Sastra

Kumpulan Puisi Cinta W.S Rendra Terbaik, Cek Juga Biografinya!

Written by Rahma Fiska

Puisi W.S Rendra – Puisi, seni tertulis menggunakan keragaman bahasa dengan tambahan semantis dan metaforis untuk menambahkan kualitas keindahan tulisan itu. Puisi merupakan bait-bait yang berisi sebuah kalimat indah yang tersusun dan dikemas dengan semenarik mungkin. Puisi memiliki keunikan yang utuh disertai majas, sehingga tak bosan dinikmati bagi para penikmat sajak.

Dalam dunia sastra, di Indonesia sendiri telah lahir banyak sastrawan terkemuka yang melegenda. Nama-namanya pun telah mendunia dan dapat menginspirasi bagi siapapun yang membaca dan merenungi puisi-puisinya.

Salah satunya, ialah W.S Rendra. Siapa yang tak tahu dengan penyair kenamaan Indonesia yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto ini? Melihat nama Rendra saja, Grameds sudah pasti langsung mengetahui sosok penyair ini, karena karya sastranya yang begitu populer.

Rendra dikenal sebagai penyair paling kaya di Indonesia. Tak heran, karena ia sangat produktif dalam menciptakan dan memanfaatkan metafora-metafora untuk mendukung citraan dramatik dan visual dalam sajak-sajaknya.

Bahkan, W.S Rendra juga mendapatkan julukan sebagai Si Burung Merak atas penampilannya sebagai penyair yang selalu mempesona penonton. Seorang pencinta, layaknya merak yang merentangkan ekor cantiknya untuk menarik perhatian sang kekasih. Untuk merekalah, para kekasih, W.S Rendra menuangkan cintanya lewat puisi dalam bukunya yang berjudul Puisi-Puisi Cinta yang bisa ditemukan di Gramedia.

Namun, sebelum mengintip beberapa puisi cinta karangannya. Pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang. Yuk, Grameds, kita kenalan dulu dengan W.S Rendra melalui biografi singkatnya.

https://www.pexels.com/

Mengenal Sekilas Sosok W.S Rendra

W.S. Rendra alias Willibrordus Surendra Broto, lahir di Solo pada 7 November 1935. Ia adalah anak dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Keluarga Rendra merupakan keluarga Katolik yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa.

Ayahnya adalah seorang guru di salah satu sekolah Katolik di Solo yang mengajarkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Selain itu, ayah Rendra pun dikenal sebagai pelaku seni drama atau dramawan tradisional.

Bakat seni yang dimiliki Rendra tak hanya berasal dari sang ayah. Ibunya juga sebagai pelaku seni, yakni seorang penari serimpi di Istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Selain itu, bakat-bakat seni Rendra tumbuh karena kebiasaan keluarganya. Terlahir dalam lingkungan keluarga Jawa berdarah biru, tentu pada momen-momen khusus diadakan pertemuan antar keluarga.

Di acara tersebut, satu per satu anggota keluarga disuruh untuk menembang secara spontan. Akan tetapi, biasanya hal itu lebih diutamakan kepada anak-anak atau anggota keluarga yang masih muda. Pada saat itulah bakat Rendra mulai terlihat, meskipun waktu itu ia baru berusia lima tahun.

Di tahun 1942, Rendra memulai pendidikannya dengan memasuki taman kanak-kanak (TK). Sampai 10 tahun kemudian, di tahun 1952 ia masuk SMA di sekolah Katolik, Solo tempat ayahnya mengajar. Sementara itu, selama sekolah, bakat sastranya mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu Rendra sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerpen, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya.

Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mulai membacakan puisi-puisi karangannya di pentas sekolah. Tak hanya itu, Rendra pun mementaskan salah satu dramanya yang berjudul Kaki Palsu ketika ia SMP. Tumbuh dengan semua kebiasaan serta lingkungan yang penuh akan seni dan budaya itu, maka tidak heran jika Rendra menjelma sebagai sosok seniman yang telah menghasilkan seabrek karya sastra, dari puisi, naskah drama, cerpen, dan lainnya.

