in

Review Novel The Name of The Game : Kenali Toxic Masculinity

SampuSampul Novel The Name of The Game

Ketika perempuan memutuskan untuk menjadi tomboi maka akan dianggap sebagai sesuatu yang keren. Namun, ketika laki-laki memutuskan untuk menjadi feminin maka akan dicap sebagai bencong, bukan laki-laki tulen, ngondek, dan sebutan lainnya.

Tentu hal tersebut tidak adil bagi kedua jenis kelamin yang mengimani genre berbeda dari jenis kelamin ketika lahir. Di dunia laki-laki pun terdapat toxic masculinity yang tentu mengganggu mereka dalam mengekspresikan diri dan menjadi diri sendiri sesuai kehendak hatinya.

Keresahan-keresahan tersebut dapat dituangkan dalam karya sastra. Salah satunya, karya milik Adelina Ayu berjudul The Name of The Game. Buku tersebut membahas seputar toxic masculinity.

Untuk mengetahui sekilas mengenai The Name of The Game dan toxic masculinity, Grameds dapat menyimak beberapa penjelasan di bawah ini.

The Name Of The Game

Deskripsi dan Detail Buku

Berikut penjelasan mengenai deskripsi dan detail buku The Name of The Game.

1. Deskripsi buku

Zio:

Wangi vanila. Mencintai supermarket. Nggak mengerti kenapa semua orang menyukai Daryll.

Daryll:

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Milo kaleng. Penggemar setia Sheila on 7. Nggak mengerti kenapa Zio anti dengannya.

Flo:

Kelopak bunga bluebell. Benci hujan. Terjebak di antara dua pilhan.

Sejak SMP, Zio hanya punya satu keinginan; mengalahkan Daryll dalam hal apa pun. Dan saat Daryll mendekati seorang mahasiswa baru yang juga dia sukai. Zio nggak menyangka kalau dia akan terlibat dalam sebuah permainan yang selalu dia hindari dengan rival abadinya: tentang arti menjadi laki-laki, persahabatan, dan cinta.

2. Detail buku

The Name Of The Game

Jumlah halaman     : 340

Tanggal terbit        : 20 Oktober 2019

ISBN                     : 9786232165991

Bahasa                   : bahasa Indonesia

Penerbit                 : Bhuana Ilmu Populer

Sinopsis Buku

The Name Of The Game

Novel The Name of The Game merupakan novel pertama dari Adelina Ayu. Novel ini, awalnya ditulis dan didistribusikan di Wattpad. Namun, pada 2019 dirilis menjadi novel.

The Name of The Game menceritakan mengenai tiga mahasiswa Universitas Indonesia, yakni Zio, Daryll, dan Flo. Mereka menjalin persahabatan dengan bumbu cinta segitiga di dalamnya. Flo menyukai Daryll dan Zio menyukai Flo.

Daryll dan Zio telah berkawan sejak SMP dan berkuliah di tempat yang sama, tetapi berbeda jurusan. Sedangkan Flo adalah mahasiswi baru jurusan Sastra Perancis.

Ia pertama kali bertemu Danyll ketika bukunya terjatuh. Danyll-lah yang menolongnya. Sejak saat itu, Flo menyukai Danyll.

Alur dalam novel ini diceritakan dari ketiga sudut pandang masih-masing tokoh. Flo menceritakan diri dan apa yang dirasakannya. Begitu pula dengan Zio dan Daryll. Meskipun begitu, novel ini mudah dipahami dan tidak akan membingungkan pembacanya meskipun terdapat tiga sudut pandang.

Novel ini tidak hanya menceritkan mengenai kisah cinta mereka bertiga, tetapi juga soal toxic masculinity yang kerap disentil dalam setiap babnya. Zio dan Daryll menjadi gambaran bahwa toxic masculinity nyata adanya.

Zio sering dianggap bencong dan tidak laki-laki tulen karena berperilaku feminin. Ia berani muncul di ruang publik dengan ekspresi gender yang membuatnya nyaman dan mengimani secara penuh hal tersebut. Sedangkan Daryll yang sebenarnya juga memiliki sisi feminin dipaksa ayahnya untuk berekspresi sesuai dengan jenis kelaminnya dan konstruksi budaya di masyarakat.

