Penelitian

Pengertian Rawa dan Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa

Pengertian dan Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa
Written by Qotrun A

Rawa adalah lahan genangan air secara ilmiah yang terjadi terus-menerus atau musiman akibat drainase yang terhambat serta mempunyai ciri-ciri khusus secara fisika, kimiawi dan biologis. Rawa-rawa yang berada di Indonesia biasanya terdapat di hutan. Umumnya, rawa dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu rawa air tawar yang dapat ditemukan di pedalaman hutan dan rawa air asin yang berada di sepanjang wilayah pantai.

Definisi lain dari rawa adalah semua macam tanah berlumpur yang terbuat secara alami atau buatan manusia dengan mencampurkan air tawar dan air laut, secara permanen atau sementara, termasuk daerah laut yang dalam airnya kurang dari 6 meter pada saat air surut, yakni rawa dan tanah pasang surut.

Rawa-rawa yang penuh nutrisi adalah gudang harta ekologis untuk kehidupan berbagai macam makhluk hidup. Rawa-rawa juga disebut “pembersih alamiah”, karena rawa-rawa itu berfungsi untuk mencegah polusi atau pencemaran lingkungan alam. Dengan alasan itu, rawa-rawa memiliki nilai tinggi dalam segi ekonomi, budaya, lingkungan hidup dan lain-lain, sehingga lingkungan rawa harus tetap dijaga kelestariannya.

Pengertian Rawa

Lahan rawa adalah lahan darat yang tergenang secara periodik atau terus-menerus secara alami dalam waktu lama karena drainase yang terhambat. Meskipun dalam keadaan tergenang, lahan ini tetap ditumbuhi oleh tumbuhan. Lahan ini dapat dibedakan dari danau karena danau tergenang sepanjang tahun, genangannya lebih dalam, dan tidak ditumbuhi oleh tanaman, kecuali tumbuhan air.

Genangan lahan rawa dapat disebabkan oleh pasangnya air laut, genangan air hujan, atau luapan air sungai. Berdasarkan penyebab genangannya, lahan rawa dibagi menjadi tiga, yaitu rawa pasang surut, rawa lebak, dan rawa lebak peralihan.

Lahan rawa gambut di sisi lain merupakan salah satu sumber daya alam yang mempunyai potensi cukup baik untuk
pengembangan budidaya pertanian. Namun, pengelolaannya harus dilakukan secara bijak agar kelestarian sumber daya alam ini dapat dipertahankan. Dengan mengenal tipe lahan rawa gambut, akan dapat dibuat perencanaan yang lebih baik dalam mengelola lahan secara bijaksana.

1. Rawa Pasang Surut

Rawa pasang surut merupakan lahan rawa yang genangannya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut. Tingginya air pasang dibedakan menjadi dua, yaitu pasang besar dan pasang kecil. Pasang kecil terjadi secara harian (1-2 kali sehari).

Berdasarkan pola genangannya (jangkauan air pasangnya), lahan pasang surut dibagi menjadi empat tipe, yaitu:

  • Tipe A, tergenang pada waktu pasang besar dan pasang kecil.
  • Tipe B, tergenang hanya pada pasang besar.
  • Tipe C, tidak tergenang tetapi kedalaman air tanah pada waktu pasang kurang dari 50 sentimeter.
  • Tipe D, tidak tergenang pada waktu pasang air tanah lebih dari 50 sentimeter, tetapi pasang surutnya air masih terasa atau tampak di saluran tersier.

Menurut Alihamsyah (2004), luas lahan pasang surut berdasarkan tipologi, yaitu lahan gambut kurang lebih 10.890.000 ha (54,26%), lahan sulfat masam 6.670.000 ha (33,24 %), lahan potensial 2.070.000 ha (10,31%), dan salin 440.000 ha (2,19%). Adapun lahan lebak adalah lebak tengahan kurang lebih 6.075.000 ha (44,77%), lebak dangkal 4.186.000 ha (30,84%), dan lebak dalam 3.308.000 ha (24,39%).

Lahan pasang surut yang potensial diusahakan untuk usaha pertanian adalah kurang lebih 9,5 juta hektar. Luasan
tersebut tersebar di tiga pulau, yaitu terluas di Sumatra sekitar 3,9 juta hektar, di Papua 2,8 juta hektar dan di Kalimantan 2,7 juta hektar.

