Sejarah

Latar Belakang Perang Aceh Tahun 1873–1903 dan Kronologinya!

Latar Belakang Perang Aceh
Written by Fandy

Latar Belakang Perang Aceh – Pada 1873, pemerintah Hindia Belanda mengumumkan pernyataan perang terhadap Kerajaan Aceh. Agresi Belanda ini dihadapi Aceh dengan manifestasi kolektif melalui bentuk perlawanan bersenjata yang menjadi perang terlama dalam sejarah kolonial Belanda di Indonesia.

Agresi ini pun ternyata juga menimbulkan ketegangan dalam masyarakat Aceh. Hal ini tercermin dari surat-surat para pemimpin Aceh. Cara mengatasi konflik internal itu pun ditempuh dengan melawan musuh yang merusak sendi-sendi agama Islam. Dengan alasan tersebut, masyarakat Aceh menjadikan unsur “perang sabil” sebagai basis ideologi dan dijadikan sebagai salah satu faktor yang menentukan dalam perlawanan terhadap Belanda.

Sejarah perang, pertempuran, dan kebijakan militer dan politik di Aceh telah cukup banyak ditulis. Latar belakang persaingan politik dan ekonomi yang menimbulkan perang ini dan kelemahan struktur Kesultanan Aceh dalam menghadapi ujian dari luar bukanlah hal-hal yang terlalu asing bagi mereka yang mempelajari sejarah.

Namun, pertanyaan yang selalu mendesak, yaitu “Di manakah sumber kekuatan Aceh sehingga bisa bertahan demikian lama, bahkan hampir tanpa henti?” Inilah permasalah pokok dalam perang ini. Apakah yang disebut dengan “perang sabil” itu adalah kesadaran Aceh? Bagaimanakah para ulama membina semangat perang sabil dan menjadikannya sebagai bagian dari kesadaran Aceh? Berbagai contoh dari karya sastra keagamaan yang diciptakan selama perang dan tulisan-tulisan para ulama juga ikut andil dalam mengobarkan semangat rakyat dalam peperangan ini.

Latar Belakang Perang Aceh

Perang Aceh Menurut Sudut Pandang Sejarah

Perang Aceh diawali dengan pendaratan pasukan Belanda dipimpin oleh Mayor Jenderal Kohler di Pantai Cermin Ulee Lheue pada 5 April 1873 untuk menyerang Aceh dan terkenal dengan sebutan Agresi Belanda I terhadap Aceh (Pratiwi, 2007). Orang-orang Aceh berperang dengan Belanda pada waktu itu dengan bentuk jihad.

Kata jihad memiliki pengertian yang sangat luas. Jihad dalam perspektif masyarakat Aceh melawan belanda adalah bentuk jihad dalam arti memerangi orang kafir, sehingga pada waktu itu merupakan salah satu akses atau jalan menuju surga atau syahid di medan perang (Nazaruddin, 2014).

Hikayat Perang Sabil dipandang oleh pimpinan tentara pemerintahan militer Hindia Belanda sebagai senjata yang sangat berbahaya, sehingga masyarakat Aceh dilarang membaca, menyimpan, dan mengedarkannya (Subroto, 2015). Hikayat Perang Sabil atau masyarakat Aceh menyebutnya dengan Hikayat Prang Sabi merupakan karya sastra yang terkenal di Aceh saat itu.

Hikayat Prang Sabi berisi empat buah kisah, yaitu:

  • Kisah Ainul Mardliyah.
  • Kisah pasukan gajah.
  • Kisah Sa’id Salmy.
  • Kisah Muhammad Amin (budak mati hidup kembali).

Salah satu bagian yang paling penting dari Hikayat Prang Sabi adalah mukadimah atau pendahuluan. Bagian yang juga berbentuk syair ini menunjukkan secara jelas tujuan dari penulisan Hikayat Prang Sabi yang berhubungan dengan perang melawan Belanda. Setelah diawali dengan puji-pujian kepada Allah SWT, dilanjutkan dengan seruan-seruan untuk melakukan perang sabil, juga disebutkan satu pahala yang diperoleh bagi mereka yang berjihad dalam perang tersebut (Pratiwi, 2007).

Proses keyakinan yang dianggap keramat pada saat perang Aceh melawan Belanda ini memiliki arti khusus kegigihan dan ketangguhan rakyat Aceh dalam berperang melawan Belanda. Hal itu didorong oleh semangat ideologi dan sakralisasi perang yang didasarkan kepada keyakinan agama, yang telah direproduksi oleh para alim ulama dalam bentuk Hikayat Prang Sabi. Bagi mereka, berperang melawan Belanda dipandang sebagai kewajiban agama.

