Sejarah

Sejarah Bahasa Indonesia: Dari Era Kerajaan Hingga Era Penjajahan

Dasar dan Kronologi Sejarah Bahasa Indonesia
Written by Fandy

Sejarah Bahasa Indonesia Dari Era Kerajaan Hingga Era Penjajahan – Bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan resmi di seluruh Indonesia. Bahasa ini merupakan bahasa komunikasi resmi yang diajarkan di sekolah-sekolah dan digunakan untuk disiarkan di media elektronik dan digital. Sebagai negara dengan tingkat multilingual (terutama trilingual) teratas di dunia, mayoritas orang Indonesia juga mampu bertutur dalam bahasa daerah atau bahasa suku mereka sendiri, dengan yang paling banyak dituturkan adalah bahasa Jawa dan Sunda yang juga memberikan pengaruh besar ke dalam elemen bahasa Indonesia itu sendiri.

Dengan penutur bahasa yang besar di seantero negeri beserta dengan diaspora yang tinggal di luar negeri, bahasa Indonesia masuk sebagai salah satu bahasa yang paling banyak digunakan atau dituturkan di seluruh dunia. Selain dalam skala nasional, bahasa Indonesia juga diakui sebagai salah satu bahasa resmi di negara lain seperti Timor Leste.

Bahasa Indonesia juga secara resmi diajarkan dan digunakan di sekolah, universitas, maupun institusi di seluruh dunia, terutama di Australia, Belanda, Jepang, Korea Selatan, Timor Leste, Vietnam, Taiwan, Amerika Serikat, Inggris, dan lain-lain.

Dasar Bahasa Indonesia

Indonesia memiliki keterikatan sejarah yang panjang dengan bangsa-bangsa Eropa, khususnya sejak era kolonialisme. Beberapa kosakata Indonesia telah diserap ke dalam beberapa bahasa Eropa, terutama bahasa Belanda dan Inggris. Bahasa Indonesia sendiri memiliki banyak kata serapan yang berasal dari bahasa-bahasa Eropa, terutama dari bahasa Belanda, Portugis, Spanyol, dan Inggris.

Bahasa Indonesia juga memiliki kata serapan yang berasal dari bahasa Sanskerta, Tionghoa, dan Arab yang membaur menjadi elemen dalam bahasa Indonesia yang terpengaruh karena adanya faktor-faktor seperti aktivitas perdagangan maupun religius yang telah berlangsung sejak zaman kuno di wilayah kepulauan Indonesia.

Dasar bahasa Indonesia baku adalah bahasa Melayu Riau. Dalam perkembangannya, bahasa ini mengalami perubahan akibat penggunaannya sebagai bahasa kerja di lingkungan administrasi kolonial dan berbagai proses pembakuan sejak awal abad ke-20.

Penamaan “bahasa Indonesia” diawali sejak dicanangkannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 untuk menghindari kesan “imperialisme bahasa” apabila nama bahasa Melayu tetap digunakan. Proses ini menyebabkan berbedanya bahasa Indonesia saat ini dari varian bahasa Melayu yang digunakan di Riau maupun Semenanjung Malaya. Hingga saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup, yang terus menghasilkan kata-kata baru, baik melalui penciptaan maupun penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.

Namun demikian, meskipun dipahami dan dituturkan oleh lebih dari 90% warga Indonesia, bahasa Indonesia bukanlah bahasa ibu bagi kebanyakan penuturnya. Sebagian besar warga Indonesia menggunakan salah satu dari 748 bahasa yang ada di Indonesia sebagai bahasa ibu. Istilah “bahasa Indonesia” paling umum dikaitkan dengan bentuk baku yang digunakan dalam situasi resmi.

Ragam bahasa baku tersebut berhubungan diglosik dengan bentuk-bentuk bahasa Melayu vernakular yang digunakan sebagai peranti komunikasi sehari-hari. Artinya, penutur bahasa Indonesia kerap kali menggunakan ragam sehari-hari atau mencampuradukkan dengan dialek Melayu lainnya atau bahasa ibunya.