Total lahan pasang surut yang telah diusahakan, baik direklamasi oleh penduduk lokal maupun oleh pemerintah melalui program transmigrasi kurang lebih baru 4,1 juta hektare. Dengan demikian, dari total potensi lahan pasang surut yang tersedia, baru sekitar 44% saja yang telah diusahakan. Sisanya sekitar 56% atau 5,4 juta hektare belum diusahakan. Angka ini menunjukkan potensi luasan yang cukup besar, sehingga dibutuhkan upaya untuk dapat memanfaatkan lahan ini sebagai sumber produksi pertanian.

Dari total luas yang telah direklamasi tersebut, sekitar 3 juta hektare direklamasi oleh penduduk lokal dan sisanya 1,1 juta hektare direklamasi oleh pemerintah melalui program transmigrasi. Dari total luasan yang direklamasi oleh
penduduk lokal, Provinsi Riau menduduki urutan teratas, yaitu hampir 1.000.000 hektare. Posisi kedua adalah Sumatra Selatan, disusul Jambi dan Kalteng dengan rata-rata lebih dari 500.000 hektare, selanjutnya Kalimantan Barat sekitar 240.000 hektare, dan provinsi lainnya kurang dari 100.000 hektare.

Dari total luas yang telah direklamasi oleh pemerintah, peruntukan terluas adalah untuk sawah sekitar 57%, tegalan dan kebun sekitar 19%, dan sisanya untuk perumahan, fasilitas umum dan sebagainya. Provinsi terluas peruntukan sawahnya adalah Sumatra Selatan, yaitu hampir 200.000 hektare, disusul Kalimantan Tengah lebih dari 150.000 hektare lebih, Kalimantan Selatan 100.000 hektare lebih, dan provinsi lainnya rata-rata di bawah 100.000 hektare.

2. Rawa Lebak

Rawa lebak adalah lahan rawa yang genangannya terjadi karena luapan air sungai dan atau air hujan di daerah cekungan di pedalaman. Oleh sebab itu, genangan umumnya terjadi pada musim hujan dan menyusut atau hilang pada musim kemarau.

Rawa lebak dibagi menjadi tiga tipe, yaitu:

  • Lebak dangkal atau lebak pematang, yaitu rawa lebak dengan genangan air kurang dari 50 sentimeter. Lahan ini biasanya terletak di sepanjang tanggul sungai dengan lama genangan kurang dari 3 bulan.
  • Lebak tengahan, yaitu lebak dengan kedalaman genangan 50-100 sentimeter. Genangan biasanya terjadi selama 3-6 bulan.
  • Lebak dalam, yaitu lebak dengan genagan air lebih dari 100 sentimeter. Lahan ini biasanya terletak di sebelah dalam menjauhi sungai dengan lama genangan lebih dari 6 bulan.

3. Rawa Lebak Peralihan

Lahan rawa lebak yang pasang surutnya air laut masih terasa di saluran primer atau di sungai disebut rawa lebak peralihan. Pada lahan seperti ini, endapan laut yang dicirikan oleh adanya lapisan pirit, biasanya terdapat di kedalaman 80-120 sentimeter di bawah permukaan tanah.

Lahan Rawa Potensial

Lahan rawa potensial merupakan rawa yang  tidak memiliki lapisan tanah gambut dan tidak memiliki lapisan pirit (kadarnya <0,75%), atau memiliki lapisan pirit di kedalaman lebih dari 50 sentimeter disebut sebagai lahan rawa potensial. Lahan ini merupakan rawa paling subur dan potensial untuk pertanian.

Tanah yang mendominasi lahan rawa tersebut adalah tanah aluvial hasil pengendapan yang dibawa oleh air hujan, air sungai, atau air laut. Lahan rawa yang tidak memiliki tanah gambut dan kedalaman lapisan piritnya kurang dari 50 sentimeter disebut sebagai lahan aluvial bersulfida dangkal atau sering disebut lahan sulfat masam potensial.

Teknologi Pengelolaan Lahan Rawa

Hasil-hasil penelitian berupa komponen teknologi dalam upaya pengembangan lahan rawa telah banyak dihasilkan baik oleh Badan Litbang Pertanian maupun oleh pihak lain seperti Universitas. Badan Litbang Pertanian sendiri telah memulai penelitian mengenai lahan ini sejak pertengahan tahun 1980-an.

