Sejarah

Mengenal Lebih Dalam 6 Suku yang Ada di Pulau Jawa

Mengenal 6 Suku yang Mendiami Pulau Jawa Bagian Barat
Written by Fandy

Suku di Pulau Jawa – Tahukah Grameds, Indonesia merupakan salah satu negeri yang memiliki kekayaan yang melimpah. Kekayaan tersebut tidak hanya sebatas mengacu dari hasil alamnya saja, tetapi juga ragam suku, bahasa, agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Untuk kekayaan suku bangsa, Indonesia memiliki ratusan nama suku, bahkan ribuan apabila dirinci hingga subsukunya.

Setiap suku memiliki adat dan norma yang berbeda-beda. Pun demikian, keberagaman tersebut tidak membuat keutuhan bangsa terpecah-pecah. Sebaliknya, keberagaman menyatu untuk mencapai tujuan masyarakat yang adil dan makmur.

Data suku di Indonesia sendiri pertama kali dihasilkan melalui Sensus Penduduk (SP) 1930 oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, pengumpulan data ini sempat terhenti pada masa Orde Baru disebabkan adanya political taboo yang memandang bahwa pembahasan suku adalah upaya yang dapat mengancam keutuhan bangsa. Barulah 70 tahun kemudian, data suku tersebut mulai dikumpulkan kembali pada masa Reformasi oleh BPS melalui SP2000, yang dilanjutkan dengan SP2010.

Setidaknya, ada sekitar 1.340 suku bangsa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Catatan yang dihimpun oleh BPS tahun 2010 menyebutkan bahwa suku Jawa merupakan suku terbesar dengan proporsi 40,05% dari jumlah penduduk di Indonesia. Sisanya adalah suku-suku yang mendiami wilayah di luar Jawa, seperti suku Bugis (3,68%), Batak (2,04%), Bali (1,88%), Aceh (1,4%), dan suku-suku lainnya.

Masyarakat Jawa di sisi lain tidak hanya mendiami Pulau Jawa saja, tetapi ada juga yang berada di luar Pulau Jawa dengan tetap mempertahankan nilai-nilai budayanya. Oleh karena itu, kebudayaan Jawa dinilai besar dan sangat beragam dari berbagai sisi.

Mayoritas masyarakat Jawa beragama Islam, meskipun saat ini sudah banyak yang menganut agama-agama lain. Adapun perekonomian utama masyarakatnya berasal dari bidang pertanian. Masyarakat perdesaan banyak yang bekerja sebagai petani dan menggarap sawah.

Selain itu, mereka juga banyak yang mengerjakan usaha sebagai perajin, misalnya mencetak batu bata, membatik, mengayam, hingga menjadi tukang kayu. Sementara itu, masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pesisir umumnya bekerja sebagai nelayan dan menjualnya di tempat pelelangan ikan.

Secara umum, wilayah Jawa mayoritas didiami oleh suku Jawa, yang terbagi ke dalam beberapa suku atau subsuku. Selain suku Jawa, suku di pulau Jawa lainnya yang mendiami wilayah ini adalah suku Samin, Tengger, Osing, dan Bawean. Adapun suku-suku lain yang berada di wilayah pulau Jawa bagian barat meliputi suku Bagelen, Badui, Sunda, Betawi, Cirebon, dan Banten.

Agar lebih memahami asal-usul dan adat istiadat suku-suku tersebut, mari kita simak bersama-sama gambaran dan penjelasan berikut terkait suku di pulau Jawa.

70 tradisi unik suku bangsa di Indonesia - suku di pulau jawa

1. Suku Bagelen

suku di pulau jawa

Suku di Pulau Jawa yang pertama adalah Suku Bagelen. Orang Bagelen adalah salah satu subkelompok dari orang Jawa di daerah yang bernama Bagelen. Pada 1830, daerah Bagelen menjadi keresidenan Bagelen, terdiri atas Afdeling Purworejo, Kebumen, dan Wonosobo.

Keresidenan ini berbatasan dengan Keresidenan Pekalongan di sebelah utara, Keresidenan Kedu dan Keresidenan Yogyakarta di sebelah timur, Samudra Hindia di sebelah selatan, serta Keresidenan Banyumas dan Keresidenan Tegal di sebelah barat. Sejak tanggal 1 Agustus 1901, Keresidenan Bagelen dihapuskan dan dimasukkan ke dalam Keresidenan Kedu.

