Sosial Budaya

Matrilineal adalah Sistem Kekerabatan yang Dianut Beberapa Suku Dunia

Matrilineal adalah
Written by Umam

Matrilineal adalah – Matrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu saja. Anak kemudian akan terhubung dengan sang ibu termasuk terhubung dengan kerabat ibu, berdasarkan kepada garis keturunan perempuan secara unilateral.

Konsekuensi sistem kekerabatan ini adalah menarik keturunan dari garis ibu yang dipandang sangat penting. Dalam urusan warisan orang-orang dari garis keturunan ibulah yang akan mendapatkan porsi lebih banyak dibanding dari garis bapak.

Sistem kekerabatan ini kemudian dapat dijumpai pada masyarakat Minangkabau serta Semando. Anak yang menghubungkan diri dengan ibunya berdasarkan garis keturunan perempuan.

Dalam masyarakat matrilineal, keturunan menurut garis ibu sendiri dipandang sangat penting, sehingga akan menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih meresap pada para keluarga dengan keturunan menurut garis ibu. Di Indonesia Sistem kekerabatan ini berlaku kepada masyarakat minangkabau.

Matrilineal pada Suku Minangkabau

Matrilineal adalah

Kompas.com

Dalam hubungan keluarga terdapat sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan inilah yang kemudian akan menghubungkan sebuah keluarga inti atau keluarga kecil dengan anggota keluarga besar. Tak seperti pada sistem kekerabatan patrilineal yang dianut oleh suku-suku pada umumnya, sistem matrilineal sendiri sangat jarang digunakan.

Di Indonesia tak banyak suku yang menganut sistem kekerabatan ini. Namun Salah satu suku penganut sistem matrilineal yang masih bertahan adalah suku Minangkabau. Keberadaan suku Minangkabau mendominasi provinsi Sumatera Barat dengan populasi yang besar.

Berikut ini beberapa fakta unik terkait sistem matrilineal yang dianut suku Minangkabau yang perlu kamu ketahui.

1. Melakukan Pernikahan Eksogami

Pada sistem matrilineal, adat di Minangkabau tak mendukung terjadinya perkawinan antarsuku. Sekalipun berasal dari nagari (satu desa atau daerah) yang berbeda namun memiliki suku yang sama, maka perkawinan itu tetap dipandang sebagai hal yang tidak baik.

Adat Minangkabau kerap mengkhawatirkan terjadinya kerusakan garis kesukuan jika terjadi perkawinan di antara dua orang yang berasal dari suku yang sama. Bagi yang akhirnya melanggar ketentuan ini umumnya akan mendapatkan sanksi sosial, seperti dikucilkan dari masyarakat.

Berkaitan dengan pernikahan eksogami, tak jarang laki-lakilah yang kemudian diberikan mahar. Posisi laki-laki dengan kondisi demikian ini akan membuat mereka disebut sebagai orang jemputan. Setelah menikah, seorang laki-laki akan menjadi “tamu” sebab mereka kemudian akan tinggal di rumah keluarga istrinya.

2. Generasi yang dilahirkan akan berpengaruh pada ukuran rumah Gadang yang dihuni

Rumah Gadang menjadi pusaka dan menjadi tempat diadakannya berbagai acara-acara penting mulai dari upacara kelahiran hingga pesta perkawinan. Jika seorang laki-laki telah berkeluarga, maka rumah Gadang yang ditempati oleh saudara perempuan bersama suami serta anak-anak mereka.

Pengembangan rumah juga akan menyesuaikan kepada kebutuhan anak perempuan. Semakin banyak isinya, maka akan semakin besar pula ukuran rumahnya. Perempuan juga memegang peran sentral pada struktur kekeluargaan. Beberapa ahli seperti Naim, Anwar, serta M. Radjab kemudian menyebutkan apa itu pengertian keluarga di dalam rumah Gadang mencakup di antaranya paruik, jurai, dan samande.

Paruik merupakan sebutan untuk 5–6 generasi yang menempati rumah Gadang. Kelompok yang lebih besar ini disebut juga sebagai jurai, sementara kelompok yang lebih kecil disebut juga sebagai samande.

