Sejarah

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta dari Era Proklamasi Hingga Penyelenggaraan Demokrasi

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta dari Era Proklamasi Hingga Penyelenggaraan Demokrasi
Written by Fandy

Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta – Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) adalah wilayah tertua kedua di Indonesia setelah Jawa Timur, yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Daerah setingkat provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan.

Kesultanan Yogyakarta dan juga Kadipaten Paku Alaman, sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “kerajaan vasal/negara bagian/dependent state” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari VOC, Hindia Prancis (Republik Bataav Belanda-Prancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia Belanda (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Status tersebut oleh Belanda disebut sebagai Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut dengan Koti/Kooti.

Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah (negaranya) sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia Soekarno yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.

Sambutan Proklamasi di Yogyakarta

Tanggal 18 atau 19 Agustus 1945, Sultan Hamengkubuwana IX (HB IX) dan Sri Paduka Paku Alam VIII (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada Soekarno-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu, juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada K.R.T. Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua BPUPKI) dan Penguasa Jepang Nampoo-Gun Sikikan Kakka (南方軍 指揮官 閣下) dan Jawa Saiko Sikikan (ジャワ 最高 指揮官) beserta stafnya.

Pada 19 Agustus 1945, Yogyakarta Kooti Hookookai (ジョグジャカルタ公地奉公会) mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi.

Pembahasan Daerah Istimewa dalam Sidang PPKI

Pada 19 Agustus 1945, di Jakarta terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti. Sebenarnya, kedudukan Kooti sendiri sudah dijamin dalam UUD, tetapi belum diatur dengan rinci. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta kepada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya.

Usul tersebut langsung ditolak oleh Soekarno karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada Kooti, sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.

Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara, Oto Iskandardinata, dalam sidang itu menanggapi bahwa soal Kooti memang sangat sulit dipecahkan, sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada beleid Presiden.

Akhirnya dengan dukungan Mohammad Hatta, Suroso, Suryohamijoyo, dan Soepomo, kedudukan Kooti ditetapkan status quo sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman. Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah 1948

Pada 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai. Pada hari yang sama juga dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan Hamengkubuwana IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka Paku Alam VIII dan Ki Hajar Dewantoro serta tokoh lainnya.

Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah Sultan Hamengkubuwana IX mengeluarkan dekret kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5 September 1945. Isi dekret tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia. Dekret dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka Paku Aalam VIII pada hari yang sama.

Dekret integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan Nederland Indie setelah kekalahan Jepang. Dekret semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, Raja Kerajaan Luwu akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.

Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta

Wilayah DIY (D.I. Kesultanan dan D.I Paku Alaman) beserta kabupaten/kota dalam lingkungannya pada 1945.

Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:

  • Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya K.R.T. Hardjodiningrat.
  • Kabupaten Sleman dengan bupatinya K.R.T. Pringgodiningrat.
  • Kabupaten Bantul dengan bupatinya K.R.T. Joyodiningrat.
  • Kabupaten Gunungkidul dengan bupatinya K.R.T. Suryodiningrat.
  • Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya K.R.T. Secodiningrat.

Adapun wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:

  • Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya K.R.T. Brotodiningrat.
  • Kabupaten Adikarto dengan bupatinya K.R.T. Suryaningprang.

Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.

Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta

Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada 29 Oktober 1945 dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Aalam VIII mengeluarkan dekret kerajaan bersama (dikenal dengan Amanat 30 Oktober 1945) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.

Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekret kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekret. Selain itu dekret tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.

Seiring dengan berjalannya waktu, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (Kooti Zimukyoku) sebagai wakil pemerintah Pusat, Paniradya (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta.

Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada 16 Februari 1946 dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat kalurahan (sebutan pemerintah desa saat itu).

Periode Pasca Proklamasi

Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah:

  • Kedudukan Yogyakarta.
  • Kekuasaan Pemerintahan.
  • Kedudukan kedua raja.
  • Parlemen Lokal (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan).
  • Pemilihan Parlemen.
  • Keuangan.
  • Dewan Pertimbangan.
  • Perubahan.
  • Aturan Peralihan.
  • Aturan Tambahan.

Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta

Wilayah DIY dan kabupaten/kota di lingkungannya tahun 1946.

Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Aalam VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat Maklumat Yogyakarta No. 18).

Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April 1946. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut.

Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah Istimewa Yogyakarta digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman).

Tidak dimungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat, yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu, juga tampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.

Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948)

Maklumat No. 18 tersebut menetapkan bahwa kekuasaan legislatif dipegang oleh DPRD (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, dan Dewan Kalurahan) sesuai dengan tingkatan pemerintahan masing-masing. Kekuasaan eksekutif dipangku secara bersama-sama oleh Dewan Pemerintah Daerah dan Kepala Daerah (Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII, Bupati Kota Kasultanan dan Bupati Kota, Bupati Pamong Praja Kabupaten) sesuai dengan tingkatannya.

Pemerintahan yang dianut adalah collegial bestuur atau direktorium karena badan eksekutif tidak berada di tangan satu orang melainkan banyak orang. Alasan yang digunakan waktu itu adalah untuk persatuan dan menampung kepentingan dari berbagai pihak. Dewan Pemerintah ini dipilih dari dan oleh DPRD serta bertanggung jawab kepada DPRD. Namun demikian kedua raja tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan pada Presiden (lihat naskah lengkap Maklumat Yogyakarta No. 18).

Maklumat ini kemudian menjadi haluan jalannya Pemerintahan Daerah di Yogyakarta sampai ditetapkannya UU yang mengatur DIY. DPRD-DPRD dan Dewan Pemerintah segera dibentuk di tiap tingkatan pemerintahan. Parlemen lokal tersebut bersama-sama Dewan Pemerintah pada masing-masing tingkatan menjalankan pemerintahan. Namun demikian, otonomi belum diserahkan sepenuhnya ke tingkat kabupaten dan kota.

Pemerintah Daerah Kota Yogyakarta

Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947.

Pada 1947, Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan Haminte-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak 5 Januari 1946 Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan Hamengkibuwana IX.

Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo diangkat menjadi Wali Kota Haminte-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus, yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan Hamangkubuwana IX, menggantikan M. Enoch (Wali Kota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi Agresi Militer Belanda I.

Dekret Resmi Kerajaan untuk Berintegrasi kepada RI

Pada 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum maupun penjelasannya. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 yang menghajar ibu kota Yogyakarta.

Pemerintahan DIY pun ikut menjadi lumpuh. Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda. Paska Serangan Umum 1 Maret 1949, Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950.

Landasan Hukum Pembentukan DIY

Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribu kota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17 Agustus 1950.

1. Pembentukan DIY (1950)

Wilayah DIY beserta pembagian kabupaten/kota di lingkungannya tahun 1950.

DIY secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950 (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai 15 Agustus 1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950 (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi).

UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Povinsi dan bukan sebuah Provinsi.

Walaupun nomenklaturnya mirip, tetapi saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional.

2. Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951)

Wilayah DIY beserta pembagian kabupaten/kota di lingkungannya tahun 1951.

Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan UU No. 15 Tahun 1950 (BN 1950 No. 44) dan UU No. 16 Tahun 1950 (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan PP No. 32 Tahun 1950 (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut, DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten Bantul (beribu kota Bantul), Sleman (beribu kota Sleman), Gunung Kidul (beribu kota Wonosari), Kulon Progo (beribu kota Sentolo), Adikarto (beribu kota Wates), dan Kota Besar Yogyakarta.

Untuk alasan efisiensi, pada 1951, kabupaten Adikarto yang beribu kota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribu kota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh UU Nomor 18 Tahun 1951 (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.

Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950-an)

1. Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951)

Pada 1951, Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai. Komposisi DPRD didominasi dari Masyumi (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.

Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP. Sementara itu, kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan Hamengkubuwana IX dan Sri Paduka Paku Alam VIII). Namun, keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan langsung kepada Presiden.

2. Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY (1950-an)

Perubahan yang cukup penting, pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung yang dibagi tiga kabupaten, yakni Kota, Kulon Progo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota. Sejak 1945, birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain, Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari Kanayakan yang memerintah Nagari Dalem (dahulu dikepalai oleh Pepatih Dalem).

Sementara wilayah Mancanegara, yang tidak dikuasai Belanda, tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan Hamengkubuwana IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah Madiun, Pacitan, Tulung Agung, dan Trenggalek yang dikenal sebagai Metaraman dilepas ke Republik Indonesia.

Wilayah karaton (keraton/istana) menjadi sempit. Sultan Hamengkubuwana IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di Cepuri Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah sultan, tetapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga bukan merupakan monarki konstitusi.

Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwana IX. Namun, karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, dia tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu, bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka Paku Alam VIII, sedangkan bagian Keraton yang disebut Parentah Hageng Karaton dipimpin oleh GP Hangabehi.

Proses pemisahan antara negara (Nagari Dalem) dan istana (Karaton Dalem) tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan Nagari Dalem berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan Karaton (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengkubuwana.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta dari Era Proklamasi Hingga Penyelenggaraan Demokrasi. Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang sejarah Kota Yogyakarta sejak awal mula terpecahnya Kerajaan Mataram Islam. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

BACA JUGA:

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.