Sejarah

Mengenal Asal-Usul dan Adat 5 Suku Terbesar di Pulau Sumatra

Mengenal Asal-Usul dan Adat 5 Suku Terbesar di Pulau Sumatra
Written by Fandy

Asal-Usul dan Adat 5 Suku Terbesar di Pulau Sumatra – Pulau Sumatra merupakan pulau keenam terbesar di dunia yang luasnya mencapai 473.481 km². Penduduk pulau ini sekitar 57.940.351 (sensus 2018). Pulau ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti “pulau emas”).

Ketika menjadi jalur perdagangan pada masa lampau, Pulau Sumatra memiliki banyak sebutan, mulai Samoterra, Samotra, Sumotra, Zamatra, dan Zamatora. Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis Drake abad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku dan kemudian disesuaikan dengan lidah Indonesia: Sumatra.

Pulau Sumatra terletak di bagian barat gugusan kepulauan Nusantara. Batasnya di sebelah utara adalah Teluk Benggala, di sebelah timur dengan Selat Malaka, di sebelah selatan dengan Selat Sunda, dan di sebelah barat dengan Samudra Hindia.

Bagian timur pulau ini banyak dijumpai rawa yang dialiri oleh sungai-sungai besar yang bermuara di sana, antara lain Asahan (Sumatra Utara), Sungai Siak (Riau), Kampar, Inderagiri (Sumatra Barat dan Riau), Batang Hari (Sumatra Barat dan Jambi), Musi, Ogan, Lematang, Komering (Sumatra Selatan), Way Sekampung, Way Tulangbawang, Way Seputih dan Way Mesuji (Lampung). Sementara beberapa sungai yang bermuara ke pesisir barat pulau Sumatra di antaranya Batang Tarusan (Sumatra Barat) dan Ketahun (Bengkulu).

Adapun di bagian barat pulau terbentang pegunungan Bukit Barisan yang membujur dari barat laut ke arah tenggara dengan panjang + 1500 km. Sepanjang bukit barisan tersebut terdapat puluhan gunung, baik yang tidak aktif maupun gunung berapi yang masih aktif, seperti Geureudong (Aceh), Sinabung (Sumatra Utara), Marapi dan Talang (Sumatra Barat), Gunung Dempo (Sumatra Selatan), Gunung Kaba (Bengkulu), dan Kerinci (Sumatra Barat dan Jambi).

Pulau Sumatra juga memiliki beberapa danau, di antaranya Danau Laut Tawar (Aceh), Danau Toba (Sumatra Utara), Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Diatas, Danau Dibawah, Danau Talang (Sumatra Barat), Danau Kerinci (Jambi), dan Danau Ranau (Lampung dan Sumatra Selatan).

Secara umum, pulau Sumatra didiami oleh bangsa Melayu, yang terbagi ke dalam beberapa suku atau subsuku. Suku-suku besar selain Melayu adalah Batak, Minangkabau, Aceh, Lampung, Karo, Nias, Rejang, Komering, Gayo, dan sebagainya.

Wilayah pesisir timur Sumatra dan di beberapa kota-kota besar seperti Medan, Batam, Palembang, Pekanbaru, dan Bandar Lampung, banyak dihuni oleh etnis Tionghoa dan India. Mata pencaharian penduduk Sumatra sebagian besar sebagai petani, nelayan, dan pedagang.

Penduduk Sumatra mayoritas beragama Islam dan sebagian kecil merupakan penganut ajaran Kristen Protestan, terutama di wilayah Tapanuli dan Toba-Samosir, Sumatra Utara. Adapun di wilayah perkotaan, seperti Medan, Pekanbaru, Batam, Pangkal Pinang, Palembang, dan Bandar Lampung dijumpai beberapa penganut Buddha.

Agar lebih memahami suku-suku besar yang mendiami pulau Sumatra, mari kita simak bersama-sama gambaran dan penjelasan berikut.

1. Suku Melayu

Pasangan Melayu Riau sedang memainkan alat musik tradisional gambus, dengan latar belakang bendera tiga warna Melayu.

Suku Bangsa Melayu merupakan kelompok etnik Austronesia yang menghuni Semenanjung Malaya, pesisir timur pulau Sumatra (Bangka Belitung, Jambi, Riau, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, dan Sumatra Utara), bagian selatan Thailand, pantai selatan Burma, pulau Singapura, pesisir Kalimantan, Filipina bagian selatan, dan pulau-pulau kecil yang terletak di sekitar lokasi ini—secara kolektif dikenal sebagai “Dunia Melayu”. Lokasi ini sekarang merupakan bagian dari negara modern Malaysia, Indonesia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand, dan Filipina.

Nama “Melayu” berasal dari Kerajaan Melayu yang pernah ada di kawasan Sungai Batang Hari, Jambi. Dalam perkembangannya, Kerajaan Melayu akhirnya takluk dan menjadi bawahan Kerajaan Sriwijaya. Pemakaian istilah Melayu pun meluas hingga ke luar Sumatra, mengikuti teritorial imperium Sriwijaya yang berkembang hingga ke Jawa, Kalimantan, dan Semenanjung Malaya.