Latar Belakang Munculnya Hikayat Perang Sabil pada Masa Perang Aceh

Perang Aceh melawan Belanda yang berlangsung sepanjang tahun 1873-1912 telah melahirkan mentalitas tersendiri bagi masyarakat Aceh. Ada perlawanan untuk mempertahankan martabat negara, sekaligus mempertahankan agama Islam.

Perang Aceh diawali dengan pendaratan pasukan Belanda yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Kohler di Pantai Cermin Ulee lheue pada 5 April 1873 untuk menyerang Aceh. Peristiwa ini terkenal dengan Agresi Belanda I terhadap Aceh (Alfian, 1987).

Belanda membuka perang di Aceh bukan hanya untuk merenggut kemerdekaan politik dan kemerdekaan ekonomi, tetapi juga dengan maksud menggoncangkan keyakinan rakyat Aceh kepada agamanya. Perlawanan yang telah dilakukan rakyat Aceh sejak tahun 1873 menghadapi Belanda adalah untuk membela hak asasi yang tak dapat disangkal lagi. Perlawanan itu merupakan landasan yang paling kuat (Thamrin, 2004).

Hikayat Perang Sabil sendiri ditulis oleh Teungku Chiek Pante Kulu yang bernama asli Syekh Muhammad. Penyair perang terbesar Teungku Tjhik Hadji Muhammad Pante Kulu dilahirkan pada 1251 Hijriah (1836 Masehi) di Desa Pante Kulu, Kemukiman Titeue, Kecamatan Kemalawati, Kabupaten Pidie. Keluarganya merupakan ulama yang memiliki hubungan kerabat dengan kelompok ulama Tiro (Hasjmy, 1977).

Berikut kutipan Hikayat Perang Sabil yang ditulisnya.

Nyoe keuh prang sabi beu tatukri aduen-adoe
Soe na ibadat cit seulamat, teungkue baranggasoe.
Teungku ditiroe nyang keumarang, mangat dum tatusoe.
Artinya:
Inilah hikayat perang, ialah perang sabil, agar mengerti adik-abang.
Yang beribadah akan selamat, Anda semua siap pun jua.
Teungku di Tiro yang mengarang supaya Anda mengenalinya.

Berdasarkan segi isinya, Hikayat Perang Sabil dapat dibagi dalam tiga kategori, yaitu:

  • Anjuran untuk berperang sabil dengan menunjukkan pahala, keuntungan, dan kebahagiaan yang akan diraih.
  • Berita mengenai tokoh atau keadaan peperangan di suatu tempat, yang patut disampaikan kepada masyarakat untuk mendorong semangat orang-orang muslimin yang sedang berjihad.
  • Mencakup kedua kategori tersebut terdahulu (Kurdi, 2009).

1. Hukum Perang Sabil dalam Perang Aceh

Sejak tentara Belanda mendarat di Aceh untuk menghancurkan kemerdekaan Aceh, kewajiban jihad telah dimulai. Tidak mengherankan bahwa perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Aceh adalah perlawanan total, yaitu perlawanan seluruh lapisan masyarakat. Kewajiban jihad itu semakin dipahami dan diyakini oleh seluruh lapisan masyarakat Aceh setelah alim ulama di seluruh pelosok Aceh mengumumkan wajib perang sabil (Thamrin, 2007).

2. Ayat-Ayat Jihad dalam Hikayat Perang Sabil

Firman Tuhan dalam Al-Qur’an adalah sumber hukum yang tertinggi bagi umat Islam. Inilah yang dicantumkan oleh pengubah Hikayat Perang Sabil: ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan perang di jalan Allah SWT. Ayat-ayat Al-Qur’an yang ditemukan dalam hikayat ini adalah Surah At-Taubah ayat 111 dan Surah Al-Baqarah ayat 195.

Terjemahannya berbunyi sebagai berikut.

Sesungguhnya Allah SWT telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. Mereka berperang di jalan Allah SWT, lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah SWT di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Siapakah yang lebih menetapi janjinya (selain) daripada Allah SWT? Bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan itulah kemenangan yang besar (At-Taubah ayat 111).

Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah SWT, dan jangan kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berbuat baik (Al-Baqarah ayat 195).

