Sosial Budaya

Upacara Wetonan Dan Tradisi Jawa Tengah Lainnya

Written by Umam

Upacara Wetonan Dan Tradisi Jawa Tengah Lainnya – Tiap-tiap daerah di Indonesia mempunyai tradisinya masing-masing, tak terkecuali di daerah Jawa Tengah. Provinsi Jawa Tengah dikenal mempunyai banyak sekali tradisi yang hingga masa kini masih tetap dilestarikan oleh masyarakat setempat.. Tradisi meiliki arti yaitu sebuah kebudayaan yang diturunkan dari satu generasi ke generasi yang selanjutnya.

Kebudayaan ini memiliki berbagai ragam, mulai dari yang mempunyai keterkaitan dengan kebiasaan, adat istiadat, hingga yang memiliki hibungan dengan ritual keagamaan. Tradisi akan terus berjalan apabila tetap dilestarikan dan dihormati keberadaannya. Walau demikian, apabila tradisi tersebut tidak dilakukan lagi, maka tradisi tersebut dapat punah atau menghilang dengan sendirinya.

Budaya dan Tradisi Jawa Tengah

Untuk daerah Jawa Tengah, beberapa tradisi masih tetap terus dilestarikan dan terap diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Grameds dapat menemukannya dengan mudah saat berada di kota-kota daerah Provinsi Jawa Tengah. Berikut ini adalah tradisi-tradisi asli Jawa Tengah yang hingga saat ini masih tetap dilestarikan :

1. Upacara Wetonan

Upacara wetonan adalah salah satu tradisi yang dilakukan oleh masyarakat suku jawa. Kata “wetonan” dalam bahasa Jawa mempunyai arti untuk memperingati hari kelahiran. Biasanya upacara wetonan untuk pertama kali akan dilaksanakan ketika bayi telah menginjak usia 35 hari. Pada hari itu, keluarga dari bayi akan mengadakan upacara nyelapani. Kata “nyelapani” mempunyai bentuk dasar “selapan” yang artinya sama dengan satu bulan dalam perhitungan Jawa (selapan = 35 hari).

Perhitungan tersebut berdasarkan pada perhitungan hari dari berdasarkan penanggalan Masehi (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu) dan perhitungan hari berdasarkan penanggalan Jawa (Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing). Kombinasi dari dua perhitungan tersebut akan menghasilkan kombinasi penyebutan hari yang khas dalam masyarakat suku Jawa seperti Senin Pon, Selasa Wage, Rabu Kliwon, Kamis Legi, Jumat Pahing, dan seterusnya akan diulang dan dimulai dari Pon kembali.

Wetonan dalam masyarakat suku Jawa berlaku dalam siklus 35 hari sekali. Sebagai contoh jika weton Grameds adalah selasa kliwon maka weton selanjutnya adalah 35 hari kemudian dan akan bertemu pada hari yang sama yaitu selasa kliwon.

2. Upacara Ruwatan

https://id.theasianparent.com/

Ruwatan adalah salah satu ritual penyucian yang hingga kini masih dilakukan oleh sebagian besar dari masyarakat suku Jawa dan Bali. Ruwat sendiri dalam bahasa Jawa memiliki arti yangsama dengan kata luwar yang artinya yaitu dibebaskan atau dilepas. Upacara Ruwatan berarti upacara yang dilakukan untuk membebaskan atau melepaskan seseorang dari hukuman atau kutukan sang kuasa yang dapat menimbulkan bahaya.

Makna dari upacara ruwatan adalah memohon dengan sepenuh hati supaya orang yang di-ruwat bisa terlepas dari marabahaya serta memperoleh keselamatan. Maka dari itu, upacara ruwatan biasanya dilakukan dengan harapan untuk melindungi manusia dari segala macam bahaya yang ada di sekitarnya. Hingga saat ini, upacara ruwatan masih dipercayai oleh sebagian besar masyarakat karena dianggap dapat berpengaruh pada keselamatan. Selain itu, masyarakat juga ingin melestarikan adat istiadat yang telah ada secara turun-temurun di masyarakat suku Jawa.

3. Tradisi Syawalan

ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

Syawalan memiliki makna sebagai pertemuan yang direncanakan oleh beberapa orang maupun suatu kelompok masyarakat, di mana mereka akan melakukan silaturahmi yang berisi ikrar saling memaafkan satu sama lain serta memulai kehidupan baru yang lebih baik supaya situasi di masa depan dapat menjadi lebih tentram.

