Kesenian

Memahami Malam 1 Suro dari Pantangan hingga Tradisinya!

Malam 1 Suro
Written by Gaby

Malam 1 Suro – Dalam penanggalan Jawa terdapat bulan Suro. Adapun, penanggalan Jawa terdiri dari bulan Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Dzulqoidah, dan Besar.

Pada bulan Suro terdapat beberapa upacara adat dan mitos-mitos yang tidak boleh dilakukan di bulan itu. Melansir dari laman resmi Kemendikbud Republik Indonesia, malam 1 Suro merupakan awal bulan pertama tahun baru, yakni di bulan Suro.

Penanggalan 1 Suro mengacu pada kalender Jawa. Kalender Jawa sendiri diterbitkan pertama kali oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyokrokusumo.

Kalender Jawa merupakan penggabungan antara penanggalan hijriyah atau kalender Islam, Hindu, dan masehi. Malam 1 Suro juga bertepatan dengan tanggal 1 Muharram dalam kalender Islam. Ia diperingati setelah maghrib.

Hal tersebut disebabkan oleh pergantian kalender Jawa ketika matahari terbenam dari hari sebelumnya, bukan pada tengah malam seperti pergantian hari dalam kalender masehi.

Melansir dari laman Tirto.id, penelitian yang dilakukan Zainuddin dalam tulisan berjudul “Tradisi Suro dalam Masyarakat Jawa” disebutkan bahwa ada banyak kepercayaan yang memercayai hal-hal yang bersifat mitos dan dongeng.

Seperti, ritual mengunjungi tempat-tempat sakral dan keramat. Misalnya pergi ke makam untuk memeroleh kekayaan, rezeki, pelaris, sampai jodoh. Tidak hanya itu, terdapat juga aktivitas melempar sesaji, kurban ke laut (yang dianggap sebagai sedekah), dan makanan.

Malam 1 Suro juga dianggap sebagai gerbang antara dunia gaib dan manusia bertemu. Hal ini menyebabkan kesalahpahaman bahwa seharusnya hal-hal yang seharusnya suci malah menjadi ditakuti oleh masyarakat Jawa.

Mengenal Malam 1 Suro

Peringatan malam 1 Suro tidak terlepas dari budaya keraton. Dulu, keraton sering kali melakukan upacara dan ritual yang diwariskan secara turun temurun. Kerton Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta menganggap malam 1 Suro sebagai malam yang suci serta bulan yang penuh rahmat.

Melansir dari laman Tirto.id, ketika malam 1 Suro tiba, beberapa orang Jawa Islam percaya bahwa mendekatkan diri pada Tuhan menjadi salah satu cara membersihkan diri dan melawan nafsu duniawi. Oleh sebab itu, tidak jarang, mereka melakukan upacara individu, seperti tirakat, perenungan diri, atau lelaku.

Upacara tidak hanya dilakukan secara individu, tetapi juga dalam kelompok. Sebagai contoh kegiatan selametan khusus yang dilakukan sepanjang satu minggu.

Di masa kerajaan Islam, sekitar tahun 1628-1629, Mataram di bawah pimpinan Sultan Agung kalah ketika menyerang Batavia. Setelahnya, pasukan Mataram mulai terbagi menjadi beberapa keyakinan.

Oleh sebab itu, Sultan Agung mengiisiasi pembuatan kalender tahun Jawa-Islam (penggabungan tahun Saka Hindu dan tahun Islam). Ketika malam tahun baru, yakni malam 1 Suro, Sultang Agung menciptakan kebudayaan Jawa yang mana tidak boleh berbuat sembarangan, tidak boleh berpesta, dan prihatin.

Hal tersebut perlu dilakukan agar hal-hal tersebut tercapai, yakni dengan menyepi, memohon kepada Tuhan, dan bertapa. Sultan Agung juga membuat penanggalan Jawa-islam sebagai upaya agar rakyatnya tidak terbelah karena perbedaan agama.

Sultan Agung Hanyokrokusumo ingin menyatukan kelompok santri dan abangan. Sultan Agung menghidupkan tradisi setiam Jumat legi melakukan ziarah kubur dan haul ke makam Ngampel dan Giri. Hal ini dilakukan bersamaan dengan laporan pemerintahan setempat sambil melakukan pengajian oleh para penghulu kabupaten.

