Biografi Pendidikan Sejarah

6 Pahlawan Aceh yang Diabadikan di Jakarta

Written by Fandy

Pahlawan Dari Aceh – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan melakukan perubahan pada nama Jalan Inspeksi Kalimalang sisi utara menjadi Jalan Laksamana Malahayati, yakni pahlawan nasional dari Aceh. Anies mengatakan bahwa peran Laksamana Malahayati dalam menghadapi penjajah perlu diapresiasi serta didedikasikan.

https://acehprov.go.id/

Pergantian nama jalan tersebut berdasarkan pada Keputusan Gubernur No. 1242 Tahun 2021 mengenai Penetapan Nama Jalan Laksamana Malahayati menggantikan Nama Jalan Inspeksi Kalimalang Sisi Sebelah Utara.

Selain Laksamana Malahayati, ada banyak pahlawan yang berasal dari Aceh yang namanya diabadikan sebagai nama jalan maupun nama tempat di DKI Jakarta. Berikut nama pahlawan tersebut beserta biografi singkatnya:

1. Cut Meutia

KlubWanita.com

Tjoet Nyak Meutia lahir pada 15 Februari 1870 dan wafat pada 24 Oktober 1910. Beliau merupakan pahlawan nasional Indonesia yang berasal dari daerah Aceh. Beliau dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh. Cut Meutia ditetapkan menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan pada Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.

Tjoet Nyak Meutia atau Cut Meutia adalah anak dari Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Dalam perkawinannya, mereka dikaruniai 5 orang anak. Cut Meutia adalah putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut. Saudara tertua bernama Cut Beurahim, lalu disusul dengan Teuku Muhammadsyah, Teuku Cut Hasen dan Teuku Muhammad Ali. Orang tua Cut Nyak Meutia adalah keturunan asli Aceh seorang Uleebalang di desa Pirak yang berada di dalam daerah Keuleebalangan Keureutoe.

Pada mulanya, Cut Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama dengan suaminya yakni Teuku Muhammad atau Teuku Cik Tunong. Akan tetapi, pada bulan Maret 1905, Cik Tunong ditangkap oleh Belanda, lalu dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Cik Tunong memberikan pesan kepada sahabatnya Pang Nanggroe supaya bersedia menikahi istrinya serta merawat anaknya yakni Teuku Raja Sabi.

Cut Meutia lalu menikah dengan Pang Nanggroe melaksanakan wasiat dari suaminya dan bergabung pada pasukan lainnya di bawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Dalam suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Cut Meutia bersama dengan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Sedangkan, Pang Nagroe tetap melakukan perlawanan hingga berakhir tewas pada tanggal 26 September 1910.

Cut Meutia lalu bangkit serta terus melakukan perlawanan bersama dengan sisa-sisa pasukannya. Beliau menyerang serta merampas pos-pos kolonial sembari bergerak menuju Gayo dengan melalui hutan belantara. Akan tetapi, pada tanggal 24 Oktober 1910, Cut Meutia bersama dengan pasukannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng dan di dalam pertempuran tersebut akhitnya Cut Nyak Meutia gugur.

Pada tanggal 19 Desember 2016, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan Cut Nyak Meutia dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia dengan nominal Rp1.000,-.

Di DKI Jakarta, nama Cut Meutia diabadikan sebagai nama jalan dan nama masjid yang terletak di daerah Jakarta Pusat.

2. Cut Nyak Dhien

wikipedia

Cut Nyak Dhien lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh, tahun 1848 dan wafat di Sumedang, Jawa Barat pada tanggal 6 November 1908; beliau dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang. Cut Nyak Dhien merupakan seorang Pahlawan Nasional Indonesia yang berasal dari Aceh dan berjuang untuk melawan Belanda pada masa Perang Aceh.

Pasca wilayah VI Mukim diserang, beliau mengungsi, sementara suaminya Ibrahim Lamnga melanjutkan pertempuran untuk melawan Belanda. Tewasnya Ibrahim Lamnga di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878, pada akhirnya membawa Cut Nyak Dhien menjadi lebih jauh dalam perlawanannya terhadap Belanda.

Pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Umar, setelah sebelumnya beliau telah dijanjikan untuk bisa ikut turun di medan perang apabila menerima lamaran tersebut. Dari pernikahan ini Cut Nyak Dhien dikaruniai seorang anak yang diberi nama Cut Gambang. Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dhien bersama dengan Teuku Umar bertempur bersama untuk melawan Belanda. Akan tetapi, pada tanggal 11 Februari 1899 Teuku Umar gugur.

https://www.gramedia.com/products/pengantar-teori-sastra?utm_source=literasi&utm_medium=literasibuku&utm_campaign=seo&utm_content=LiterasiRekomendasiGugurnya Teuku Umar membuay Cut Nyak Dhien berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama dengan pasukan kecilnya. Usia Cut Nyak Dien yang pada masa itu sudah relatif tua dan kondisi tubuh yang diserang oleh berbagai penyakit seperti encok dan rabun membuat satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaan beliau atas dasar iba.

Cut Nyak Dhien akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Di sana, beliau dirawat dan penyakitnya mulai membaik. Keberadaan dari Cut Nyak Dhien yang dianggap oleh Belanda masih memberikan pengaruh kuat pada perlawanan rakyat Aceh dan hubungannya dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap membuat beliau kemudian diasingkan ke daerah Sumedang. Cut Nyak Dhien akhirnya wafat pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di daerah Gunung Puyuh, Sumedang. Nama Cut Nyak Dhien pada masa kini diabadikan sebagai Bandar Udara Cut Nyak Dhien Nagan Raya di Meulaboh.

Di DKI Jakarta, nama Cut Nyak Dhien diabadikan sebagai nama jalan dan nama masjid di daerah Jakarta Pusat.

3. Teuku Umar

https://www.merdeka.com/

Teuku Umar merupakan seorang pahlawan kemerdekaan Indonesia berasal dari Meulaboh Kabupaten Aceh Barat. Beliau berjuang mempertahankan Aceh dari Belanda dengan memakai strategi yakni berpura-pura mau bekerjasama dengan Belanda, sehingga beliau diberikan kepercayaan penuh untuk memimpin pasukan dengan fasilitas senjata. Saat senjata sudah berhasil dikumpulkan, beliau langsung berbalik arah dan menyerang Belanda.

Jabatan yang pernah diduduki oleh Teuku Umar antara lain:

  1. Pada 1878, Teuku Umar pernah menjabat sebagai Keuchik Gampong Darat (sekarang Kecamatan Johan Pahlawan) dan menjadi Panglima Pertahanan Rakyat ketika Belanda menyerang Meulaboh
  2. Pada 1887, bersama dengan Teuku Tjik Abdurahman, putra mahkota Teuku Tjik Ali, uleebalang Meulaboh.
  3. Pada 1889, beliau diangkat oleh Sultan Aceh sebagai Laksamana/Amirul Bahar atau Panglima Laot di Aceh bagian Barat. Beliau selalu aktif dalam membantu keuangan Sultan, Teungku Tjik Ditiro, dan Panglima Polem melalui uang sabil yang dikirim secara teratur

Teuku Umar pernah berdamai dengan pihak Belanda tahun 1883. Akan tetapi, satu tahun kemudian perang kembali terjadi di antara keduanya. 9 tahun kemudian, pada tahun 1893, Teuku Umar mulai mendapatkan cara untuk mengalahkan Belanda yakni dari ‘dalam’. Beliau lalu berpura-pura menjadi antek Belanda. Aksi ini sempat membuat Cut Nyak Dien marah besar karena merasa malu dan kebingungan.

Atas jasa-jasanya dengan menundukkan beberapa pos pertahanan di Aceh, Teuku Umar memperoleh kepercayaan dari pihak Belanda. Beliau lalu diberi gelar yakni Johan Pahlawan serta diberi kebebasan untuk membuat pasukannya sendiri dengan jumlah 250 orang tentara dan difasilitasi senjata lengkap dari Belanda. Pihak Belanda tak mengetahui, bahwa itu hanya merupakan strategi dari Teuku Umar semata yang suda berkolaborasi dengan para pejuang Aceh sebelumnya. Tidak lama kemudian, Teuku Umar diberi tambahan 120 prajurit dan 17 panglima termasuk Pangleot sebagai asisten sekaligus tangan kanannya.

30 Maret 1896, Teuku Umar akhirnya keluar dari dinas militer Belanda. Di sinilah beliau kemudian melancarkan serangan berdasarkan pada siasat dan strategi perang yang beliau miliki. Bersama dengan pasukan yang telah dilengkapi 800 pucuk senjata, 25.000 peluru, 500 kg amunisi dan uang 18 ribu dolar, Teuku Umar bersama dengan Teuku Panglima Polem Muhammad Daud dan 400 orang pengikutnya membantai Belanda. Tercatat, ada 25 orang tewas serta 190 luka-luka dari pihak Belanda.

