Geografi

Pengertian Presipitasi: Proses, Sejarah, dan Jenis-Jenisnya

Pengertian, Proses, dan Jenis-Jenis Presipitasi
Written by Mochamad Harris

Pengertian Presipitasi – Dalam siklus hidrologi, terdapat fase presipitasi yang terjadi setelah kondensasi. Presipitasi adalah proses jatuhnya segala materi yang dicurahkan dari atmosfer ke permukaan bumi dalam bentuk cair (hujan) maupun padat (salju). Air hujan yang meresap ke dalam tanah sebagai air tanah disebut perkolasi.

Menurut buku Geografi: Menyingkap Fenomena Geosfer, jika tetes air tidak sampai ke permukaan, maka disebut virga. Gejala virga terjadi akibat tetes air yang akan jatuh sebagai hujan menguap kembali menjadi awan. Vigra banyak terjadi di daerah panas, seperti gurun pasir.

Hujan yang turun ke permukaan bumi mengenai tanah, danau, suang, laut, hutan, perkebunan dan sebagainya. Hujan yang turun dan langsung mengenai permukaan air sungai disebut intersepsi saluran (channel interception). Biasanya, air hujan mengandung unsur oksigen, nitrogen dan karbon dioksida.

Pengertian Presipitasi

Dalam meteorologi, presipitasi (juga dikenal sebagai satu kelas dalam hidrometeor, yang merupakan fenomena atmosferik) adalah setiap produk dari kondensasi uap air di atmosfer. Fenomena itu terjadi ketika atmosfer (yang merupakan suatu larutan gas raksasa) menjadi jenuh dan air kemudian terkondensasi dan keluar dari larutan tersebut (terpresipitasi).

Udara menjadi jenuh melalui dua proses, pendinginan atau penambahan uap air. Presipitasi yang mencapai permukaan bumi dapat menjadi beberapa bentuk, termasuk diantaranya hujan, hujan beku, hujan rintik, salju, dan hujan es. Virga adalah presipitasi yang pada mulanya jatuh ke bumi, tetapi menguap sebelum mencapai permukaannya.

Presipitasi adalah komponen penting dalam siklus air dan menjadi sumber sebagian besar air tawar di Bumi. Sekitar 505.000 km3 air turun melalui proses presipitasi tiap tahunnya, sebanyak 398.000 km3 turun di lautan. Bila didasarkan pada luasan permukaan bumi, presipitasi tahunan global adalah sekitar 1 m, dan presipitasi tahunan rata-rata di atas lautan sekitar 1,1 m.

Presipitasi perlu diukur untuk mendapatkan data hujan yang sangat berguna bagi perencanaan hidrologis, semisal perencanaan pembangunan bendung, dam, dan sebagainya.

Sejarah Presipitasi

Ilmuwan di California, Amerika Serikat menyatakan bahwa pemanasan global menyebabkan peningkatan kelembaban yang menjadikan wilayah-wilayah basah makin basah serta wilayah-wilayah kering makin kering. Peningkatan gas-gas rumah kaca serta lapisan ozon yang menipis memengaruhi pola sirkulasi yang terjadi di atmosfer yang memicu badang mengarah ke daerah kutub.

Para ilmuwan di Lawrence Livermore National Laboratory di California mengemukakan bahwa perubahan-perubahan presipitasi di daratan maupun lautan tidak bisa dijabarkan menggunakan variabilitas alam saja serta mempunyai dampak yang langsung dirasakan dalam kegiatan manusia.

Kate Marve dan Celine Bonfils membuat perbandingan prediksi model iklim dengan data cuaca yang diamati dalam waktu lebih dari tiga dekade melalui sebuah penelitian terbaru. Melalui sebuah artikel yang diterbitkan dalam jurnal ilmiah “Proceedings of the National Academy of Sciences”, para ilmuwan mengemukakan bahwa walaupun fluktuasi alamiah iklim bisa memicu intensifikasi hujan atau salju ataupun pergeserannya ke wilayah kutub, akan jarang sekali dua efek tersebut berlangsung sekaligus secara alamiah. Kate Marvel menarik sebuah kesimpulan bahwa pengaruh eksternal, misalnya peningkatan gas rumah kaca berperan besar dalam perubahan-perubahan yang terjadi.

Proses Terjadinya Presipitasi

Merangkum buku Pengendalian Pencemaran Lingkungan, disebutkan bahwa presipitasi merupakan bagian dari siklus air, yaitu sirkulasi air dari bumi ke atmosfer dan kembali lagi ke bumi yang berlangsung secara terus-menerus.