Pada umumnya, tidak ditemukan keterlantaran karena pada setiap generasi dan kelompok memang memiliki peran yang sama pentingnya. Bagi masyarakat Minangkabau, hidup bersama keluarga besar adalah sama dengan mendapatkan perlindungan yang besar dari keluarga tersebut.

Orangtua memiliki tanggung jawab kepada kelangsungan hidup anak, sementara anak-anak bertanggung jawab pada keluarga dengan usia lanjut. Jika dua ketentuan tersebut tidak berjalan, maka tanggung jawab kemudian akan dialihkan ke anggota keluarga saparuik.

Jika tidak juga, maka akan diambil alih oleh anggota keluarga sajurai, dan seterusnya hingga ke tingkat keluarga yang lebih tinggi

3. Nama Keturunan Ditarik dari Salah Satu Pihak

Matrilineal merupakan istilah yang menyebut sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak perempuan (ibu), baik pada anak laki-laki atau anak perempuan. Mereka kemudian menyandang suku pada namanya sesuai dengan suku yang dimiliki oleh sang ibu.

Mulai dari nenek moyang hingga generasi yang baru lahir, anak-anak Minangkabau umumnya tidak akan menggunakan suku dari pihak ayah. Karena hal inilah, kelahiran seorang anak perempuan disambut dengan sangat baik sebab kelak ia akan menjadi penerus garis keturunan sukunya.

4. Harta Warisan Digunakan Kolektif

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masyarakat Minangkabau kemudian memiliki hubungan yang sangat erat dengan kerabatnya. Kuatnya hubungan ini sendiri dilandasi oleh tujuan serta berbagai kepentingan bersama, yaitu berupa kepemilikan atas rumah dan tanah.

Jadi, meskipun perempuan berperan besar dalam kesukuan, bukan berarti perempuan akan mendapatkan kuasa penuh pada harta warisan atau pusaka di keluarganya. Masyarakat Minangkabau memiliki filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Maknanya, selain berpegang teguh kepada adat, masyarakat Minangkabau juga akan menjadikan ajaran Islam sebagai pedoman dalam kehidupan termasuk dalam pembagian harta warisan.

Masyarakat Minangkabau pada umumnya juga menganut pewarisan dari mamak (paman atau saudara laki-laki ibu) kepada kemenakan. Dari pembagian harta warisan ini biasanya harta warisan akan digunakan secara bersama-sama oleh sang penerima warisan dengan anggota keluarga yang lain. Bisa dibilang, harta warisan kemudian tidak bisa dibagi dan harus tetap utuh karena milik bersama.

5. Ada beberapa hubungan antara perempuan dan laki-laki di dalam sistemnya

Sistem matrilineal yang dianut suku Minangkabau kemudian menyebabkan perempuan serta laki-laki akan mendapat sebutan yang berbeda. Perbedaan itu sendiri tergantung pada jenis hubungan yang terjalin. Berikut penjelasannya.

  • Hubungan mamak-kemenakan. Mamak merupakan sebutan untuk paman dan kemenakan adalah sebutan bagi keponakan dari paman tersebut. Hubungan ini sendiri terjalin antara paman dengan anak dari saudara perempuannya atau hubungan laki-laki atau perempuan dengan pamannya.
    Mamaklah yang akan berperan penting dalam melestarikan sistem matrilineal. Ia juga bertugas sebagai pengayom keluarganya di rumah Gadang. Mulai dari membimbing anak perempuan untuk meneruskan sistem matrilineal sukunya hingga membimbing anak laki-laki untuk dapat bijak jika kelak dihadapkan dengan pewarisan pusaka.
  • Hubungan atas dasar induk bako dan anak pisang. Induk bako merupakan sebutan untuk perempuan saat berhubungan dengan anak dari saudara laki-lakinya. Sementara itu, anak pisang sendiri menunjukkan hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan saudara perempuan ayahnya. Peran perempuan di sini akan lebih luas lagi jika dibandingkan dengan hubungan pada poin sebelumnya.
  • Hubungan atas dasar persemendaan. Suami akan mendapat sebutan sumando sebab mereka akan menjadi pihak yang menumpang atau tinggal di rumah keluarga istrinya sementara istri disebut pasumandan karena mereka menjadi pihak yang ditumpangi.

