Sosial Budaya

Ngaben Dan Melasti: Dua Upacara Adat Bali Yang Wajib Kamu Ketahui!

Written by Umam

Ngaben Dan Melasti : Dua Upacara Adat Bali Yang Wajib Kamu Ketahui! – Pesona keindahan alam di Pulau Bali memang sudah tak perlu dipertanyakan lagi. Sepanjang pulau kita bisa menikmati berbagai keindahan alam yang terbentang, dimulai dari gunung, pantai, dan danau pun tersedia. Meskipun begitu, ada hal unik yang membuat Bali menjadi lebih istimewa, yakni pelestarian budaya yang sangat terasa dalam sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Berkunjung ke pulau Bali akan terasa lebih spesial apabila kita berhasil untuk mendapatkan berbagai momen seru dengan menyaksikan secara langsung upacara adat di Bali. Umumnya upacara adat tersebut bisa disaksikan oleh wisatawan untuk sekadar sebagai tontonan atau juga bisa sebagai dokumentasi.

Berikut ini, dua upacara adat Bali yang wajib Grameds ketahui!

1. Upacara Ngaben

ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo.

Upacara Ngaben adalah sebuah prosesi upacara pembakaran jenazah atau yang juga dikenal sebagai kremasi. Upacara Ngaben ini dilakukan oleh umat Hindu yang berada di Bali. Orang Hindu di Bali mempercayai, bahwa Ngaben bisa menyucikan roh dari anggota keluarga yang telah meninggal dunia dan menuju ke tempat peristirahatan terakhir.

Asal-usul Upacara Ngaben

Dilansir dari situs Indonesia Kaya, menurut Nyoman Singgin Wikarman, kata “Ngaben” berasal dari kata “beya” yang memiliki arti yaitu bekal. Ngaben disebut juga palebon yang berasal dari kata “lebu” yang artinya yaitu prathiwi atau tanah (debu). Untuk membuat tubuh manusia yang telah meninggal dunia menjadi sebuah tanah, salah satu caranya yaitu dengan dibakar.

Dalam ajaran agama Hindu, selain dipercaya sebagai dewa pencipta, Dewa Brahma mempunyai bentuk sebagai Dewa Api. Jadi upacara Ngaben adalah sebuah prosesi penyucian roh yang dilakukan dengan cara dibakar menggunakan api supaya bisa pergi, kembali ke Sang Pencipta. Api yang membakar jenazah tersebut dipercaya sebagai jelmaan dari Dewa Brahma.

Api akan membakar seluruh kekotoran yang melekat pada jasad sekaligus jiwa atau roh dari orang yang telah meninggal dunia. Orang beragama Hindu mempercayai bahwa manusia terbentuk dari tiga lapisan, yakni raga sarira, suksma sarira, dan juga antahkarana sarira. Raga sarira yakni badan kasar atau tubuh fisik dari manusia. Suksma sarira adalah badan astral yang berupa pikiran, keinginan, perasaan, serta nafsu. Sedangkan antahkarana sarira ialah sebagai penyebab dari kehidupan atau Sanghyang Atma.

Ketika manusia telah meninggal, maka badannya tidak bisa difungsikan lagi. Sementara atma (jiwa/roh) yang sudah terlalu lama berada di dalam tubuh dan dikungkung suksma sarira harus sesegera mungkin untuk pergi meninggalkan badan, karena apabila terlalu lama, atma akan merasa menderita. Manusia yang telah meninggal dunia perlu untuk diupacarakan guna supaya mempercepat proses kembalinya badan kasar ke sumbernya di alam, yaitu panca mahabhuta: pertiwi (tanah), apah (air), teja (api), bayu (udara), dan juga akasa (ruang).

Apabila upacara Ngaben ditunda dengan kurun waktu yang lama, rohnya akan gentayangan dan berubah menjadi bhuta cuwil. Demikian pula apabila orang yang meninggal dunia dikubur di dalam tanah tanpa diadakan upacara yang sesuai. Hal tersebut disebabkan karena roh-roh tersebut belum mampu untuk melepaskan keterikatannya dengan alam manusia. Maka dari itu, perlu diadakan upacara Ngaben bhuta cuwil.

Pelaksanaan Upacara Ngaben

Dalam upacara Ngaben, semua penghuni banjar (setingkat rukun warga) wajib membantu dalam segala persiapannya. Banyak sekali persembahan yang akan disiapkan dan banyak pula berbagai keperluan arak-arakan yang harus dibuat.

Dua hal penting yang harus dibuat yakni badé dan patulangan. Badé adalah menara yang menyerupai pagoda dengan jumlah yang ganjil guna untuk mengusung jenazah. Patulangan adalah sarkofagus yang berbentuk hewan atau makhluk mitologi sebagai tempat jenazah yang nantinya akan dikremasi.

