Agama Islam

Shalat Idul Adha: Niat, Bacaan Bilal, dan Sejarahnya

Written by Yufi Cantika

Shalat Idul Adha – Bagi Grameds yang beragama Islam, pasti tahu dong akan adanya hari raya Idul Adha yang dilaksanakan setiap tanggal 10 Dzulhijjah di setiap tahunnya. Shalat Idul Adha ini juga berkaitan dengan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS kepada Allah SWT dengan menyembelih anaknya, Nabi Ismail AS. Namun, itu semua adalah ujian Allah SWT yang kemudian ketika proses penyembelihan datang, tiba-tiba Allah SWT mengganti posisi Nabi Ismail AS menjadi domba yang turun dari langit. Itulah asal-usul kewajiban muslim untuk menyembelih hewan kurban terutama setelah melaksanakan shalat Idul Adha ini.

Sama halnya dengan ibadah shalat lain, shalat Idul Adha ini pun juga memiliki niat dan tata cara secara khusus. Meskipun tidak bersifat wajib seperti shalat fardhu, tetapi shalat Idul Adha yang bersifat sunnah muakkad ini sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW dan mengikat. Lagi pula, alasan apa yang sekiranya dapat menghalangi pengerjaan shalat Idul Adha ini kecuali tengah sakit keras atau dalam kondisi tertentu seperti hamil besar dan menyusui?

Pengerjaan shalat Idul Adha akan lebih jika dilakukan secara makmum di masjid terdekat. Selain itu, juga wajib mandi keramas sebersih mungkin karena tujuan kita adalah untuk bertemu Allah SWT. Lantas, bagaimana sih niat shalat Idul Adha itu? Bagaimana bacaan doa bilal pada shalat Idul Adha dan tata caranya? Bagaimana pula sejarah pengorbanan Nabi Ismail AS kepada ayahnya, Nabi Ibrahim AS, untuk disembelih? Nah, supaya Grameds memahami hal-hal tersebut, yuk simak ulasannya berikut ini!

https://setkab.go.id/

Niat Shalat Idul Adha

Perlu diketahui bahwa jumlah rakaat dalam shalat Idul Fitri maupun shalat Idul Adha ini adalah dua rakaat. Namun, meskipun sama-sama mempunyai dua rakaat, tetapi niat sholatnya juga berbeda, baik ketika menjadi sebagai Makmum atau sebagai Imam. Nah berikut adalah niat dari shalat Idul Adha:

Niat Shalat Idul Adha sebagai Makmum

“Ushallii sunnatan liidil adha rok’ataini makmuman lillahi ta’alaa.”

Artinya: “Aku berniat salat Iduladha dua rakaat sebagai makmum karena Allah ta’ala.”

Niat Salat Ied Idul Adha sebagai Imam

“Ushallii sunnatan liidil adha rok’ataini imaaman lillahi ta’alaa.”

Artinya: “Aku berniat salat Iduladha dua rakaat sebagai imam karena Allah ta’ala.”

Bagaimana Bacaan Bilal pada Pelaksanaan Shalat Idul Adha?

https://muslim.co/

Definisi Bacaan Bilal Shalat Idul Adha Secara Singkat

Pada dasarnya, bacaan bilal shalat Idul Adha adalah sebuah bacaan pengantar yang dilakukan seorang bilal atau muadzin sebelum seorang khatib naik ke mimbar untuk menyampaikan khotbahnya pada saat shalat Idul Adha. Namun, tidak semua orang dapat menjadi seorang bilal ya, harus mereka yang memiliki suara jelas, lantang, dan enak didengar saja supaya para jamaah juga akan senang ketika mendengarkannya.

Tidak hanya itu saja, ketika seorang bilal membacakan doa khusus ketika pelaksanaan shalat, harus secara tegas dan penuh semangat. Hal tersebut supaya para jamaah juga akan ikut bersemangat untuk beribadah. Jika pelaksanaan shalat Idul Adha itu diibaratkan sebagai acara, maka sosok bilal adalah MC alias pembawa acaranya. Sehingga bilal haruslah berapi-api untuk menyampaikan bacaannya sebelum khatib naik ke mimbar.

Baik pada shalat Jumat, shalat Idul Fitri, maupun shalat Idul Adha, sosok bilal diharuskan mereka yang memahami bacaan tarqiyyah. Menurut bahasa, istilah “tarqiyyah” ini memiliki definisi sebagai ‘menaikkan’, yang mana dapat diartikan sebagai ‘sebuah awalan sebagai penanda untuk menaikkan sang khatib untuk naik ke mimbar demi menyampaikan khotbahnya’. Tradisi pembacaan tarqiyyah ini sebenarnya adalah bid’ah hasanah (positif) dan sudah ada hukum yang mengaturnya ya…

Yap, pada zaman Nabi dan tiga khalifah setelahnya, memang tidak ada pelaksanaan bacaan bilal ini. Namun, seiring berkembangnya agama Islam, tradisi bacaan bilal ini dilakukan sebab isi kandungan bacaan tarqiyyah juga mengarah pada hal-hal yang positif. Dalam bacaan tarqiyyah ini selalu mencakup mengenai dalil-dalil akan anjuran umum yang mana telah ditegaskan oleh para ulama. Ada beberapa ulama yang menegaskan adanya bacaan bilal ini dapat diterapkan pada pelaksanaan shalat berjamaah yang terdapat kegiatan khotbah.