Hampir seluruh Kepulauan Nusantara mendapatkan pengaruh langsung dari suku Melayu. Bahasa Melayu yang telah berkembang dan dipakai oleh banyak masyarakat Nusantara, akhirnya dipilih menjadi bahasa nasional di Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Secara ras atau rumpun bangsanya, Melayu di Indonesia dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Melayu Proto atau Proto Malayan dan Melayu Deutero atau Duetro Malayan.

Proto Malayan adalah rumpun Melayu Tua yang datang kali pertama pada masa + 1500 SM. Rumpun ini meliputi suku bangsa Dayak, Toraja, Sasak, Nias, Batak, Anak Dalam, Enggano, dan sebagainya yang bermukim di pulau Kalimantan, Sulawesi, Nias, Lombok, dan Sumatra.

Adapun Melayu Deutro adalah rumpun Melayu Muda yang datang setelah Melayu Proto pada Zaman Logam sekitar + 500 SM. Rumpun yang masuk gelombang kedua ini meliputi suku bangsa Melayu, Aceh, Lampung, dan Minangkabau yang bermukim di pulau Sumatra, Jawa, Bali, Madura, dan Sulawesi.

Golongan lain yang bukan termasuk rumpun Melayu, tetapi tetap termasuk bangsa di Indonesia adalah rumpun Melanesia yang bermukim di bagian wilayah timur Indonesia. Pun demikian, istilah Melayu yang digunakan di Indonesia lebih mengacu kepada arti suku bangsa yang lebih spesifik, sehingga Melayu yang ada tidak termasuk suku bangsa Jawa.

Suku Melayu di Indonesia menurut sensus tahun 2010 terdiri atas Melayu Tamiang, Melayu Palembang, Melayu Bangka, Melayu Deli, Melayu Asahan, Melayu Pesisir, Melayu Riau, Melayu Kepulauan, Melayu Jambi, Melayu Bengkulu, Melayu Merangin, Melayu Lematang, Melayu Batin, Melayu Rokan, Melayu Siak, Melayu Kampar, Melayu Rawas, Melayu Musi, Melayu Kuantan, Melayu Belitung, Melayu Pontianak, Melayu Sanggau, Melayu Sintang, Melayu Kotawaringin, Melayu Lahat, Melayu Sambas, Melayu Lembak, Melayu Kaur, Melayu Besemah, Melayu Ogan, Melayu Langkat, Melayu Lintang, Melayu Serawai, Melayu Kerinci, Melayu Berau, Melayu Loloan, dan Melayu Bulungan.

Suku bangsa Melayu terkait/terdekat di Sumatra terdiri atas suku Minangkabau, suku Lampung, suku Komering-Lampung, suku Aneuk Jamee, suku Aceh, orang Mukomuko, suku Rejang, suku Mandailing, suku Pekal, suku Talang Mamak, suku Gayo, suku Singkil, suku Alas, suku Kluet, suku Devayan/Simeulue, dan suku Haloban.

Suku bangsa Melayu terkait/terdekat di Kalimantan terdiri atas suku Banjar, suku Kutai, suku Tidung, suku Suluk, suku Maranao, suku Paser, suku Moro, dan suku Dayak Meratus. Adapun suku bangsa Melayu terkait/terdekat di pulau Sulawesi adalah suku Bugis, sedangkan suku bangsa terkait/terdekat di pulau Jawa adalah suku Betawi dan suku Loloan.

2. Suku Aceh

Wanita Aceh dengan pakaian tradisionalnya.

Suku Aceh atau dalam bahasa Aceh disebut dengan Ureuëng Acèh adalah nama sebuah suku penduduk asli yang mendiami wilayah pesisir dan sebagian pedalaman Provinsi Aceh. Masyarakat suku Aceh mayoritas beragama Islam. Suku tersebut mempunyai beberapa nama lain, yaitu Lam Muri, Lambri, Akhir, Achin, Asji, A-tse dan Atse.

Bahasa yang dituturkan oleh suku ini adalah bahasa Aceh, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat dekat dengan bahasa Cham yang dituturkan di Vietnam dan Kamboja. Bahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa Aceh-Chamik, cabang dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia.

Bahasa-bahasa yang memiliki kekerabatan terdekat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rhade, Chru, Utset dan bahasa-bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamik, yang dituturkan di Kamboja, Vietnam, dan Hainan.

Legenda rakyat Aceh menyebutkan bahwa penduduk Aceh pertama berasal dari suku Mante dan suku Lhan. Suku Mante merupakan etnis lokal yang merupakan bagian dari suku Alas dan suku Karo, sedangkan suku Lhan diduga masih berkerabat dengan suku Semang yang bermigrasi dari Semenanjung Malaya atau Hindia Belakang (Champa dan Burma).

