). Sejarah Suku Sunda. VERITAS 1/ 2, 203-213

Sari, Devita Nela dan Risti Yuliana. (2015). Kebudayaan Suku Sunda. Institut Seni Indonesia Surakarta.

Baca Juga!

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.