Hasil penelitian tersebut baru berupa komponen teknologi seperti, teknologi pengelolaan tanah dan air, varietas khususnya untuk tanaman padi unggul adaptif, pengelolaan bahan amiliorasi maupun pemupukan menurut status hara tanah dan tipologi lahan, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), serta pengelolaan panen dan pasca panen. Adapun teknologi produksi berupa paket teknologi, yaitu integrasi beberapa komponen yang siap untuk didiseminasikan atau dikembangkan belum banyak dilakukan kajian.

1. Lahan Pasang Surut

Menurut Widjaya Adhi dan Alihamsyah (1998), sistem tata air yang direkomendasikan untuk pengelolaan lahan pasang surut ini adalah sistem aliran satu arah menggunakan flap-gate untuk lahan bertipe luapan A dan sistem tabat (bendung) menggunakan stop-log untuk lahan bertipe luapan C dan D. Hal ini karena sumber air kedua tipe lahan ini berasal dari air hujan.

Sistem ini diperlukan agar aliran air menjadi terhambat, sehingga kelembaban tanah suatu kawasan dapat dipertahankan, sedangkan untuk lahan dengan tipe luapan B disarankan dengan menggunakan kombinasi sistem aliran satu arah dan tabat.

Keberhasilan pengembangan suatu komoditas sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ketersediaan benih. Menurut Khairullah dan Sulaeman (2002), varietas padi yang telah beradaptasi, baik terhadap lingkungan biofisik
maupun selera konsumen (khususnya rasa dan berdaya hasil tinggi), adalah varietas Margasari dan Martapura. Selain itu, masih terdapat galur harapan yang dapat dilepas dalam waktu dekat menjadi varietas. Dengan pengelolaan yang baik, potensi produksi padi lahan ini dapat mencapai 5 t/ha.

Selain padi, tanaman yang cocok diusahakan di lahan ini adalah palawija seperti jagung, kedelai, kacang tanah, kacang hijau, beberapa tanaman hortikultura, seperti jeruk, nenas, cabai, tomat, bawang merah dan semangka. Tanaman industri yang memiliki prospek cukup baik diusahakan di lahan ini adalah kelapa, lada, dan jahe, serta berbagai macam ternak bisa beradaptasi baik.

Masalah utama yang dihadapi dalam pengembangan lahan pasang surut adalah kemasaman tanah tinggi, serta ketersediaan unsur hara dalam tanah relatif rendah. Oleh sebab itu, ameliorasi dan pemupukan merupakan komponen penting untuk memecahkan masalah tersebut, khususnya pada lahan sulfat masam dan gambut. Bahan amelioran yang telah teruji baik adalah kapur atau abu sekam maupun abu gergajian. Dengan pemberian kapur atau abu sebagai amelioran sebanyak 1-3 ton/ha, akan mampu meningkatkan hasil padi secara nyata di lahan sulfat masam.

Amelioran ini harus dikombinasikan dengan pemberian pupuk anorganik dengan dosis anjuran adalah pupuk N berkisar 67,5-135 kg, P2O5 47 hingga 70 kg, dan K2O 50-75 kg/ha. Lahan gambut menggunakan dosis kapur 1-2 t/ha serta pupuk N 45 kg, P2O5 60 kg dan K2O 50 kg/ha, sedangkan untuk lahan potensial tanpa menggunakan kapur. Namun, pupuk N yang dianjurkan adalah 45-90 kg, P2O5 22,5-45 kg, dan K2O 50 kg/ha.

2. Lahan Lebak

Pengelolaan air di lahan lebak dangkal dan tengahan dapat dikembangkan melalui pembuatan saluran air di dalam petakan lahan. Saluran ini sekaligus berfungsi sebagai tempat penampungan ikan alam atau tempat pemeliharaan ikan, serta sebagai penampung air untuk keperluan tanaman pada musim kemarau. Sampai saat ini, petani telah mengusahakan lahan ini dengan berbagai tanaman, mulai dari tanaman semusim khususnya tanaman pangan, tanaman hortikultura, tanaman industri, maupun dikombinasikan dengan komoditas perikanan atau peternakan.

Untuk tanaman pangan, padi merupakan komoditas dominan yang diusahakan di lahan lebak. Varietas padi yang beradaptasi bagus dengan produksi cukup tinggi adalah IR42, Kapuas, Lematang, Cisanggarung, dan Cisadane, dengan tingkat hasil 4-5 ton/ha. Rekomendasi pemupukan yang dianjurkan untuk padi adalah 45 kg N ditambah 45 kg P2O5 dan 60 kg K2O/ha.