Saat ini, bahasa Indonesia digunakan sangat luas di perguruan-perguruan, media massa, sastra, perangkat lunak, surat-menyurat resmi, dan berbagai forum publik lainnya, sehingga dapatlah dikatakan bahwa bahasa Indonesia digunakan oleh semua warga Indonesia.

Fonologi dan tata bahasa bahasa Indonesia dianggap relatif mudah. Menurut sebagian peneliti, dasar-dasar yang penting untuk komunikasi dasar dapat dipelajari hanya dalam kurun waktu beberapa minggu.

Kronologi Sejarah Bahasa Indonesia

Sejarah bahasa Indonesia sebenarnya bukan dimulai berasal dari kesepakatan pemuda saat momen Sumpah Pemuda, tetapi jauh sejak abad ke 7 silam.

Namun, bagaimana mungkin ini terjadi? Bukankah bahasa Indonesia secara resmi lahir pada 28 Oktober 1928 dalam momen Sumpah Pemuda?

Secara faktual, bahasa Indonesia memang dijadikan bahasa nasional resmi dalam momen tersebut. Namun jika dilihat dari awal perkembangannya, sejarah bahasa Indonesia justru lebih jauh dari tahun 1900-an. Perkembangan awal bahasa Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-7, yaitu masa perdagangan dan awalnya justru berasal dari bahasa Melayu.

1. Zaman Kerajaan Hindu-Buddha

Sejumlah prasasti berbahasa Melayu Kuno dari Sriwijaya ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatra. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Melayu menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah yang strategis untuk pelayaran dan perdagangan.

Bahasa Melayu kuno yang digunakan saat itu menunjukkan penggunaan awalan ni- dan mer-, bukan di- dan ber-. Contohnya merwuat “berbuat”, “melakukan” dan nimakan “dimakan”. Ini menunjukkan kemiripan dan relasi dengan bahasa Proto-Melayu-Polinesia dan Proto-Austronesia. Kedua awalan ini muncul di prasasti-prasasti tersebut.

Huruf “h” di awal kata masih dijaga, mencerminkan asalnya utamanya dari bahasa Proto-Austronesia. Contohnya dalam kata hujung “ujung” dan mahu “mau”, “bermaksud”. Dalam beberapa dialek dan bahasa Melayu modern, “h” di awal kata masih dijaga, sementara di yang lain hilang atau dianggap tidak baku. Misalnya, item “hitam” dan hutang “utang”. Namun, beberapa kata seperti hati tidak berubah menjadi *ati dalam bahasa Indonesia. Hilangnya huruf “h” ini dapat didorong oleh pengucapan “r” yang cenderung uvular ([ʀ], [ʁ]), lokasi yang hampir sama dengan “h”.

Sementara itu, istilah Melayu adalah sebutan untuk Kerajaan Melayu, sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang bertempat di hulu sungai Batang Hari.

Pada awalnya, istilah tersebut merujuk pada wilayah kerajaan Melayu yang yang merupakan bagian wilayah pulau Sumatra. Namun, seiring berkembangnya zaman, istilah Melayu mencakup wilayah geografis tidak hanya merujuk pada Kerajaan Melayu, melainkan negeri-negeri di pulau Sumatra. Karena itu, Sumatra dijuluki sebagai Bumi Melayu (bahasa Indonesia: Tanah Melayu), yang disebutkan dalam Kakawin Nagarakretagama.

Bahasa Melayu kuno yang berkembang di Sumatra memiliki logat “o”, yang digunakan pada Melayu Jambi, Minangkabau, Kerinci, Palembang, dan Bengkulu. Dalam Negarakretagama, Semenanjung Malaka disebut Hujung Medini (Diterjemahkan sebagai Semenanjung Medini, namun memiliki arti Semenanjung Malaysia).

Dalam perkembangannya, bangsa Melayu melakukan migrasi besar-besaran ke Semenanjung Malaysia (Hujung Medini) dan kerajaan-kerajaan Islam yang pusat mandalanya adalah Kesultanan Malaka pada masa perkembangannya. Istilah Melayu kemudian bergeser kepada Semenanjung Malaka (Semenanjung Malaysia) yang akhirnya disebut Semenanjung Melayu atau Semenanjung Tanah Melayu. Akan tetapi, kenyataannya adalah istilah Melayu itu berasal dari Indonesia. Bahasa Melayu yang berkembang di sekitar daerah Semenanjung Malaka berlogat “e”.