Badé dan patulangan mempunyai ukuran dan bentuk yang berbagai ragam sebagai penunjuk dari status sosial orang yang sudah meninggal. Bahkan, sejak tahun 2000-an muncul sebuah fenomena yaitu badé beroda. Badé beroda adalah badé pada umumnya tetapi dipasangi roda supaya bisa didorong dan memudahkan dalam proses pemindahan jenazah.

Badé beroda membuat prosesi upacara Ngaben menjadi lebih sederhana tanpa memerlukan banyak tenaga dan kelengkapan lain yang dapat menelan banyak biaya. Upacara Ngaben akan dimulai dengan acara arak-arakan. Masing-masing dari anggota keluarga membawa foto dari mendiang atau jasad yang akan diaben.

Suara gamelan Bali turut mengiringi rombongan hinggs ke lokasi Ngaben. Setelah jasad dibakar atau diaben, sisa abu dari pembakaran dimasukkan ke dalam buah kelapa gading yang nantinya akan dilarung ke laut atau sungai yang telah dianggap suci. Bagi mereka yang belum mempunyai biaya, jenazah biasanya akan dikuburkan terlebih dahulu.

Ngaben bisa dilakukan setelah bertahun-tahun kemudian setelah keluarga dari pihak jenazah mempunyai dana yang cukup. Upacara Ngaben massal atau kolektif juga kerap diadakan. Pihak keluarga dapat melaksanakan ritual dengan membayar sejumlah uang atau bahkan gratis apabila memang benar-benar termasuk golongan yang tidak mampu.

Meski demikian, Ngaben massal tetap dilakukan tanpa menghilangkan esensi dari tradisi  sedikitpun dari upacara Ngaben itu sendiri.

Tujuan upacara Ngaben

Tujuan dari upacara Ngaben yaitu mempercepat ragha sarira supaya bisa kembali ke asalnya, yakni panca maha buthadi alam ini dan bagi atma diharapkan supaya dapat cepat menuju ke alam pitra. Dilansir dari situs kesrasetda.bulelengkab.go.id, landasan filosofis Ngaben secara umum yakni panca sradha yaitu lima kerangka dasar dari Agama Hindu yaitu Brahman, Atman, Karmaphala, Samsara dan juga Moksa. Sedangkan secara khusus Ngaben dilaksanakan sebagai bentuk cinta kepada para leluhur dan bakti dari seorang anak kepada orang tuanya.

Upacara Ngaben adalah sebuah proses pengembalian unsur panca maha butha kepada Sang pencipta. Ngaben juga kerap kali disebut sebagai pitra yadnya (lontar yama purwana tattwa). Pitra memiliki arti yakni leluhur atau orang yang sudah  meninggal sedangkan yadnya ialah persembahan suci yang tulus serta ikhlas.

Jenis Upacara Ngaben

1. Upacara Pengabenan Ngewangun

Seluruh organ tubuh (sebagai awangun) mendapatkan material upakara sehingga upakaranya menjadi banyak. Ngaben jenis ngewangun ini diikuti dengan Pengaskaran. Upacaranya terdapat dua jenis yakni:

  1. Upacara Pengabenan mewangun Sawa Pratek Utama, ada jenazah atau watang matah.
  2. Upacara Pengabenan mewangun Nyawa Wedana, tak ada jenazah tetapi disimbolkan dengan menggunakan adegan kayu cendana yang telah digambar dan ditulis menggunakan aksara sangkanparan.

Nyawa Wedana berasal dari kata Nyawa atau nyawang (dibuat simbol). Wedana memiliki arti yakni wujud atau rupa. Dengan demikian, maka nyawa wedana mempunyai arti yaitu dibuatkan sebuah rupa-rupaan sebagai simbolis manusia.

2. Upacara Ngabenan Pranawa

Pengabenan yang sarana upakaranya ditujukan kepada sembilan lubang yang ada pada diri manusia. Pranawa berasal dari kata Prana (lubang, jalan, nafas) dan Nawa (artinya sembilan). Kesembilan lubang yang dimaksud yaitu :

  1. Udana (lubang kening), mempengaruhi baik dan buruknya pikiran
  2. Kurma (lubang mata) mempengaruhi baik dan buruknya budhi.
  3. Krkara (lubang hidung), mempengaruhi Tri Kaya, kejujuran dan kebohongan.
  4. Krana (lubang mulut). Dosa banyak yang berasal dari mulut (Tri Mala Paksa)
  5. Dhananjya (kerongkongan). Kekuatan yang mempengaruhi manah – rasa sombong dan durhaka
  6. Samana (lubang pepusuhan), pengaruh jiwa untuk menjadi rakus dan serakah.
  7. Naga (lubang lambung) pengaruh karakter yang mempunyai keterkaitan dengan Sad Ripu
  8. Wyana (lubang sendi) mempengaruhi perbuatan untuk menciptakan Subha Asubha Karma.
  9. Apana (pantat kemaluan) pengaruhi kama yang memiliki keterkaitan dengan Sapta Timira.