Tata Cara Pelaksanaan Bilal Shalat Idul Adha

Pada umumnya, terdapat tata cara khusus pada pelaksanaan shalat Idul Adha yang disertai pula dengan bacaan bilal, yakni sebagai berikut:

  1. Ketika imam sudah sampai di masjid, bilal akan segera berdiri untuk memberi aba-aba kepada jamaah bahwa shalat Idul Adha akan segera dimulai, yakni dengan bacaan:

  1. Imam segera menuju ke tempat imam (mihrab), lalu segera niat shalat Idul Adha disertai dengan bacaan takbiratul ihram. Untuk seorang imam, maka bacaan niat shalat Idul Adha adalah:

  1. Setelah bacaan takbiratul ihram, segera lanjutkan dengan doa iftitah. Lalu, mengumandangkan bacaan takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, kemudian 5 kali pada rakaat kedua. Setelah itu, membaca bacaan tasbih di sela-sela takbir, yakni:

  1. Setelah selesai mengumandangkan takbir sebanyak 7 kali, dilanjutkan dengan bacaan ta’awudz (bacaan untuk meminta perlindungan kepada-Nya dari gangguan setan). Lalu, surah Al-Fatihah dan surah-surah yang telah disunnahkan, biasanya adalah surah Qaf atau Al A’la pada rakaat pertama. Sementara surah Al-Qamar atau Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua.
  2. Selesai melaksanakan shalat Idul Adha ini, bilal harus segera berdiri untuk memberikan aba-aba akan dimulainya khotbah. Disusul pula dengan bacaan shalawat sambil menyerahkan tongkat kepada imam. Bacaannya adalah sebagai berikut:

  1. Setelah itu, sang khotib menuju ke mimbar untuk berkhotbah kepada para jamaah.
  2. Kemudian, bilal membaca doa terlebih dahulu. Bacaan doanya adalah sebagai berikut:

  1. Selesai membaca doa, sang khotib mengucapkan salam kemudian duduk. Bacaan salam adalah sebagai berikut:

  1. Lalu, bilal harus mengumandangkan takbir sebanyak 3 kali. Bacaan takbir adalah sebagai berikut:

  1. Kemudian, sang khotib akan melaksanakan khutbah pertamanya. Lalu, setelah selesai, khotib akan duduk sejenak. Disusul bilal membaca shalawat,

  1. Setelah bacaan shalawat sudah selesai, maka sang khotib akan melanjutkan khutbahnya yang kedua hingga selesai.

Sejarah Hari Raya Idul Adha

https://www.globaltimes.cn/

Apabila membicarakan mengenai sejarah dari Hari Idul Adha, maka tentu saja akan berkaitan dengan kisah teladan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS. Yap, kedua nabi tersebut adalah termasuk dalam dua puluh lima Nabi yang wajib diketahui oleh segenap umat Islam. Hari Idul Adha itu merupakan peringatan akan peristiwa kurban, yakni ketika Nabi Ibrahim bersedia untuk mengorbankan putranya, Nabi Ismail. Hal tersebut dilakukan oleh Beliau sebagai bentuk kepatuhannya terhadap perintah Allah SWT.

Diceritakan pada kala itu, Nabi Ibrahim yang telah berusia lanjut (terdapat suatu riwayat yang menyatakan bahwa usia Beliau mencapai 85 tahun) bersama istrinya, Siti Hajar, belum dikaruniai seorang anak. Nabi Ibrahim sangat menginginkan kehadiran seorang anak laki-laki supaya kelak dapat meneruskan perjuangannya dalam menegakkan syiar ajaran Allah SWT di muka bumi ini.

Setiap hari, Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah SWT supaya segera diberikan keturunan. Saking tekunnya Beliau dalam berdoa, doanya diabadikan dalam Al-Quran, yakni pada surah Ash-Shaffat ayat 100:

Artinya: Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.

Nah, melalui doa-doa tersebut akhirnya Allah SWT mewujudkan keinginan Nabi Ibrahim melalui istri keduanya, yakni Siti Hajar. Perlu diketahui bahwa Nabi Ibrahim menikahi Siti Hajar tepat setelah Beliau melakukan kunjungan ke wilayah Mesir.