Dari tradisi tersebut, masyarakat menganggap bahwa ketika 1 Suro dimulai pada hari Jumat legi maka menjadi keramat. Bahkan dianggap sial jika ada orang yang memanfaatkan hari tersebut di luar kepentingan mengaji, haul, dan ziarah.

Pantangan di Malam 1 Suro

Tidak hanya itu, sebagian masyarakat percaya bahwa larangan malam 1 Suro, yakni dilarang berpergian kecuali untuk berdia atau melakukan ibadah lain. Melansir dari laman Cnnindonesia.com, berikut larangan-larangan di malam 1 Suro.

1. Larangan Keluar Rumah

Ketika malam 1 Suro, sebagian besar orang akan memiliki berdiam diri di rumah. beberapa keyakinan menyebut bahwa orang yang memiliki kesialan weton tertentu memang dilarang keluar rumah karena dapat mengalami kesialan.

Tidak hanya itu, pada malam 1 Suro juga diyakini bahwa orang-orang yang bersekutu dengan setan sedang mencari tumbal untuk memupuk kekayaan atau menambah kesaktian mereka.

2. Tidak Boleh Bicara atau Berisik

Pada malam 1 Suro, tidak sedikit orang Jawa melakukan ritual bisu. Ritual ini sering kali dilakukan di area Keraton Yogyakarta. Tidak hanya itu, layaknya orang berpuasa. Ketika melakukan ritual ini, dilarang makan, minum, bahkan merokok.

3. Tidak Menggelar Pernikahan

Menikah di bulan Suro, terutama pada malam 1 Suro diyakini berpeluang akan mendapatkan kesialan. Meskipun demikian, mernikah di bulan Suro tidak pernah dilarang dalam agama Islam. Dalam Islam sendiri, seluruh tanggal, bulan, dan waktu apapun merupakan waktu-waktu baik untuk mengegelar pernikahan.

4. Pindah Rumah

Ketika malam 1 Suro menjadi hari terlarang untuk keluar rumah. Waktu tersebut dianggap dapat memberikan kesialan jika seseorang melakukan pindah rumah.

Tradisi Peringatan Malam 1 Suro

Beberapa daerah di Jawa masih melaksanakan tradisi perayaan malam 1 Suro. Di antaranya adalah Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta. Melansir dari laman Regional.kontan.co.id, di Solo, perayaan malam 1 Suro terdapat hewan khas yang disebut dengan kebo bule (kerbau bule). Ia juga dikenal sebagai Kebo Bule Kyai Slamat dan keturunannya.

Leluhur kebo bule mrupakan hewan klangenan atau hewan kesayangan Paku Buwono II. Ia menjadi hewan kesayangan sejak istananya masih di Kartasura yang berjarak kurang lebih 10 km arah barat dari keraton yang sekarang.

Berbeda dengan Solo, di Yogyakarta perayaan malam 1 Suro biasanya dilakukan dengan membawa keris dan benda pusaka sebagai bagian dari iring-iringan kirab. Mengacu pada catatan Madhan Anis

Melansir dari laman Tirto.id, berikut beberapa tradisi untuk memperingati malam 1 Suro di Yogyakarta.

1. Mubeng Benteng

Tradisi atau ritual ini dilakukan sebagai bentuk tirakat atau pengendalian diri dan memohon keselamatan kepada Tuhan YME. Pada malam itu, mubeng benteng dilakukan dengan berjalan kaki mulai dari Keraton Yogyakarta, alun-alun utara, ke daerah barat (Kauman), ke selatan (Beteng Kulon), ke timur (Pojok Beteng Wetan), sampai ke utara lagi dan kembali ke Keraton.

Ketika proses mubeng benteng, para abdi dalem keraton mengenakan pakaian khas Jawa dan tidak beralaskan kaki. Di belakangnya, masyarakat umum akan mengikuti arak-arakan tersebut. Mereka juga tidak memakai alas kaki.

Berjalan tanpa alas kaki memiliki arti untuk lebih mendekatkan diri dan penunjukkan rasa cinta kepada alam semesta. Selama perjalanan dilakukan, seluruh peserta baik dari abdi dalem keraton dan masyarakat umum sama-sama melafalkan tasbih di jari kanan dan memanjatkan doa kepada Tuhan.

