Kesenian

Makna dan Asal-Usul 5 Tarian Klasik dari Jawa Tengah

Mengenal Makna dan Asal-Usul 5 Tarian Klasik dari Jawa Tengah
Written by Gaby

Makna dan Asal-usul 5 Tarian Klasik dari Jawa Tengah – Grameds, seperti kita ketahui bersama bahwa seni tari merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang sarat akan makna. Jazuli (2008) dalam Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni menyebutkan jika tari adalah bentuk gerak yang indah, lahir dari tubuh yang bergerak, berirama, dan berjiwa sesuai dengan maksud dan tujuannya.

Lebih lanjut, Soedarsono (1986) melalui Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari dalam Pengetahuan Elemen Tari dan Beberapa Masalah Tari turut menambahkan bahwa tari merupakan ekspresi jiwa manusia yang diungkapkan dengan gerak ritmis yang indah.

Tari adalah gerak ritme yang (dengan kesadaran) dibentuk dengan tubuh sebagai media di dalam ruang. Kesenian ini selanjutnya dapat menjadi salah satu pernyataan budaya. Hal inilah yang menyebabkan sifat, gaya, dan fungsi tari selalu tak dapat dilepaskan dari kebudayaan yang menghasilkannya.

Indonesia di sisi lain terdiri atas berbagai suku dan budaya yang sangat beragam, sehingga menghasilkan tarian yang juga memiliki ciri khas berbeda-beda. Salah satu daerah yang memiliki beragam jenis tarian klasik adalah Jawa Tengah.

Provinsi yang beribu kota di Semarang ini memiliki banyak tarian yang sebagian besar masih bertahan sampai saat ini. Ada fakta menarik di balik munculnya beberapa tarian tersebut hingga menjadi bagian dari perkembangan budaya Jawa Tengah.

Lantas, apa sajakah yang tari-tarian klasik itu? Berikut akan dipaparkan penjelasan dan fakta singkat mengenai 5 tarian klasik yang masih berkembang di Jawa Tengah sampai saat ini.


1. Tari Jurit Ampil Kridha Warastra

Tari Jurit Ampil Kridha Warastra adalah tarian klasik yang berasal dari Kota Salatiga. Tarian ini memiliki makna, yaitu jurit yang berarti “prajurit”, garwa ampil yang berarti “selir” (dari Mangkunegara I), dan warastra yang berarti “gendewa”.

Secara umum, tarian itu menggambarkan tentang pasukan garwa ampil (selir) dari Mangkunegara I dalam Perjanjian Salatiga yang dilaksanakan tanggal 17 Maret 1757. Masing‑masing pihak (Hamengkubuwana I, Pakubuwana III, dan Mangkunegara I) dalam perjanjian tersebut bersepakat untuk membawa dan menunjukkan kekuatan pasukannya. Mangkunegara I sendiri juga menunjukkan beberapa bregada (kesatuan prajurit) yang dibawanya, salah satunya adalah Jurit Ampil, yaitu kesatuan prajurit putri para selirnya.

Tarian tersebut tergolong sebagai tarian lepas, artinya dapat ditampilkan secara beregu, berpasangan, dan tunggal. Unsur klasik tarian itu terdapat dalam gerakan, iringan lagu, busana, dan tata riasnya, tetapi saat ini telah dipadukan dengan unsur-unsur baru yang mengikuti perkembangan zaman.

Tarian ini juga merupakan perpaduan dari tari klasik gaya Surakarta dan tari rakyat, yang banyak mengambil gerakan dari tari Prajuritan. Iringan musik di dalamnya menggunakan gamelan Jawa laras pelog yang meliputi gender, kendhang, demung, saron, kenong, kempul, dan gong, sedangkan bentuk gendingnya adalah lancaran, srepeg, dan palaran.

Busana yang dipakai dalam tarian itu adalah busana prajurit putri dengan rambut yang digelung kecil dan memakai mahkota berwarna keemasan. Baju utamanya berwarna biru lengan pendek dengan hiasan emas, sabuk, dan dodot, sedangkan celananya sebatas lutut kaki.

Untuk senjatanya menggunakan jemparing (panahan), endhong, nyenyep, gendewa, dan cundrik. Adapun tata rias para penari memiliki tujuan untuk membantu pembentukan karakter dan penjiwaan dari seorang prajurit.

2. Tari Prajuritan

Tari Prajuritan adalah kesenian tradisional berbentuk tarian massal yang pertama kali muncul di Desa Getasan, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Tarian ini kemudian berkembang ke wilayah lain di Kabupaten Semarang dengan versi asal-usul dan tema yang berbeda-beda, antara lain Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Banyubiru, Kecamatan Sumowono, dan Kota Ungaran. Tarian tersebut juga berkembang di Kota Salatiga, tepatnya di Desa Tegalrejo, Kecamatan Argomulyo, Kota Salatiga.