Selanjutnya, Nabi Ibrahim pun membawa Siti Hajar ke Mekkah untuk tinggal disana. Keduanya melangsungkan pernikahan dan beberapa saat setelah itu, Siti Hajar mengandung hingga lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Ismail. Peristiwa akan lahirnya anak laki-laki Nabi Ibrahim ini juga dituliskan dalam Al-Quran, yakni pada surah Ash-Shaffat ayat 101.

Artinya: Maka Kami beri dia khabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar (bernama Ismail).

Sayangnya, kebersamaan Nabi Ibrahim dengan anak dan istrinya tidak dapat dirasakan dalam waktu yang lama. Sebab, Allah SWT memerintahkan Beliau untuk segera kembali ke istri pertamanya, yakni Siti Sarah di kota Yerusalem. Namun, meskipun begitu, Nabi Ibrahim dan Siti Hajar tetap ikhlas dan tawakal dalam menerima perintah-Nya. Bahkan, Allah SWT juga mengabadikan peristiwa tersebut ke dalam Al-Quran, yakni pada QS Ibrahim ayat 37.

Artinya:

“Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezeki lah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”

Nabi Ibrahim tentu saja sangat berat hati dan sedih karena harus meninggalkan Siti Hajar dan Ismail yang kala itu masih menyusui, di daerah Mekkah. Beliau tidak langsung meninggalkan mereka begitu saja, tetapi melakukan persiapan dengan membekali istri dan anaknya dengan beberapa potong roti dan sebuah air di guci untuk diminum.

Selama ditinggal oleh suaminya, Siti Hajar mengalami banyak sekali cobaan, salah satunya adalah kesulitan untuk menemukan sumber air minum yang layak untuk anaknya. Bahkan, pencariannya akan sumber air minum tersebut dilakukannya dengan cara berjalan cepat sebanyak tujuh kali, dari Shafa ke Marwah.

Nah, peristiwa akan pencarian sumber mata air itulah yang kemudian “diabadikan” dalam proses ibadah Sa’I yang menjadi salah satu rukun ibadah Haji, yakni dengan lari-lari kecil dari Shafa ke Marwah. Perlu Grameds ketahui bahwa sumber mata air yang ditemukan oleh Siti Hajar tersebut menjadi sumber air abadi yang kemudian dinamakan sebagai zam-zam.

Setelah beberapa tahun kemudian, akhirnya Nabi Ibrahim kembali lagi ke Mekah untuk menemui Siti Hajar dan Ismail. Nabi Ibrahim tentu saja bahagia, apalagi Ismail sudah tumbuh menjadi anak yang sehat (dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa pada saat itu usia Ismail kira-kira 6-7 tahun). Namun, belum lama menikmati pertemuannya dengan keluarga tercintanya, Allah SWT memberikan ujian lagi kepada Nabi Ibrahim.

Pada saat itu, melalui mimpi, Allah SWT memberikan perintah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih putranya, Ismail. Hal tersebut tentu saja membuat Nabi Ibrahim bimbang, karena itu merupakan perintah langsung dari Allah SWT, tetapi di sisi lain, Beliau juga sangat sayang kepada anaknya tersebut. Kemudian, dengan sekuat hati, akhirnya Nabi Ibrahim memberanikan diri untuk mengajak bicara dengan Ismail bahwa dirinya harus menyembelih anaknya tersebut.

Jawaban Ismail membuat Nabi Ibrahim kaget, sebab puteranya ternyata bersedia untuk dijadikan kurban sebagaimana perintah dari Allah SWT. Akhirnya, waktu untuk menyembelih Ismail pun datang. Awalnya, Nabi Ibrahim sangat ragu untuk mengarahkan pisau kepada anaknya. Kemudian, Ismail berkata “Wahai Ayahku! Laksanakanlah apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepadamu. Engkau akan menemuiku insyaAllah sebagai seorang yang sabar dan patuh kepada perintah Allah SWT…”

Hal tersebut membuat Nabi Ibrahim bersedih sekaligus bersyukur, dan seraya berkata “Bahagialah aku mempunyai seorang putra yang taat kepada Allah SWT, bakti kepada kedua orang tua dengan ikhlas hati menyerahkan dirinya untuk melaksanakan perintah Allah SWT…”

Lalu, ketika prosesi penyembelihan tiba, diikatkanlah kedua tangan dan kaki Ismail di atas lantai. Lalu Nabi Ibrahim dengan memejamkan matanya, memegang pisau (parang)nya ke arah leher Nabi Ismail dan penyembelihan pun dilakukan. Namun, Allah SWT langsung mengganti posisi Nabi Ismail tersebut dengan domba yang diturunkan dari langit. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran yakni pada QS As-Shaffat ayat 107-110.