Pada mulanya, awan mengalami adveksi, yaitu proses perpindahan awan dari satu titik ke titik lain dalam satu horizontal akibat arus angin atau perbedaan tekanan udara. Awan yang mengalami adveksi selanjutnya akan mengalami proses presipitasi.

Terjadinya proses presipitasi dimulai saat awan mencair akibat pengaruh suhu udara yang tinggi. Pada proses presipitasi, hujan akan terjadi. Butiran-butiran air jatuh dan membasahi permukaan bumi. Apabila suhu udara di sekitar awan terlalu rendah hingga mencapai nol derajat celcius, proses presipitasi berpotensi menghasilkan salju. Awan yang mengandung banyak air akan turun ke litosfer dalam bentuk butiran salju tipis, seperti pada daerah iklim sub tropis.

Berdasarkan buku Lingkungan Abiotik, proses presipitasi dapat dijelaskan dengan berbagai teori, dua di antaranya yang dapat menjelaskan dengan baik adalah proses kolisi-koalesensi (collision-coalescence process) untuk daerah latitudinal rendah (sekitar khatulistiwa) dan proses Bergeron (Bergeron process atau disebut juga proses kristal es) untuk daerah latitudinal tinggi.

1. Presipitasi dalam Proses Koalisi-Koalesensi

Merujuk pada buku Pengantar Meteorologi, pada proses kolisi-koalesensi, tahap pertama adalah pembentukan titik-titik air melalui inti kondensasi. Ada beberapa titik air yang lebih besar dari yang lain karena tabrakan antara beberapa titik-titik air atau inti kondensasi yang dimiliki lebih kuat.

Titik-titik air yang besar ini bertabrakan (kolisi) dan bergabung dengan titik-titik air yang lebih kecil, sehingga membentuk tetes hujan. Pembentukan tetes hujan dipengaruhi oleh muatan listrik pada awan, titik-titik air, arus naik pada wan, ketebalan awan, dan jangkauan ukuran titik-titik air.

2. Presipitasi dalam Proses Bergeron

Pada proses Bergeron, tahap pertama adalah pembentukan titik-titik air di dasar awan melalui proses kolisi-koalesensi. Titik-titik air sebagian ada yang terdorong arus naik ek atas awan, kemudian titik-titik air ini mendingin. Titik-titik air ada yang sebagian berubah menjadi kristal es dengan bantuan partikel-partikel yang disebut inti es. Tekanan uap jenuh kristal es lebih kecil dari tekanan uap jenuh titik-titik air. Akibatnya, titik-titik air menguap dan terdeposisi pada kristal-kristal es.

Kristal es akan membesar, bertabrakan, dan berkumpul sehingga membentuk salju. Presipitasi dari awan nimbostratus atau stratus biasanya terbentuk melalui proses Bergeron. Presipitasi yang turun dari awan kumulonimbus biasanya terbentuk dari campuran sebagian proses Bergeron dan kolisi-koalesensi.

Asal Air dalam Proses Presipitasi

Air dalam proses prespitasi berasal dari bumi yang kemudian menguap ke awan dan umumnya turun dalam bentuk air tawar. Walaupun diambil dari air laut air yang akan turun ke bumi tetaplah air tawar, hal ini karena pada saat penguapan ke awan, garam laut tidak ikut terbawa.

Lalu, bagaimana dengan hujan asam yang biasa terjadi?. Nah, hujan asam ini sebenarnya bukan berasal dari uapan air laut ke awan. Hujan asam terjadi karena adanya polusi di atmosfer sehingga air yang turun ke tanah sudah terkontaminasi dengan polusi tersebut. Hal inilah yang menyebabkan dari awan turun ke bumi dalam kadar asam yang tinggi.

Jadi, semua air yang turun pada proses presipitasi umumnya adalah air tawar. Sebagai tambahan informasi, hujan asam tidak secara langsung membahayakan kita (manusia), melainkan bisa merusak ekosistem seperti sungai dan berbagai aliran air. Selain itu dampaknya juga bisa terjadi pada tumbuhan dan hewan yang ada di sekitar kita karena zat asam tersebut.

Tipe-Tipe Presipitasi

Badai petir dengan presipitasi tinggi.

Mekanisme terjadinya presipitasi dibagi menjadi tiga, yakni hujan konvektif, stratiform, dan orografik. Proses konvektif disebabkan oleh kolom uap air yang menguap dan mengalami penurunan temperatur. Proses ini melibatkan pergerakan vertikal yang cepat dan mengakibatkan curah hujan tinggi pada lokasi tertentu. Besar presipitasi konvektif bergantung pada seberapa besar pemanasan yang terjadi di permukaan, jumlah air di atmosfer, dan besarnya perbedaan temperatur lingkungan terhadap ketinggian.

