Sosial Budaya

6 Rumah Adat Sumatra Selatan dan Ragam Filosofi di Baliknya

Rumah Adat Sumatra Selatan
Written by Umam

Rumah Adat Sumatra Selatan – Sumatra Selatan merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang berada di bagian selatan Pulau Sumatra. Ibu kota dari provinsi ini adalah Kota Palembang. Berdasarkan sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, penduduk yang berada di provinsi tersebut berjumlah sekitar 8.550.849 jiwa.

Rumah Adat Sumatra Selatan

Lintas rel terpadu (LRT) Sumatra Selatan yang melintas di Jembatan Ampera (Herusutimbul/Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International).

Berdasarkan letak geografisnya, Sumatra Selatan berbatasan dengan Provinsi Jambi di bagian utara, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung di bagian timur, Provinsi Lampung di bagian selatan, dan Provinsi Bengkulu di bagian barat.

Provinsi tersebut memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA), yaitu gas alam, minyak bumi, dan batu bara. Palembang yang menjadi ibu kota provinsi Sumatra Selatan di sisi lain telah dikenal sejak dahulu dikarenakan menjadi pusat dari Kedatuan Sriwijaya.

Rumah Adat Sumatra Selatan

Pakaian adat masyarakat Melayu-Palembang ketika melakukan pernikahan (Portal Informasi Indonesia/Public domain in Indonesia).

Masyarakat Sumatra Selatan mempunyai keanekaragaman kelompok budaya dan etnis, yang secara umum dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu etnis pribumi dan pendatang.

Etnis pribumi berada dalam suatu term kolektif “Melayu Palembang” yang dapat dibagi lagi menjadi dua subkelompok, yaitu orang Iliran dan orang Uluan. Semua etnis hidup beriringan secara damai di Sumatra Selatan, bahkan tidak pernah terjadi konflik antaretnis maupun umat beragama.

Sama halnya dengan beberapa provinsi lainnya, Sumatra Selatan juga memiliki beberapa rumah adat. Apakah kamu sudah mengetahui daftar rumah adat Sumatra Selatan? Tenang, tak perlu bingung mencari informasinya karena daftar rumah adat Sumatra Selatan akan dibahas di artikel berikut ini. Jadi, tetap simak artikel ini sampai selesai.

Daftar Rumah Adat Masyarakat Sumatra Selatan

Masyarakat yang berada di Sumatra Selatan juga memiliki rumah adat dengan beragam nilai sejarah dan filosofi. Rumah-rumah adat itu masing-masing memiliki keunikan tersendiri.

Bentuk dan fungsi rumah adat itu secara umum relatif berbeda dengan rumah adat yang berada di daerah lain. Hal tersebut dikarenakan kondisi geografis Sumatra Selatan mayoritas berupa sungai, rawa, dan perairan.

1. Rumah Cara Gudang

Rumah Adat Sumatra Selatan

Rumah cara gudang (Perpustakaan Digital Budaya Indonesia/Public domain in Indonesia).

Berdasarkan asal-usul sejarahnya, rumah tradisional masyarakat Palembang yang pertama kali adalah rumah rakit. Hal tersebut dikarenakan wilayah Palembang sejak dahulu merupakan daerah periairan dan rawa-rawa.

Palembang mempunyai banyak sungai yang induknya berada di Sungai Musi. Sungai itu dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar sebagai jalur transportasi antarsesama penduduk.

Saat itu, masyarakat Palembang yang tinggal di rumah rakit merupakan seorang penguasa atau orang yang dihormati. Para penguasa itu mendirikan rumah di daerah daratan dan di tepian sungai. Bentuk rumah yang dibangun oleh para penguasa tersebut adalah berbentuk atap limas dan lantai rumahnya mempunyai perbedaan kekijing atau ketinggian lantai.

Perbedaan ketinggian lantai bangunan itu muncul dikarebakan munculnya filosofi mikro-makro kosmos, yang memberikan pengertian mengenai penguasaan atau adanya perbedaan kedudukan di dalam masyarakat.

Lantai yang tinggi merupakan bagian yang mereka hormati. Perkembangan pembangunan di sekitar wilayah Palembang lantas membuatnya menjadi kota perdagangan. Sementara itu, muncul suatu pemahaman atau aliran baru yang menentang filosofi mikro-makro kosmos.

Penentangan pemahaman itu disebabkan karena mereka tidak setuju dengan adanya perbedaan kekuasaan dalam masyarakat. Bagi mereka, masyarakat dari berbagai lapisan dapat menghuni wilayah tepian sungai.

Pertentangan itu tidak hanya mengenai tempat tinggal saja, tetapi juga dalam hal arsitektur rumah limas. Konsep mikro-makro kosmos dalam rumah limas lantas turut diubah dengan filosofi baru, yaitu ketuhanan yang maha esa.

