in

Mengenal Istilah Boys Don’t Cry: Toxic Masculinity yang Menjamur

Halo, Grameds! Kalian pasti sering mendengar istilah “laki-laki harus kuat” atau “pria tidak boleh menangis.” Istilah-istilah ini mungkin terdengar sederhana dan seolah menjadi bagian dari budaya yang sudah mengakar. Istilah Boys Don’t Cry tidak hanya mencerminkan harapan sosial terhadap bagaimana seorang pria seharusnya bersikap, tetapi juga menyoroti adanya pembatasan ekspresi emosional pria.

Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi lebih dalam mengenai istilah Boys Don’t Cry dan bagaimana konsep ini berhubungan erat dengan fenomena yang dikenal sebagai toxic masculinity. Toxic masculinity merujuk pada serangkaian sikap dan perilaku yang menekankan pada pengendalian emosi, dominasi, dan kekerasan sebagai tanda kejantanan. Fenomena ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga berdampak negatif terhadap hubungan sosial dan kesehatan mental.

Melalui pemahaman yang lebih mendalam tentang toxic masculinity, kita dapat melihat bagaimana konstruksi sosial ini terbentuk, bagaimana dampaknya terhadap kehidupan sehari-hari, dan apa yang bisa kita lakukan untuk mengubah pandangan Boys Don’t Cry Mari kita telusuri lebih lanjut dalam artikel ini.

Pengertian Boys Dont Cry

sumber: pexels

Istilah Boys Don’t Cry merupakan simbol dari norma budaya yang menekankan bahwa laki-laki tidak seharusnya menunjukkan emosi yang dianggap lemah, seperti menangis. Ungkapan ini mengukuhkan stereotip gender yang menempatkan laki-laki sebagai individu yang harus selalu kuat, tegar, dan tahan banting dalam menghadapi berbagai situasi.

Di balik ungkapan ini terdapat asumsi bahwa ekspresi emosional yang lembut atau menunjukkan kerentanan dianggap tidak sesuai dengan maskulinitas sejati. Akibatnya, laki-laki yang tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka tidak boleh menangis atau menunjukkan emosi yang lembut sering kali merasa perlu menahan perasaan mereka. Boys Don’t Cry adalah bagian dari konsep yang lebih luas dan sudah dikenal sebagai toxic masculinity, yang mencakup serangkaian sikap dan perilaku yang menekankan dominasi, kekerasan, dan pengendalian emosi sebagai tanda kejantanan.

Asal Usul Klise Boys Don’t Cry

Klise Boys Don’t Cry berakar dari norma-norma budaya dan sosial yang telah ada sejak lama, yang mendefinisikan peran gender dan ekspektasi terhadap laki-laki dalam masyarakat. Sejak zaman kuno, berbagai budaya di seluruh dunia telah mengembangkan pandangan yang menekankan bahwa laki-laki harus menunjukkan kekuatan fisik dan emosional, serta dominasi, sebagai bagian dari identitas mereka. Pandangan ini diperkuat oleh cerita-cerita mitologi, literatur, dan tradisi lisan yang menggambarkan pahlawan pria sebagai figur yang kuat dan tidak kenal takut, yang jarang sekali atau tidak pernah menunjukkan kerentanan emosional.

Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, stereotip ini makin kuat. Laki-laki diharapkan untuk menjadi pencari nafkah utama. Pendidikan dan media pada masa itu juga berperan dalam memperkokoh stereotip gender ini, dengan mengajarkan anak laki-laki bahwa menangis atau menunjukkan emosi lembut adalah tanda kelemahan yang tidak sesuai dengan peran mereka sebagai pria.

Selama abad ke-20, terutama setelah Perang Dunia I dan II, klise ini semakin mengakar ketika veteran perang yang kembali ke rumah seringkali harus menghadapi trauma tanpa dukungan emosional yang memadai, karena diharapkan untuk “tangguh” dan tidak menunjukkan kelemahan. Media massa, termasuk film, televisi, dan iklan, terus mempromosikan citra laki-laki yang kuat, tanpa memiliki ruang untuk mengekspresikan emosional yang “lemah”.