Secara umum, orang Jawa dapat disebut memiliki kebudayaan Jawa. Namun, ada sub-sub kebudayaan dengan variasi budayanya, misalnya dalam hal logat bahasa, makanan, upacara-upacara rumah tangga, kesenian rakyat, dan seni suara.

Keragaman budaya suku Bagelen dibandingkan dengan sub kebudayaan lain tampak dalam hal kesenian. Kesenian Bagelen antara lain wayang urang, tarian kuda yang disebut jathilan, dan tarian teledhek. Mereka juga sudah mengenal pertunjukkan wayang kulit sejak zaman dahulu kala, yakni dengan pertunjukkan wayang beber.

Satu pertunjukkan yang khas dari daerah Bagelen ini adalah wayang jemblung, yang menuturkan cerita-cerita Menak, dongeng-dongeng tentang tokoh Islam Amir Hamzah. Pertunjukkan ini biasa diadakan pada perayaan khitanan dan perkawinan.

Warga masyarakatnya gemar mengadakan pertunjukkan nyanyian agama, yaitu perjanjen, yang dilakukan oleh tiga atau empat orang penyanyi dengan duduk di lantai, masing-masing memegang tamborin kecil yang dibunyikan menurut irama lagunya.

Dihadapan mereka duduk sekitar 12 orang laki-laki yang turun menyanyi. Lagu-lagu yang dibawakan adalah lagu-lagu dari buku Arab Barzanji. Budaya masyarakat desa Jawa umumnya memang menunjukkan adanya persamaan, tetapi terdapat variasi di berbagai tempat seperti halnya Bagelen.

2. Suku Badui

suku di pulau jawa

Suku di Pulau Jawa yang kedua adalah Suku Badui (bahasa Sunda Badui: Urang Kanékés) atau kadang sering disebut Badui merupakan masyarakat adat dan sub-etnis dari suku Sunda di wilayah pedalaman Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, yang belum terpengaruh modernisasi dan hampir sepenuhnya terasing dari dunia luar.

Populasi mereka sekitar 26.000 orang, mereka merupakan salah satu kelompok masyarakat yang menutup diri mereka dari dunia luar. Selain itu mereka juga memiliki keyakinan tabu untuk didokumentasikan, khususnya penduduk wilayah Badui Dalam.

Masyarakat Badui menolak istilah “wisata” atau “pariwisata” untuk mendeskripsikan kampung-kampung mereka. Sejak 2007, untuk mendeskripsikan wilayah mereka dan menjaga kesakralan wilayah tersebut, masyarakat Badui memperkenalkan istilah Saba Budaya Badui, yang bermakna “Silaturahmi Kebudayaan Badui”.

Sebutan “Badui” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Badui dan Gunung Badui yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.

Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai Urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, penulisan yang tepat adalah “Badui”, bukan “Baduy”.

Kepercayaan masyarakat Kanekes disebut sebagai ajaran Sunda Wiwitan, yaitu ajaran leluhur turun-temurun yang berakar penghormatan kepada karuhun atau arwah leluhur dan pemujaan kepada roh kekuatan alam (animisme). Meskipun sebagian besar aspek ajaran ini adalah asli tradisi turun-temurun, pada perkembangan selanjutnya ajaran leluhur ini juga sedikit dipengaruhi oleh beberapa aspek ajaran Hindu, Buddha, dan di kemudian dari ajaran Islam.

Bentuk penghormatan kepada roh kekuatan alam ini diwujudkan melalui sikap menjaga dan melestarikan alam, yaitu merawat alam sekitar (gunung, bukit, lembah, hutan, kebun, mata air, sungai, dan segala ekosistem di dalamnya), serta memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada alam dengan cara merawat dan menjaga hutan larangan sebagai bagian dalam upaya menjaga keseimbangan alam semesta.

Inti kepercayaan tersebut ditunjukkan dengan adanya pikukuh (kepatuhan atau ketentuan) adat mutlak yang dianut dalam kehidupan sehari-hari orang Kanekes. Isi terpenting dari pikukuh Kanekes tersebut adalah konsep “tanpa perubahan apa pun” atau perubahan sesedikit mungkin:

Lojor heunteu beunang dipotong, pèndèk heunteu beunang disambung (panjang tidak bisa/tidak boleh dipotong, pendek tidak bisa/tidak boleh disambung).