Pertemuan syawalan itu dilakukan utamanya pada bulan syawal, setelah bulan Ramadhan selesai. Bulan Syawal yaitu bulan ke sepuluh dalam kalender tahun Hijriyah. Syawalan disebut juga dengan istilah halal bi halal, di mana orang-orang akan mendatangi rumah orang yang dikenal untuk meminta maaf dan pemilik rumah akan menyambut orang tersebut dan saling memaafkan.

Terdapat 2 acara syawalan kraton yang populer di Jawa Tengah

1. Grebeg Syawal Keraton Yogyakarta

Grebeg syawal keraton Yogyakarta telah cukup dikenal oleh masyarakat luas. Banyak wisatawan dari luar negeri yang datang ke kota Yogyakarta, secara khusus hanya untuk sekadar melihat tradisi grebeg syawalan. Tradisi ini merupakan tradisi yang berasal dari peninggalan Sri Sultan Hamengkubuwono I. Tradisi ini telah dilaksanakan sejak tahun 1725 hingga sekarang.

Dalam tradisi ini, rakyat bisa melihat iring-iringan prajurit keraton Yogyakarta mengiring lima gunungan yang berisi beraneka ragam hasil bumi. Lima gunungan tersebut nantinya akan diantarkan ke tiga lokasi perayaan grebeg syawalan yang antara lain yaitu halaman masjid gede, pura akualaman, dan kantor kepatihan Yogyakarta. Isi dari gunungan akan dibagikan kepada masyarakat sekitar.

2. Grebeg Syawal Keraton Solo

Sama dengan grebeg syawal kraton Yogyakarta, kota Solo juga mempunyai tradisi grebeg swayal. Tradisi grebeg syawal di kota Solo dilaksanakan dengan membawa dua gunungan yang berisi hasil bumi dan juga jajanan pasar. Masing-masing gunungan itu mempunyai nama tersendiri yaitu gunung jaler dan gunung setri. Gunung jaler akan dibawa ke masjid agung Surakarta, sedangkan gunungan setri akan dibawa ke keraton Solo.

4. Tradisi Popokan

Balasoka

Konon, suatu ketika Desa Sendang di daerah Jawa Tengah diteror oleh kemunculan seekor harimau yang mengusik ketentraman masyarakat. Harimau tersebut juga memangsa hewan-hewan ternak. Berbagai cara dan senjata telah dikerahkan oleh masyarakat sekitar untuk mengusir sang harimau, tetapi selalu gagal.

Kemudian, muncullah seorang pemuka agama yang menyarankan agar masyarakat sekitar tidak mengusir harimau dengan cara kekerasan. Saran itu pun lalu dituruti oleh masyarakat. Mereka pun kemudian memopok (melempari) sang harimau tersebut dengan menggunakan lumpur sawah; lalu berhasil.

Sejak kejadian tersebut, tradisi popokan atau saling melempar lumpur sawah kerap digelar. Tradisi popokan memiliki tujauan untuk menjauhkan kejahatan serta menolak bala di daerah Desa Sendang. Disamping itu, tradisi ini juga menjadi wujud rasa syukur masyarakat pada Sang Pencipta karena telah diberikan keselamatan. Masyarakat juga mempercayai, bahwa lumpur yang dilemparkan mengandung berkah. Karenanya, alih-alih marah, mereka justru senang ketika terkena lemparan lumpur.

\

Popokan merupakan ritual terakhir dari empat rangkaian tradisi yang biasanya digelar selama dua hari. Pada waktu kamis sore (sehari sebelum popokan), masyarakat setempat akan memulainya dengan kerja bakti membersihkan sendang atau sumber mata air. Ritual tersebut dilakukan oleh laki-laki dewasa di desa tersebut.

Masyarakat setempat melakukan tradisi ini untuk menghilangkan hawa jahat serta menjadi tolak bala di daerah tempat mereka tinggal.

5. Tradisi Sadranan

https://asiangames.antaranews.com/

Tiap-tiap menjelang bulan Ramadhaan, tepatnya pada bulan Sya’ban, masyarakat suku Jawa khususnya di daerah Jawa Tengah dan kota Yogyakarta, selalu melakukan tradisi nyadran. Budaya yang telah dilestarikan selama ratusan tahun ini, dilakukan dengan cara membersihkan makam para orang tua dan leluhur, membuat sekaligus membagikan makanan tradisional, serta berdoa atas selamatan bersama di sekitar area makam.