Hal tersebut membuat, Daryll dalam kehidupan sehari-hari mengekspresikan diri sesuai dengan gambaran laki-laki dalam budaya masyarakat. Laki-laki yang memakai kemeja flanell. jam tangan, mengendarai motor gede, dan pakai sepatu sneakers menjadi gambaran laki-laki tulen (jenis kelamin dan ekspresi gendernya selaras).

Akibat desakan ayanya, Daryll tidak dapat mengekspresikan dirinya dengan bebas misalnya kecintaannya pada hewan dan kesukaannya menonton serial Winnie the Pooh. Tentu. Ia iri dengan kawannya, Zio yang dapat dengan bebas mengekspresikan diri sesuai dengan gender yang diimaninya.

Dalam novel ini terdapat adegan adu mulut antara Flo dan Dello. Flo mematahkan argumen Dello dengan apik. Ia memberikan pendapat bahwa lelaki feminin itu bukan berarti dia tidak laki-laki dan membuat orang tua malu. Begini kira-kira penggalan argumentasi dari Flo dalam novel The Name of The Game

“Lagian ya, Dell, cowok yang lo katain itu bukan ‘cowok kayak cewek’, tapi dia itu cowok pemberani karena berani jadi dirinya sedniri”.

Pengertian Toxic Masculinity

Toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi laki-laki untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan jenis kelaminnya. Istilah tersebut dikaitkan dnegan nilai-nilai yang dianggap harus ada dalam diri seorang laki-laki.

Berdasarkan Oxford Dictionary, toxic masculinity adalah kepercayaan yang salah tentang sikap atau sifat yang harus ditunjukkan oleh seorang pria. Lebih lanjut, toxic masculinity adalah kata benda atau noun.

Adapun menurut Terry Kupers (psikiater yang berlatar belakang sebagai psikoterapi psikoanalisis), toxic masculinity dipandang sebai sifat dalam sosial yang mendorong danya dominasi sifat maskulin, sifat merendahkan (terutama pada perempuan), homofobia, dan tindak kekerasan asusila.

Menurut Raewyn Connell, seorang sosiolog asal Australia juga memiliki pandangan lain terkait toxic masculinity. Sosiolog asal Sydney, Australia tersebut menjelaskan bahwa toxic masculinity adalah standarisasi sikap atau sifat seorang pria secara berlebihan.

Menyadur dari The Atlantic, laki-laki uang maskulin cenderung akan dihormati di lingkungannya, memiliki kekuatan fisik dan seksual juga menjadi penilaian. Hal-hal tersebut menjadi strandar di masyarakat sehingga menimbulkan toxic masculinity ketika tidak tercapai ataupun mengimani hal berbeda.

Toxic masculinity tentu bukanlah sikap yang baik untuk dilakukan. Selain membuat laki-laki memiliki beban sosial, toxic masculinity juga membuat mereka cenderung memelihara sikap negatif, seperti tidak mau meluapkan emosinya atau sulit mencari katartis dan hal ini bisa berisiko merusak kesehatan mentalnya.

Ciri-Ciri Toxic Masculinity

Toxic masculinity biasanya dinilai atau dipandang sebagai kelemahan dan kejantanan yang identik dengan kekuatan, ketangguhan, atau wibawa. Setiap laki-laki harus mampu menimpan emosi dalam situasi apapun, khususnya kesedihan dan bersikap selayaknya budaya yang berlaku, yakni budaya patriarki.

Berikut ciri-ciri dari toxic masculinity yang dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari.

