Pemerintahan

Tugas dan Wewenang DPD Sebagai Lembaga Negara yang Diakui Oleh Konstitusi

Written by Siti M

Tugas dan wewenang DPD – Setelah perubahan UUD 1945 dilakukan, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami perkembangan yang sangat dinamis. Sebagai hasilnya, sistem ketatanegaraan yang sudah ada dan dijalankan terus mengalami pergeseran.

Nah, salah satu hasil dari perkembangan yang dinamis tersebut adalah lahirnya Dewan Perwakilan Daerah atau yang biasa disingkat dengan DPD. Dalam sistem ketatanegaraan yang berjalan saat ini, DPD termasuk sebagai lembaga tinggi negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

Lantas sebenarnya apa saja tugas dan wewenang DPD yang menjadi wakil rakyat dalam menyampaikan aspirasinya? Simak pembahasan lengkapnya dalam artikel ini, ya!

Pengertian DPD

Sebelum membahas tentang tugas dan wewenang DPD, mari kita mulai dengan pengertian DPD itu sendiri,  sebab seperti kata pepatah, “tak kenal maka tak tahu”. So, singkatnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan sebuah lembaga tinggi negara di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Anggota DPD adalah perwakilan dari setiap provinsi yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Untuk masing-masing provinsi, dibutuhkan empat orang anggota DPD yang akan mewakili daerahnya di pusat.

Adapun terkait masa jabatan DPD sama seperti Presiden dan juga DPR, yaitu lima tahun. Setelah pemilihan selesai, anggota DPD terpilih akan berdomisili di ibu kota negara Republik Indonesia.

Tugas dan wewenang DPD

dpd.go.id

Tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD) telah diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tepatnya, dalam pasal 22D yang menjelaskan bahwa tugas dan wewenang DPD adalah:

  1. Mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan daerah dan pusat, pembentukan, pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan juga sumber daya ekonomi yang lainnya, serta hal-hal yang berhubungan dengan pertimbangan keuangan pusat dan daerah kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  2. Ikut serta membahas rancangan Undang-Undang yang berhubungan dengan hal-hal sebagaimana dimaksud dalam poin pertama.
  3. Menyusun serta menyampaikan daftar inventaris masalah rancangan undang-undang dari DPR maupun Presiden yang berhubungan dengan hal-hal yang disebutkan dalam poin pertama
  4. Memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat mengenai rancangan Undang-Undang tentang APBN dan yang berhubungan dengan agama, pendidikan, maupun pajak.
  5. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tentang otonomi daerah, pemekaran, pembentukan, dan penggabungan daerah, hubungan daerah dengan pusat, pengelolaan sumber daya alam dan juga sumber daya ekonomi yang lain, pelaksanaan APBN, pendidikan pajak, dan agama.
  6. Menyampaikan hasil pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang otonomi daerah, pemekaran, pembentukan, dan penggabungan daerah, hubungan daerah dengan pusat, pengelolaan sumber daya alam dan juga sumber daya ekonomi yang lain, pelaksanaan APBN, pendidikan pajak, dan agama kepada DPR untuk dijadikan bahan pertimbangan dan ditindaklanjuti.
  7. Menerima hasil pemeriksaan terhadap keuangan negara dari Badan Pengawas Keuangan untuk dijadikan sebagai bahan membuat pertimbangan kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berhubungan dengan APBN.
  8. Memberikan pertimbangan pada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pengawas Keuangan.
  9. Menyusun program legislasi nasional yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan daerah dengan pusat, pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya dan juga yang berhubungan dengan pertimbangan keuangan daerah maupun pusat.

Singkatnya, DPD hanya memiliki kewenangan untuk mengajukan rancangan undang-undang tertentu ke DPR sesuai yang dijelaskan oleh pasal 22D ayat 1. Setelah itu, nasib rancangan Undang-Undang tersebut berada di tangan DPR sepenuhnya. Apakah DPR akan membahas lebih lanjut atau justru berhenti sampai penyerahan konsep dari DPD ke DPR.

Fungsi DPD

Dewan Perwakilan Daerah memiliki tiga fungsi yang terbatas pada konsultasi dan cenderung inferior pada fungsi yang sama yang dimiliki oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai hasilnya, semua fungsi DPD akan berakhir dan juga bermuara pada Dewan Perwakilan Rakyat.