Kesembilan lubang manusia ini bisa menjadi pengantar manusia ke lembah dosa.

Pengabenan Pranawa juga dilakukan dengan upacara pengaskaran.

Terdapat lima jenis Pengabenan Pranawa

  1. Sawa Pranawa: disertai jenazah atau watang matah
  2. Kusa Pranawa: dengan watang matah atau hanya sekadar menggunakan adegan. Adegan tersebut natinya akan disertakan pengawak dari seratus katih ambengan. Menggunakan upacara pengaskaran.
  3. Toya Pranawa: sama dengan Kusa Pranawa, hanya saja di dalam adegannya diisi dengan payuk pere yang berisi air serta dilengkapi menggunakan eteh-eteh pengentas dan juga menggunakan Pengaskaran.
  4. Gni Pranawa: Sama seperti pranawa yang lainnya, juga melaksanakan pengaskaran tetapi pengaskaran nista yang dilakukan di setra setelah sawanya berubah menjadi sekah tunggal.

Tanpa uperengga yang menyerupai damar kurung, tumpang salu, pepelengkungan, ancak saji, bale paga, tiga sampir, baju antakesuma, paying pagut. Hanya menggunakan dammar layon, peti jenazah dan juga pepaga atau penusangan.

  1. Sapta Pranawa: upacara ini dilaksanakan di rumah, menggunakan damar kurung dan juga pengaskaran.

Meskipun demikian, apabila tidak menggunakan Bale Paga pada saat mengusung jenazah ke setra. Hanya sekadar menggunakan pepaga atau penusangan pun dilakukan langsung di setra tetapi pelaksanaan pengabenannya mapendem, dan pelaksanaan pengentasnya di atas bambang.

3. Upacara Pengabenan Swastha

Pengabenan secara sederhana, dengan tingkat yang paling kecil karena tidak menggunakan pengaskaran. Berarti tidak menggunakan kajang yang secara otomatis berarti dilakukan tanpa adanya upacara pengajuman lajang. Tidak menggunakan bale paga, damar kurung, damar layon, damar angenan, petulangan, tiga sampir, baju antakesuma dan juga payung pagut.

Pengabenan Swastha hanya sekkadar menggunakan peti jenazah dan pepaga atau penusangan untuk membawa ke setra. Pelaksanaan upacaranya hanya di setra saja. Pengabenan Swastha Geni ini kerap kali rancu dengan pengabenan Geni Pranawa.

Swasta berasal dari kata “su” (utama, luwih). Astha berasal dari kata Asthi (abu, tulang). Dengan demikian Swastha memiliki arti pengabenan yang kembali ke intinya tetapi tetap mempunyai nilai utama. Pengabenan swastha terdiri dua jenis, yaitu :

1. Pengabenan Swastha Geni

Penyelesaian di setra dilaksanakan dengan cara membakar jenazah maupun tanpa menggunakan jenazah. Hanya terdapat pelaksanaan “pengiriman” setelah dibuatkan bentuk sekah tunggal, kemudian dilanjutkan dengan upacara nganyut.

2. Pengabenan Swastha Bambang

Semua runtutan pelaksanaannya upakaranya dilaksanakan di atas bambang tempat penguburan jenazah. kuantias upakaranya hamper sama dengan pengabenan Swastha Geni hanya saja dalam upakaranya ditambahkan dengan “pengandeg bambang”. Pengabenan swastha bambang ini tidak disertakan upacara pengerekan dan upacara penganyutan, karena pengabenan tidak dilakukan dengan pembakaran melainkan dengan penguburan.

Sedangkan pengelemijian dan juga pengerorasan tetap dilaksanakan sama seperti Ngaben biasa. Pengabenan Swastha Geni atau Swastha Bambang termasuk dengan pengabenan nista utama, tidak menggunakan bale paga, tidak dilaksanakan pengaskaran dan pada saat ke setra menggunakan tumpang salu saja.

4. Upacara Pengabenan Kerthi Parwa

Termasuk pengabenan dengan tingkat nistaning utama. Pengabenan ini dilakukan kepada umat Hindu yang gugur di peperangan. Tidak dilakukan pengaskaran, hanya sekadar upacara ngentas dan pengiriman saja. Pelaksanaanya sama seperti pengabenan Swastha Geni.