Suku Mante pada mulanya mendiami wilayah Aceh Besar dan kemudian menyebar ke tempat-tempat lainnya. Ada pula dugaan secara etnologi tentang hubungan suku Mante dengan bangsa Funisia di Babilonia atau Dravida yang berada di lembah sungai Indus dan Gangga. Namun, hal tersebut belum dapat dipastikan oleh para ahli.

3. Suku Minangkabau

Festival Budaya Minangkabau 2016.

Masyarakat Minang merupakan bagian dari Melayu Deutro (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan Tiongkok selatan ke pulau Sumatra sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatra, menyusuri aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang Minangkabau.

Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri atas Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling dan dikepalai oleh seorang residen (masyarakat Minangkabau menyebutnya dengan nama Tuan Luhak).

Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan penduduk, masyarakat Minangkabau menyebar ke kawasan darek yang lain, serta membentuk beberapa kawasan tertentu menjadi kawasan rantau. Konsep ini bagi masyarakat Minangkabau merupakan suatu kawasan yang menjadi pintu masuk ke alam Minangkabau.

Rantau juga berfungsi sebagai tempat mencari kehidupan, kawasan perdagangan. Rantau di Minangkabau dikenal dengan Rantau Nan Duo yang terbagi atas Rantau di Hilia (kawasan pesisir timur) dan Rantau di Mudiak (kawasan pesisir barat).

Pada awalnya, penyebutan orang Minangkabau belum dibedakan dengan orang Melayu. Namun, sejak abad ke-19, penyebutannya mulai dibedakan karena melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan dalam masyarakat Minangkabau berbanding terbalik dengan budaya patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya.

Masyarakat Minangkabau saat ini merupakan pemeluk agama Islam. Jika ada masyarakatnya keluar dari agama Islam, mereka yang bersangkutan secara langsung juga dianggap keluar dari masyarakat Minangkabau. Hal ini sesuai dengan istilah “dibuang sepanjang adat”.

Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, yaitu Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang egaliter. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.

Ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat masyarakat Minangkabau. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling melengkapi dan bahu-membahu dalam posisi yang sama tingginya. Semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu.

4. Suku Batak

Suku Batak.

Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia, tetapi tidak diketahui kepastian waktu nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatra Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum).

Namun, dikarenakan hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak, dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatra Utara pada zaman logam.

Identitas Batak populer dalam sejarah Indonesia modern setelah didirikan dan tergabungnya para pemuda dari Angkola, Mandailing, Karo, Toba, Simalungun, dan Pakpak di organisasi yang dinamakan Jong Batak tahun 1926, tanpa membedakan agama dalam satu kesepahaman.

Sebelum suku Batak menganut agama Kristen dan Islam, mereka mempunyai sistem kepercayaan dan religi terhadap Mulajadi na Bolon yang memiliki kekuasaan di atas langit dan pancaran kekuasaannya terwujud dalam Debata Natolu.

Suku Batak Toba mengenal tiga konsep, antara lain:

  • Tendi/tondi adalah jiwa atau roh seseorang yang merupakan kekuatan. Tondi memberi nyawa kepada manusia. Tondi didapat sejak seseorang berada di dalam kandungan. Jika tondi meninggalkan badan seseorang, orang tersebut akan sakit atau meninggal. Inilah yang menyebabkan diadakannya upacara mangalap (menjemput) tondi dari sombaon yang menawannya;
  • Sahala adalah jiwa atau roh kekuatan yang dimiliki seseorang. Semua orang memiliki tondi, tetapi tidak semua orang memiliki sahala. Sahala sama dengan sumanta, tuah atau kesaktian yang dimiliki para raja atau hula-hula (kelompok marga istri);
  • Begu adalah tondi orang telah meninggal, yang tingkah lakunya sama dengan tingkah laku manusia, tetapi hanya muncul pada waktu malam.

5. Suku Mentawai

Pembuatan Tato Mentawai.

Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Enggano, mereka adalah bagian dari Melayu Proto yang menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat. Selain di Mentawai, daerah hunian mereka berada di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan.

Tradisi yang khas dari suku ini adalah penggunaan tato di sekujur tubuh (dalam bahasa setempat disebut dengan titi), yang terkait dengan peran dan status sosial penggunanya. Tidak sembarang tato, setiap motif yang dilukiskan di badan mereka memiliki filosofi tertentu.

Sebelum mengenal agama Kristen, suku Mentawai mengikuti kepercayaan mereka yang disebut dengan Sabulungan. Saat ini, hampir semua orang Mentawai sudah memeluk agama, khususnya agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik, serta sebagian Islam, meskipun beberapa di antaranya masih menganut kepercayaan lama Sabulungan.

Salah satu gereja lokal yang didirikan untuk suku Mentawai adalah Gereja Kristen Protestan Mentawai (GKPM), yang didirikan pada 6 Juli 1916 dan memiliki jemaat sekitar 35.000 orang.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai Asal-Usul dan Adat 5 Suku Adat Terbesar di Pulau Sumatra. Berikut ini rekomendasi buku dari Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang suku-suku di Indonesia agar bisa memahaminya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

Penulis: Fandy Aprianto Rohman

BACA JUGA:

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.