Adapun tiga fungsi DPD tersebut terbagi ke dalam fungsi legislasi, fungsi pengawasan, serta fungsi nominasi seperti yang bisa kamu lihat dalam penjelasan berikut ini:

A. Fungsi Legislasi

  1. Mengajukan rancangan Undang-Undang yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat serta daerah, pembentukan, pemekaran, dan juga penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan yang berhubungan dengan pertimbangan keuangan daerah dan pusat kepada DPR.
  2. Ikut membahas pada tingkat I terhadap rancangan Undang-Undang yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat serta daerah, pembentukan, pemekaran, dan juga penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, dan yang berhubungan dengan pertimbangan keuangan daerah dan pusat.
  3. Menyerahkan pertimbangan kepada DPR mengenai rancangan undang-undang yang berhubungan dengan APBN, pendidikan, agama, serta pajak.

B. Fungsi Pengawasan

Mengawasi pelaksanaan Undang-Undang tentang otonomi daerah, hubungan pusat serta daerah, pembentukan, pemekaran, dan juga penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pendidikan, agama, dan pajak berdasarkan pada laporan yang diserahkan oleh BPK, aspirasi serta pengaduan masyarakat, keterangan tertulis dari pemerintah, serta temuan monitoring di lapangan. Hasil dari proses pengawasan ini kemudian disampaikan langsung kepada DPR untuk dijadikan bahan pertimbangan dan ditindaklanjuti.

C. Fungsi Nominasi

Menyerahkan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota Badan Pengawas Keuangan yang dilakukan oleh DPR.

Hak dan Kewajiban DPD & Anggotanya

dpd.go.id

  • Dewan Perwakilan Daerah memiliki hak-hak berupa:
  1. Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR
  2. Ikut membahas rancangan undang-undang
  • Anggota Dewan Perwakilan Daerah memiliki hak-hak berupa:
  1. Menyampaikan usul serta pendapatnya
  2. Memilih serta dipilih
  3. Membela diri
  4. Imunitas (hak kekebalan hukum), yaitu hak untuk tidak bisa dituntut di pengadilan karena pernyataan maupun pendapat yang dikemukakan dalam rapat DPD dengan pemerintah atau dengan DPD lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
  5. Protokoler atau hak anggota DPD untuk mendapatkan penghormatan berkenaan dengan jabatannya di dalam acara-acara kenegaraan, acara resmi, atau ketika melaksanakan tugasnya
  6. Hak keuangan serta administratif
  • Anggota DPD memiliki kewajiban berupa:
  1. Membina demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan
  2. Meningkatkan kesejahteraan rakyat
  3. Memperhatikan, menyerap, menyalurkan aspirasi masyarakat serta daerah
  4. Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, serta golongan
  5. Memberikan pertanggungjawaban moral dan politis kepada pemilih serta daerah pemilihannya.

Peran DPD sebagai Lembaga Negara

Setelah mengetahui apa saja tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Grameds mungkin bertanya-tanya tentang “eksistensi” DPD. Tenang, kamu tidak sendirian karena menurut survei yang dilakukan oleh Yayasan Paciba Research Centre pada tahun 2018, 30.206 orang dari 43.152 responden (70%) tidak paham apa fungsi DPD.

Oleh karena itu, mari kita bahas bagaimana sebenarnya peran DPD sebagai lembaga negara di sistem ketatanegaraan Indonesia.

Latar belakang pembentukan DPD

Untuk membahas peran DPD, kamu harus tahu dulu apa yang melatarbelakangi pembentukan DPD pasca reformasi dulu. Jadi awalnya, ide pembentukan DPD berhubungan dengan upaya “merombak” parlemen Indonesia agar menjadi dua kamar atau bicameralism. 

Gagasannya berdasarkan pada perubahan Ketiga UUD 1945 di mana ketentuan tentang DPR diatur dalam pasal 20 dan ketentuan tentang keberadaan DPD diatur dalam pasal 22C serta pasal 22D.

Dari ketiga pasal tersebut, disimpulkan bahwa perbedaan DPR dan DPD yang paling utama ada pada hakikat kepentingan yang diwakili oleh masing-masing lembaga. DPR, misalnya, bertujuan untuk mewakili rakyat sementara DPD lebih mewakili daerah-daerahnya. Pembedaan hakikat perwakilan ini dibuat demi menghindari adanya keterwakilan ganda dalam mengartikan fungsi parlemen yang dijalankan oleh DPR dan juga DPD.

