Sosial Budaya

8 Budaya Jepang yang Terkenal sampai Saat Ini!

Written by Umam

8 Budaya Jepang yang Terkenal sampai Saat Ini! – Grameds! Masyarakat Indonesia, bahkan mungkin di seluruh dunia tahu bahwa Jepang menyimpan berbagai budaya yang unik juga menarik. Akan tetapi, tak banyak orang tahu sejarah dan makna tersirat di balik budaya-budaya dari negeri Sakura itu.

Berikut ulasan mengenai sejarah dan makna tersirat di balik beberapa budaya Jepang yang terkenal yang sudah dijalani hingga puluhan tahun, bahkan ratusan tahun oleh masyarakatnya.

8 Macam Budaya Jepang yang Terkenal dan Menarik

Untuk lebih mengenal apa saja budaya Jepang yang terkenal dan pastinya unik ini, berikut penjelasan lengkapnya.

1. Geisha: Seniman-Penghibur Tradisional Jepang

Ilustrasi Geisha

Ilustrasi Geisha

Geisha adalah salah satu dari sekian banyaknya budaya Jepang yang cukup terkenal. Terkadang, bagi sebagian orang yang masih awam terhadap Geisha, akan menganggap Geisha sebagai sosok “makhluk misterius” dan menjadi salah satu budaya, sekaligus profesi tradisional Jepang yang kerap disalahartikan.

Dalam bahasa Jepang sendiri, Geisha bermakna “orang seni” atau orang yang memiliki keterampilan dalam seni tradisional Jepang, seperti menari, menyanyi, musik, ataupun upacara minum teh. Dengan kata lain, Geisha adalah aktivis seni penghibur tradisional di negara Jepang.

Memang, awalnya pria lah yang memerankan Geisha ini, tetapi beberapa pria yang menekuni budaya tradisional ini cenderung menurun, hingga akhirnya para wanita yang segera menggantikan peran mereka.

Geisha sudah ada sejak abad 18-an dan 19-an, serta masih sangat terkenal sampai saat ini. Sayangnya, di zaman sekarang, kebudayaan Jepang yang satu ini cenderung menurun meskipun masih ada beberapa di antara orang Jepang yang tetap mempertahankan Geisha.

Adapun sebutan lain untuk Geisha, yakni Maiko dan Geiko. Istilah tersebut mulai ada dan diterapkan di zaman Restorasi Meiji. Istilah Maiko hanya diterapkan di tempat Kyoto, sementara istilah Geiko hanyalah sebutan lain saja. Hal itu karena Maiko lah yang menjadi sebutan untuk Geisha pemula.

Lazimnya, budaya tradisional Jepang ini (geisha) memang sudah diajarkan dan dilatih sejak usia muda. Tak hanya itu, rumah geisha juga rata-rata akan membawa gadis dari keluarga tidak mampu atau miskin untuk menetap dan berlatih di sana. Rumah-rumah Geisha itu disebut Okiya.

Awalnya, Geisha pemula atau Maiko bekerja sebagai pembantu, lalu sebagai pembantu senior Geisha, pemilik rumah sebagai anggota dari latihan mereka serta penolong biaya pendidikan dan pemeliharaan mereka pula. Bahkan, hingga saat ini pun budaya pelatihan Geisha masih dijumpai di Jepang.

Namun, Geisha modern sudah tak lagi diangkat dan dididik oleh rumah Geisha (Okiya). Hal itu karena Geisha sudah bersifat sukarela.

Sampai saat ini, Geisha masih menjadi daya tarik yang cukup besar dari negara Jepang sendiri, bahkan dari para wisatawan asing. Akan tetapi, bagi para wisatawan yang ingin melihat budaya Jepang yang satu ini, perlu mengetahui beberapa lokasi spesial, tepatnya di Kyoto, agar dapat menemukan seorang Geisha.