2. Jamasan Pusaka atau Ngumbah Keris

Di malam 1 Suro, Keraton Yogyakarta juga melakukan prosesi jamasan pusaka atau siraman pusaka. Dalam upacara tersebut, pusaka-pusaka milik Keraton Yogyakarta akan dibersihkan atau dimandikan.

Pusaka-pusaka yang dibersihkan di antaranya senjata, kereta, alat-alat berkuda, bendera, vegetasi, gamelan, serat-serat (manuskrip), dan lain-lain. Fungsi benda-benda tersebut pada zaman dahulu menjadi sorotan atau tolak ukur barang tersebut dapat dikategorikan sebagai pusaka.

Sementara itu, jamasan pusaka dilakukan untuk menghormati dan merawat seluruh pusaka yang dimiliki keraton. Namun, Keraton Yogyakarta mengungkapkan bahwa setidaknya ada dua aspek latar belakang pelaksanaan jamasan pusaka, yakni mengenai hal teknis dan spiritual.

Padahal teknis, tradisi ini bertujuan untuk merawat benda-benda yang menjadi warisan dari orang-orang terdahulu. Adapun, aspek spiritual dari tradisi ini adalah sebagai penyambutan oleh masyarakat Jawa terhadap datangnya malam 1 Suro.

Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca. Jika ingin mencari buku yang berkaitan dengan budaya Jawa, maka kamu bisa mendapatkannya di gramedia.com

Rekomendasi Buku Terkait Malam 1 Suro

Malam 1 Suro memiliki beberapa tradisi atau upacara adat yang dilakukan di beberapa daerah Jawa. Terutama di lingkungan keraton.

Jawa sendiri memiliki beberapa kebudayaan yang mengakar di dalam masyarakatnya. Berikut beberapa rekomendasi buku yang dapat dijadikan referensi untuk mengenal kebudayaan Jawa.

1. Penanggalan Jawa Karya Karsono H Saputra

Penanggalan Jawa - Malam 1 Suro

Berikut ringkasan buku Penanggalan Jawa yang dapat dijadikan referensi sebelum membelinya.

Kalender Jawa atau Penanggalan Jawa adalah sistem penanggalan yang digunakan oleh Kesultanan Mataram dan berbagai kerajaan pecahannya serta daerah yang mendapat pengaruhnya. Penanggalan ini memiliki keistimewaan karena memadukan sistem penanggalan Islam, sistem Penanggalan Hindu, dan sedikit penanggalan Julian yang merupakan bagian budaya Barat.

Sistem kalender Jawa memakai dua siklus hari: siklus mingguan yang terdiri dari tujuh hari (Ahad sampai Sabtu, saptawara) dan siklus pekan pancawara yang terdiri dari lima hari pasaran (Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon).

Pada tahun 1633 Masehi (1555 Saka), Sultan Agung dari Mataram berusaha keras menanamkan agama Islam di Jawa. Penanggalan Jawa diberlakukan oleh Raja Mataram Sultan Agung Hanyakrakusuma pada Jumungah Legi 1 Sura 1555, wuku Kulawu, tahun Alip, windu Kuntara untuk bumi Mataram beserta seluruh wilayah kekuasaannya.

Keputusan yang dilandasi keadaan politik di Mataram tersebut merupakan kecerdasan budaya: penegasan jatidiri kejawaan, merangkum unsur budaya yang berlaku pada saat itu, dan pernyataan bahwa kebudayaan Jawa sudah berlangsung selama berabad-abad jauh sebelum Hindu-Buddha masuk ke Jawa. Penanggalan Jawa, sebagai penanda dan sistem perhitungan waktu, mencerminkan cara berpikir orang Jawa yang induktif serta ketelitian dan kecermatan dalam mengelola waktu.

Penanggalan Jawa bukan hanya mengandung berbagai jenis hariberdaur lima, enam, tujuh, delapan, dan sembilan tanggal, bulan, dan tahun, tetapi juga wuku, windu, dan pranata mangsa yang kesemuanya berpengaruh pada kehidupan manusia dan alam.

2. Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas-Batas Pembaratan Karya Deny’s Lombart

Nusa Jawa Silang Budaya 1: Batas-Batas Pembaratan - Malam 1 Suro

Berikut rangkuman buku tersebut sebagai acuan sebelum membelinya.