5. Upacara Pengabenan Ngelanus

Sebenarnya tidak termasuk bagian dari jenis pengabenan. Sama seperti upacara ngaben biasa hanya saja teknisnya yang dibuat cepat. Terdapat dua jenis pengabenan ngelanus yakni:

1. Ngelanus Tandang Mantri.

Pengabenan dan pemukuran diselesaikan dalam kurun waktu satu hari. Pengabenan ini mengacu pada sastra agama “Lontar Kramaning Aben Ngelanus”. Ngelanus Tandang Mantri juga disebut dengan Pemargi Ngeluwer. Pengabenan ini hanya dilakukan untuk para wiku dan tidak diperkenankan untuk walaka.

2. Ngelanus Tumandang Mantri.

Dilakukan untuk para walaka dalam kurun waktu satu hingga dua hari saja. Upakara dan upacaranya tergantung kepada kuantitas dari upakara dan upacara itu sendiri.

2. Upacara Melasti

https://www.cnnindonesia.com/ | (REUTERS/Agung Parameswara)

Tahun baru Saka bagi umat agama Hindu Bali merupakan sebuah kesempatan yang baik untuk memulai kehidupan kembali dengan hati yang suci dan bersih. Melalui ritual amati geni pada Hari Raya Nyepi, seluruh umat Hindu pada hakikatnya mendapatkan kesempatan untuk mengevaluasi pencapaian dalam hidupnya di satu tahun yang lalu serta menyusun ulang rencana hidup untuk satu tahun mendatang.

Mendahului tahapan tersebut, pada kurun waktu mulai 2 hingga 4 hari menjelang hari raya Nyepi, masyarakat agama Hindu di pulau Bali melakukan ritual pensucian diri serta pensucian lingkungannya. Ritual tersebut dinamakan dengan upacara melasti.

Upacara melasti atau yang juga disebut melelasti dapat didefinisikan sebagai nganyudang malaning gumi ngamet tirta amerta yang artinya ialah menghanyutkan kotoran alam menggunakan air kehidupan. Dalam kepercayaan agama Hindu, sumber air seperti danau dan laut dapat dianggap sebagai asal air kehidupan atau tirta amerta.

Sumber-sumber air tersebut nantinya akan memberikan kehidupan bagi seluruh makhluk hidup, termasuk manusia. Maka dari itu, upacara melasti selalu diadakan di tempat-tempat khusus seperti tepi danau atau tepi pantai.

Dalam upacara melasti, masyarakat akan datang secara berkelompok ke sumber-sumber air seperti laut dan danau. Tiap-tiap kelompok atau rombongan biasanya berasal dari satu kesatuan wilayah yang sama, misalnya dari desa atau banjar yang sama.

Tiap-tiap rombongan tersebut akan datang dengan membawa seperangkat alat keramat peribadahan, yakni arca, pratima, dan pralingga dari pura yang berada di wilayah masing-masing. Nantinya, alat0alat tersebut akan disucikan. Setiap anggota masyarakat juga menyiapkan sesajian menyesuaikan dengan kemampuannya masing-masing. Sajian ini merupakan bagian pelengkap dari upacara melasti.

Sebelum ritual dilaksanakan, biasanya para panitia dari tiap-tiap rombongan akan menyediakan sebuah panggung atau meja yang diposisikan ke arah membelakangi sumber air. Meja ini dijadikan tempat untuk meletakkan berbagai perangkat suci peribadahan dari pura beserta beraneka ragam sesajian.

Seluruh anggota rombongan kemudian duduk bersila menghadap ke arah jajaran perangkat ibadah serta sesajian tersebut, sekaligus menghadap ke arah sumber air suci. Pemuka agama atau pemangku setempat kemudian akan menjadi pemimpin dalam berjalannya prosesi upacara melasti ini.

Para pemangku akan berkeliling dan memercikkan air suci kepada seluruh masyarakat yang hadir serta perangkat-perangkat peribadahan dan menebarkan asap dupa sebagai bentuk dari pensucian.

Selanjutnya, dilakukan ritual persembahyangan yang dilakukan oleh seluruh anggota rombongan. Para pemangku lalu akan membagikan air suci dan juga bija. Bija adalah beras yang telah dibasahi air suci. Air suci tersebut nantinya untuk diminum sedangkan bija akan dibubuhkan ke dahi tiap-tiap umat yang datang. Setelah prosesi tersebut berakhir, perangkat-perangkat peribadahan diarak kembali ke pura untuk menjalani tahapan-tahapan ritual yang lainnya.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

Baca juga :

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.