Uchi & Soto: Budaya Jepang dari Keluarga ke Korporasi

Uchi & Soto: Budaya Jepang dari Keluarga ke Korporasi

Beli Buku di Gramedia

Cukup banyak orang mengagumi kebudayaan Jepang dan ingin mempelajarinya. Namun karena budaya dan Bahasa Jepang terlihat jauh dari budaya kita, rasanya jadi rumit dan sulit. Dengan bantuan buku ini, kerumitan itu akan terurai. Semua aspek dibahas dengan pendekatan secara langsung oleh orang Indonesia yang pernah tinggal dan menimba ilmu di Jepang yang mana hingga kini berkerja sama dan berinteraksi dengan bangsa Jepang.

2. Matsuri: Festival

Ilustrasi Matsuri (sumber: tokyocheapo)

Ilustrasi Matsuri (sumber: tokyocheapo)

Matsuri adalah semacam festival budaya di Jepang yang diselenggarakannya saat summer  atau musim panas. Matsuri ini berhubungan dengan festival dari kuil, yakni kuil Buddha dan kuil Shinto. Sebenarnya, Matsuri sendiri adalah acara untuk berdoa dan bersembahyang. Hanya saja itu tak memfokuskan pada para wisatawan yang datang. Hal itu karena banyak pula pengunjung atau wisatawan yang datang sekadar untuk melihat festival budaya Matsuri ini.

Matsuri sendiri berasal dari kata matsuru yang artinya menyembah atau memuja. Matsuri berarti penyembahan atau pemujaan pada Kami. Dalam ajaran agama Shinto, terdapat empat unsur dalam matsuri, yaitu harai atau penyucian, persembahan, norito atau pembacaan do’a, dan pesta makan.

Sementara apabila dilihat dari pengertian sekularisme, Matsuri berarti hari libur perayaan atau festival.

Matsuri ini berawal dari pembacaan do’a yang dilakukan pendeta Shinto, baik untuk individu maupun sekelompok orang yang dilaksanakan di tempat yang tak tertampak oleh orang lain.

Adapun maksud dan tujuan diadakannya Matsuri ini adalah sebagai bentuk doa atas keberhasilan panen, suksesnya bisnis, sembuh dari penyakit, dan sebagainya. Tak hanya itu, Matsuri sendiri juga diselenggarakan sebagai bentuk perayaan tradisi yang berkaitan dengan peralihan musim atau mendoakan arwah dari para figur terkenal.

Matsuri sendiri diadakan di berbagai tempat di Jepang. Meskipun lazimnya Matsuri dilaksanakan di kuil, ada pula yang menyelenggarakan Matsuri di gereja dan atau dilaksanakannya dengan tidak mengaitkan sisi keagamaan.

Waktu pelaksanaan dan makna upacara Matsuri juga bervariasi, tergantung dari tujuan penyelenggaraan dan daerahnya.

Seiring berkembangnya zaman, penyelenggaraan Matsuri ini sering menyimpang dari maksud dan tujuan yang sesungguhnya. Namun, di balik itu semua, sisi tradisional dari budaya Jepang yang satu ini tetap terus dilestarikan hingga saat ini.

3. Sadou: Upacara Minum Teh

Ilustrasi Upacara Minum Teh (sumber: niindo)

Ilustrasi Upacara Minum Teh (sumber: niindo)

Upacara minum teh atau Sadou ini terdapat dua jenis, yakni Ochakai dan Chaji. Ochakai adalah upacara minum teh yang terbilang tidak terlalu formal karena biasanya orang Jepang akan mengundang teman dan kerabatnya untuk melakukan kegiatan ochakai sebagai bentuk perayaan keberhasilan atau semacamnya. Kemudian, Chaji juga merupakan upacara minum teh yang sifatnya formal dan sangat sakral, bahkan pelaksanaannya dapat berlangsung lebih dari 4 jam.