Ketika SMA, Rendra kembali mementaskan drama karyanya berjudul Orang-Orang di Tikungan Jalan. Dari pentas drama itulah, pertama kalinya ia mendapat penghargaan dan hadiah utama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk terus berkarya.

Ia mulai mempublikasikan puisinya pertama kali di media massa tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru.

Setamat SMA, Rendra pergi ke Jakarta dengan niat untuk bersekolah di Akademi Luar Negeri. Sayangnya, ternyata akademi tersebut telah ditutup. Ia pun memutuskan pergi ke Yogyakarta dan masuk Fakultas Sastra di Universitas Gadjah Mada.

Selama berkuliah di Yogyakarta, Rendra gemar mengikuti kegiatan teater Yogyakarta. Namun, pada tahun 1954, Rendra mendapat undangan dari pemerintah Amerika untuk mengikuti seminar kesusastraan di Universitas Harvard, sehingga ia tak menyelesaikan kuliahnya di Universitas Gajah Mada. Meskipun begitu, Rendra mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari kampusnya tersebut.

Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika, Rendra pun mulai mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi kembali ke Amerika di tahun 1964, karena mendapat beasiswa untuk memperdalam ilmu pengetahuan tentang drama dan seni tari dari American Academy of Dramatical Art (AADA).

Keberangkatannya ke Amerika saat itu membuat kegiatan teaternya di Yogyakarta terhenti. Rendra menyelesaikan pendidikan luar negeri itu pada tahun 1967.

Usai menyelesaikan pendidikannya itu, tahun 1968 Rendra mendirikan ulang teaternya dengan nama baru, yaitu Bengkel Teater. Drama yang menjadi pentas pertamanya adalah Bip-Bop. Komunitas teater buatannya itu pun menjadi perbincangan seluruh masyarakat Indonesia, karena memberi warna dan suasana baru dalam kehidupan teater di Tanah Air, khususnya Yogyakarta.

Dalam teater barunya, di situlah Rendra menemukan pasangan hidupnya. Rendra mengalami cinta lokasi dengan Sunarti Suwandi, salah seorang pemain drama dalam Bengkel Teater yang banyak memberikan inspirasi kepada Rendra dalam berkarya.

Namun, meski telah menikah dengan Sunarti. Tahun 1970, Rendra menikah lagi dengan Sitoresmi Prabuningrat dan beralih agama dari Katolik ke Islam. Sejak saat itu juga, ia mulai memakai nama Surendra Broto saja.

Beli Buku di Gramedia

Puisi-Puisi Cinta W.S Rendra

Dari sekilas perjalanan hidupnya, tentunya sastrawan Indonesia yang satu ini memang mahir memainkan kata-kata cinta. Lewat bukunya berjudul Puisi-puisi Cinta yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka, W.S. Rendra membukukan 30 judul puisi cintanya.

Puisi-puisi cinta tersebut ia bagi ke dalam tiga masa, yakni Puber Pertama (1954-1958) yang ia tulis pada masa kuliahnya di Universitas Gadjah Mada. Puber Kedua (1968-1977), yaitu puisi-puisi yang ditulis selepas ia kuliah di New York. Terakhir, Puber Ketiga (1992-2003), berisi puisi-puisi yang ditulisnya dalam masa reformasi 1998.

Puber Pertama (1954-1958)

Pada Puber Pertama terdapat 24 puisi, berisi tentang kisah percintaan remaja yang apa adanya. Manis dan romantis sekali. Disajikan berbentuk pendek, ringan, dan sederhana, tetapi sangat menunjukkan perasaan orang yang sedang dilanda cinta.

Puisi-puisi itu berjudul Permintaan, Rambut, Kangen, Baju, Papaya, Sepeda, Rok Hijau, Kami Berdua, Kegemarannya, Tempramen, Pahatan, Kepada Awan Lewat, Tobat, Sepeda Kekasih, Dua Burung, Telah Satu, Optimisme, Pantun, Ayam Jantan, Janganlah Jauh, Kekasih, Angin Jahat, Membisiki Telinga Sendiri, dan Bunga Gugur.