Buku Nusa Jawa: Silang Budaya merangkul keseluruhan sejarah Pulau Jawa menganalisis unsur-unsur kebudayaannya. Penulis merintis sebuah pendekatan yang sangat orisinal-sejenis “geologi budaya” dengan mengamati berbagai lapisan budaya, mulai dari yang tampak sampai yang terpendam dalam sejarah.

Setiap lapisan budaya itu diuraikan sejarah perkembangannya lalu diulas unsur masyarakat yang mengembangkannya. Pembahasan pertama mengenai unsur-unsur budaya modern, yaitu zaman pengaruh Eropa; kedua, unsur budaya yang terbentuk sebagai dampak kedatangan agama islam dan hubungannya dengan dunia Cina; dan ketiga, unsur budaya yang dipengaruhi oleh peradaban India.

Karya Lombard yg tersusun atas 3 jilid ini menjadi salah satu rekomendasi rujukan bagi siapa pun yang tertarik dengan sejarah dan kebudayaan Jawa. Buku seri ini memang luar biasa karena lengkap mengupas Jawa dari dalam, sehingga kita bisa melihat Jawa dari luar meskipun pembaca sendiri seorang Jawa.

Dimulai dari era prasasti ketika sumber sejarah berasal dari ukiran batu dan lembaran lontara, lalu beralih ke era kedatangan Islam, dan diakhiri dengan sejarah Jawa di masa kolonialisme Eropa. Buku dengan daftar buku referensi mencapai hampir 75 hlm ini akan membeberkan secara singkat tentang Jawa sebagai sebuah budaya yang muncul berkat saling silang dengan berbagai kebudayaan lain.

Trilogi Nusa Jawa ini dilengkapi oleh bahasan tentang warisan kerajaan-kerajaan konsentris, ditulis secara diakronis namun berlawanan arus membuat trilogi buku ini menjadi menarik.

3. Nusa Jawa Silang Budaya 2: Jaringan Asia Karya Deny’s Lombart

Nusa Jawa Silang Budaya 2: Jaringan Asia

Berikut rangkuman buku Nusa Jawa Silang Budaya 2: Jaringan Asia sebagai gambaran umum sebelum membelinya.

Buku Nusa Jawa: Silang Budaya merangkul keseluruhan sejarah Pulau Jawa menganalisis unsur-unsur kebudayaannya. Penulis merintis sebuah pendekatan yang sangat orisinal-sejenis “geologi budaya” dengan mengamati berbagai lapisan budaya, mulai dari yang tampak sampai yang terpendam dalam sejarah.

Setiap lapisan budaya itu diuraikan sejarah perkembangannya lalu diulas unsur masyarakat yang mengembangkannya. Pembahasan pertama mengenai unsur-unsur budaya modern, yaitu zaman pengaruh Eropa; kedua, unsur budaya yang terbentuk sebagai dampak kedatangan agama islam dan hubungannya dengan dunia Cina; dan ketiga, unsur budaya yang dipengaruhi oleh peradaban India.

Karya Lombard yg tersusun atas 3 jilid ini menjadi salah satu rekomendasi rujukan bagi siapa pun yang tertarik dengan sejarah dan kebudayaan Jawa. Buku seri ini memang luar biasa karena lengkap mengupas Jawa dari dalam, sehingga kita bisa melihat Jawa dari luar meskipun pembaca sendiri seorang Jawa.

Dimulai dari era prasasti ketika sumber sejarah berasal dari ukiran batu dan lembaran lontara, lalu beralih ke era kedatangan Islam, dan diakhiri dengan sejarah Jawa di masa kolonialisme Eropa. Buku dengan daftar buku referensi mencapai hampir 75 hlm ini akan membeberkan secara singkat tentang Jawa sebagai sebuah budaya yang muncul berkat saling silang dengan berbagai kebudayaan lain.

Trilogi Nusa Jawa ini dilengkapi oleh bahasan tentang warisan kerajaan-kerajaan konsentris, ditulis secara diakronis namun berlawanan arus membuat trilogi buku ini menjadi menarik.

4. Nusa Jawa Silang Budaya 3: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris Karya Deny’s Lombart

Nusa Jawa Silang Budaya 3: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris

Berikut rekomendasi buku tersebut sebagai referensi sebelum membelinya.