Latar Belakang Perang Aceh

Inspirasi Hikayat Perang Sabil

Semangat jihad fi sabilillah pertama kali menggema pasca kekalahan laskar Aceh dari serdadu Belanda. Dalam kondisi Aceh yang sangat terpuruk itulah kemudian muncul kesadaran untuk bersatu di antara kalangan ulama, ulee balang, dan rakyat. Mereka lantas mencetuskan sumpah “wajib perang sabil” di bawah pimpinan Imuem Lung Bata selaku ulama dan Teuku Ibrahim Lam Nga (suami pertama Cut Nyak Dhien selaku ulee balang).

Sumpah yang diucapkan di Aceh besar itu lantas mendulang simpati para ulama dari wilayah lain. Lalu, muncullah Teungku Tjhik Di Tiro yang didapuk masyarakat Aceh sebagai pemimpin perang sabil. Teungku Tjhik Di Tiro juga disokong oleh adiknya, yaitu Teungku Tjhik Pante Kulu.

Seruan jihad dipadukan lagi dengan kebiasaan orang Aceh dalam berhikayat. Hikayat yang terkenal dalam sejarah Aceh adalah Hikayat Prang Sabi (berjihad di jalan Allah SWT). Hikayat ini berisi tentang seruan berjihad melawan penindasan dan kesewenang-wenangan para penjajah. Suatu kreativitas yang dapat meningkatkan semangat, kegigihan, keberanian, dan kelincahan dalam peperangan melawan orang kafir.

Pemikiran tentang perang sabil mampu menarik perhatian para penduduk Aceh yang sedang berjuang hidup dan frustasi. Jalan pintas untuk mereka adalah memilih mati syahid melawan penjajah. Penduduk Aceh di sisi lain tidak akan melakukan tindakan bunuh diri, karena hal tersebut bertentangan dengan kehendak Allah SWT.

Penduduk Aceh yang tergerak setelah membaca atau mendengar Hikayat Perang Sabil dengan semangat yang membara berangkat ke medan pertempuraan dengan harapan agar mati syahid untuk memperoleh hadiah kenikmatan surgawi dari Allah SWT (Munir, 2019).

Berikut kutipan syair Hikayat Perang Sabil.

Laailaahaillallaah
Kalimah thaibah keupayong page
Uroe tutong bate beukah
Hancoe darah lam jantong hate
(Laailaahaiilallaah)
(Kalimah thaibah payung akhirat)
(Panasnya matahari sampai batu terbelah)
(Hancur darah dalam jantung hati)
Laailaahaiilallaah
Kalimah thaibah beukai tamate
Tanduk tadong zikir keu Allah
Han ek ngon babah ingat lam hate
(Laailaahaiilallaah)
(Kalimah thaibah bekal mati)
(uduk dan berzikir kepada Allah)
(Tak sanggup dengan mulut, ingat dalam hati)
(Nuryanti dan Akob, 2020).

Berdasarkan kutipan tersebut, terlihat gambaran situasi psikologis, sosial, dan kultural masyarakat Aceh secara jelas, yaitu kepasrahan dan pengharapan hanyalah kepada Allah SWT yang akan memberikan mereka segala kekuatan dan kemudahan setelah kesulitan. Keyakinan kepada akhirat bahwa apa saja keadaannya kita akan kembali kepada Allah SWT menjadi semangat yang menginspirasi dalam peerjuangan jihad fisabilillah.

Sikap fanatisme rakyat Aceh terhadap agama Islam menjadi sumber kekuatan dalam melawan penjajah Belanda. Islam telah menjadi basis perthanan mental rakyat Aceh untuk mampu menahan derita dalam menolak segala bentuk penindasan dari manapun datangnya.

Islam merupakan kubu pertahanan batin umat Islam di Aceh untuk menghadapi tantangan ideologi yang lain. Sikap fanatisme terhadap Islam inilah yang telah menyebabkan rakyat Aceh memiliki keyakinan dan ketahanan berperang dalam jangka panjang menolak kezaliman (Thamrin, 2007).

Periode Perang Aceh

1. Perang Aceh Pertama (1873–1874)

Latar Belakang Perang Aceh

Panglima besar angkatan perang Belanda, Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak oleh penembak jitu Aceh pada tahun 1873 (Edouard Vermorcken, 1820-1906/Public domain 100 years or fewer).

Perang Aceh pertama dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3.000 serdadunya dapat dipatahkan. Dia sendiri tewas pada 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di berbagai tempat, yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada juga perang di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu’uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.

2. Perang Aceh Kedua (1874–1880)

Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan pada 26 Januari 1874 dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874, Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh menjadi bagian dari Kerajaan Belanda.