Walau terbilang kompleks, tak dapat ditampik bahwa sistem matrilineal yang kemudian dianut oleh suku Minangkabau telah melahirkan generasi perempuan yang tangguh. Peran perempuan di ranah Minang sendiri kemudian menempati kedudukan yang tinggi hingga kini.

Etnis di Dunia yang Masih Menjalankan Adat Matrilineal

Seperti yang telah kita ketahui, matrilineal adalah sebuah adat yang menurunkan warisan kepada perempuan atau dari garis ibu. Selain di Indonesia, ada beberapa etnis di dunia yang masih memegang teguh kebudayaan matrilineal, negara mana sajakah itu?

1. Minangkabau

Pada masyarakat Minangkabau atau biasa juga dikenal dengan Minang yang berlokasi di Indonesia, semua properti, tanah, dan warisan diturunkan dari ibu kepada anak perempuannya. Sementara untuk pendapatan sang ayah akan diturunkan kepada anak laki-laki.

Pada masa lalu, hal ini kemudian akan membuat kaum perempuan di Minang memiliki kekuatan, namun saat ini, pendapatan yang rendah kemudian sedikit mengambil andil dalam perubahan kehidupan sosial modernnya. Walaupun demikian warisan masih terus diturunkan kepada garis ibu dan ibu masih menjadi kepala keluarga.

Pengantin laki-laki umumnya akan diberikan kepada pengantin perempuan dari anggota keluarga perempuan, yang akan mengawalnya sampai di rumah pengantin perempuan. Kekuatan serta otoritas secara keseluruhan akan dibagi rata antara laki-laki dan perempuan, dengan perempuan yang berkuasa di dalam rumah, sementara laki-laki yang memiliki peran spiritual dan politik. Kedua belah pihak percaya bahwa hal ini akan membuat mereka menjadi setara.

Para perempuan di Minang memiliki hak serta kekuatan untuk memilih seorang laki-laki yang akan dijadikan kepala suku, kemudian menurunkannya dari jabatan tersebut jika dirasa ia bukan orang yang pantas untuk dijadikan kepala suku.

2. Akan

Masyarakat Akan merupakan suatu kelompok multietnis di Ghana, di mana pada daerah tersebut segala sesuatunya diatur berdasarkan adat matrilineal. Di Ghana para pria seringkali menjadi pemimpin suku, sementara kekuatan mereka berasal dari garis matrilineal.

Para laki-laki tak hanya akan membantu keluarganya sendiri, namun juga keluarga dari pihak perempuan. Para perempuan di Ghana umumnya yang akan mengadakan banyak ritual dan upacara, seperti diantaranya pemakaman, membuat makanan, juga berbagai aturan-aturan di dalam rumah.

3. Mosuo

Mosuo Cina merupakan sebuah suku yang tinggal di kaki Gunung Himalaya. Mosuo menjadi salah satu contoh masyarakat dengan adat matrilineal yang paling terkenal. Mereka bahkan memiliki sebuah tradisi “walking marriage” di mana para perempuan kemudian berhak memilih pasangannya dengan berjalan sendiri langsung ke rumah laki-laki yang mereka pilih.

Dalam suku ini sang perempuan berhak mendapatkan lebih dari satu laki-laki serta menjalani lebih dari satu kali pernikahan. Keturunan mereka nantinya akan memakai nama belakang dan tinggal bersama ibu mereka, sementara pihak laki-laki boleh atau tidak boleh terlibat dalam membesarkan anaknya.

4. Bribri

Berlokasi di Panama dan Costa Rica bagian utara, Bribri menganut adat matrilineal di mana kaum perempuan kemudian mewarisi tanah serta menciptakan sebuah keluarga besar. Anak-anak akan yang akan memasuki keluarga ibunya dan seorang nenek kemudian dipandang sebagai pembawa tradisi dan sumber pengetahuan.

Sementara para pria dengan peran yang penting tidak diperbolehkan untuk menyampaikan pengetahuan atau memberikan pekerjaan kepada anak laki-laki mereka, melainkan hanya untuk anak laki-laki dari saudara perempuan mereka saja.