Di dalam kalender Jawa, bulan Ramadhan disebut sebagai bulan Ruwah, sehingga nyadran juga dikenal sebagai acara ruwah. Dirangkum dari berbagai sumber, tradisi ini merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dengan budaya Islam. Kata nyadran berasal dari kata Sraddha yang memiiki makna keyakinan.

Nyadran menjadi bagian yang penting bagi masyarakat suku Jawa. Karena, para pewaris tradisi ini menjadikan tradisi nyadran sebagai momentum untuk menghormati para leluhur serta menjadi ekspresi ungkapan rasa syukur kepada Sang Pencipta. Umumnya, nyadran diadakan pada saat satu bulan sebelum dimulainya bulan puasa, atau pada 15, 20, dan 23 Ruwah.

Masing-masing daerah di tanah Jawa memiliki ciri khasnya masing-masing dalam tradisi sadranan ini. Masyarakat di beberapa daerah membersihkan makam sekaligus membawa bungkusan yang berisi makanan dari hasil bumi yang disebut sebagai sadranan. Secara tradisi, sadranan yang telah dibawa akan ditinggalkan di area pemakaman. Umumnya, masyarakat juga akan meninggalkan uang tambahan untuk biaya pengelolaan makam.

6. Upacara Tingkeban

TRIBUNJOGJA.COM/ Hasan Sakri

Upaca tingkeban adalah upacara adat Jawa dalam rangka memperingati 7 bulanan bayi di dalam kandungan atau upacara 7 bulanan kehamilan. Tingkeban merupakan upacara terakhir yang dilakukan sebelum kelahiran. Hakikat dari tingkeban yaitu untuk mendoakan ibu dan calon bayi agar sehat dan selamat hingga hari kelahiran.

Upacar tingkeban dilakukan dengan maksud sebagai sarana berdoa supaya jabang bayi yang berada di dalam kandungan selalu diberi kesehatan. Disamping itu, masyarakat suku Jawa juga meyakini bahwa upacara tingkeban harus dilakukan supaya ibu dan anak yang berada dalam kandungan dapat terhindar dari marabahaya. Upacara tingkeban juga memiliki makna solidaritas primordial yang berkaitan dengan adat-istiadat yang telah turun-temurun.

7. Tradisi Brobosan

KOMPAS.com/LABIB ZAMANI

Tradisi brobosan umumnya dilakukan saaat upacara kematian. Brobosan memiliki arti yaitu menerobos. Menerobos yang dimaksudi yaitu berjalan bergantian sebanyak tiga kali di bawah keranda atau peti jenazah yang sedang diangkat tinggi-tinggi. Berjalan dimulai dari sebelah kanan, hingga ke sebelah kiri, ke depan, hingga kembali lagi ke sebelah kanan.

Para kerabat dan tetangga akan membantu menyiapkan ubo rampe. Ubo rampe adalah makanan yang disajikan sebagai sajen. Setelah ubo rampe selesai dibuat, akan ada pidato yang disampaikan oleh perwakilan pihak keluarga. Pidato tersebut berisi ucapan permintaan maaf mewakili orang yang telah meninggal tersebut, apabila semasa hidupnya pernah mempunyai kesalahan. Lalu, pidato diakhiri dengan doa dan brobosan.

Brobosan memiliki tujuan agar keluarga yang ditinggalkan bisa melalui kesedihan yang mendalam. Seluruh anggota keluarga akan berkumpul dan melakukan ritual ini sebagai simbol perpisahan terakhir sebelum jenazah dimakamkan. Dengan harapan, semua keluarga dapat benar-benar merelakan kepergian dari sang jenazah.

Ritual ini juga menjadi bentuk penghormatan terakhir kepada jenazah untuk melepasnya ke alam selanjutnya. Tidak hanya penghormatan untuk jenazah, tetapi juga untuk leluhur yang telah meninggal terlebih dahulu.

8. Upacara Tedak Siten

https://www.sonora.id/

Dalam tradisi Jawa, tiap-tiap bayi yang usianya telah mencapai tujuh atau delapan bulan disarankan untuk melakukan ritual adat tedak siten. Istilah tedak siten sendiri berasal dari bahasa Jawa, tedak yang artinya adalah kaki sedangkan siten (siti) yang memiliki arti yaitu tanah

Upacara turun tanah ini mempunyai tujuh rangkaian yang saling berkaitan antara satu sama lain. Pada tahap pertama, anak akan dituntun untuk berjalan di atas tujuh jadah yang memiliki tujuh warna, yaitu warna coklat, merah, kuning, hijau, biru, ungu, dan putih. Tiap-tiap warna mencerminkan symbol dari kehidupan.