Di sisi lain, para ahli menyarankan agar sistem “dua kamar” dalam parlemen Indonesia dikembangkan lagi menjadi sistem “dua kamar” yang kuat atau strong bicameralism. Dalam sistem ini, baik DPR dan DPD memiliki kewenangan yang sama kuat sehingga bisa saling mengimbangi satu sama lain.

Usulan ini merupakan buntut dari pengalaman pada pemerintahan orde baru yang menjalankan pemerintahan secara sentralistik sehingga hubungan pusat dan daerah menjadi tidak harmonis.

Akan tetapi, pada kenyataannya perubahan ketiga UUD 1945 hasil Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Tahun 2001 malah mengadopsi gagasan soft bicameral di mana dalam sistem ini DPR dan DPD tidak memiliki kewenangan yang sama kuat.

Dengan kata lain, ada satu “kamar” yang lebih kuat daripada “kamar” yang lainnya. Sebagai hasilnya, DPR menjadi “kamar’ yang lebih kuat dan DPD hanya menjadi tambahan yang eksistensinya hanya mengurusi hal-hal yang berhubungan langsung dengan kepentingan daerah.

Kesimpulannya, kewenangan DPD sejak dulu memang memiliki sifat yang terbatas, terutama kewenangan yang berhubungan dengan fungsi legislatifnya. Contohnya, DPD hanya dapat memberikan pertimbangan kepada DPR yang memegang kekuasaan legislatif dalam arti sebenarnya.

Maka dari itu, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa struktur parlemen Indonesia yang berdasarkan pada hasil perubahan ketiga UUD 1945 lebih bersifat “soft bicameralism” alias bikameralisme yang sederhana (Nasarudin, 2016).

Di sisi lain, ide bikameralisme alias struktur parlemen “dua kamar” ini juga mendapat pertentangan yang cukup keras dari beberapa pihak. Pada akhirnya, sistem yang disepakati merupakan rumusan yang tidak bisa disebut sistem “dua kamar” sama sekali. Buktinya, dalam ketentuan UUD 1945 sekarang, DPD tidak memiliki kewenangan dalam pembentukan Undang-Undang.

Lebih lanjut lagi, Nasarudin menjelaskan beberapa masalah yang dihadapi oleh DPD sebagai lembaga negara sehingga perannya tidak tampak sama sekali, diantaranya seperti:

Peran yang dibatasi

dpd.go.id

Jika melihat ketentuan yang tercantum di dalam Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945, Nasarudin yang mengutip pendapat Saldi Isra, mengatakan bahwa frasa “ikut membahas” (lihat fungsi legislasi DPD poin b di atas) sebenarnya masih memungkinkan DPD untuk berperan lebih maksimal dalam fungsi legislasinya.

Akan tetapi, kemungkinan tersebut justru tertutup karena di dalam UU No. 22 Tahun 2022 mengenai susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, peran DPD dalam fungsi legislasinya semakin dibatasi.

Pembatasan ini bisa dilihat dengan adanya frasa “ikut membahas pada tingkat “I” dalam fungsi legislasi DPD. Padahal sebenarnya, untuk rancangan Undang-Undang yang memang berada di dalam wewenang DPD, peran DPD bisa dioptimalkan pada tahap persetujuan bersama antara DPR dengan Presiden.

Optimalisasi peran DPD ini bisa dilakukan dengan pengaturan di tingkat undang-undang selama hal tersebut tidak menghilangkan ketentuan yang ada di dalam Pasal 20 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa pembahasan serta persetujuan bersama dilakukan oleh DPR dan Presiden.

Kedudukan yang dibatasi

Tak hanya itu, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD juga terlalu banyak “menyerahkan” pengaturan hubungan DPD dan DPR khususnya dalam fungsi legislasi ke dalam Tata Tertib DPR (Tatib DPR).

Akibatnya, Tatib DPD hanya dapat mengatur persiapan serta pengajuan rancangan undang-undang yang memang berasal dari DPD tanpa memuat pengaturan tentang hubungan DPD dan DPR, khususnya dalam rancangan Undang-Undang yang memang menjadi wewenang DPD.

Wewenang yang dibatasi

Wewenang DPD dalam fungsi legislasi dalam pasal 22D ayat 1 dan 2 Undang-Undang Dasar 1945 semakin dibatasi dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 serta Tatib DPR 2005/2006.

Lebih jauh lagi, dalam praktiknya, DPR tidak pernah menindaklanjuti rancangan undang-undang yang berasal dari DPD (Nasarudin, 2016). Maka dari itu, tak heran jika peran DPD dalam fungsi legislasi semakin tidak tampak.