Unsur-unsur yang terkandung di dalam tarian itu meliputi busana, tata rias, gerakan, dan alat musik. Tarian tersebut memang termasuk ke dalam kategori tarian kelompok, tetapi jumlah penarinya terkadang disesuaikan dengan kebutuhan dan luasnya tempat pementasan.

Tarian ini di sisi lain bukanlah tarian kreasi baru yang lebih dinamis dan memiliki banyak variasi sesuai dengan selera anak muda. Hal ini disebabkan karena gerakan dan iringannya cenderung monoton. Tarian rakyat itu juga jarang ditampilkan, sehingga masyarakat kurang mengapresiasinya, bahkan tidak sedikit yang belum mengetahuinya.

Prosesi tarian ini kental dengan nuansa peperangan, yang dapat dilihat dari pakaian penari dan gerakannya yang membawa senjata mengikuti iringan organ gamelan. Tarian tersebut dalam pelaksanaannya telah mengalami perubahan seiring perkembangan zaman dan berbagai faktor yang memengaruhinya. Salah satu faktor intrinsik perubahan dalam tarian ini dapat dilihat dari perubahan komposisi penari.

Pada awal kemunculannya, tari ini ditarikan oleh penari laki-laki, tetapi saat ini juga ditarikan oleh penari wanita. Hal inilah yang menyebabkan tata rias yang digunakan adalah riasan laki-laki. Selain itu, pengaruh nyata terhadap penampilan tarian ini adalah lagu-lagu modern yang ditampilkan untuk mengiringinya. Adapun faktor ekstrinsik yang mendorong perubahan komposisi penari adalah alasan ekonomi dan pasar, bukan semata-mata alasan fungsional seni sebagai hiburan.

Penari Prajuritan dahulu hanya memakai celana kain dan ngligo (tidak memakai baju). Busana yang dipakai oleh penari bagian prajurit saat ini terdiri atas celana, kain loreng, beskap, songkok, dan sampur, sedangkan penari bagian Manggalayuda (pemimpin perang atau pemimpin barisan) menggunakan celana, kain loreng, beskap, blangkon, dan keris.

Gerakan yang dilakukan dalam tari Prajuritan, antara lain:

  • Lumaksana, bermakna bahwa manusia harus bertanggung jawab melaksanakan tugasnya dan selalu mengingat Tuhan Yang Maha Esa;
  • Merong megar, bermakna bahwa manusia harus selalu melihat berbagai sisi dalam menjalankan kewajibannya;
  • Garuda nglayang, bermakna bahwa tindakan apa pun yang dilakukan oleh manusia harus melihat tatanan negara. Gerakan ini diambil dari lambang Indonesia, yaitu burung garuda;
  • Nyongklang, bermakna manusia yang melakukan perjalanan dalam mengemban tugas;
  • Gedrug, bermakna kesadaran manusia atas kehidupan yang ada di muka bumi;
  • Sendal pancing, bermakna bahwa seseorang harus menghadapi berbagai persoalan dengan sabar dan tidak terburu-buru;
  • Lumbung, bermakna bahwa semua hasil pekerjaan agar digunakan dan disimpan dengan baik.

Adapun alat musik yang dipakai untuk mengiringi tari Prajuritan antara lain:

  • Jedhor, yaitu beduk berukuran kecil yang terbuat dari kayu jati dan kedua sisinya ditutup menggunakan kulit kambing. Pemukulnya terbuat dari kayu jati yang dililit karet hitam di ujungnya. Ukuran diameternya + 25 sentimeter;
  • Kendang dhodhog, yaitu beduk berukuran lebih kecil dari jedor yang terbuat dari kayu jati. Salah satu sisinya ditutup menggunakan kulit kambing, sedangkan sisi yang lain dibirkan terbuka. Pemukulnya terbuat dari kayu jati yang dililit karet hitam di ujungnya. Ukuran diameternya + 12,5 sentimeter;
  • Bendhe, yaitu organ gamelan yang terbuat dari besi dan kuningan, sedangkan pemukulnya dari kayu jati yang dililit karet hitam. Bendhe terdiri atas jurusan (ukuran diameter + 20 sentimeter), keprah (ukuran diameter + 18 sentimeter), penerus (ukuran diameter + 18 sentimeter), dan kenthing (ukuran diameter + 15 sentimeter).

Jedor dan kendang dhodhog dipukul hampir bersamaan, hanya berselang satu ketukan saja. Adapun jurusan dan keprak dipukul secara monoton, sedangkan penerus dan kenthing dipukul secara bergantian. Ketika akan berganti gerakan, digunakan peluit yang dibawa oleh Manggalayuda sebagai penanda.