  • Dalam masyarakat terdapat heteroseksisme dan homofobia.
  • Tidak menunjukkan emosi sedih dan mengeluh serta menganggap bahwa laki-laki hanya boleh mengeskpresikan keberanian dan amarah.
  • Menganggap “keren” kebiasaan-kebiasaan buruk, seperti minum minumab beralkohol, mengonsumsi obat-obatan terlarang, dan merokok.
  • Tidak membutuhkan kehangatan atau kenyamanan.
  • Cenderung melakukan aktivitas seksual dengan kasar.
  • Tidak membutuhkan dan tikka memerlukan bantuan dan tidak boleh bergantung pada siapapun dan apapun.
  • Tendensi untuk bersikap misoginis.
  • Harus memiliki kekuasaan dan status sosial tinggi agar bisa dihormati oleh orang lain.
  • Berperilaku agresif dan kasar, serta mendominasi orang lain, khususnya perempuan.

Cantik Itu Luka (edisi 20 Tahun)

Bentuk Toxic Masculinity dalam Masyarakat

Melansir dari katadata.co.id, bentuk toxic masculinity yang sering ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah sebagai berikut.

1. Tidak Boleh Menunjukkan Perasaan

Laki-laki tidak boleh menangis dan bersedih menjadi toxic masculinity yang paling banyak dan sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Laki-laki tidak boleh mengekspresikan perasaan dan emosionalnya.

Laki-laki selalu dituntut untuk selalu kuat secara fisik dan mental. Padahal, ia juga manusia biasa yang berhak dan bisa merasakan kesedihan, kekecewaaan, dan perasaan-perasaan lainyya. Tentu mereka berhak mengekspresikan itu.

Mereka tidak boleh diejek atau dicemooh dengan “Laki-laki kok nangis. Dasar lemah.” Pernyataan tersebut tentu membuat mental yang sedang tidak stabil malah bertambah tidak karuan. Hal tersebut tentu akan membuat kesehatan mental terganggu.

2. Harus Mendominasi

Laki-laki harus mendominasi dalam sebuah hubungan baik di lingkungan sosial, keluarga, romansa, ataupun hubunga-hubungan lainnya. Hal tersebut termasuk dalam toxic masculinity karena laki-laki tidak harus mengambil peran dominan dalam suatu hubungan.

Dalam sebuh hubungan. laki-laki juga diperbolehkan dan sudah seharusnya mengalah untuk memberikan kebebasan pasangan dalam mengambil keputusan. Laki-laki juga tidak boleh mengambil peran atau mendominasi sutu ruang belajar bersama atau ruang-ruang diskusi. Perempuan harus diberikan ruang untuk bebas berpendapat dan tidak diserang balik pendapat-pendapatnya dengan perkataan-perkataan yang manipulatif.

3. Perilaku Kasar Dianggap sebagai Hal Wajar dan Normal

Pria yang berperilaku kasar dianggap seabagi kewajaran dan tidak dapat dipisahkan dari laki-laki. Seakan-akan seorang laki-laki pasti berperilaku kasar. Meskipun dalam kesehariannya berperilaku kalem dan baik, tetapi suatu saat melakukan tindakan kasar dianggap sebagai naluriahnya seperti itu.

Padahal laki-laki dan kekerasan tidak berhubungan sama sekali. Perilaku kasar tidak berdasarkan pada gender ataupun jenis kelamin,

Dalam segi apapun, kekerasan bukanlah hal yang tidak tepat secara moral dan sangat tidak dianjurkan dalam menyelesaikan sebuah masalah. Kekerasan pun merugikan pihak lain.

4. Mengganggap Aktivitas di Rumah Hanya Milik Perempuan

Menganggap perempuan yang harus mengerjakan pekerjaan domestik rumah juga menjadi bagian dari toxic masculinity. Pekerjaan domestik di antaranya memasak, menypu, mencuci, dan lain sebagainya. Laki-laki juga berhak dan berkewajiban mengurus rumah atau melakukan pekerjaan domestik.

Dalam sebuah rumah tangga atau kelurarga berbagi peran itu penting. Sehingga, keselarasan dan ketentraman dalam rumah dapat tercapai.

Pandangan masyarakat juga harus berubah mengenai laki-laki yang melakukan pekerjaan domestik atau rumah bukan berarti maskulinitasnya berkurang atau hilang. Jika pandangan tersebut terus dilanggengkan maka toxic masculinity akan terus langgeng sampai kapanpun.

