Sejarah

7 Tokoh Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Tokoh-Tokoh Kemerdekaan Indonesia
Written by Fandy

Tokoh Proklamasi Kemerdekaan Indonesia – Sahabat Gramed, perlu diketahui jika kemerdekaan Indonesia dilatarbelakangi oleh peristiwa proklamasi yang dibacakan oleh Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. Namun, tokoh proklamasi lain juga turut terlibat dalam menyukseskan perjuangan bangsa mencapai kemerdekaan tersebut.

Proklamasi menjadi ujung tombak dari segala perjuangan dan pengorbanan yang telah dicurahkan para pejuang Indonesia. Para tokoh proklamasi tersebut berperan merumuskan, menyusun, hingga melaksanakan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Sahabat Grameds pastinya penasaran dengan tokoh proklamasi tersebut dan perannya dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia. Nah, untuk mengetahuinya, mari kita simak bersama-sama penjelasan berikut.

1. Ir. Soekarno

Tokoh Proklamasi pertama, yaitu Soekarno lahir di Blitar pada 6 Juni 1901, anak seorang guru Sekolah Rakyat bernama Raden Soekami dan wanita Bali berdarah bangsawan, Ida Ayu Nyoman Rai. Dia lahir dengan nama Koesno Sosrodihardjo yang diberikan oleh orang tuanya.

Sebagai anak priayi, dia bisa mengenyam pendidikan tinggi dan lulus dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung) pada 1925 dengan mengambil jurusan teknik sipil. Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926.

Setelah lulus kuliah, dia memuatkan ide-ide politiknya di media massa dengan artikel berjudul “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme”. Tulisan ini begitu menekankan pentingnya ide-ide persatuan antarkelompok, yang kemudian menandai pemikiran politik sepanjang kariernya.

Perjuangan politiknya berlanjut dengan membentuk Algemeene Studie Club (ASC) di Bandung pada 1926, yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi ini di kemudian hari menjadi cikal bakal pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927.

Dia menerapkan sikap nonkooperatif dengan Belanda yang membuatnya beberapa kali masuk tahanan. Aktivitasnya di PNI menyebabkan dirinya ditangkap oleh Belanda pada 29 Desember 1929 di Yogyakarta, dan esoknya kemudian dipindahkan ke Bandung untuk dijebloskan ke Penjara Banceuy.

Pada 1930, dia dipindahkan ke Sukamiskin dan membacakan pleidoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat di pengadilan Landraad Bandung 18 Desember 1930, hingga dibebaskan kembali pada 31 Desember 1931.

Pada 17 Agustus 1945, tak lama setelah Jepang takluk kepada Sekutu, atas desakan para aktivis pemuda yang sempat menculiknya ke Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta diangkat menjadi presiden wakil presiden pertama Indonesia.

2. Drs. H. Mohammad Hatta

Tokoh Proklamasi kedua, yaitu Mohammad Hatta adalah wakil presiden pertama Indonesia, sekaligus tokoh proklamasi yang bertugas menyusun teks proklamasi, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan menandatangani teks proklamasi atas nama bangsa Indonesia bersama Ir. Soekarno.

Selain itu, dia juga pemberi ide kalimat teks proklamasi “hal-hal tentang pemindahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”. Hatta menjadi pendamping Ir. Soekarno dalam upacara proklamasi dengan menggunakan pakaian serba putih.

Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat pada 12 Agustus 1902 dengan nama Muhammad Athar. Dia lahir dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari Minangkabau.

Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat di Batuhampar, dekat Payakumbuh, Sumatra Barat dan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi.

Dia pertama kali mengenyam pendidikan formal di sekolah swasta. Setelah enam bulan, dia pindah ke sekolah rakyat dan sekelas dengan kakaknya. Dia kemudian pindah ke Europeesche Lagere School (ELS) di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang) sampai tahun 1913, dan melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) sampai tahun 1917.

Pendidikan non-formalnya diperoleh dari Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya. Pada 18 November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari sesudahnya mereka bertempat tinggal di Yogyakarta. Pasangan tersebut kemudian dikaruniai tiga  anak perempuan yang bernama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.