Tanaman palawija yang beradaptasi baik di lebak dangkal adalah jagung, kedelai, kacang hijau, dan kacang tunggak. Komoditas ini umumnya ditanam secara monokultur atau secara tumpang sari setelah tanaman padi musim hujan dipanen. Rekomendasi pemupukan yang dianjurkan untuk tanaman palawija adalah, kapur 1 ton/ha, dikombinasikan dengan 45 kg N ditambah dengan 75 kg P2O5 dan 50 kg K2O. Varietas jagung yang beradaptasi baik adalah H6, Arjuna dan Kalingga, sedangkan kacang hijau adalah varietas Merak.

Tanaman umbi-umbian juga cukup bagus adaptasinya di lahan lebak. Jenis umbi-umbian yang umum diusahakan adalah ubi jalar, sementara di Kalimantan Selatan terkenal dengan ubi alabio. Dengan teknologi sederhana tanpa pemupukan, produksi ubi Alabio dapat mencapai 40 hingga 50 t/ha. Dengan perbaikan budidaya, khususnya dengan pemberian pupuk 30 kg N ditambah dengan 60 kg P2O5/ha hasil ubi dapat mencapai 68 ton/ha.

Tanaman hortikultura yang beradaptasi baik di lahan lebak adalah cabai keriting dan labu merah. Tanaman cabai ditanam secara monokultur setelah panen padi. Rekomendasi pemupukan yang dianjurkan untuk cabai keriting adalah 90 kg N ditambah 100 kg P2O5 dan 60 kg K2O per ha. Hasil cabai keriting dapat mencapai 3 ton/ha, sedangkan labu merah dapat ditanam di pematang petakan sawah pada musim hujan atau ditanam di bidang olah setelah panen padi.

Tanaman industri yang cocok diusahakan dilahan lebak adalah kenap dan yute, terutama di lebak tengahan dan dalam karena kedua tanaman ini tahan genangan setelah berumur dua bulan. Varietas kenaf yang memberikan hasil baik adalah HcG4 dan Hc48, sedangkan varietas yute adalah Cc15. Rekomendasi pemupukan kenaf yang dianjurkan adalah kombinasi N, P2O5 dan K2O dengan dosis masing-masing 60 kg/ha, sedangkan takaran pupuk untuk yute yang memberikan hasil serat tertinggi adalah kombinasi 120 kg N ditambah 60 kg P2O5/ha.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai pengertian dan teknologi pengelolaan lahan rawa. Peluang pengembangan lahan rawa sebagai sumber produksi pertanian masih cukup luas, baik dilihat dari ketersediaan lahan yang belum diusahakan maupun yang sudah diusahakan, tetapi umumnya penggunaannya belum optimal. Untuk pengelolaan lahan ini ke depannya diperlukan tindakan yang cukup berhati-hati, akibat dari sifat fisiko-kimia tanah yang khas.

Pendekatan yang dapat dilakukan dalam pengembangan lahan rawa harus mengacu kepada tipologi lahan dan tipe luapan air. Setiap tipologi lahan menghendaki cara pengelolaan yang berbeda. Pada lahan pasang surut dengan tipologi sulfat masam, dengan lapisan piritnya relatif dangkal kurang dari 50 sentimeter, pengolahan tanahnya harus minimum atau dangkal agar lapisan pirit tidak teroksidasi, yang mengakibatkan tanah menjadi masam. Sebaliknya, tipologi lahan potensial dengan kedalaman lapisan pirit lebih dari 50 sentimeter, pengolahan tanah bisa lebih dalam untuk memperluas areal perakaran tanaman, tetapi tidak sampai ke lapisan pirit.

Komoditas yang berkembang di lahan rawa cukup beragam, baik dilihat dari aneka tanaman atau komoditas yang dapat diusahakan. Pola pengembangan yang tepat dan ideal untuk lahan ini adalah melalui usaha farming system (tani terpadu). Integrasi yang dapat memberi manfaat ganda adalah integrasi tanaman dan ternak. Ternak yang telah beradaptasi baik adalah ternak ruminansia besar atau kecil, serta ternak unggas adalah ayam atau bebek.

Berikut ini rekomendasi buku dari Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang rawa agar bisa memahaminya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

BACA JUGA:

About the author

Qotrun A