Namun, pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, dengan munculnya gerakan kesetaraan gender dan peningkatan kesadaran akan kesehatan mental, klise “Boys Don’t Cry” mulai dipertanyakan dan dikritisi. Banyak ahli psikologi, sosiolog, dan aktivis yang mulai mengeksplorasi dampak negatif dari toxic masculinity dan pentingnya bagi laki-laki untuk dapat mengekspresikan emosi mereka dengan bebas dan sehat. Meskipun demikian, jejak-jejak dari klise ini masih ada dan terus mempengaruhi cara laki-laki memandang diri mereka sendiri dan bagaimana mereka berinteraksi dengan orang lain.

Dampak Negatif dari Stereotip Boys Don’t Cry

sumber: pexels

Pemahaman yang salah tentang maskulinitas sering kali menyebabkan penekanan emosi pada pria, yang pada gilirannya dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Stereotip Boys Don’t Cry memperkuat gagasan bahwa pria harus kuat, tahan banting, dan tidak boleh menunjukkan kelemahan atau emosi yang lemah. Akibatnya, banyak pria merasa terpaksa untuk menahan dan menyembunyikan perasaan mereka, bahkan ketika mereka mengalami kesedihan, kecemasan, atau kekecewaan yang mendalam. Penekanan ini pada ekspresi emosi yang terbatas tidak hanya menyebabkan tekanan emosional yang berlebihan, tetapi juga dapat memicu masalah kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, dan bahkan risiko bunuh diri.

Stereotip Boys Don’t Cry memiliki dampak negatif yang signifikan terhadap individu dan masyarakat secara keseluruhan. Berikut beberapa dampak utama dari stereotip ini:

Di Balik Pena: dr. Andreas Kurniawan Berbagi Tutorial Melalui Duka dan Mencuci Piring

1. Kesehatan Mental Menjadi Buruk

Laki-laki yang tumbuh dengan keyakinan bahwa mereka tidak boleh menunjukkan emosi yang lembut sering kali merasa perlu menekan perasaan mereka. Penekanan emosi ini dapat menyebabkan stres, depresi, dan kecemasan yang tidak diungkapkan atau diatasi dengan baik. Mereka mungkin merasa malu atau takut dianggap lemah jika mencari bantuan profesional, yang semakin memperburuk kondisi mental mereka.

2. Hubungan Interpersonal yang Terbatas

Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi secara terbuka dapat merusak hubungan interpersonal. Laki-laki mungkin kesulitan membangun hubungan yang intim dan mendalam dengan pasangan, teman, atau anggota keluarga, karena adanya hambatan dalam komunikasi emosional. Ini dapat menyebabkan isolasi sosial dan kesulitan dalam mempertahankan hubungan yang sehat.

3. Berperilaku Agresif

Ketika emosi yang ditekan tidak menemukan jalan keluar yang sehat, sering kali emosi tersebut diekspresikan melalui perilaku agresif atau kekerasan. Laki-laki yang tidak diajarkan cara yang sehat untuk mengelola dan mengekspresikan emosi mereka mungkin lebih cenderung melakukan tindakan kekerasan, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

4. Kesehatan Fisik yang Menurun

Stres emosional yang tidak diungkapkan dapat berpengaruh pada masalah kesehatan fisik seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan tidur. Penekanan emosi juga dapat meningkatkan risiko penyalahgunaan zat dan perilaku adiktif lainnya sebagai cara untuk mengatasi perasaan yang tidak diungkapkan.

5. Menghambat Pencapaian Potensi Diri

Laki-laki yang merasa terpaksa mematuhi stereotip ini mungkin enggan mengejar minat atau karier yang dianggap tidak maskulin. Ini membatasi potensi mereka untuk mengeksplorasi dan mengembangkan keterampilan dan minat yang sebenarnya mereka miliki, sehingga menghambat pencapaian potensi diri secara penuh.

Mengatasi dampak negatif dari stereotip “Boys Don’t Cry” memerlukan upaya kolektif untuk mengubah norma budaya dan sosial, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dan emosional bagi semua individu, tanpa memandang gender. Ini termasuk pendidikan yang mendukung ekspresi emosional yang sehat, dukungan profesional yang mudah diakses, dan role model yang menunjukkan bahwa menunjukkan kerentanan adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan.

Pentingnya Mengubah Pandangan Boys Don’t Cry

Menyoroti pentingnya memahami bahwa ekspresi emosi adalah bagian alami dari manusia, tanpa memandang gender, sangatlah vital. Terlalu sering, dalam masyarakat kita, pria diajarkan untuk menahan emosi mereka demi menunjukkan kekuatan dan ketangguhan. Namun, ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental mereka. Emosi, baik itu kesedihan, kemarahan, kebahagiaan, atau ketakutan, adalah bagian alami dari pengalaman manusia. Memahami dan menerima emosi ini sebagai sesuatu yang normal dan penting untuk kesehatan mental adalah langkah pertama menuju perubahan yang lebih positif dalam pandangan tentang ekspresi emosi pada pria.