Awalnya, upacara minum teh bermula dari agama Buddha (Zen) yang dibawa orang Tiongkok di abad ke-6. Kemudian, upacara ini kerap dilakukan oleh orang Jepang sampai abad ke-12 yang mana pada abad itu ditemukan varian teh baru Matcha, yaitu teh dari serbuk teh hijau.

Sampai akhirnya pada abad ke-16, upacara minum teh terus menyebar ke seluruh masyarakat Jepang dan menjadi suatu budaya yang ada di Jepang hingga saat ini. Bahkan dengan rasa bangganya, orang-orang Jepang selalu mencoba melestarikan budaya yang satu ini hingga ke ranah Internasional.

Sadou atau upacara minum teh ini memiliki tata cara dalam pelaksanaannya. Tuan rumah harus melakukan persiapan, seperti menata ruangan, mendekor, menyiapkan peralatan Sadou-nya, dan semacamnya. Selain itu, para tamu juga memiliki tata caranya sendiri sebelum diperkenankan memasuki ruangan yang telah disediakan oleh tuan rumah. Kemudian, ada pula aturan duduk dan tata cara menerima dan menyerahkan mangkuk tehnya.

Di balik itu semua, Sadou atau upacara minum teh yang sudah menjadi kebudayaan Jepang ini memiliki banyak makna kehidupan, misalnya, sikap saling menghargai dan menghormati antara tuan rumah dan tamu. Dengan begitu, budaya Jepang yang satu ini secara tak langsung menunjukkan karakter dari si tuan rumah yang bertujuan agar terwujudnya ketenteraman satu sama lain.

4. Kimono: Pakaian Tradisional Jepang

Ilustrasi Kimono

Ilustrasi Kimono

Budaya Jepang yang terkenal selanjutnya, yakni Kimono. Tentunya kalian tidak asing lagi mendengar istilah ini. Kimono adalah salah satu pakaian tradisional dari negara Jepang yang sudah terkenal hingga ke kancah Internasional. Kimono yang terdiri dari ‘ki’ artinya pakai dan ‘mono’ berarti barang atau benda.

Mulanya, Kimono adalah pakaian yang dipakai dari kalangan bangsawan saja, yakni sekitar tahun 794-1185 atau dalam sejarang Jepangnya diketahui sebagai periode Heian. 

Kemudian, seiring berkembangnya zaman, pakaian Kimono ini semakin familiar dan popular di kalangan masyarakat, bahkan sering pula dipakai oleh aktor kabuki saat melakukan pentas dan Geisha.

Akan tetapi, di tahun 1683, terjadilah pelanggaran dalam mengenakan pakaian Kimono, terlebih yang mahal dan mencolok. Hingga akhirnya, Kimono kembali muncul pada abad ke-19 saat Jepang sudah mulai mengembangkan diri akan dunia modern.

Pakaian Kimono sendiri pun berbeda-beda, tergantung dari perayaan yang diselenggarakan atau dilaksanakan. Seperti halnya, Kimono yang dikenakan oleh wanita lajang akan berbeda dengan Kimono yang dipakai oleh wanita yang sudah menikah. Berikut akan dijelaskan sedikit mengenai jenis-jenis Kimono berdasarkan perayaannya.

  • Mofuku merupakan Kimono dengan warna serba hitam yang digunakan oleh wanita dan pria saat upacara berkabung atau berduka cita.
  • Tomesode adalah bentuk Kimono yang sangat formal. Kimono Tomesode memiliki motif berwarna emas dan perak, digunakan oleh wanita Jepang yang sudah menikah. Umumnya, Kimono Tomesode dipakai untuk menghadiri acara pernikahan.
  • Iromuji adalah Kimono yang tak memiliki pola dan terdiri dari satu warna saja. Kimono Iromuji dapat dikenakan oleh semua wanita, baik yang lajang maupun sudah menikah.
  • Susohiki atau Hikizuri adalah kimono khusus yang dikenakan oleh Geisha atau para penari Jepang. Adapun perbedaan Kimono ini apabila dibandingkan dengan Kimono biasanya, yakni terletak pada bentuknya. Bentuk Kimono Susohiki atau Hikizuri cenderung lebih panjang hingga menyapu lantai.
  • Furisode merupakan Kimono formal untuk wanita yang belum menikah alias masih lajang. Lazimnya dikenakan dalam acara khusus, termasuk upacara kedewasaan, upacara minum teh (Sadou), dan atau menghadiri acara pernikahan.
  • Komon adalah Kimono yang dibuat dari sutra serta memiliki motif yang hampir menutupi seluruh Kimononya. Umumnya, Kimono Komon dipakai saat acara informal atau casual.
Bahasa & Budaya Jepang untuk Pemula Edisi Traveling