Hatta pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dalam Kabinet Hatta I, Kabinet Hatta II, dan Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada 1956, dia mundur dari jabatan wakil presiden.

Pada 14 Maret 1980, Hatta wafat di RSUD dr. Cipto Mangunkusumo dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Tanah Kusir Jakarta Selatan.

Dikarenakan perjuangannya bagi Republik Indonesia sangat besar, Hatta mendapatkan anugerah tanda kehormatan tertinggi “Bintang Republik Indonesia Kelas I” yang diberikan oleh Presiden Soeharto. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga menetapkannya sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada 23 Oktober 1986 melalui Keppres nomor 081/TK/1986.

3. Fatmawati

Tokoh proklamasi ketiga, yaitu Fatmawati adalah istri ketiga dari presiden Indonesia pertama Ir. Soekarno. Dia menjadi ibu negara pertama sejak 1945–1967. Dia berjasa dalam kemerdekaan Indonesia sebagai penjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang dikibarkan ketika upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Fatmawati menghabiskan waktunya untuk menjahit bendera itu dalam kondisi fisiknya yang cukup rentan karena sedang hamil tua dan sudah waktunya melahirkan anak sulungnya. Bendera tersebut dijahit dengan berangsur-angsur menggunakan mesin jahit Singer yang dijalankan dengan tangan.

Fatmawati lahir dari pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah, dengan nama Fatimah. Orang tuanya merupakan keturunan Putri Indrapura, salah seorang keluarga raja dari Kesultanan Indrapura, Pesisir Selatan, Sumatra Barat. Ayahnya merupakan salah seorang pengusaha dan tokoh Muhammadiyah di Bengkulu.

Fatmawati menikah dengan Soekarno pada 1 Juni 1943 dan dikaruniai lima orang putra dan putri, di antaranya adalah Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Rachmawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.

Pada 14 Mei 1980, dia meninggal dunia karena serangan jantung ketika dalam perjalanan pulang umroh dari Makkah. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Taman Pemakaman Umum (TPU) Karet Bivak, Jakarta Pusat.

4. Mohamad Ibnu Sayuti

Mohamad Ibnu Sayuti atau lebih dikenal dengan Sayuti Melik dicatat dalam sejarah Indonesia sebagai tokoh proklamasi yang mengetik naskah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Selain itu, dia juga dikenal sebagai sosok yang mengubah kalimat “wakil-wakil bangsa Indonesia” menjadi “atas nama bangsa Indonesia” dalam konsep naskah proklamasi.

Sayuti lahir pada 22 November 1908 di Sleman, Yogyakarta. Anak dari pasangan Abdul Mu’in alias Partoprawito, seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta dengan Sumilah. Dia menempuh pendidikan pertama di Sekolah Ongko Loro (setingkat SD) di Desa Srowolan hanya sampai kelas IV dan diteruskan di Yogyakarta sampai mendapatkan ijazah.

Sejak kecil, dia sudah ditanamkan nasionalisme oleh ayahnya saat menentang Belanda yang menggunakan sawahnya untuk ditanami tembakau. Ketika belajar di sekolah guru yang berada di Solo tahun 1920, dia belajar nasionalisme dari guru sejarahnya yang berkebangsaan Belanda, yaitu H.A. Zurink.

Sayuti termasuk dalam kelompok Menteng 31, yang berperan dalam penculikan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta pada 16 Agustus 1945. Dia dan para pemuda yang lain membawa Ir. Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia sembilan  bulan) dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar mereka tidak terpengaruh oleh Jepang.

Setelah Indonesia merdeka, dia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan dikenal sebagai pendukung Ir. Soekarno, tetapi juga sebagai orang yang berani menentang gagasan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme).

Dia mengusulkan agar Nasakom diubah menjadi Nasasos (nasionalisme, agama, sosialisme). Tidak hanya itu, dia juga menentang pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS).