5. Mewajarkan Tindakan Ekstrem

Mewajarkan tindakan ektrem menjadi bagian dari toxic masculinity. Hal tersebut berkaitan dengan normalisasi perilaku kekerasan dan menganggap bahwa laki-laki dan kkerasan menjadi dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Lagi-lagi hal-hal ekstrem dan nekat tidak berdasarkan pada gender. Laki-laki, perempuan, dan ekspresi gender lainnya bisa melakukan hal-hal nekat dan ekstem. Misalnya melanggar lalu lintas, solo travelling ke pedalaman-pedalaman Indonesia, berkendara dengan kecepatan tinggi, bahkan melakukan olahraga ekstem.

Anggapan bahwa laki-laki selalu berani dengan hal-hal ekstrem dapat menjadi lingkaran setan. Yang mana, ketika laki-laki tidak dapat melakukan hal-hal tersebut maka maskulinitasnya dianggap hilang atau berkurang. Hal tersebut tentu menimbulkan toxic masculinity.

Perempuan di Titik Nol

Cara Mencegah Toxic Masculinity

Toxic masculinity sangat berbahaya jika tidak dicegah sejak dini, hal tersbeut dapat berpengaruh terhadap kesehatan mental seorang laki-laki. Ia bisa menganggap bahwa laki-laki tidka boleh lemah dan menangis sehingga berujung depresi ataupun stres.

Berikut cara mencegah toxic masculinity berkembang dalam diri anak dengan memperbaiki pola asuh anak.

1. Awasi Media Hiburan Anak

Pantau media hiburan yang diberikan pada anak, baik itu buku, film, gadget, atau lainnya. Pastikan konten tidak bersifat toxic masculinity. Apabila tontonan atau hiburan anak menunjukkan adanya konsep maskulinitas yang salah, berikanlah pemahaman bahwa hal tersebut bukanlah sesuatu yang patut untuk dicontoh.

2. Tumbukan Rasa Empati

Empati pada anak laki-laki tidak dapat muncul begitu saja. Ia perlu dilatih. Dengan memiliki empati, anak akan bisa memahami perasaan dirinya sendiri dan orang lain, serta dapat mengontrol emosinya dengan baik. Hal ini pun dapat mencegah mereka dari pola pikir toxic masculinity ketika beranjak dewasa.

Anak harus diajarkan nilai kesopanan dan mengajaknya untuk dapat memposisikan diri sebagai orang lain. Anak juga harus diberikan pengertian tentang pentingnya menunjukkan kepedulian dan rasa hormat kepada orang lain, tidak peduli dengan gender, jenis kelamin, ataupun latar belakang suku dan agama orang tersebut.

3. Ajarkan Anak untuk Dapat Mengeskpresikan Diri

Ajarkan anak untuk bisa merasakan dan mengekspresikan berbagai emosi yang sedang  dirasakan. Beri tahu padanya bahwa tidak ada salahnya bagi anak laki-laki untuk mengungkapkan keluh kesah serta menunjukkan rasa sedih dan menangis.

Jika ia merasa malu untuk menangis di tempat umum, berikanlah pemahaman bahwa ia boleh menangis ketika sedang sendiri atau di sekitar orang yang ia percayai, misalnya orang tua, guru, atau pengasuhnya.

4. Hindari Perkataan Merendahkan Perempuan

Sebisa mungkin hindari perkataan yang terkesan merendahkan perempuan, misalnya “Cara jalanmu seperti perempuan” atau “Jangan berbicara seperti perempuan”. Ini akan membuat anak laki-laki memandang perempuan sebelah mata dan sulit untuk menghargai perempuan.

 

Written by Alisa

Menulis merupakan hal yang sangat saya sukai. Selain menulis, saya juga dengan dunia jurnalistik, sehingga memadukan hobi dan kesukaan saya terhadap dunia jurnalistik memudahkan saya dalam menghasilkan suatu tulisan yang menarik sekaligus bermanfaat.