Pada 1512, Kesultanan Malaka dimusnahkan oleh Portugis, sehingga penduduknya diaspora sampai ke kawasan timur kepulauan Nusantara. Bahasa Melayu Purba sendiri diduga berasal dari pulau Kalimantan, yang membuat kemungkinan bahwa pemakai bahasa Melayu pertama bukanlah penduduk Sumatra, melainkan Kalimantan. Suku Dayak diduga memiliki hubungan dengan suku Melayu kuno di Sumatra, misalnya: Dayak Salako, Dayak Kanayatn (Kendayan), dan Dayak Iban. Aksen Melayu pada saat itu berlogat “a” seperti bahasa Melayu baku. Penduduk Sumatra menuturkan bahasa Melayu setelah kedatangan leluhur suku Nias dan suku Mentawai.

Dalam perkembangannya, istilah Melayu kemudian mengalami perluasan makna, sehingga muncul istilah Kepulauan Melayu untuk menamakan kepulauan Nusantara.

Secara sudut pandang historis, istilah Melayu juga dipakai sebagai nama bangsa yang menjadi nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara, terutama dalam konsep Proto Melayu dan Deutero-Melayu, migrasi bangsa Melayu yang dibagi dalam dua gelombang. Saat ini konsep dua gelombang migrasi tersebut sudah dianggap usang, karena sekarang dipahami bahwa nenek moyang penduduk kepulauan Nusantara dikenal sebagai rumpun Melayu-Polinesia, salah satu dari dua cabang utama suku bangsa Austronesia (lainnya adalah Formosa).

Selanjutnya setelah sampai pada kedatangan dan perkembangan agama Islam, suku Melayu sebagai etnik mengalami penyempitan makna menjadi etnoreligius (Muslim) yang sebenarnya di dalamnya juga telah mengalami amalgamasi dari beberapa unsur etnik.

M. Muhar Omtatok, seorang seniman, budayawan dan sejarawan menjelaskan sebagai berikut: “Melayu secara puak (etnik, suku), bukan dilihat dari faktor genekologi seperti kebanyakan puak-puak lain. Di Malaysia, tetap mengaku berpuak Melayu walau moyang mereka berpuak Jawa, Mandailing, Bugis, Keling dan lainnya”. Beberapa tempat di Sumatra Utara, ada beberapa komunitas berdarah Batak yang mengaku sebagai Orang Kampong–Puak Melayu”.

Diketahui, kerajaan Sriwijaya menuturkan bahasa Melayu (sebagai bahasa Melayu Kuno) sebagai bahasa kenegaraan sejak abad ke-7 M. Lima prasasti kuno yang ditemukan di Sumatra bagian selatan peninggalan kerajaan itu menggunakan bahasa Melayu yang bertaburan kata-kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang Indo-Iran. Jangkauan penggunaan bahasa ini diketahui cukup luas, karena ditemukan juga dokumen-dokumen dari abad berikutnya di Pulau Jawa dan Pulau Luzon. Sejak itu, kata-kata seperti istri, raja, putra, kawin, dan lain-lain masuk pada periode tersebut hingga abad ke-15 M.

2. Melayu Sebagai Bahasa Nusantara

Pada abad ke-15, berkembang bentuk yang dianggap sebagai bahasa Melayu Klasik (classical Malay atau medieval Malay). Bentuk ini dipakai oleh Kesultanan Melaka, yang perkembangannya kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi.

Penggunaannya terbatas di kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya. Laporan Portugis, misalnya oleh Tome Pires, menyebutkan adanya bahasa yang dipahami oleh semua pedagang di wilayah Sumatra dan Jawa. Magellan dilaporkan memiliki budak dari Nusantara yang menjadi juru bahasa di wilayah itu.