3. Tari Topeng Ireng

Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat, kesenian Topeng Ireng mulai berkembang di tengah masyarakat lereng Merapi–Merbabu sejak zaman penjajahan Belanda, yang kemudian dilanjutkan perkembangannya tahun 1960-an.

Saat itu, pemerintah kolonial Belanda melarang masyarakat berlatih silat sebagai tindakan antisipasi agar rakyat tidak memiliki keahlian jika nantinya melakukan perlawanan. Hal inilah yang membuat warga sekitar mengembangkan berbagai gerakan silat itu menjadi tarian rakyat.

Pada awalnya, tarian itu disajikan dengan iringan musik gamelan dan tembang Jawa yang intinya menyangkut berbagai nasihat tentang kebaikan hidup. Kesenian ini semakin berkembang ketika disajikan sebagai bagian dari kirab pembangunan masjid dan musala.

Sebelum dipasang, kubah masjid biasanya akan diarak keliling desa terlebih dahulu. Kirab atau arak-arakan tersebut akan diikuti oleh seluruh masyarakat di sekitar masjid dengan tarian yang diiringi rebana dan syair puji-pujian. Inilah yang kemudian menyebabkan tarian ini berkembang menjadi kesenian Topeng Ireng.

Nama “topeng ireng” sendiri berasal dari kata tata lempeng irama kenceng. Tata berarti “menata”, lempeng berarti “lurus”, irama berarti “nada”, dan kenceng berarti “keras/kencang”. Oleh karena itu, para penari membawakan tarian ini dengan berbaris lurus dan diiringi musik berirama keras dan penuh semangat.

Tarian tersebut merupakan wujud pertunjukan seni tradisional yang memadukan syiar agama Islam dan ilmu bela diri pencak silat. Tak heran, Topeng Ireng selalu diiringi dengan irama dan lagu syair Islami. Selain sebagai syiar agama Islam, pertunjukan Topeng Ireng juga menggambarkan tentang kehidupan masyarakat perdesaan yang tinggal di lereng Merapi–Merbabu. Dilihat dari gerakannya yang tegas, tari ini menggambarkan kekuatan fisik yang dimiliki oleh masyarakat desa saat bertarung maupun bersahabat dengan alam untuk mempertahankan hidupnya.

Sebelum dikenal dengan nama Topeng Ireng, seni pertunjukan ini dikenal dengan nama kesenian Dayakan. Nama tersebut didasarkan dari kostum yang digunakan oleh para penari, yaitu busana bagian bawah yang digunakan oleh para penari menyerupai pakaian adat suku Dayak.

Sekitar tahun 1995, kata Dayakan dinilai mengandung unsur SARA. Inilah yang kemudian membuat kesenian ini diubah namanya menjadi kesenian Topeng Ireng. Namun, nama Dayakan dipopulerkan lagi sejak tahun 2005, sehingga membuat kesenian tersebut dikenal dengan dua nama, yaitu Topeng Ireng dan Dayakan.

4. Tari Gambyong

Tari Gambyong merupakan salah satu bentuk tarian Jawa klasik yang berasal dari wilayah Surakarta. Tarian ini biasanya dibawakan sebagai penyambutan tamu. Gambyong bukanlah satu tarian saja, melainkan terdiri atas bermacam-macam koreografi – yang paling dikenal adalah Tari Gambyong Pareanom (dengan beberapa variasi) dan Tari Gambyong Pangkur (dengan beberapa variasi).

Sebelum pihak Kadipaten Mangkunegaran menata ulang dan membakukan struktur gerakannya, tarian itu adalah milik rakyat sebagai bagian upacara pertanian agar padi yang ditanam tumbuh subur dan memperoleh hasil panen yang melimpah. Dewi Sri digambarkan sebagai penari-penari yang sedang menari. Kini, tari Gambyong digunakan untuk memeriahkan acara resepsi perkawinan dan menyambut tamu-tamu kehormatan atau kenegaraan.

Secara umum, tari Gambyong terdiri atas tiga bagian, yaitu awal, isi, dan akhir (dalam istilah tari Jawa gaya Surakarta disebut dengan istilah maju beksan, beksan, dan mundur beksan). Pusat keseluruhan tarian ini terletak pada gerak kaki, lengan, tubuh, dan juga kepala.

Gerakan kepala dan tangan yang terkonsep adalah ciri khas utama tarian tersebut. Pandangan mata penari selalu mengiringi atau mengikuti setiap gerak tangan dan arah jari-jarinya. Selain itu, gerakan kaki yang begitu harmonis seirama membuat tarian itu indah dilihat.