Konsep itu diwujudkan dengan pembangunan rumah limas tanpa bengkilas yang memiliki makna jika derajat semua manusia sama di mata Tuhan.

Kemunculan rumah limas tanpa bengkilas tidak hanya sampai di situ saja. Saat itu, masyarakat banyak yang merasa tidak cukup mampu untuk mendirikan rumah berbentuk limas dikarenakan biayanya sangat mahal dan pembuatan atapnya juga cukup rumit.

Hal ini memunculkan ide bangunan baru, yaitu rumah berbentuk panggung dengan corak polos atau kotak persegi panjang, yang didirikan di atas tonggak kayu. Rumah itu disebut dengan rumah cara gudang atau sering kali disebut rumah gudang karena bentuk dan cara pembangunannya sederhana.

Rumah gudang awalnya muncul setelah era kolonial. Rumah itu lebih digemari oleh masyarakat yang berada di sekitar perairan Sungai Musi karena lebih efisien dari segi perawatan dan tidak memiliki kriteria tertentu mengenai bentuknya.

Rumah gudang tidak berkijing atau bertingkat seperti halnya rumah limas, meskipun sama-sama berbentuk panggung. Perbedaan lainnya dengan rumah limas terletak di lantainya, yaitu tidak mempunyai undak-undakan (tingkatan).

Pada dasarnya, bentuk rumah gudang lebih dipengaruhi oleh keinginan para pemiliknya sendiri, demikian pula dengan keperluan tata letak dan ruangan bangunannya. Rumah ini umumnya menggunakan material bangunan dari kayu dan berdiri di atas tiang-tiang kayu pancang.

Hal tersebut bertujuan untuk mengantisipasi pasang surutnya air sungai supaya tidak memasuki rumah. Inilah yang membuat rumah ini lebih sering dijumpai di permukiman masyarakat pinggir sungai.

Selain digunakan untuk tempat tinggal, rumah tersebut biasanya juga dipakai untuk menyimpan barang dagangan.

Material yang dipakai untuk mendirikan rumah ini juga kayu-kayu dengan kualitas yang baik, yaitu tembesu dan merawan. Pembagian ruangannya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang.

Ruang depan terdiri atas beranda yang berfungsi sebagai tempat beristirahat, berkumpulnya para anggota keluarga, dan tempat pelaksanaan kenduri. Selanjutnya, ruang tengah berfungsi untuk menerima tamu undangan.

Bagi tamu yang dipandang terhormat atau berusia lebih tua, akan ditempatkan di sisi dinding bagian dalam dari ruangan tersebut.

Sementara itu, ruang belakang dari rumah ini terdiri atas ruang dalam, kamar, dan dapur. Kamar ini diperuntukkan untuk kepala keluarga sebelum memiliki anak wanita yang dewasa. Namun, jika anak wanitanya sudah dewasa, kamar tersebut akan ditempati oleh anak wanita itu tersebut.

Pemikiran sebagian masyarakat yang kian berkembang menyebabkan pembuatan rumah gudang tidak lagi harus mengikuti tradisi lama bangunan tradisional di Palembang.

Pendirian rumah tradisional yang menjorok ke arah sungai memang menjadi suatu kebiasaan masyarakat setempat, yang lama-kelamaan menjadi mitos. Sebagian masyarakat sampai saat ini masih ada yang tetap melaksanakan tradisi lama hanya untuk menghormatinya saja.

Konsep bangunan mengarah ke arah sungai dibuat hanya untuk mengikuti orientasi bangunan rumah tinggalnya ke arah sungai, sedangkan sebagian masyarakat beranggapan jika air merupakan sumber kehidupan.

Seiring laju perkembangan zaman, pemikiran tradisional itu tidak lagi terlalu dihiraukan masyarakat. Saat ini, masyarakat Palembang banyak yang mengorientasikan bangunannya ke arah daratan.

2. Rumah Limas

Rumah Adat Sumatra Selatan

Rumah limas (Fernando Tri Tanjung/Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International).

Rumah limas merupakan purwarupa rumah tradisional Sumatra Selatan yang ditandai dengan atapnya berbentuk limas. Nama lain dari rumah ini adalah rumah bari. Rumah tersebut di Malaysia banyak dijumpai di wilayah Selangor, Johor, dan Terengganu.

Rumah itu mempunyai lantai bertingkat yang sering disebut dengan bengkilas. Rumah ini hanya dipakai untuk kepentingan keluarga saja, misalnya hajatan. Para tamu akan diterima di bagian teras atau lantai kedua.

Konstruksi rumah limas adalah berbentuk panggung, sedangkan bermacam-macam ragam hiasnya memperlihatkan identitas adat masyarakat setempat.