Permintaan

Wahai, rembulan yang bundar

jenguklah jendela kekasihku!

Ia tidur sendirian,

hanya berteman hati yang rindu.

Rambut

Rambut kekasihku 

sangat indah dan panjang.

Katanya,

rambut itu untuk menjerat hatiku.

Kangen

Pohon cemara dari jauh

membayangkan panjang rambutnya

maka aku pun kangen kekasihku.

Kami Berdua

Karena sekolah kami belum selesai

kami berdua belum dikawinkan.

Tetapi di dalam jiwa

anak-cucu kami sudah banyak.

Kegemarannya

Pacarku gemar

mendengar aku mendongeng.

Dalam mendongeng selalu kusindirkan

bahwa aku sangat mencintainya.

Temperamen

Batu kali

ditimpa terik matahari.

Betapa panasnya!

Ketika malam kembali membenam

kali pun tenteram.

Bulannya sejuk

dan air bernyanyi

tiada henti.

Jika kita marah

pada kekasih

selamanya.

Pahatan

Di bawah pohon sawo

di atas bangku panjang

di bawah langit biru

di atas bumi kelabu

–Istirahlah dua buah hati rindu.

Dua Burung

Adalah dua burung

bersama membuat sarang.

Kami berdua serupa burung

terbang tanpa sarang.

Telah Satu

Gelisahmu adalah gelisahku.

Berjalanlah kita bergandengan

dalam hidup yang nyata,

dan kita cintai.

Lama kita saling bertatap mata

dan makin mengerti

tak lagi bisa dipisahkan.

Engkau adalah peniti

yang telah disematkan.

Aku adalah kapal

yang telah berlabuh dan ditambatkan.

Kita berdua adalah lava

yang tak bisa lagi diuraikan.

Beli Buku di Gramedia

Optimisme

Cinta kita berdua

adalah istana dari porselen.

Angin telah membawa kedamaian

membelitkan kita dalam pelukan.

Bumi telah memberi kekuatan,

kerna kita telah melangkah

dengan ketegasan.

Janganlah Jauh

Janganlah jauh

bagai bulan

hanya bisa dipandang. 

Jadilah angin

membelai rambutku.

Dan kita nanti

akan selalu berjamahan.

Kekasih

Kekasihku seperti burung murai.

Suaranya merdu.

Matanya kaca.

Hatinya biru.

Kekasihku seperti burung murai.

Bersarang indah di dalam hati.

Muraiku,

hati kita berdua adalah pelangi selusin warna.

Bunga Gugur

Bunga gugur

di atas nyawa yang gugur

gugurlah semua yang bersamanya

Kekasihku.

Bunga gugur

di atas tempatmu terkubur

gugurlah segala hal ikhwal antara kita.

Baiklah kita ikhlaskan saja

tiada janji ‘kan jumpa di sorga

karena di sorga tiada kita ‘kan perlu asmara.

Asmara cuma lahir di bumi

(di mana segala berujung di tanah mati)

ia mengikuti hidup manusia

dan kalau hidup sendiri telah gugur

gugur pula ia bersama sama.

Ada tertinggal sedikit kenangan

tapi semata tiada lebih dari penipuan

atau semacam pencegah bunuh diri.

Mungkin ada pula kesedihan

itu baginya semacam harga atau kehormatan

yang sebentar akan pula berantakan.

Kekasihku.

Gugur, ya, gugur

semua gugur

hidup, asmara, embun di bunga – 

yang kita ambil cuma yang berguna.

Beli Buku di Gramedia

Puber Kedua (1968-1977)

Berbeda dengan Puber Pertama yang berisi puisi-puisi cinta pendek. Di Puber Kedua puisi yang disajikan lebih panjang dan kompleks mengenai kehidupan. Puber kedua terdapat 3 puisi yang berjudul Surat Seorang Istri (Siasat, 30 April 1968), Balik Kamu Balik (1972), dan Bukannya di Madrid (1977).