Sayuti meninggal pada 27 Februari 1989 setelah setahun sakit, pada usia 80 tahun di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. Dia menerima Bintang Mahaputra Tingkat V (1961) dari Ir. Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana (II) dari Presiden Soeharto (1973).

5. Sutan Syahrir

Sutan Syahrir dikenal sebagai seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia. Dia lahir pada 5 Maret 1909 di Padang Panjang, Sumatra Barat. Ayahnya bernama Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Leman gelar Soetan Palindih Koto Gadang, Agam, Sumatra Barat dan ibunya bernama Puti Siti Rabiah yang berasal dari Mandailing Natal, Sumatra Utara.

Sjahrir mengenyam pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) dan sekolah menengah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang berada di Medan. Pada 1926, dia selesai sekolah dari MULO dan masuk ke sekolah lanjutan atas Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung. Dia bergabung dalam Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) di sekolah itu sebagai sutradara, penulis skenario, dan juga aktor.

Pada 20 Februari 1927, Syahrir termasuk sepuluh orang penggagas pendirian himpunan pemuda nasionalis, yaitu Jong Indonesië. Perhimpunan itu kemudian berubah nama menjadi Pemuda Indonesia yang menjadi motor terselenggaranya Kongres Pemuda Indonesia, kongres monumental yang mencetuskan Sumpah Pemuda pada 1928.

Syahrir kembali melanjutkan pendidikan ke Belanda di Fakultas Hukum, Universitas Amsterdam untuk mendalami tentang sosialisme. Selain mendalami tentang sosialisme, dia juga aktif dalam Perhimpunan Indonesia (PI) saat dipimpin oleh Moh. Hatta.

Akhir tahun 1931, Syahrir meninggalkan kampusnya untuk kembali ke tanah air dan terjun dalam pergerakan nasional. Dia segera bergabung dalam organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI) Baru, yang pada Juni 1932 diketuai oleh dirinya sendiri.

Setelah Indonesia merdeka, dia menjadi politikus dan perdana menteri pertama Indonesia. Dia menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia pertama dengan masa jabatan dari 14 November 1945 hingga 3 Juli 1947, sebagai ketua Partai Sosialis Indonesia (PSI), Ketua Delegasi Republik Indonesia dalam Perundingan Linggarjati, dan sebagai Duta Besar Keliling (Ambassador-at-Large) Republik Indonesia.

Syahrir mendirikan PSI pada 1948 sebagai partai alternatif lain yang tumbuh dari gerakan komunis internasional. Meskipun PSI berhaluan kiri dan mendasarkan pedomannya kepada ajaran Marx-Engels, dia menentang sistem kenegaraan Uni Soviet.

Dia meninggal dalam pengasingan sebagai tawanan politik pada 9 April 1966, ketika berumur 57 tahun di Zürich, Swiss. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta. Sutan Sjahrir ditetapkan sebagai salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia pada 9 April 1966 melalui Keppres nomor 76 tahun 1966.

6. Soekarni

Soekarni memiliki nama lengkap Soekarni Kartodiwirjo. Dia lahir pada 14 Juli 1916 di Desa Sumberdiran, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Ayahnya bernama Dimoen Kartodiwirjo, keturunan dari Eyang Onggo, juru masak Pangeran Diponegoro. Ibunya bernama Pidjah, wanita asal Kediri.

Soekarni merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara, yaitu Hono Karto Dihardjo, Soekarmilah (Ny. H. Sopran), Soekardi, Soekarlim, Soekarni, Soekarti (Ny. Sastro Roesdi), Karmijem (Ny. Parto Widjono), Endang Sartini (Ny. Muslimin), Soekarpo (Endi Soekarto), dan Soekarjo.

Dia memperoleh pendidikan di Sekolah Mardisiswo yang berada di Blitar (semacam Taman Siswa yang dibuat oleh Ki Hajar Dewantara). Sukarni di sekolah itu belajar mengenai nasionalisme melalui Moh. Anwar yang berasal dari Banyumas, pendiri Mardidiswo sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.