Bahasa & Budaya Jepang untuk Pemula Edisi Traveling

Beli Buku di Gramedia

Buku ini diperuntukkan bagi siapapun yang ingin mengenal dasar bahasa dan budaya Jepang atau hendak berlibur ke Jepang. Dilengkapi dengan ilustrasi khas GENGOYA di setiap halamannya, membahasa hal-hal dasar yang bervariasi dari tata krama, tips berpergian, hingga kosakata bahasa Jepang.

Catatan penting untuk pembaca: buku ini bukanlah buku traveling yang merekomendasikan tempat-tempat spesifik ketika bertamasya.

5. Tako: Layang-Layang Jepang

Ilustrasi Tako (sumber: bobo.grid)

Ilustrasi Tako (sumber: bobo.grid)

Budaya Jepang berikutnya ialah Tako. Tako memiliki arti, yakni layang-layang, sementara takoage artinya layang-layang terbang. Di negara Jepang, menerbangkan layang-layang menjadi salah satu kegiatan atau aktivitas favorit keluarga Jepang yang dilaksanakan tiap tahun baru.

Meskipun kegiatan Tako ini tidak terlalu familiar di seluruh dunia, akan tetapi hal ini sangatlah terkenal di negara Jepang. Selain di tahun baru, layang-layang dapat dijumpai saat festival budaya.

Pada dasarnya, layang-layang di Jepang memang kebanyakan terbuat dari kertas washi dengan kerangka bambu atau kayu cemara, dan tinta hitam atau sumi, serta menggunakan cat pewarna alami dengan warna cerah. Adapun kerangka bambu atau kayu cemara itu disebut sebagai tulang, sedangkan penutup kertas washi disebut sebagai kulit.

Masyarakat Jepang menganggap bahwa Tako bukanlah sekadar layang-layang, melainkan sebuah karya seni dan budaya bernilai tinggi yang sepatutnya dilestarikan.

Bahkan, pemerintah Jepang memberikan subsidi juga tunjangan pada para seniman layang-layang yang kemudian hasil karya seninya tersebut dipajang dan diabadikan di sebuah museum, yakni Museum Tako no Hakubutsukan, tepatnya di Tokyo.

Di museum tersebut sudah terdapat kurang lebih 3.500 koleksi layang-layang dari Jepang dan mancanegara, baik berbentuk dua dimensi maupun tiga dimensi.

Tako biasanya diterbangkan saat Hamamatsu Matsuri, tahun baru, dan hari libur umum. Adapula di Honen Matsuri atau Festival Panen, Tako diterbangkan dengan batang padi yang terikat sebagai bentuk rasa terima kasih atas panen yang baik.

Festival layang-layang terbesar di Jepang terdapat di Hamamatsu yang letaknya di Prefektur Shizuoka yang dirayakan dari tanggal 3 sampai 5 Mei di tiap tahunnya. Pelaksanaan festival tersebut sebagai bentuk perayaan bayi yang baru lahir di kota tersebut dan berdoa bagi kesehatan dan masa depan sang bayi-bayi di Hamamatsu. Adapun kebiasaan ini dikenal dengan sebutan Hatsudako. 