Puisi Bukannya di Madrid menceritakan tentang sebuah dialog. Sebuah epos percintaan melalui dialog antara lelaki dan wanita. Terdapat juga beberapa simbol yang selalu terlihat, salah satunya simbol plus (+).

Sementara itu, dalam puisi Surat Seorang Istri menceritakan tentang pengalaman Rendra yang saat itu akrab dipanggil Willy. Waktu SMP seorang teman lelakinya meminta bantuan kepada Rendra, agar dibuatkan puisi curahan hati untuk teman perempuannya. Keesokan harinya si perempuan tersebut datang kepada Rendra, supaya dibuatkan juga surat balasan untuk teman lelakinya itu. Rendra merasa geli karena si perempuan tidak tahu, bahwa perempuan tersebut meminta Rendra untuk menjawab tulisannya sendiri.

Lucu sekali ya. Grameds, apakah kamu juga mengalami masa-masa kirim surat cinta di sekolah?

Selanjutnya, di puisi ketiga pada Puber Kedua ini berkisah tentang kehidupan menua dari seseorang bernama Rusman. Rangkaian katanya disusun begitu sederhana nan romantis.

Sebetulnya, ketiga puisi tersebut telah dimuat pertama kali di koran dan majalah saat Rendra masih berada di bangku SMP dan SMA. Penerbitan puisi-puisinya di surat kabar itu pun bermula dari keisengan sahabat baiknya, D.S. Mulyanto yang mengirimkan puisi-puisinya ke koran dan majalah.

Beli Buku di Gramedia

Puber Ketiga (1992-2003)

Puber Ketiga, yaitu puisi-puisi cinta yang Rendra tulis pada tahun 1992-2003. Terutama di masa reformasi 1998, hal itu karena Rendra juga semakin terbuka dengan wajah negara dan ketatanegaraan. Maka dari itu, ketiga puisi terakhir pada Puber Ketiga berisi penyadaran kritis ketatanegaraan dan antropologis kebangsaan Indonesia.

Ketiga puisi-puisi cinta itu berjudul Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57, Hai Ma!, dan Barangkali Karena Bulan.

Sajak Cinta Ditulis pada Usia 57

Setiap ruang yang tertutup akan retak

karena mengandung waktu yang selalu mengimbangi

Dan akhirnya akan meledak

bila tenaga waktu terus terhadang

 

Cintaku kepadamu Juwitaku

Ikhlas dan sebenarnya

Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa

Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada

 

Cintaku kepadamu Juwitaku

Kemudian meruang dan mewaktu

dalam hidupku yang sekedar insan

Ruang cinta aku berdayakan

tapi waktunya lepas dari jangkauan

Sekarang aku menyadari

usia cinta lebih panjang dari usia percintaan

Khazanah budaya percintaan…

pacaran, perpisahan, perkawinan

tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta

 

Dan kini syairku ini

Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu

 

Syair bermula dari kata,

dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu

lepas dari kamus, lepas dari sejarah,

lepas dari daya korupsi manusia

Demikianlah maka syairku ini

berani mewakili cintaku kepadamu

 

Juwitaku

belum pernah aku puas menciumi kamu

Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca

Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku

Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut,

gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi

Kamu sulit menghadapi diri sendiri

Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu

kamu takut kepada dunia

 

Juwitaku

Lepas dari kotak-kotak analisa

cintaku kepadamu ternyata ada

Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita

Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos

di dalam kalbuku

 

Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu

Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya

Dengan ikhlas aku persembahkan kepadamu :

 

Cintaku kepadamu telah mewaktu

Syair ini juga akan mewaktu

Yang jelas usianya akan lebih panjang

dari usiaku dan usiamu

Beli Buku di Gramedia

Hai, Ma!

Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku

tetapi hidup yang tidak hidup

karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya

ada malam-malam aku menjalani lorong panjang

tanpa tujuan kemana-mana

hawa dingin masuk kebadanku yang hampa

padahal angin tidak ada

bintang-bintang menjadi kunang-kunang

yang lebih menekankan kehadiran kegelapan

tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu apa.