Ciri paling menonjol dalam ragam sejarah ini adalah mulai masuknya kata-kata pinjaman dari bahasa Arab dan bahasa Parsi sebagai akibat dari penyebaran agama Islam yang mulai masuk sejak abad ke-12. Kata-kata bahasa Arab seperti masjid, kalbu, kitab, kursi, selamat, dan kertas, serta kata-kata Parsi seperti anggur, cambuk, dewan, saudagar, tamasya, dan tembakau masuk pada periode ini. Proses penyerapan dari bahasa Arab terus berlangsung hingga sekarang.

Kedatangan pedagang Portugis, diikuti oleh Belanda, Spanyol, dan Inggris meningkatkan informasi dan mengubah kebiasaan masyarakat pengguna bahasa Melayu. Bahasa Portugis banyak memperkaya kata-kata untuk kebiasaan Eropa dalam kehidupan sehari-hari, seperti gereja, sepatu, sabun, meja, bola, bolu, dan jendela. Bahasa Belanda terutama banyak memberi pengayaan di bidang administrasi, kegiatan resmi (misalnya dalam upacara dan kemiliteran), dan teknologi hingga awal abad ke-20. Kata-kata seperti asbak, polisi, kulkas, knalpot, dan stempel adalah pinjaman dari bahasa ini.

Bahasa yang dipakai pendatang dari Tiongkok juga lambat laun dipakai oleh penutur bahasa Melayu, akibat kontak di antara mereka yang mulai intensif di bawah penjajahan Belanda. Sudah dapat diduga, kata-kata Tionghoa yang masuk biasanya berkaitan dengan perniagaan dan keperluan sehari-hari, seperti pisau, tauge, tahu, loteng, teko, tauke, dan cukong.

Jan Huyghen van Linschoten pada abad ke-17 dan Alfred Russel Wallace pada abad ke-19 menyatakan bahwa bahasa orang Melayu atau Melaka dianggap sebagai bahasa yang paling penting di “dunia timur”. Luasnya penggunaan bahasa Melayu ini melahirkan berbagai varian tempatan (lokal) dan temporal.

Bahasa perdagangan menggunakan bahasa Melayu di berbagai pelabuhan Nusantara bercampur dengan bahasa Portugis, bahasa Tionghoa, maupun bahasa setempat. Terjadi proses pemijinan di beberapa kota pelabuhan di kawasan timur Nusantara, misalnya di Manado, Ambon, dan Kupang. Orang-orang Tionghoa di Semarang dan Surabaya juga menggunakan varian bahasa Melayu pijin. Terdapat pula bahasa Melayu Tionghoa di Batavia. Varian yang terakhir ini malah dipakai sebagai bahasa pengantar bagi beberapa surat kabar pertama berbahasa Melayu (sejak akhir abad ke-19). Varian-varian lokal ini secara umum dinamakan bahasa Melayu Pasar oleh para peneliti bahasa.

Terobosan penting terjadi ketika pada pertengahan abad ke-19 Raja Ali Haji dari istana Riau-Johor (pecahan Kesultanan Melaka) menulis kamus ekabahasa untuk bahasa Melayu. Sejak saat itu, dapat dikatakan bahwa bahasa ini adalah bahasa yang full-fledged, sama tinggi dengan bahasa-bahasa internasional pada masa itu, karena memiliki kaidah dan dokumentasi kata yang terdefinisi dengan jelas.

Hingga akhir abad ke-19 dapat dikatakan terdapat paling sedikit dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara: bahasa Melayu Pasar yang colloquial dan tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang terbatas pemakaiannya, tetapi memiliki standar. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, tetapi kebanyakan berstatus sebagai bahasa kedua atau ketiga.

3. Era Kolonial Belanda

Majalah Keboedajaän dan Masjarakat (1939) menggunakan ejaan Van Ophuijsen.

Pemerintah kolonial Hindia Belanda menyadari bahwa bahasa Melayu dapat dipakai untuk membantu administrasi bagi kalangan pegawai pribumi karena penguasaan bahasa Belanda para pegawai pribumi dinilai lemah. Dengan menyandarkan diri kepada bahasa Melayu Tinggi (karena telah memiliki kitab-kitab rujukan), sejumlah sarjana Belanda mulai terlibat dalam pembakuan bahasa.