Mengubah pandangan Boys Don’t Cry sangat penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan inklusif. Dengan membebaskan laki-laki dari stereotip yang membatasi ekspresi emosional, kesehatan mental mereka dapat meningkat secara signifikan. Mendorong laki-laki untuk berbicara tentang perasaan mereka dan mencari bantuan profesional saat diperlukan dapat mengurangi tingkat stres, depresi, dan kecemasan. Selain itu, kemampuan untuk mengekspresikan emosi secara terbuka memungkinkan laki-laki membangun hubungan yang lebih dalam dan bermakna dengan pasangan, keluarga, dan teman-teman, memperkuat komunikasi emosional yang sering kali terbatas oleh stereotip gender.

Dengan mengajarkan cara sehat untuk mengelola dan mengekspresikan emosi, kasus perilaku agresif dan kekerasan dapat berkurang, karena laki-laki tidak lagi menggunakan kekerasan sebagai cara untuk mengatasi perasaan mereka. Mengubah pandangan ini juga merupakan langkah penting dalam menghancurkan toxic masculinity, yang menciptakan lingkungan sosial yang toxic bagi laki-laki dan perempuan. Dengan menghancurkan norma-norma yang menganggap dominasi, kekerasan, dan pengendalian emosi sebagai tanda kejantanan, masyarakat dapat menjadi lebih inklusif dan mendukung semua bentuk ekspresi gender.

Selain itu, kesehatan emosional yang lebih baik dapat berpengaruh pada kesehatan fisik, hal ini dapat mengurangi risiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan tidur, serta mengurangi kecenderungan penyalahgunaan zat. Ketika laki-laki tidak lagi terbebani oleh stereotip gender yang kaku, mereka dapat lebih bebas mengejar minat dan karier yang mungkin sebelumnya dianggap tidak maskulin, membuka jalan bagi mereka untuk mengeksplorasi dan mengembangkan keterampilan serta minat yang sebenarnya mereka miliki. Ini memungkinkan mereka mencapai potensi diri secara penuh.

Pada akhirnya, mengubah pandangan Boys Don’t Cry adalah bagian dari upaya yang lebih luas untuk mendukung keberagaman dalam masyarakat, menerima berbagai bentuk ekspresi emosional dan identitas gender, serta menciptakan lingkungan yang lebih adil dan setara bagi semua orang. Dengan demikian, semua individu dapat hidup dengan bebas dan sehat, mengekspresikan diri mereka sepenuhnya, dan mencapai potensi mereka yang sesungguhnya.

Kesimpulan

Stereotip Boys Don’t Cry tidak hanya membatasi ekspresi emosi pria, tetapi juga berdampak negatif pada kesehatan mental dan kesejahteraan mereka secara keseluruhan. Penting untuk mengakui bahwa pria memiliki hak yang sama dengan perempuan untuk mengekspresikan emosi mereka dengan bebas dan mencari dukungan ketika diperlukan. Dengan meruntuhkan stereotip ini dan mendorong dialog terbuka tentang ekspresi emosi pada pria, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi semua individu, tanpa memandang gender. Semoga artikel ini dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam untuk Grameds ya!

Gramin juga sudah menyiapkan buku-buku terkait di bawah ini, lho. Yuk langsung saja dapatkan bukunya hanya di Gramedia.com! Sebagai #SahabatTanpaBatas, kami selalu siap memberikan informasi dan produk terbaik untuk kamu.

Penulis: Hafizh

 