Mayoritas rumah limas memiliki luas mencapai 400–1.000 meter2, yang dibangun di atas tiang-tiang kayu unglen atau ulin yang kuat dan tahan air. Sementara itu, konstruksi pintu, dinding, dan lantainya umumnya menggunakan kayu tembesu, sedangkan rangkanya menggunakan kayu seru.

Rumah limas mempunyai banyak jendela berukuran besar dan tiap dinding maupun pintunya diberikan ukiran. Pembangunannya selalu menghadap ke arah barat dan timur, sesuai dengan filosofi matahari terbit dan terbenam. Setiap tingkatan dari rumah ini juga memiliki filosofi tradisional tersendiri, yaitu umur, jenis kelamin, keahlian, pangkat, dan derajat.

3. Rumah Ulu

Rumah Adat Sumatra Selatan

Rumah ulu (Rochelimit/Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International).

Rumah ulu merupakan purwarupa rumah tradisional Sumatra Selatan yang berasal dari dataran tinggi Besemah di sebelah barat dan menyebar hingga ke arah timur dataran rendah permukiman sepanjang Sungai Ogan. Rumah ini berbentuk panggung dengan atap curam dan dinding kotak. Rumah tersebut umumnya digunakan oleh masyarakat yang tinggal di sekitar hulu Sungai Musi.

Secara etimologis, ulu berasal dari kata “uluan” yang memiliki pengertian perdesaan. Uluan juga dipakai sebagai penyebutan bagi masyarakat yang tinggal di permukiman bagian hulu Sungai Musi. Secara umum, rumah ini memiliki bentuk dasar denah segi empat yang terdiri atas garang di bagian paling depan.

Bagian tengahnya terdiri atas sengkar atas dan sengkar bawah. Selain itu, rumah ini juga memiliki suatu plafond, tetapi hanya di sebagian ruangan yang disebut dengan pagu hantu. Pagu hantu berfungsi sebagai tempat penyimpanan bahan makanan dan barang-barang pemiliknya.

4. Rumah Rakit

Rumah Adat Sumatra Selatan

Rumah Rakit di Surulangun, Rawas Ulu, Musi Rawas Utara sekitar tahun 1877–1879 (Daniël David Veth via Tropenmuseum/Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported).

Rumah rakit merupakan purwarupa rumah tradisional tertua di Sumatra Selatan. Eksistensinya diperkirakan sudah ada sejak zaman Kedatuan Sriwijaya.

Rumah tersebut dibangun di atas rakit dan mengapung di sepanjang aliran Sungai Ogan, Sungai Musi, dan Sungai Komering. Rumah ini harus diikat ke sebuah serdang (penambat) agar tidak hanyut terbawa arus.

5. Rumah Kilapan

Rumah Adat Sumatra Selatan

Rumah kilapan (Perpustakaan Digital Budaya Indonesia/Public domain in Indonesia).

Rumah kilapan merupakan purwarupa rumah tradisional Sumatra Selatan yang tidak memiliki ukiran di dindingnya, tetapi cukup dilicinkan atau dihaluskan dengan menggunakan ketam dan sugu. Rumah tersebut termasuk sebagai rumah panggung dengan tinggi sekitar 1,5 meter.

Namun, tiang-tiang yang digunakan sebagai penyangga rumah tidak ditanam ke dalam tanah seperti halnya rumah limas.

Tiang-tiang itu hanya didirikan di atas tanah dan diperkuat dengan baru-baru. Tiang seperti ini disebut dengan tiang duduk.

Susunan ruang dari rumah kilapan sama seperti rumah tatahan. Ruangannya terdiri atas ruang depan, ruang sengkar atas, dan ruang bawah.

6. Rumah Ghumah Baghi

Rumah Adat Sumatra Selatan

Rumah baghi besemah yang berada di kaki Gunung Dempo (Afrinaldi Zulhen/Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International).

Rumah ghumah baghi atau disebut dengan rumah baghi dan rumah ghumah tatahan merupakan purwarupa rumah tradisional Sumatra Selatan yang dibangun oleh suku Besemah (atau sering disebut dengan Pasemah).

Secara etimologis, ghumah dalam bahasa Indonesia berarti “rumah”, sedangkan baghi (dibaca: bari) berarti “tua”. Selain diartikan sebagai rumah lama, tua, dan kuno, ghumah baghi juga dapat diartikan sebagai “rumah peninggalan zaman dahulu kala”.


Itulah artikel terkait “Rumah Adat Sumatra Selatan” yang dapat kalian gunakan sebagai referensi. Jika ada saran, pertanyaan, dan kritik, silakan tulis di kotak komentar bawah ini. Bagikan juga tulisan ini di akun media sosial supaya teman-teman kalian juga bisa mendapatkan manfaat yang sama.

Untuk mendapatkan lebih banyak informasi, Grameds juga bisa membaca buku yang tersedia di Gramedia.com. Sebagai #SahabatTanpaBatas kami selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik. Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan dan pengetahuan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca. Semoga bermanfaat!