Artinya: “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (As-Saffat: 107)

Artinya: Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (As-Saffat: 108)

Artinya: (yaitu)”Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim”. (As-Saffat: 109)

Artinya: Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. (As-Saffat: 110)

Nah, melalui peristiwa penyembelihan Nabi Ismail yang kemudian digantikan menjadi hewan domba oleh Allah SWT itulah yang menjadikan sejarah dari Hari Raya Idul Adha. Tidak hanya itu, melalui peristiwa hidup yang dialami oleh Nabi Ibrahim beserta keluarganya juga menjadikan lahirnya Kota Makkah dan Ka’bah sebagai kiblat umat muslim di seluruh dunia beserta dengan keberadaan air zam-zam yang tidak pernah kering sejak ribuan tahun silam. Secara tidak langsung, keberadaan air zam-zam dan ibadah sa’I juga menjadi tonggak perjuangan dari seorang wanita yang sabar dan tabah, yakni Siti Hajar.

Hal-Hal Mengenai Penyembelihan Hewan Kurban Setelah Shalat Idul Adha

https://hewanpedia.com/

1. Disyariatkan Bagi Setiap Keluarga

Dalam hal ini mengacu pada sebuah hadis. Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa’i dari hadis Mikhna bin Salim, bahwa dia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda: “Wahai sekalian manusia atas semua keluarga pada setiap tahun wajib ada sembelihan (udhiyah).”

2. Kurban Paling Sedikit Adalah Seekor Kambing

Hal ini berdasarkan pada hadis Al-Mahally yakni “unta dan sapi cukup untuk tujuh orang. Sedangkan seekor kambing mencukupi untuk satu orang.”

3. Waktu Penyembelihan Kurban Adalah Setelah Melaksanakan Shalat Ied Idul Adha

Hal ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang bersabda: “Barangsiapa menyembelih sebelum shalat, hendaklah menyembelih sekali lagi sebagai gantinya, dan siapa yang belum menyembelih hingga kami selesai salat, maka menyembelihlah dengan Bismillah.”

4. Sembelihan Terbaik Adalah yang Paling Gemuk

Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Rafi’ yang bersabda: “Bahwa Nabi Muhammad SAW bila berkurban, Beliau membeli dua gibas (kambing) yang gemuk.”

5. Umur Kambing Harus Kurang Dari Satu Tahun

Hal ini berdasarkan pada hadits Jabir dalam riwayat Muslim, yang berkata, Bersabda Rasulullah: “Janganlah engkau menyembelih melainkan musinnah (kambing yang telah berumur dua tahun) kecuali bila kesulitan maka sembelihlah Jadzu (kambing yang telah berumur satu tahun.)

6. Tidak Mencukupi Selain dari Ma’zun

Ma’zun adalah sejenis kambing yang kurang dari dua tahun. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Burdah dalam shahihain dan lainnya, yang berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai hewan ternak ma’zun jadz’u. Lalu Beliau berkata: Sembelihlah, dan tidak boleh untuk selain mu…”

7. Hewan Kurban Tidak boleh Sakit dan Cacat

Dalam hal ini, hewan kurban tidak boleh buta sebelah, sakit, pincang, kurus, hingga hilang setengah tanduk atau telinganya. Berdasarkan pada hadits Al-Barra yang berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Empat yang tidak diperbolehkan dalam berkurban,  (hewan kurban) buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas bengkoknya dan tidak sanggup berjalan, dan yang tidak mempunyai lemak (kurus)”.

8. Bersedekah dari Udhiyah, Memakan, dan Menyimpan Dagingnya

Berdasarkan hadits Aisyah RA “Bahwa Nabi saw bersabda Makanlah, simpanlah dan bersedekahlah”

9. Menyembelih di Mushalla

Tepatnya di lapangan yang digunakan untuk salat ied, adalah hal utama. Untuk menampakkan syi’ar agama, berdasarkan hadits Ibnu Umar dari Nabi saw: Bahwa beliau menyembelih dan berkurban di Mushola”. 

10. Bagi Pemilik Hewan Kurban, Tidak Diperbolehkan Untuk Memotong Rambut dan Kukunya

Larangan tersebut tepatnya dilakukan setelah masuknya 10 Dzulhijjah hingga waktu dia berkurban. Berdasarkan hadits Ummu Salamah, bahwa RA bersabda.”Apabila engkau melihat bulan Dzulhijjah dan salah seorang kalian hendak berkurban, maka hendaklah dia menahan diri dari rambut dan kukunya”.

Baca Juga!

About the author

Yufi Cantika

Saya Yufi Cantika Sukma Ilahiah dan biasa dipanggil dengan nama Yufi. Saya senang menulis karena dengan menulis wawasan saya bertambah. Saya suka dengan tema agama Islam dan juga quotes.

Kontak media sosial Linkedin Yufi Cantika