Pada 1934, dia berhasil menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda. Sementara itu, Belanda mulai mencurigainya sebagai anak muda militan. Pada 1936, Belanda melakukan penggerebekan terhadap para pengurus Indonesia Muda, tetapi dia berhasil kabur dan hidup dalam pelarian selama beberapa tahun.

Soekarni termasuk dalam golongan muda yang ikut terlibat dalam upaya penculikan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Selama di Rengasdengklok, keduanya terus didesak untuk segera memproklamasikan kemerdekaan, selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 1945.

Pada akhirnya, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta menyetujui hal tersebut dan dibawa kembali ke Jakarta oleh Achmad Soebardjo untuk segera mempersiapkan kemerdekaan dengan menyusun naskah proklamasi.

Begitu naskah selesai dibuat, Ir. Soekarno yang didukung oleh Moh. Hatta mengusulkan agar semua peserta yang hadir dalam rapat menandatangani teks tersebut. Namun, Soekarni mengusulkan agar hanya mereka berdua sajalah yang menandatangani naskah proklamasi sebagai wakil dari bangsa Indonesia.

Pada 1961, Soekarni ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia di Peking, RRT (Republik Rakyat Tiongkok) dan kembali ke tanah air bulan Maret 1964. Konon, dalam pertemuan di Istana Bogor pada Desember 1964, dia sempat memperingatkan Ir. Soekarno atas sepak terjang PKI.

Namun, berlawanan dengan harapannya, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba) malah dibekukan tahun 1965. Dia dan para pemimpin Murba lainnya dipenjara. Pada masa Orde Baru, dia dibebaskan dan larangan Murba dicabut (direhabilitasikan 17 Oktober 1966).

Soekarni kemudian ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) pada 1967, yang menjadi jabatan resmi terakhirnya. Tokoh yang mendapatkan Bintang Mahaputra Kelas Dua dan Empat ini meninggal dunia pada 7 Mei 1971. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata dengan upacara kenegaraan.

7. Achmad Soebardjo

Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo lahir pada 23 Maret 1896 di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat. Desa Teluk Jambe adalah sebuah desa kecil di tepi Sungai Citarum dan merupakan daerah penghasil beras di Provinsi Jawa Barat.

Achmad Soebardjo merupakan anak bungsu dari empat bersaudara, yaitu hasil perkawinan dari Teuku Muhammad Yusuf dengan Wardinah. Ayahnya berasal dari keturunan bangsawan Aceh dari Pidie, sedangkan ibunya seorang putri camat di Telukagung, Cirebon keturunan Jawa–Bugis yang berasal dari Jawa Tengah.

Dia turut menyukseskan terjadinya proklamasi yang diproklamirkan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta. Perannya adalah membawa mereka kembali ke Jakarta setelah dibawa dengan paksa oleh para pemuda ke Rengasdengklok.

Perjalanannya ke Rengasdengklok penuh dengan rintangan dan bahaya. Namun, ini tidak menyurutkan langkahnya untuk menyelamatkan kedua pemimpin bangsa Indonesia tersebut.

Sesampainya di lokasi, dia berhasil membujuk para pemuda yang menyembunyikan Ir. Soekarno dan Moh. Hatta agar membawanya kembali ke Jakarta. Selain itu, dia juga meyakinkan para pemuda bahwa keduanya akan segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

Achmad Soebardjo menjadi salah satu tokoh penting yang terlibat langsung dalam penyusunan naskah proklamasi. Soekarno menuliskan konsep teks proklamasi pada secarik kertas, sedangkan Mohammad Hatta dan Ahmad Soebardjo menyumbangkan pemikiran mereka secara lisan.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai perjuangan dan jasa dari 7 Tokoh Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Menghargai jasa para pahlawan tidak hanya dengan mengenang dalam hati dan berterima kasih, melainkan juga dengan meneladani sikap dan perbuatan mereka.

Grameds dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang para pahlawan tersebut, mulai dari latar belakang kehidupannya, pendidikan, dan riwayat perjuangannya.

Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang sejarah Indonesia agar bisa memaknainya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Penulis: Fandy Aprianto Rohman

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait Tokoh Proklamasi

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.