Para perempuan kemudian memiliki hak untuk menyiapkan kakao guna ritual suci Bribri sebagai satu hal yang paling penting di dalam sebuah suku.

5. Garo

Garo merupakan sebuah suku adat yang berada di Bangladesh dan India. Garo memberi nama suku dari nama ibu mereka, dengan putri bungsunya akan menjadi pewaris semua properti sang ibu. Menganut adat matrilineal, para perempuan dari Garo memegang kekuasaan serta akan diberi hak untuk memerintah di dalam rumah.

6. Tuareg

Tuareg berisi orang-orang Berber yang memiliki gaya hidup nomaden di daerah gurun Sahara. Dalam kehidupan sosial, para perempuan di Tuareg kemudian akan memiliki status yang tinggi serta setiap suku yang ada didalamnya akan akan dikumpulkan agar semua orang dapat mendengarkan para perempuan yang menulis dan membaca.

Sementara para laki-laki akan berternak hewan. Sebagian besar dari properti serta hewan ternak akan dimiliki oleh kaum perempuan, sementara pada properti pribadi akan diwariskan tanpa memandang jenis kelamin. Meski mayoritas diantaranya menganut agama Islam, namun etnis Tuareg juga dipengaruhi oleh beberapa kebudayaan lain seperti salah satunya adalah matrilineal.

Buku-Buku Terkait Matrilineal

1. Orang Padang Tionghoa – Dima Bumi Dipijak, Disinan Langik Dijunjuang

Matrilineal adalah

Masyarakat Tionghoa di Padang mempunyai kekhasan dalam konstruksi kehidupan sosial mereka dibandingkan dengan di tempat lain. Setelah ratusan tahun hidup di Kota Padang, mereka telah beradaptasi dan membentuk sistem kehidupan dan lingkungan yang unik.

Ada dua kongsi yang menjadi pilar masyarakat Tionghoa— kongsi gedang dan kongsi kecik, kelenteng sebagai pengikat moral dan penjaga peradaban, serta interaksi yang erat dengan masyarakat Minang berdasarkan kesamaan bahasa. Sebagai hasil dari proses adaptasi itu, kebudayaan mereka kini tampil dengan ciri campuran Tionghoa dan Minang atau mengalami hibriditas kebudayaan.

2. Komunikasi Budaya Memahami Komunikasi Antarmanusia dan Antarbudaya

Matrilineal adalah

Komunikasi Antarbudaya (intercultural communication) adalah proses pertukaran pikiran dan makna antara orang-orang yang berbeda budaya. Ketika komunikasi terjadi antara orang-orang berbeda bangsa, kelompok ras atau komunitas bahasa, komunikasi tersebut disebut komunikasi antarbudaya (selanjutnya disingkat KAB).

Jadi pada dasarnya komunikasi antarbudaya mengkaji bagaimana budaya berpengaruh terhadap aktivitas komunikasi, apa makna pesan verbal dan nonverbal menurut budaya-budaya bersangkutan, apa yang layak dikomunikasikan, kapan mengkomunikasikannya, dan bagaimana cara mengkomunikasikannya melalui verbal maupun nonverbal.

3. Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber

Matrilineal adalah

Perkembangan dan pertumbuhan internet dewasa ini telah mengubah wajah dunia. Ada banyak hal yang berubah. Berbagai hal yang sebelumnya terbatasi oleh kondisi dan medan geografis, kini perlahan mengabur, menjadikan pertukaran informasi berlangsung terus-menerus sepanjang waktu.

Namun di sisi lain, kondisi ini juga semakin mengaburkan batasan antarbudaya, mengubah cara berkomunikasi antarbudaya, dan secara langsung maupun tidak menghadirkan percampuran budaya.

Kini kita telah mengetahui matrilineal adalah sebuat sistem kekerabatan dan budaya atau adat yang hingga kini masih dijalankan oleh beberapa suku di dunia, termasuk suku Minang di Indonesia. Grameds bisa membaca buku-buku terkait kebudayaan di Gramedia.com agar bisa lebih memahaminya. Sebagai #SahabatTanpaBatas Gramedia selalu memberikan produk terbaik agar kamu memiliki informasi #LebihDenganMembaca.

Penulis: Sofyan

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.