Gubernur Deykerhof yang pada masa itu menggantikan Gubernur Ban Teijn suda telah memberi kepercayaan kepada Teuku Umar selama ini merasa sakit hati dan marah karena sudah dikhianati oleh Teuku Umar. Deykerhof lalu memerintahkan Van Heutsz dan pasukan besarnya untuk menangkap Teuku Umar. Serangan mendadak dilancarkan ke daerah Meulaboh dan serangan itulah yang merenggut nyawa Teuku Umar. Beliau ditembak dan gugur di medan perang, tepatnya di Kampung Mugo, pada 10 Februari 1899.

Nama Teuku Umar diabadikan sebagai nama jalan di kawasan elite di Jakarta Pusat.

4. Panglima Polem

wikipedia

Panglima Polem atau yang memiliki nama lengkap Teuku Panglima Polem Sri Muda Perkasa Muhammad Daud merupakan seorang panglima Aceh. HIngga saat ini belum ditemukan keterangan yang jelas perihal tanggal dan tahun kelahiran dari Panglima Polem, yang jelas beliau berasal dari keturunan kaum bangsawan Aceh. Ayahnya yakni Panglima Polem VIII Raja Kuala merupakan anak dari Teuku Panglima Polem Sri Imam Muda Mahmud Arifin yang juga dikenal dengan nama Cut Banta (Panglima Polem VII (1845-1879). Mahmud Arifin adalah Panglima Sagoe XXII Mukim Aceh Besar.

Pada tahun 1893, Panglima Polem bergabung dengan Teuku Umar dengan tujuan untuk melawan penjajahan Belanda. Sebelumnya, Teuku Umar melakukan strategi dengan berpura-pura menyerah lalu menyerang kembali pihak Belanda bersama dengan Panglima Polem. Pada tahun 1897 di wilayah Seulimeum, Panglima Polem bersama dengan pasukannya melakukan pertempuran dengan Belanda. Dalam pertempuran tersebut, Belanda berhasil menaklukan tiga benteng pertahanan yang sebelumnya dibangun oleh Panglima Polem bersama dengan para pasukannya.

https://www.gramedia.com/products/pengantar-teori-sastra?utm_source=literasi&utm_medium=literasibuku&utm_campaign=seo&utm_content=LiterasiRekomendasiPasca kekalahannya dalam pertempuran di wilayah Seulimeum, Panglima Polem lalu menemui Sultan Aceh yang bernama Muhammad Daud Syah. Pada tahun 1898, Panglima Polem bersama dengan Teuku Umar melakukan sumpah setia terhadap Sultan Aceh dengan tujuan untuk bersama-sama melawan Belanda. Lalu pada tahun 1901, Panglima Polem, Teuku Umar dan Sultan Daud Syah pergi ke Gayo untuk menjadikannya sebagai pusat pertahanan dan menyusun strategi untuk melawan Belanda.

Pertahanan yang dibuat di wilayah Gayo berhasil membuat pihak Belanda menjadi frustasi karena mereka selalu gagal menguasainya. Lalu, Belanda melakukan siasat licik dengan mencoba menculik keluarga Raja Daud Syah dari Aceh. Belanda akhirnya berhasil menculik isteri sultan yang bernama Teungku Putroe di daerha Glumpang Payong. Disamping itu, Belanda juga menangkap isteri sultan lainnya yang bernama Pocut cot Murong serta Putera Sultan di Lam Meulo. Belanda lalu memaksa Sultan Daud Syah untuk menyerahkan diri dan menandatangani perjanjian damai dengan pihak Belanda.

Selain itu, Belanda juga melemparkan ancaman yakni jika Sultan Daud Syah tak dengan segera menyerahkan diri, maka keluarganya yang telah berhasil ditangkap akan dibuang dalam pengasingan. Karena ancaman tersebut, pada Januari 1903, Sultan Daud Syah dengan terpaksa melakukan perfamaian dengan Belanda. Belanda lalu mengasingkan Sultan Daud Syah ke Ambon dan ke Batavia hingga wafat pada 1939.