Buku Nusa Jawa: Silang Budaya merangkul keseluruhan sejarah Pulau Jawa menganalisis unsur-unsur kebudayaannya. Penulis merintis sebuah pendekatan yang sangat orisinal-sejenis “geologi budaya” dengan mengamati berbagai lapisan budaya, mulai dari yang tampak sampai yang terpendam dalam sejarah. Setiap lapisan budaya itu diuraikan sejarah perkembangannya lalu diulas unsur masyarakat yang mengembangkannya.

Pembahasan pertama mengenai unsur-unsur budaya modern, yaitu zaman pengaruh Eropa; kedua, unsur budaya yang terbentuk sebagai dampak kedatangan agama islam dan hubungannya dengan dunia Cina; dan ketiga, unsur budaya yang dipengaruhi oleh peradaban India. Karya Lombard yg tersusun atas 3 jilid ini menjadi salah satu rekomendasi rujukan bagi siapa pun yang tertarik dengan sejarah dan kebudayaan Jawa.

Buku seri ini memang luar biasa karena lengkap mengupas Jawa dari dalam, sehingga kita bisa melihat Jawa dari luar meskipun pembaca sendiri seorang Jawa. Dimulai dari era prasasti ketika sumber sejarah berasal dari ukiran batu dan lembaran lontara, lalu beralih ke era kedatangan Islam, dan diakhiri dengan sejarah Jawa di masa kolonialisme Eropa.

Buku dengan daftar buku referensi mencapai hampir 75 hlm ini akan membeberkan secara singkat tentang Jawa sebagai sebuah budaya yang muncul berkat saling silang dengan berbagai kebudayaan lain. Trilogi Nusa Jawa ini dilengkapi oleh bahasan tentang warisan kerajaan-kerajaan konsentris, ditulis secara diakronis namun berlawanan arus membuat trilogi buku ini menjadi menarik.

5. Kitab Primbon Jawa Serbaguna Karya R. Gunasasmita

Kitab Primbon Jawa Serbaguna - Malam 1 Suro

Berikut rangkuman buku tersebut yang dapat dijadikan pegangan sebelum membelinya.

Kitab Primbon adalah sekumpulan kearifan lokal supaya seseorang mampu memahami dirinya, sesamanya, dan alam makrokosmos maupun mikrokosmos tempat dia hidup. Selama ratusan tahun kitab Primbon menjadi pedoman sehari-hari bagi orang Jawa untuk mengartikan berbagai fenomena.

Kandungan ilmu dan ngelmu dalam Primbon Jawa akan membuat kita mengerti apa yang tidak dimengerti orang lain. Ilmu dan ngelmu ini terbukti tetap relevan dalam berbagai situasi dan berguna sepanjang masa. Hal-hal penting yang termuat dalam kitab Primbon Jawa Serbaguna antara lain: Sifat, Hari, Pasaran, Neptu, Bulan, dan Tahun. Tabiat Manusia Menurut Waktu

Kelahiran dan Ciri Fisik (Letak Tahi Lalat, Bentuk Kepala, Bibir, Dagu, Raut Wajah, dll). Aneka Perhitungan tentang Jodoh dan Pernikahan, Prosesi Perkawinan Adat Jawa Lengkap dengan Upacara Selamatannya. Pengobatan Tradisional untuk Anak dan Orang Tua (Dari Jamu Khusus untuk Ibu Hamil dan Menyusui, Memperbanyak ASI, Agar Makin Dicintai Suami, Hingga Aneka Resep Tradisional untuk Merawat Bayi).

Makna Berbagai Firasat (Dari Mimpi, Kedutan, Hati yang tiba-tiba Berdebar-debar, telinga Berdenging, dll). Arti dari Fenomena Alam dan Lingkungan Sekeliling (mulai Gempa Bumi, Lolongan Anjing, Perilaku Kucing, Tikus, Kicau Burung, Datangnya Kupu-kupu, Terjadinya Halilintar, Gerhana Matahari dan Bulan, dll). Perhitungan tentang Barang Tersebut Bisa Ditemukan atau Tidak.

Baca juga terkait Malam 1 Suro:

About the author

Gaby

Hai, saya Gabriel. Saya mengenal dunia tulis menulis sejak kecil, dan saya tahu tidak akan pernah lepas dari itu. Sebuah kebanggaan tersendiri bagi saya untuk bisa turut memberikan informasi melalui tulisan saya. Saya juga sangat menulis dengan tema kesenian. Dengan seni, hidup akan jadi lebih berwarna.

Kontak media sosial Instagram saya Gabriela