Rekomendasi Buku Terkait 

Buku Maskulin : Teori-Teori Kritis Psikologinya

Buku Maskulin : Teori-Teori Kritis Psikologinya

button cek gramedia com

Berdasarkan identitas gender, setiap individu manusia, perempuan maupun laki-laki, memiliki potensi sifat keperempuanan (femininity) dan kelaki-lakian (masculinity) dalam kadar tertentu. Kedua sifat tersebut dapat dikembangkan oleh individu dengan stimulasi tertentu. Dengan identitas ini, tidak harus terkejut manakala banyak perempuan yang memiliki sifat yang selama ini dianggap sebagai sifat laki-laki, juga sebaliknya. Keperempuanan perempuan, atau kelaki-lakian laki-laki berdasarkan peran gender hendaknya tidak diperdebatkan, dan karena itu, polarisasi tugas dan peran yang dikotomis, yang membedakan sangat ekstrim untuk perempuan atau laki-laki, akan melahirkan penyakit psikologis bagi keduanya. Menurut Jung, perempuan atau laki-laki yang mengembangkan kedua sifat tersebut lebih sehat secara psikologis. Gen yang dimiliki manusia selalu berbentuk pasangan. Tiap gen dalam pasangan itu mempunyai asal yang berbeda, satu dari kromosom sel sperma dan satunya lagi dari kromosom sel telur. Setiap anak hanya menerima setengah dari gen masing-masing kedua orangtuanya. Atas dasar inilah Jung menyimpulkan bahwa dalam diri manusia mempunyai aspek feminin dan maskulin.

 

The Book Of Melepaskan Emosi dan Depresi

The Book Of Melepaskan Emosi dan Depresi

button cek gramedia com

Masih banyak orang yang sulit untuk meluapkan emosi, menerima kenyataan, dan memaafkan, sehingga mereka merasakan depresi atau stres. Semua itu dapat dihilangkan ketika Anda ingin mempelajarinya dan ingin berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Buku The Book Of Melepaskan Emosi dan Depresi ini hadir untuk menolong Anda yang sedang mengalami ketidaknyamanan diri, memendam amarah, prefeksionis akut, dan depresi ringan yang sifatnya sementara. Ditulis dengan bahasa yang ringan, sehingga buku ini mudah untuk dipahami. Buku ini akan membantu Anda yang ingin mencari ketenangan dan kebahagiaan hidup dengan niat melepaskan masalah yang sulit. Buku ini menyajikan cara agar hidup merasa bahagia dengan Emotional Freedom Technigues (EFT). Emotional Freedom Technigues (EFT) yang disajikan dalam buku ini disusun dengan mudah dan sederhana. Anda akan dibimbing untuk melepaskan masalah, menguapkan emosi, menerima kenyataan, mengikhlaskan, memaafkan, serta melakukan pengendalian diri terhadap masalah-masalah baru yang mungkin muncul di masa mendatang. Jadi tunggu apalagi? Segera miliki buku The Book Of Melepaskan Emosi dan Depresi ini sekarang juga! Selamat membaca!

 

Tetap Waras Di Tengah Orang Toksik

Tetap Waras Di Tengah Orang Toksik

button cek gramedia com

Kewarasan memang merupakan sebuah keadaan dan sifatnya tidaklah tetap sepanjang waktu. Kita waras saat ini, besok bisa berbeda. Kita tidak waras saat ini, belum tentu besok masih tidak waras. Kewarasan ini seringkali beririsan dengan lingkungan sekitar kita. Kesadaran dan keberanian untuk melihat, mengenali, bahkan mempertanyakan orang-orang di sekitar kita dan diri sendiri demi kewarasan ini merupakan sebuah undangan untuk rajin introspeksi dan memperbaiki diri. Mungkin kita tidak menyadarinya, tapi bisa saja kita hidup di tengah-tengah lingkungan toksik yang juga dipenuhi orang –orang toksik. Perhatikan, kalau kita sering merasa tertekan, kesal, dan lelah saat berhadapan dengan seseorang atau situasi tertentu, artinya kita sedang berhadapan dengan orang atau lingkungan yang toksik. Itu belum seberapa. Yang paling berbahaya adalah tipikal orang toksik yang ahli “menyamar”. Sekilas ia nampak baik, tingkahnya pun tidak terlalu merepotkan, tapi diam-diam ia terus memanfaatkan kita untuk memenuhi semua keinginannya. Lantas bagaimana kita bisa mengenali dan menghadapi orang dan lingkungan toksik di sekitar kita? Bisakah kita menjalani hidup yang tenang di tengah-tengah mereka?

 



Live Apakah Anda berminat jika disediakan fasilitas baca buku sepuasnya di Gramedia ?
  • Ya, tentu saja!
    92% 92% 1.4k / 1.5k
  • Tidak
    7% 7% 117 / 1.5k


ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah."

logo eperpus

  • Custom log
  • Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
  • Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
  • Tersedia dalam platform Android dan IOS
  • Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
  • Laporan statistik lengkap
  • Aplikasi aman, praktis, dan efisien

Written by Adila V M