Tabu tersebut dalam kehidupan sehari-hari diinterpretasikan secara harafiah. Di bidang pertanian, bentuk pikukuh tersebut adalah dengan tidak mengubah kontur lahan bagi ladang, sehingga cara berladangnya sangat sederhana, tidak mengolah lahan dengan bajak, tidak membuat terasering, hanya menanam dengan tugal, yaitu sepotong bambu yang diruncingkan.

Pada pembangunan rumah juga kontur permukaan tanah dibiarkan apa adanya, sehingga tiang penyangga rumah Kanekes sering kali tidak sama panjang. Perkataan dan tindakan mereka pun jujur, polos, tanpa basa-basi, bahkan dalam berdagang mereka tidak melakukan tawar-menawar.

Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. Orang Kanekes mengunjungi lokasi tersebut untuk melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan Kalima, yang pada 2003 bertepatan dengan bulan Juli. Hanya Pu’un atau ketua adat tertinggi dan beberapa anggota masyarakat terpilih saja yang mengikuti rombongan pemujaan tersebut.

Di kompleks Arca Domas tersebut terdapat batu lumpang yang menyimpan air hujan. Apabila saat pemujaan ditemukan batu lumpang tersebut dalam keadaan penuh air yang jernih, bagi masyarakat Kanekes itu merupakan pertanda bahwa hujan pada tahun tersebut akan banyak turun dan panen akan berhasil baik. Sebaliknya, apabila batu lumpang kering atau berair keruh, maka merupakan pertanda kegagalan panen.

Bagi sebagian kalangan, kepercayaan yang dianut masyarakat adat Kanekes ini mencerminkan kepercayaan keagamaan masyarakat Sunda secara umum sebelum masuknya Islam dan menunjukkan keteguhan masyarakatnya.

3. Suku Sunda

suku sunda - suku di pulau jawa

Suku di Pulau Jawa yang ketiga adalah Suku Sunda (bahasa Sunda: Urang Sunda) adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat Pulau Jawa, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi Provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan wilayah barat Jawa Tengah (Banyumasan).

Populasi suku Sunda secara signifikan juga dapat ditemukan di wilayah provinsi lain di Indonesia, dan di luar negeri seperti di Jepang, Taiwan, dan negara-negara lainnya sebagai tempat bagi para diaspora Sunda.

Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasa dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, riang dan bersahaja. Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang Sunda bersifat jujur dan pemberani.

Orang Sunda juga adalah suku bangsa pertama yang melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Sang Hyang Surawisesa atau Raja Samian adalah raja pertama di Nusantara yang melakukan hubungan diplomatik dengan bangsa lain pada abad ke-15 dengan orang Portugis di Malaka.

Hasil dari diplomasinya dituangkan dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal. Beberapa tokoh Sunda juga menjabat menteri dan pernah menjadi Wakil Presiden dalam kabinet RI.

Selain berprestasi dalam bidang politik (khususnya pada awal masa kemerdekaan Indonesia) dan ekonomi, prestasi yang cukup membanggakan adalah dalam bidang budaya, yaitu banyaknya penyanyi, musisi, aktor, dan aktris dari etnis Sunda yang memiliki prestasi di tingkat nasional maupun internasional.

4. Suku Betawi

suku betawi - suku di pulau jawa

Suku di Pulau Jawa yang keempat adalah Suku Betawi yang merupakan sebuah suku bangsa di Indonesia yang penduduknya umumnya menempati wilayah Jakarta dan sekitarnya. Mereka adalah keturunan penduduk yang bermukim di Batavia (nama kolonial dari Jakarta) dari sejak abad ke-17.

Sejumlah pihak berpendapat bahwa suku Betawi berasal dari hasil perkawinan antar etnis dan bangsa pada masa lalu. Secara biologis, mereka yang mengaku sebagai orang Betawi adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa yang didatangkan oleh Belanda ke Batavia.

Apa yang disebut dengan orang atau suku Betawi sebenarnya terhitung pendatang baru di Jakarta. Secara Ras/DNA atau genetika (gen), kelompok etnis ini lahir dari perpaduan etnis asli dengan berbagai kelompok etnis lain yang sudah lebih dulu dan lama hidup di Jakarta, seperti Sunda, Melayu, Makassar, Jawa, Bugis, Tionghoa, Arab, Belanda, Portugis, Bali, dan Ambon.