Keterlibatan yang terbatas

DPD tidak sepenuhnya “menghilang” karena sebenarnya lembaga negara yang satu ini masih bisa terlibat dalam proses pembuatan undang-undang. Hanya saja sekali lagi, keterlibatan tersebut terjadi di proses awal.

Dalam tahap ini, fungsi legislasi memang berlangsung dalam proses yang dilakukan bersama oleh Presiden, DPR, dan juga DPD. Namun demikian, setelah prosesnya masuk ke dalam tahap pembahasan lebih lanjut serta pengambilan persetujuan bersama, DPD tidak dilibatkan.

Penyebabnya karena proses legislasi kembali lagi ke Presiden dan DPR seperti yang diatur dalam Pasal 20 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Jadi singkatnya, Dewan Perwakilan Daerah yang diharapkan bisa menyuarakan kepentingan daerah di pusat justru tidak diberikan peran yang maksimal oleh konstitusi.

Hasilnya, pembatasan peran, kedudukan, dan wewenang DPD ini kemudian memunculkan pertanyaan di masyarakat. Sebagian masyarakat bertanya-tanya mengenai kinerja DPD RI. Sebagian lain, khususnya para ahli hukum dan politik, mendorong agar fungsi, tugas, dan wewenang DPD lebih ditingkatkan lagi.

Caranya bisa dengan melakukan judicial review UU MD3 serta P3 atas UUD 1945. Atau bisa juga dengan revisi atau perubahan terbatas atas UU MD 3 dan P3 (Nisa, 2017).

Bagaimana masa depan DPD?

dpd.go.id

Jika melihat berbagai aturan yang tentang DPD ada di dalam konstitusi, keberadaan DPD sebagai lembaga legislatif yang memperjuangkan kepentingan serta aspirasi daerah masih sangat jauh dari optimal.

Penyebabnya karena DPD memang diatur sedemikian rupa untuk mencegah adanya dua lembaga legislatif di dalam sebuah negara kesatuan. Akibatnya, hasil kerja DPD tidak bergantung pada dirinya sendiri melainkan tergantung sikap DPR.

Tugas dan kewenangan DPD juga tidak dapat bertambah lagi tanpa adanya perubahan konstitusi yang sebenarnya pernah diperjuangkan oleh anggota DPD, namun tidak mendapatkan dukungan DPR.

Situasi yang dihadapi oleh para anggota DPD terpilih tidak sebanding dengan “panasnya” perebutan suara dalam pemilihan umum untuk mengisi satu kursi anggota DPD. Itulah sebabnya, mungkin ada beberapa anggota DPD yang merasa kecewa karena pengorbanannya tidak sebanding dengan kewenangan yang didapatkan.

Berbagai ketidaksesuaian maupun ketimpangan tugas dan wewenang DPD ini, suka tidak suka, dapat memunculkan pertanyaan tentang masa depan lembaga negara yang satu ini. Apakah DPD memang perlu dipertahankan, dikembangkan, atau justru lebih baik dibubarkan?

Apapun jawabannya, yang harus dihindari adalah penurunan peran DPD sehingga sama dengan organisasi kemasyarakatan, LSM, organisasi profesi, dan perguruan tinggi yang hanya dapat memberikan masukan kepada DPR mengenai rancangan undang-undang. Sebab biar bagaimanapun, DPD merupakan perwakilan daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Ini berarti DPD adalah “jembatan” antara daerah dengan pusat.

Demikian pembahasan tentang tugas dan wewenang DPD. Semoga semua pembahasan di atas bermanfaat sekaligus bisa menambah wawasan kamu.

Jika ingin mencari buku tentang lembaga negara Indonesia, kamu bisa mendapatkannya di gramedia.com. Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca.

Penulis: Gilang Oktaviana Putra

Referensi:

Nisa, Khoirotin (2017), Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Sistem Perwakilan Rakyat Bikameral yang Mandul.

Nasarudin, M. Tubagus (2016), Peran Dpd Sebagai Lembaga Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia (Uud 1945 Pasca Amandemen).

Patrialis Akbar, (2013) Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD NRI Tahun 1945.

About the author

Siti M

Buat saya, menulis bukan hanya sekadar merangkai kata agar terlihat bagus. Saya suka menulis dengan tema-tema seperti manfaat dari suatu bahan alami dan juga ilmu pengetahuan.