Ketika Sultan Machmud Syah wafat pada 26 Januari 1874, Tuanku Muhammad Dawood dinobatkan sebagai sultan di Masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal. Pemerintahan saat itu masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.

3. Perang Aceh Ketiga (1881–1896)

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Pasukan Aceh dalam perang gerilya ini berada di bawah pimpinan Teuku Umar bersama Panglima Polim. Pada 1899, Teuku Umar gugur ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh. Namun, Cut Nyak Dhien kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

4. Perang Aceh Keempat (1896–1910)

Perang ini adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, pengadangan, dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan kesultanan. Tahun 1910–1915 menjadi akhir dari perang besar, tetapi perlawanan sporadis rakyat Aceh masih berlanjut hingga 1942 di beberapa tempat yang dilakukan oleh sekelompok pejuang.

Pengaruh Politik Hikayat Perang Sabil

Hikayat Perang Sabil merupakan salah satu karya sastra Aceh yang paling terkenal dan dominan dari masa ke masa. Hikayat ini mengandung beragam nilai-nilai sosial budaya dan agama, bahkan politik yang kesemuanya integral dalam diri orang Aceh. Sebagai seni karya tutur, hikayat tersebut dibacakan melalui meunasah-meunasah sebagai wadah musyawarah masyarakat Aceh.

Meunasah merupakan tempat ibadah, pusat pemerintahan tingkat gampong (desa) sekaligus sebagai wadah pendidikan, pengembangan masyarakat, dan penyelesaian konflik di tengah masyarakat. Hikayat ini digunakan sebagai sarana ekspresi masyarakat Aceh mengenai sesuatu yang mereka yakini dan inginkan (Wahid, 2008).

Hikayat Perang Sabil telah berhasil menempa kelangsungan semangat jihad fi sabilillah yang melekat di tiap pribadi rakyat Aceh, sehingga karenannya semangat perjuangan untuk menentang penjajajahan pun tidak pernah mencapai titik akhir sampai Belanda meninggalkan daerah Aceh (Ahmad, 2008).

Tidak hanya membentuk mental perlawanan terhadap Belanda, Hikayat Perang Sabil juga juga mewujudkan menjadi strategi politik dan banyak pejuang Aceh yang maju ke medan perang dengan membawa potongan-potongan Hikayat Perang Sabil. Potongan-potongan lirik itu kerap ditemukan di jenazah mereka yang gugur.

Pengaruh politis dari Hikayat Perang Sabil adalah berubahnya pola perjuangan dan perlawanan rakyat dalam menghadapi penjajahan Belanda, dari perlawanan terorganisir menjadi perjuangan kelompok, bahkan pribadi. Selama peperangan tersebut, berbagai upaya dilakukan untuk mengakhiri perang yang telah banyak menjadi korban, baik dari pihak Aceh maupun di pihak Belanda.

Belanda melaksanakan suatu tindakan kekerasan melalui pasukan elite yang mereka namakan dengan het korps marechaussee (pasukan marsose). Belanda mengharapkan rakyat atau pejuang Aceh akan takut dan menghentikan perlawananya terhadap Belanda. Pejuang Aceh melakukan suatu cara yang kemudian diistilahkan dengan nama Atjeh moorden (suatu pembunuhan khas Aceh), orang Aceh sendiri menyebutnya dengan poh kaphe (Sudirman, 2012).

Bagi masyarakat Aceh, nilai agama merupakan suatu hal yang sangat penting, sama pentingnya dengan politik, sehingga dapat dijalankan secara bersamaan. Kehidupan masyarakat Aceh senantiasa diilhami dan diwarnai oleh unsur-unsur agama Islam. Hal ini dikarenakan masyarakat Aceh telah berabad-abad lamanya hidup dalam pengaruh ajaran Islam, bahkan dalam keadaan perang pun tetap bernafaskan Islam yang kemudian menjadi pendorong dan motivasi bagi rakyat Aceh bersama para pemimpin agama atau ulama untuk berperang melawan pemerintah kolonial Belanda (Pratiwi, 2007).

Bagi mereka, hanya Islamlah satu-satunya keyakinan yang tidak bisa ditawar kebenarannya pada masa perang dengan Belanda. Akibat mantapnya keyakinan itu, masyarakat Aceh memiliki senjata ampuh untuk menghadapi kekuatan fisik Belanda. Atas dasar keyakinan itulah, orang Aceh menyadari sepenuhnya hak-haknya sebagai manusia yang sama di sisi Allah SWT (Thamrin, 2003).

Baca juga:

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.