Tak sama dengan festival lain, Festival Hamamatsu tak berkaitan dengan kegiatan religi atau keagamaan karena lazimnya festival ini dilaksanakan di pinggiran pantai. Festival layang-layang di Hamamatsu yang dilaksanakan tiap tahunnya ini, dikenal dengan sebutan Takoage-Gassen.

6. Origami: Seni Melipat Kertas

Ilustrasi Origami

Ilustrasi Origami

Siapa yang tak kenal dengan Origami? Origami ternyata merupakan salah satu budaya Jepang yang terkenal hingga ke kancah dunia. Bahkan, di Indonesia sendiri, kesenian origami sudah diajarkan saat duduk di bangku taman kanak-kanak.

Origami telah lama ada, sejak pertama kali kertas digunakan, yakni abad pertama Tiongkok, sekitar 105 M oleh Ts’ai Lun. kemudian, pada abad ke-6 sekitar 106 M, metode pembuatan kertas dibawa ke Spanyol oleh orang Arab dan Jepang.

Di Jepang sendiri, Origami diyakini ada sejak Zaman Heian sekitar tahun 741-1191. Hal tersebut berawal dari Origami digunakan sebagai penutup botol arak beras atau sake ketika upacara penyembahan, wanita juga anak-anak.

Lalu, Origami pun makin sering diterapkan di Jepang yang pada masa itu dikenal dengan sebutan Orikata, Orisui, ataupun Orimono. Akan tetapi, di tahun 1880, bentuk budaya kesenian ini lebih disebut sebagai Origami oleh masyarakat Jepang dan istilah Orikata, Orisui, ataupun Orimono terlupakan begitu saja.

Sekitar tahun 1600-1868, tepatnya di zaman Edo, perkembangan origami terbilang cepat sebab pada masa itu persediaan kertas tidak sukar didapat. Malahan saat itu persediaan kertas washi pun masih cukup banyak.

Adapun Origami ini terdiri dari kata ori berarti ‘lipat’ dan gami berarti ‘kertas’. Bahan yang dipakai juga hanyalah kertas atau kain persegi yang kemudian dilipat sehingga membentuk serupa benda atau hewan tertentu.

Karena seni Origami ini kerap dilakukan oleh masyarakat Jepang, hingga saat ini banyak orang menyebut Origami sebagai salah satu budaya Jepang yang memang turun temurun.

7. Hanami: Flower Viewing

Ilustrasi Hanami

Ilustrasi Hanami

Hanami atau yang dikenal sebagai festival penyambutan bermekarnya bunga Sakura. Hanami adalah salah satu tradisi sekaligus budaya yang sudah ada selama ribuan tahun lalu di Jepang.

Awal mulanya, festival Hanami hanya diselenggarakan para bangsawan serta kelompok kelas atas. Seiring berkembangnya zaman, pada zaman Edo atau sekitar tahun 1600, aktivitas menikmati bunga Sakura akhirnya diterapkan oleh masyarakat luas Jepang.

Sementara pada zaman modern, Hanami diadakan sebagai bentuk kegiatan untuk sekadar berpiknik atau berkumpul, baik dengan keluarga, kerabat, maupun teman. Kegiatan tersebut mereka lakukan di siang atau malam hari yang ditemani cahaya lampion sembari menikmati bunga Sakura yang bermekaran.

Untuk pelaksanaannya, festival Hanami hanya diadakan setahun sekali. Hal itu karena waktu mekarnya bunga Sakura hanya di kurun waktu tertentu serta jangka waktu yang tak lama. Umumnya, bunga Sakura di Jepang bermekaran berkisar Maret sampai Mei dengan puncaknya pada bulan April. Saat mekar, warna daun dari bunga Sakura akan berubah seirama dengan warna bunganya, yakni merah muda atau pink.

Di balik perayaan festival Hanami ini, ada makna tersendiri bagi orang Jepang. Lazimnya, bunga Sakura tidak akan mekar dengan jangka waktu yang lama sehingga orang Jepang akan merayakan keindahan ini sebagai bentuk reminder bahwa keindahan itu tak akan berlangsung lama. Maka dari itu, masyarakat Jepang menjadikan Hanami sebagai kegiatan ‘istirahat sejenak’ dari hectic-nya dunia kerja.