Pada tahap kedua, anak dibimbing untuk menaiki tangga yang dibuat dari batang tebu jenis arjuna sebagai simbol dari jenjang kehidupan serta melambangkan pengharapan supaya sifat dari sang anak menyerupai tokoh Arjuna. Tebu dalam suku Jawa merupakan kependekan dari antebing kalbu yang bermakna sebagai keteguhan hati.

Pada tahap berikutnya, anak akan dibiarkan untuk mencakar-cakar tanah dengan kedua kakinya sebagai harapan supaya kelak saat telah dewasa si anak mampu untuk mengais rezeki sendiri.

Pada tahap keempat, anak dimasukkan ke dalam kurungan atau kandang ayam yang telah diisi dengan beraneka benda, seperti uang, mainan, buku, alat musik dan juga makanan. Benda ini yang nantinya akan dipilih oleh sang anak dan dipercaya menjadi gambaran dari potensi anak tersebut. Di usia tujuh atau delapan bulan, anak dipercaya masih mempunyai naluri yang kuat.

Tahapan kelima dalam upacara tedak siten, anak akan diberikan uang logam beserta berbagai macam bunga dan beras kuning oleh ayah dan kakeknya sebagai simbol dan harapan supaya anak tersebut diberkahi dengan rezeki yang melimpah, tetapi tetap mempunyai sifat yang dermawan.

Tahap selanjutnya, anak dimandikan dengan menggunakan air yang telah dicampur dengan kembang setaman. Kembang setaman yaitu berbagai jenis bunga yang berada di taman. Langkah ini dilakukan sebagai harapan supaya si anak mampu untuk membawa nama baik bagi keluarganya.

Tahap yang terakhir adalah proses pemakaian baju yang bagus dan bersih sebagai simbol supaya anak dapat menjalani kehidupan dengan baik.

Tujuan dilaksanakannya prosesi tedak siten yakni untuk mempersiapkan anak supaya mampu untuk melewati tiap-tiap fase dalam kehidupan. Di mulai dengan tuntunan dan bantuan dari kedua orang tuanya hingga ia diharuskan untuk berdiri sendiri dan mempunyai kehidupan yang mandiri.

Bagi para leluhur, upacara ini adalah sebuah wujud penghormatan kepada bumi yang menjadi tempat berdirinya si anak dengan diiringi berbagai lantunan doa. Harapannya supaya anak selalu senantiasa diberikan berkah serta pertolongan dalam menjalani kehidupan.

Tradisi turun tanah sesungguhnya penuh dengan kegiatan yang positif, di mana di dalam tahapannya terkandung berbagai nilai untuk selalu mengingat Sang Pencipta. Upacara ini pun menjadi sarana mengenalkan anak terhadap nilai-nilai luhur tradisi Jawa.

9. Mubeng Beteng

https://www.viva.co.id/

Mubeng beteng merupakan sebuah tradisi yang dilakukan tiap malam 1 Suro atau pada saat pergantian malam tahun baru Islam dalam kalender Hijriah di Keraton Yogyakarta. Pada malam 1 Suro biasanya diperingati dengan tradisi tapa bisu mubeng beteng Keraton Yogyakarta yang dilakukan oleh para abdi dalem.

Tapa bisu dilakukan dengan cara berjalan kaki mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta yang dimulai pada tengah malam hingga dini hari tanpa menggunakan alas kaki dan tidak berbibcara sepatah kata pun.

Tradisi ini dimulai ketika lonceng Kyai Brajanala di regol keben dibunyikan sebanyak 12 kali. Setelah lonceng tersebut dibunyikan, lalu diperdengarkan tembang macapat dari Bangsal Srimanganti. Selanjutnya, para abdi dalem dan masyarakat akan berjalan kaki bersamaan sejauh kurang lebih sekitar lima kilometer mengelilingi benteng Keraton Yogyakarta.

Hingga saat ini tidak pernah ada perubahan sedikit pun dalam prosesi pelaksanaan tradisi mubeng beteng ini. Kini bagian terdepan dari rombongan tradisi mubeng beteng merupakan abdi dalem yang menggunakan pakaian Jawa tanpa keris. Mereka berjalan bersa,aam sambil membawa bendera Indonesia dan juga panji-panji Keraton Yogyakarta.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.