 

Hidup memang fana, Ma

tetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak ada

kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara

dijauhi Ayah Bunda dan ditolak para tetangga

atau aku terlantar di pasar

aku bicara tetapi orang-orang tidak mendengar

mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita

aku marah, aku takut, aku gemetar

namun gagal menyusun bahasa.

 

Hidup memang fana, Ma

itu gampang aku terima

tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savana

membuat hidupku tak ada harganya

kadang-kadang aku merasa ditarik-tarik orang kesana kemari

mulut berbusa sekadar karena tertawa

hidup cemar oleh basa basi

dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan

yang tanpa persoalan

atau percintaan tanpa asmara

dan sanggama yang tidak selesai

 

Hidup memang fana tentu saja, Ma

tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola

mengacaukan isi perutku lalu

mendorong aku menjeri-jerit

sambil tak tahu kenapa

rasanya setelah mati berulang kali.

 

Tak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup ini.

 

Tetapi Ma, setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini

aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku.

Kelenjar-kelenjarku bekerja

sukmaku bernyanyi, dunia hadir

cicak di tembok berbunyi

tukang kebun kedengaran berbicara pada putranya

hidup menjadi nyata, fitrahku kembali.

 

Mengingat kamu Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-hari

kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi

kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma?

masing-masing pihak punya cita-cita

masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata

 

Hai Ma!

apakah kamu ingat

aku peluk kamu di atas perahu

ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu

dengan ciuman-ciuman di lehermu?

Masyaallah… Aku selalu kesengsem pada bau kulitmu

Ingatkah waktu itu aku berkata

kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna

Hehehe waahh.. Aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini

dan apabila aku menulis sajak

aku juga merasa bahwa kemaren dan esok

adalah hari ini.

 

Bencana dan keberuntungan sama saja.

Langit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwa.

Sudah ya, Ma…

Barangkali karena Bulan

Bulan menyebarkan aroma berahi

dari tubuhnya.

Yang lalu melekat di daun-daun pohon tanjung

yang gemetaran.

 

Seekor kucing jantan mengerang

dengan suara ajaib.

Mengucapkan puisi yang tak bisa ia tuliskan.

Dan, Ma, aku meraih sukmamu

yang jauh dari jangkauanku.

 

Aku tulis sajak cintaku ini

Karena tak bisa kubisikkan kepadamu.

Rindu mengarungi Senin, Selasa, Rabu,

Dan seluruh Minggu.

Menetas bagaikan air liur langit

Yang menjadi bintang-bintang.

 

Kristal-kristal harapan dan keinginan

berkilat-kilat hanyut di air kali

membentur batu-batu yang tidur.

 

Gairah kerja di siang hari

di malam hari menjadi gelora asmara.

Kerna bintang-bintang, pohon tanjung,

angin, dan serangga malam.

 

Ma, tubuhmu yang lelap tidur

terbaring di atas perahu layar

hanyut di langit

mengarungi angkasa raya.

Beli Buku di Gramedia

Nah, itulah puisi-puisi terkenal dari W.S Rendra. Meskipun zaman telah berkembang menjadi semakin modern, tetapi eksistensi dari puisi romantis karya sastrawan senior tetap akan selalu dikenang. Sebagai generasi muda, kita tentu saja tidak boleh melupakan karya sastra tersebut ya…

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

Penulis: Indah Utami

Baca Juga!

  1. Jenis-Jenis Puisi Lama, Ada Apa Saja?
  2. Memahami Teori dan Sejarah Sastra
  3. Tokoh-Tokoh Puisi di Indonesia, Siapa yang Menjadi Favoritmu?
  4. Mengenal Apa Itu Majas dan Contohnya
  5. Pengertian Puisi dan Cara Membuatnya
  6. 7 Sastrawan Indonesia Pada Eranya
  7. Apa Itu Aliran Romantisisme?

About the author

Rahma Fiska

Saya fiska sangat senang dengan dunia menulis. Saya juga sudah menghasilkan beberapa tulisan, salah satunya pada website gramedia.com. Saya senang menulis tentang sastra