Presipitasi melalui proses stratiform melibatkan pergerakan vertikal yang lebih lambat dan mengakibatkan curah hujan yang lebih rendah dibandingkan proses konveksi. Sementara itu, presipitasi orografik melibatkan pergerakan vertikal di atmosfer yang dipengaruhi oleh kondisi topografi suatu wilayah.

Presipitasi dapat pula dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan wujudnya, yakni cairan, cairan yang membeku ketika sampai di permukaan, dan padatan. Presipitasi berwujud cair dapat berupa hujan dan gerimis. Air hujan yang membeku ketika menyentuh massa udara dingin disebut “hujan beku.” Presipitasi berwujud padat dapat berupa salju, debu berlian, hujan es, dan graupel. Ketiga kategori presipitasi tersebut dapat turun bersamaan sebagai presipitasi campuran.

Pengukuran Presipitasi

1. Presipitasi Cair

Curah hujan biasanya dinyatakan dalam satuan mm (yang merupakan penyingkatan dari liter per meter persegi permukaan tanah). Curah hujan juga dapat dinyatakan dalam satuan inci. Intensitas curah hujan yang terukur merupakan jumlah presipitasi dalam satuan waktu tertentu (biasanya menit). Derajat curah hujan merupakan unsur kualitatif dari intensitas curah hujan.

Berikut adalah tabel derajat curah hujan dan intensitas curah hujan:

Derajat Hujan Intensitas Curah Hujan (mm/min) Kondisi
Hujan sangat lemah < 0,02 Tanah agak basah atau dibasahi sedikit
Hujan lemah 0,02 – 0,05 Tanah menjadi basah semuanya, tetapi umumnya tidak menimbulkan genangan air
Hujan normal 0,05 – 0,25 Air dapat tergenang, bunyi curah hujan terdengar
Hujan deras 0,25 – 1,00 Air tergenang di seluruh permukaan tanah, bunyi hujan terdengar dari genangan
Hujan sangat deras > 1,00 Hujan seperti ditumpahkan, saluran drainase meluap

2. Presipitasi Padat

Pengukur salju biasanya digunakan untuk mengukur besar presipitasi padat. Salju biasanya diukur dengan cara membiarkan salju turun menuju penampungan dan diukur ketinggiannya dalam satuan sentimeter. Salju yang tertampung dapat dicairkan dan diukur menggunakan metode yang serupa seperti pengukuran pada presipitasi cair.

Hubungan antara tinggi salju dan tinggi air dari salju yang dicairkan bergantung pada kandungan dalam salju. Oleh karena itu, metode pengukuran dengan cara melelehkan salju hanya dapat dijadikan estimasi kasar dari kondisi yang sebenarnya.

Bentuk-Bentuk Presipitasi

1. Hujan

Kondensasi dan koalesensi adalah komponen penting dalam siklus air.

Genangan air hujan.

Koalesensi terjadi ketika tetesan air bergabung menjadi tetesan air yang lebih besar atau ketika tetesan air membeku menjadi kristal es, dikenal sebagai proses Bergeron. Laju jatuh dari tetesan air berukuran kecil sangat tidak signifikan sehingga awan tidak jatuh dari langit.

Ketika turbulensi terjadi, tetesan-tetesan air saling bertumbukan hingga membentuk tetesan-tetesan air yang lebih besar. Ketika tetesan-tetesan air besar mulai jatuh dari awan, proses koalesensi masih terus berlangsung hingga tetesan-tetesan air menjadi cukup besar untuk mampu melawan hambatan dari angin dan jatuh sebagai hujan.

Tetesan air hujan memiliki ukuran diameter sekitar 0,1 milimeter hingga 9 milimeter. Tetesan air hujan yang lebih besar dari itu cenderung pecah menjadi tetesan-tetesan yang lebih kecil. Tetesan air kecil biasa disebut tetes awan dan berbentuk bundar. Ketika tetesan-tetesan tersebut membesar, bentuknya akan menjadi lebih lonjong. Tidak seperti yang biasa digambarkan dalam kartun-kartun, bentuk air hujan nyatanya tidak menyerupai tetesan air mata.