Secara kesukuan, mulai dari kebudayaan, adat-istiadat, kuliner, kebiasaan masyarakat, tradisi, arsitektur bangunan, motif pakaian tradisional, seni musik, dan kesenian-kesenian lainnya, suku Betawi terpengaruh kuat dari kebudayaan Melayu dan Tionghoa. Bahkan menurut para pakar, hampir setengah dari kebudayaan Betawi ialah kebudayaan Tionghoa dengan setengahnya kebudayaan Melayu.

Hal ini bisa kita lihat dari beberapa adat, tradisi, kebiasaan, kesenian, serta kebudayaan Betawi sangat bercorak Melayu dan Islam. Sisanya, kebudayaan Betawi terpengaruh oleh beberapa suku lain, seperti Sunda, Arab, Portugis, Jawa, Belanda, dan Bali.

5. Suku Cirebon

Suku di Pulau Jawa yang kelima adalah Suku Cirebon yang merupakan kelompok etnis yang tersebar di sekitar wilayah Kabupaten Cirebon, Kota Cirebon, kabupaten Indramayu, kabupaten Majalengka, kabupaten Subang dan kabupaten Karawang serta kabupaten Brebes.

Suku Cirebon dipandang sebagai suku tersendiri dengan berbagai indikator, di antaranya bahasanya yang memiliki aturan tersendiri yang tidak sama dengan bahasa Jawa ataupun bahasa Sunda.

Masyarakat Suku Cirebon memeluk agama Islam. Bahasa yang dituturkan oleh orang Cirebon adalah bahasa Jawa yang juga ada gabungan beberapa bahasa yakni dari Sunda, Arab, dan Tionghoa yang mereka sebut sebagai bahasa Cirebonan atau bahasa Jawa Dialek Cirebon. Mereka juga memiliki dialek bahasa Sunda tersendiri yang disebut bahasa Sunda Cirebon.

Pandangan hidup suku di pulau Jawa yang satu ini didasari dari implementasi adat istiadat yang didasarkan kepada penjabaran hadis dan Al-Qur’an, di antara pandangan-pandangan hidup yang dipegang erat oleh masyarakat adat suku Cirebon adalah petatah-petitih (bahasa Indonesia: pesan) dari Syekh Syarief Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).

Petatah-petitih lainnya yang menjadi pandangan hidup suku Cirebon memiliki kemiripan nilai dengan Pancasila, yaitu:

  1. Wedia Ning Allah (takutlah kepada Allah SWT);
  2. Gegunem Sifat Kang Pinuji (mengusung sifat-sifat terpuji kemanusiaan);
  3. Den Welas Asih Ing Sapapada (utamakan cinta kasih terhadap sesama);
  4. Angadahna Ing Pepadu (jauhi pertengkaran);
  5. Amapesa Ing Bina Batan (jangan serakah dalam hidup bersama).

6. Suku Banten

Suku di Pulau Jawa yang keenam adalah Suku Banten atau Sunda Banten (bahasa Sunda: Urang Banten) adalah orang Sunda yang mendiami bekas daerah kekuasaan Kesultanan Banten di luar Parahyangan, Cirebon, dan Jakarta. Orang Banten menggunakan bahasa Sunda Banten serta sebagian kecil menggunakan bahasa Jawa Serang.

Kata Banten muncul jauh sebelum berdirinya Kesultanan Banten. Kata ini digunakan untuk menamai sebuah sungai dan daerah sekelilingnya, yaitu Cibanten atau sungai Banten. Rujukan tertulis pertama mengenai Banten dapat ditemukan dalam naskah Sunda Kuno Bujangga Manik yang menyebutkan nama-nama tempat di Banten dan sekitarnya.

Perbedaan tata bahasa antara Bahasa Sunda dialek Banten dan Bahasa Sunda Umum dikarenakan wilayah Banten tidak pernah menjadi bagian dari Kesultanan Mataram, sehingga tidak mengenal tingkatan kasar dan sangat halus yang diperkenalkan oleh Mataram.

Bahasa ini biasa dituturkan terutama di wilayah Banten seperti Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Lebak , Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan bagian selatan Kabupaten Serang. Selain Bahasa Banten terdapat juga bahasa Jawa Banten yang dituturkan di wilayah pesisir utara Banten (Kota Serang, Kota Cilegon, dan utara Kabupaten Serang).

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai suku di Pulau Jawa. Berikut ini rekomendasi buku dari Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang suku-suku di Indonesia agar bisa memahaminya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Rekomendasi Buku & Artikel terkait Suku di Pulau Jawa

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.