Adapun tempat-tempat yang dapat dikunjungi untuk menikmati bunga Sakura ini, di antaranya Tokyo, Nagoya, Osaka, Kyoto, Hiroshima, dan kota lainnya. Namun, perlu diperhatikan bahwa tak semua tempat dan taman di kota-kota Jepang dapat digunakan untuk menggelar festival Hanami.

Kamus Saku Jepang Indonesia - Indonesia Jepang

Kamus Saku Jepang Indonesia – Indonesia Jepang

Beli Buku di Gramedia

Kamus saku dwibahasa ini disusun untuk memenuhi kebutuhan praktis penggunanya saat berwisata, berkomunikasi, berkorespondensi, membaca buku, menerjemahkan, atau belajar bahasa Jepang.

Tentunya kamus ini disusun dengan berbagai keistimewaan di dalamnya, yaitu menyajikan entri yang disusun menurut urutan alfabet romaji (Latin), menyajikan entri sekaligus dalam huruf kanji, hiragana, katakana, dan romaji untuk memudahkan pengguna yang baru mulai mempelajari bahasa Jepang, menyajikan running head dalam huruf romaji untuk memudahkan pencarian entri, menyajikan kosakata yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, dan masih banyak lagi.

8. Hanabi: Kembang Api

Ilustrasi Hanabi (sumber: nuradi7)

Ilustrasi Hanabi (sumber: nuradi7)

Hanabi adalah salah satu budaya Jepang Terkenal di kalangan orang Jepang. Hanabi merupakan bunga api dan merepresentasikan keindahan kembang api sebagai bagian dari budaya Jepang yang sangat disenangi dari dulu.

Sejak zaman Edo, Hanabi melambangkan hadirnya musim panas di Jepang dengan festival kembang api yang jumlahnya tak terkira hingga menarik ratusan bahkan ribuan orang.

Pada tahun 1733, festival Hanabi diselenggarakan untuk umum guna menghibur masyarakat dan menenangkan arwah yang sudah meninggal akibat kemiskinan di tahun sebelumnya. Adapun Hanabi ini diadakan di tepi Sumida, bahkan sampai saat ini pun masih berlangsung.

Merayakan Hanabi ini dijadikan sebagai ajang untuk menikmati keindahan kembang api. Hal itu karena melihat kembang api saat musim panas sama seperti memandangi bunga-bunga saat musim semi.

Tiap daerah di Jepang memiliki jadwal sendiri dalam penyelenggaraan festival Hanabi ini. Dengan demikian, jumlah dan bentuk kembang api yang dibakar disesuaikan dengan lokasinya. Adapun beberapa jadwal perayaan Hanabi yang tak boleh dilewatkan masyarakat Jepang dan para wisatawan asing, di antaranya Adachi Fireworks Festival, Sumidagawa Hanabi Taikai, Tenjin Hanabi Festival, Omagari Fireworks Festival, Nagaoka Festival Grand Fireworks, Tsuchiura All Japan Fireworks Competition, dan Yokohama Sparkling Twilight. 

Itulah informasi seputar beberapa Budaya Jepang yang Terkenal yang mana budaya tersebut sudah dijalani oleh masyarakatnya secara turun temurun. Apabila Grameds tertarik dan ingin memperluas pengetahuan terkait negeri Sakura ini, entah dari segi bahasa, budaya, dan lainnya, tentu kalian bisa temukan, beli, dan baca bukunya di Gramedia.com dan Gramedia Digital karena Gramedia senantiasa menjadi #SahabatTanpaBatas bagi kalian yang ingin menimba ilmu.

Semoga artikel ini bisa menambah wawasan kalian semua!

Penulis: Tasya Talitha Nur Aurellia

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.