Intensitas hujan biasanya berbanding terbalik terhadap durasinya. Badai dengan intensitas tinggi umumnya berdurasi singkat. Sebaliknya, badai dengan intensitas kecil umumnya berdurasi panjang. Kode METAR untuk hujan berdurasi panjang (rain) adalah RA, sementara kode untuk hujan berdurasi singkat dan jelas batasannya (shower) adalah SH.

2. Hujan Es

Batuan es dari hujan es dengan diameter sekitar 6 cm.

Mirip seperti presipitasi lainnya, hujan es terbentuk ketika tetesan air dengan temperatur rendah membeku saat bersentuhan dengan inti kondensasi, seperti debu. Batuan-batuan es (hailstone) pada hujan es memiliki diameter sekitar 5 milimeter. Kode METAR “GR” biasa digunakan untuk batuan es besar dengan diameter setidaknya 6,4 milimeter. Kode GR sendiri berasal dari kata “grêle” dalam bahasa Prancis. Sementara itu, batuan es dengan ukuran lebih kecil menggunakan kode “GS,” kependekan dari kata “grésil” yang juga berasal dari bahasa Prancis. Batuan es terbesar yang pernah tercatat berdiameter 23,6 cm, sementara batuan es terberat memiliki massa 1 kg.

Ketika batuan es tumbuh menjadi lebih besar, bagian dalam mereka akan terus membeku dan melepaskan kalor laten ke luar batuan es. Akibatnya, bagian luar batuan es akan meleleh dan menjadi lengket. Ketika lapisan luar tersebut menabrak batuan es lain yang, mereka akan bergabung menjadi batuan es yang lebih besar. Proses ini dinamakan “pertumbuhan basah.”

Aliran udara naik menghembuskan batuan es menuju bagian atas awan. Seiring dengan bertambahnya ketinggian, aliran udara naik melemah dan batuan es kembali jatuh. Batuan es akan kembali terangkat oleh aliran udara naik dan terus mengalami pertambahan volume es pada tiap pergerakan naiknya. Batuan es baru akan jatuh dari awan ketika ukurannya menjadi terlalu besar untuk dapat diangkat oleh aliran udara naik.

3. Kepingan Salju

Kepingan salju yang diamati menggunakan mikroskop cahaya.

Kepingan salju terbentuk ketika tetes awan kecil superdingin dengan sekitar 10 μm membeku. Tetes awan yang membeku kemudian berkembang dalam lingkungan superjenuh. Jumlah tetesan air yang lebih banyak daripada jumlah kristal es di awan mengakibatkan kristal es dapat berkembang hingga berukuran ratusan mikrometer. Proses ini dikenal sebagai proses Wegener–Bergeron–Findeisen.

Kristal-kristal es besar merupakan sumber efisien presipitasi karena mereka jatuh karena massanya sendiri. Saat jatuh, kristal-kristal es dapat bertumbukan dan saling menempel dengan kristal lain membentuk kepingan salju. Kepingan salju terbesar yang pernah dicatat oleh Rekor Dunia Guinness berukuran 38 cm dan ditemukan pada bulan Januari 1887 di Fort Keogh, Montana. Penyebab pasti tentang bagaimana kristal-kristal es menyatu menjadi kepingan salju masih dalam tahap penelitian.

Meskipun es sebenarnya jernih, penghamburan seluruh spektrum cahaya oleh permukaan kristal es menyebabkan kristal es tersebut tampak berwarna putih. Bentuk dan ukuran kepingan salju bergantung pada temperatur dan kelembaban lingkungan saat kepingan tersebut terbentuk.

Bentuk kepingan salju yang paling umum ditemukan adalah bentuk yang tidak teratur. Meskipun demikian, foto-foto populer salju menampilkan bentuk salju yang hampir sempurna karena mereka dianggap lebih menarik secara visual. Tidak ada kepingan salju yang memiliki bentuk sama karena semua kepingan salju mengalami kondisi atmosfer yang berbeda saat turun dari awan. Kode METAR untuk salju adalah SN, sementara hujan salju memiliki kode SW.

4. Debu Berlian

Debu berlian merupakan kristal es kecil berbentuk kolom dan pelat segi enam yang umumnya terbentuk saat langit cerah. Debu berlian terbentuk pada temperatur sekitar −30 °C (−22 °F).

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

 

About the author

Mochamad Harris

Menulis artikel merupakan salah satu hal yang menjadi daya tarik saya untuk dapat mengetahui berbagai macam hal serta informasi terupdate yang sedang terjadi pada saat ini. Saya suka dengan tema olahraga dan juga travelling.

Kontak media sosial Linkedin saya Mochamad Harris