Pakaian yang digunakan oleh penari bernuansa warna kuning dan hijau sebagai simbol kemakmuran dan kesuburan. Sebelum tarian dimulai, selalu dibuka dengan gending Pangkur. Teknik gerak, irama, iringan, dan pola kendangan dalam tarian ini juga mampu menampilkan karakter penari yang luwes.

5. Tari Serimpi

Serimpi adalah bentuk penyajian tari Jawa klasik dari tradisi Kesultanan Mataram, yang kemudian dilanjutkan pelestarian serta pengembangannya sampai sekarang oleh empat istana pewarisnya di Surakarta dan Yogyakarta. Tari Serimpi di Kesultanan Yogyakarta digolongkan menjadi Serimpi Babul Layar, Serimpi Dhempel, dan Serimpi Genjung. Untuk Kesunanan Surakarta, Serimpi digolongkan menjadi Serimpi Anglir Mendhung dan Serimpi Sangupati.

Kemunculan tari ini berawal ketika Kesultanan Mataram diperintah oleh Sultan Agung pada 1613–1646. Tarian ini dianggap sakral karena hanya dipentaskan di lingkungan keraton untuk ritual kenegaraan dan peringatan kenaikan takhta sultan.

Pada 1775, Kesultanan Mataram pecah menjadi dua, yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta. Perpecahan ini berimbas kepada perbedaan gerakan tari Srimpi di antara keduanya, meskipun inti dari tariannya masih sama. Tari ini muncul di lingkungan Kesunanan Surakarta sekitar tahun 1788–1820.

Sejak tahun 1920-an, latihan tari klasik ini dimasukkan ke dalam mata pelajaran Taman Siswa Yogyakarta dan dalam perkumpulan tari atau karawitan Kridha Beksa Wirama. Setelah Indonesia merdeka, tari ini kemudian juga diajarkan di akademi-akademi seni tari dan karawitan pemerintah, baik di Surakarta maupun di Yogyakarta.

Penyajian tari ini dicirikan dengan empat penari melakukan gerak gemulai yang menggambarkan kesopanan, kehalusan budi, dan kelemahlembutan. Serimpi dianggap mempunyai kemiripan posisi sosial dengan tari Pakarena dari Makassar, yakni dilihat dari segi kelembutan gerak para penari dan sebagai tarian keraton.

Sejak dari zaman kuno, tari Serimpi sudah memiliki kedudukan yang istimewa di keraton-keraton Jawa dan tidak dapat disamakan dengan tari pentas yang lain karena sifatnya yang sakral. Dahulu tari ini hanya boleh dipentaskan oleh orang-orang yang dipilih keraton. Serimpi memiliki tingkat kesakralan yang sama dengan pusaka atau benda-benda yang melambangkan kekuasaan raja, meskipun sifatnya tidak sesakral tari Bedhaya.

Dalam pementasannya, tari tersebut tidak selalu memerlukan sesajen seperti halnya tari Bedhaya, melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Adapun iringan musik untuk tari Srimpi adalah mengutamakan paduan suara gabungan, yakni saat menyanyikan lagu tembang-tembang Jawa.

Serimpi telah banyak mengalami perkembangan dari masa ke masa, salah satu di antaranya adalah durasi waktu pementasan. Tarian itu kini dikembangkan menjadi beberapa varian baru dengan durasi pertunjukan yang semakin singkat. Sebagai contoh, Serimpi Anglirmendhung diubah menjadi 11 menit dan juga Serimpi Gondokusumo diubah menjadi 15 menit, yang awal penyajiannya keduanya berdurasi kurang lebih 60 menit.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai Makna dan Asal-Usul 5 Tarian Klasik dari Jawa Tengah. Tarian-tarian tersebut umumnya semakin memudar seiring perkembangan zaman. Untuk itulah, sahabat-sahabat Grameds marilah kita bersama-sama menjaga dan melestarikan budaya nenek moyang kita. Jangan sampai kita kalah dengan budaya dari luar Indonesia yang kini lebih dikenal secara global, seperti Anime, Korean Pop, dan Gangnam Style Dance.

Grameds juga dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang kondisi sosial di wilayah Jawa Tengah. Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajarinya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait Tarian Klasik dari Jawa Tengah

Penulis: Fandy Aprianto Rohman

 

About the author

Gaby

Hai, saya Gabriel. Saya mengenal dunia tulis menulis sejak kecil, dan saya tahu tidak akan pernah lepas dari itu. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya untuk bisa turut memberikan informasi melalui tulisan saya. Saya juga sangat menulis dengan tema kesenian. Dengan seni, hidup akan jadi lebih berwarna.

Kontak media sosial Instagram saya Gabriela