Promosi bahasa Melayu pun dilakukan di sekolah-sekolah dan didukung dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu. Akibat pilihan ini terbentuklah “embrio” bahasa Indonesia yang secara perlahan mulai terpisah dari bentuk semula bahasa Melayu Riau-Johor.

Pada awal abad ke-20, perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Pada 1901, Indonesia (sebagai Hindia Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuijsen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Makmoer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur (“Komisi Bacaan Rakyat” – KBR) pada 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Pustaka. Pada 1910, komisi ini di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah.

Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.

Bahasa Melayu yang disebarkan oleh Balai Pustaka sesungguhnya merupakan bahasa Melayu Tinggi yang bersumber dari bahasa Melayu Riau-Lingga, sedangkan bahasa Melayu yang lebih populer dituturkan kala itu di Hindia Belanda adalah bahasa Melayu Rendah atau bahasa Melayu Pasar. Kwee Tek Hoay, sastrawan Melayu Tionghoa mengkritik bahasa tinggi ini sebagai bahasa yang tidak alamiah, seperti barang buatan, tidak mampu melukiskan tabiat dan tingkah laku sesungguhnya, seperti pembicaraan dalam pertunjukan wayang yang tidak ditemukan dalam pembicaraan sehari-hari.”

Pada 16 Juni 1927, Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertama kalinya dalam sidang Volksraad, seseorang berpidato menggunakan bahasa Indonesia.

4. Kelahiran Bahasa Indonesia

Keputusan ketiga dari naskah Sumpah Pemuda menyatakan bahwa bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia.

Bahasa Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai “bahasa persatuan bangsa” pada saat Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional berdasarkan usulan Muhammad Yamin. Dalam pidatonya pada kongres tersebut, Yamin mengatakan sebagai berikut:

Jika mengacu kepada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Namun, dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan“.

Penggantian nama dari bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia mengikut usulan dari Mohammad Tabrani pada Kongres Pemuda I yang beranggapan bahwa jika tumpah darah dan bangsa tersebut dinamakan Indonesia,  bahasanya pun harus disebut bahasa Indonesia.

Kata “bahasa Indonesia” sendiri telah muncul dalam tulisan-tulisan Tabrani sebelum Sumpah Pemuda diselenggarakan. Kata “bahasa Indonesia” pertama kali muncul dalam harian Hindia Baroe pada 10 Januari 1926. Pada 11 Februari 1926, di koran yang sama, tulisan Tabrani muncul dengan judul “Bahasa Indonesia” yang membahas tentang pentingnya nama bahasa Indonesia dalam konteks perjuangan bangsa. Tabrani menutup tulisan tersebut dengan kalimat sebagai berikut:

Bangsa dan pembaca kita sekalian! Bangsa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bangsa Indonesia itu. Bahasa Indonesia belum ada. Terbitkanlah bahasa Indonesia itu. Karena menurut keyakinan kita kemerdekaan bangsa dan tanah air kita Indonesia ini terutama akan tercapai dengan jalan persatuan anak-Indonesia yang antara lain-lain terikat oleh bahasa Indonesia“.

Selanjutnya, perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.

Pada 1933, berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Selanjutnya, pada 1936, Sutan Takdir Alisjahbana menyusun Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Meskipun Pujangga Baru membawa pembaruan bagi bahasa dan sastra Indonesia, tetapi bahasa yang dipakai masihlah bahasa Melayu Tinggi yang “murni”. Perbedaan bahasa Melayu Tinggi dan Melayu Rendah baru mulai pudar setelah munculnya Chairil Anwar.[

Pada 25-28 Juni 1938, dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu, dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu. Kongres Bahasa Indonesia kemudian rutin digelar lima tahunan untuk membahasa perkembangan bahasa Indonesia.

Nah, itulah informasi mengenai dasar dan kronologi sejarah bahasa Indonesia. Secara faktual, bahasa Indonesia memang dijadikan bahasa nasional resmi dalam momen Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Namun jika dilihat dari awal perkembangannya, sejarah bahasa Indonesia justru sudah dimulai sejak masa perdagangan.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait Sejarah Bahasa Indonesia

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.