Rujukan

Buku

  • Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (2014). Buku Panduan Penetapan Warisan Budaya Takbenda Indonesia Tahun 2014. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  • Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (2018). Katalog Warisan Budaya Takbenda Indonesia 2018. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  • Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (2015). Panduan Pencatatan, Penetapan, dan Pengusulan Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.
  • Mancacaritadipura, Gaura; Wirakartakusumah, Daryl Neng (2019). Warisan Budaya Takbenda dan Pembangunan Berkelanjutan. Jakarta: Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia.

Situs website

  • “Filosofi di Balik Uniknya Rumah Limas Sumatra Selatan”. Portal Informasi Indonesia.  Diakses pada 23 Februari 2023.
  • “Rumah Adat Sumatra Selatan”. Pesona Indonesia. Diakses pada 23 Februari 2023.
  • “Rumah Cara Gudang”. Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Diakses pada 23 Februari 2023.
  • “Rumah Limas Khas Palembang”. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia. Diakses pada 23 Februari 2023.

Rekomendasi Buku dan E-Book terkait Sumatra Selatan

1. Seri Tenun Nusantara: Songket Palembang Warisan Sriwijaya yang Memesona

button rahmadTenun sebagai produk kebudayaan menyimpan sejarah migrasi manusia karena menyimpan jejak pengetahuan hingga asal-usul yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Layaknya bahasa, motif kain tenun yang diwariskan secara turun-temurun menunjukkan kekerabatan, bahkan asal-usul populasi.

Songket Palembang yang akan dibahas di dalam buku ini sering juga disebut dengan “ratu segala kain”. Sebutan ini memang tidak berlebihan karena keindahan dan kemewahan kain tenun tersebut tak disangkal lagi, memang sungguh luar biasa. Wajar saja jika banyak orang jatuh hati kepada Songket Palembang ini.

Konon, songket berasal dari bahasa Palembang, yaitu kata songsong dan teket, yang berarti “songsong” dan “sulam” secara berurutan. Istilah ini merujuk kepada cara penenunan songket. Ada juga yang mengatakan bahwa songket berasal dari bahasa Melayu, yaitu sungkit yang berarti “mengait” atau “mencungkil”. Kata ini diambil dari metode yang digunakan untuk menenun songket. Berdasarkan catatan sejarah, songket adalah peninggalan Kedatuan Sriwijaya yang saat itu beribu kota di Palembang, meskipun terdapat perbedaan mengenai asal-usul namanya.

2. Pertempuran Palembang: Pertempuran Lima Hari Lima Malam 1947

button rahmadPasca kekalahan Jepang, dan mendaratnya pasukan Sekutu di Indonesia, Belanda diketahui kemudian berupaya menguasai Indonesia dengan merebut kembali kekuasaan-kekuasaan ekonomi yang mereka kuasai sebelum Perang Dunia II. Cara-cara militer ini kemudian menjadi metode umum Belanda dalam upayanya menguasai kembali Hindia Belanda yang telah menjadi Indonesia. Pada masa ini, Palembang mengalami suatu periode yang lazim disebut sebagai masa revolusi. Selama periode pertama antara tahun 1945 hingga 1947, di Palembang terjadi berbagai peristiwa menarik.

Peristiwa-peristiwa tersebut antara lain terkait dengan pembentukan pemerintahan daerah, badan militer termasuk berbagai organisasi sipil, hingga perseteruan Pemerintahan Republik Indonesia di Palembang dengan pihak militer Jepang, Sekutu, dan Belanda. Puncak dari rangkaian konflik di Palembang pada fase ini adalah peristiwa Pertempuran Lima Hari Lima Malam, yaitu pertempuran antara militer Indonesia dengan militer Belanda yang berusaha menduduki Palembang. Pertempuran yang bukan hanya menjadi ajang perebutan hegemoni wilayah secara militer, tetapi juga sarat dengan muatan politik dan ekonomi.

Secara umum, pertempuran ini memang menguntungkan pihak Belanda yang unggul dalam persenjataan. Pertempuran ini kemudian diakhiri dengan gencatan senjata yang mengharuskan pihak militer Indonesia mundur sejauh 20 kilometer dari Kota Palembang. Hasil pertandingan ini sebenarnya disayangkan oleh kalangan tentara yang merasa masih sanggup bertempur. Namun, kebijakan ini diambiI untuk menghindari jatuhnya lebih banyak korban dan memberikan waktu untuk memulihkan kekuatan militer.

Buku ini mencoba untuk membuka rangkaian peristiwa terkait revolusi yang terjadi di Palembang antara tahun 1945–1947. Dua tahun, sebagai periode yang krusial dalam proses pembentukan kekuatan politik, ekonomi, dan militer di Palembang.

BACA JUGA:

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.