Ditangkapnya Sultan Daud Syah ternyata memengaruhi Panglima Polem yang masih terus berjuang di Aceh. Hingga pada akhirnya Panglima Polem terpaksa menyerahkan diri dan melakukan perfamaian dengan Belanda pada 1903. Panglima Polem lalu ditahan hingga beliau wafat pada tahun 1939.

Nama Panglima Polem diabadikan sebagai salah satu jalan di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.

5. Teuku Cik Di Tiro

merdeka.com

Teuku Chik Di Tiro adalah seorang ulama dan pahlawan nasional yang berasal dari daerah Pidie, Aceh. Beliau sangat terkenal karena menggelorakan semangat perang Sabil dalam masyarakat Aceh untuk terus melawan penjajahan Belanda.

Dikutip dari laman resmi Pemprov Aceh, gerakan Perang Sabil dari Teuku Chik Di Tiro berhasil membuat pihak Belanda frustrasi dalam kurun wakti 1881-1890. Teuku Chik Di Tiro akhirnya wafat pada tanggal 25 Januari 1891 dan diduga karena diracuni oleh pihak musuh.

Nama Teuku Chik Di Tiro diabadikan sebagai nama jalan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat.

6. Laksamana Malahayati

wikipedia

Keumalahayati, lahir pada tanggal 01 Januari 1550 dan wafat pada 30 Juni 1615 merupakan salah seorang pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Ayahnya yakni Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang menjadi pemimpin pada tahun 1530–1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah merupakan anak dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513–1530 M), yang menjadi pendiri dari Kerajaan Aceh Darussalam.

Pada tahun 1585–1604, beliau memegang jabatan sebagai Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia serta Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.

Perjuangan Malahayati untuk melawan penjajah dimulai pasca terjadinya pertempuran di Teluk Haru. Armada laut Kesultanan Aceh melawan armada dari Portugis. Pada pertempuran tersebut, Laksamana Zainal Abidin, suami dari Malahayati, gugur. Usai ditinggal wafat oleh suaminya, Malahayati memberikan usul kepada Sultan Aceh untuk membuat pasukan yang terdiri dari para janda prajurit Aceh yang telah gugur dalam peperangan. Permintaan tersebut dikabulkan dan Malahayati diangkat sebagai pemimpin pasukan Inong Balee dengan pangkat sebagai laksamana. Malahayati merupakan perempuan Aceh pertama yang mendapat pangkat ini.

https://www.gramedia.com/products/pengantar-teori-sastra?utm_source=literasi&utm_medium=literasibuku&utm_campaign=seo&utm_content=LiterasiRekomendasiLaksamana Malahayati beserta dengan pasukannya memiliki tugas untuk melindungi pelabuhan pelabuhan dagang di Aceh. Pada tanggal 21 Juni 1599, Laksamana Malahayati menghadapi kapal Belanda yang mencoba memaksakan keinginannya. Laksamana Malahayati beserta dengan pasukannya tentu saja tak bisa menerimanya. Mereka mengadakan perlawanan. Dalam peristiwa tersebut Cornelis de Houtman dan beberapa pelaut dari Belanda tewas. Frederick de Houtman, wakil komandan armada Belanda, akhirnya berhasil ditangkap oleh pihak Aceh.

Laksamana Malahayati tak sekadar cakap dalam medan perang. Beliau juga pandai dalam melakukan perundingan damai mewakili Sultan Aceh dengan pihak Belanda. Perundingan tersebut merupakan upaya Belanda untuk membebaskan Frederick de Houtman yang ditangkap oleh Laksamana Malahayati. Perdamaian tersebut terwujud. Frederick de Houtman bebas, tetapi Belanda wajib membayar ganti rugi kepada Kesultanan Aceh. Laksamana Malahayati juga menjadi orang yang menerima James Lancaster yakni duta utusan dari Ratu Elizabeth I Inggris.

Laksamana Malahayati wafat pada tahun 1615. Makamnya berada di Desa Lamreh, Kecamatan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar. Laksamana Malahayati memperoleh gelar sebagai Pahlawan Nasional pada tanggal 9 November 2017.

Kini nama Laksamana Malayati telah resmi menggantikan Jalan Inspeksi Kalimalang sisi utara di Kelurahan Pondok Kelapa, Kelurahan Duren Sawit, Kelurahan Pondok Bambu, Kecamatan Duren Sawit dan Kelurahan Cipinang Muara, Kelurahan Cipinang Besar Selatan, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur.

Baca juga:

 

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.