Sejarah

6 Pahlawan Kemerdekaan yang Sangat Menginspirasi

5 Pahlawan Kemerdekaan Inspiratif
Written by Fandy

Pahlawan Kemerdekaan – Sahabat Grameds, tahukah kalian arti dari pahlawan? Menurut definisi dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pahlawan adalah seseorang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Mereka merupakan pejuang yang gagah berani.

Selain itu, pahlawan juga menjadi panggilan bagi seseorang yang memberikan jasa-jasa bagi bangsanya. Melalui tokoh-tokoh tersebut, simbol mengenai perjuangan dan pengorbanan terus diwariskan kepada para generasi penerus.

Kemerdekaan Indonesia di sisi lain juga tidak dapat dilepaskan dari perjuangan para pahlawan dalam mengusir penjajah. Atas jasa-jasanya, negara mengangkat para pahlawan kemerdekaan tersebut diakui sebagai pahlawan nasional.

Nah, untuk mengenang jasa-jasa mereka, akan diulas beberapa sosok pahlawan perintis kemerdekaan yang telah memberikan jasa besar kepada bangsa Indonesia.

Mari kita lihat daftarnya berikut ini!

1. Ir. Soekarno

Soekarno ketika menjadi siswa HBS Soerabaja.

Soekarno lahir di Blitar pada 6 Juni 1901, anak seorang guru Sekolah Rakyat bernama Raden Soekami dan wanita Bali berdarah bangsawan, Ida Ayu Nyoman Rai. Dia lahir dengan nama Koesno Sosrodihardjo yang diberikan oleh orang tuanya.

Sebagai anak priayi, dia bisa mengenyam pendidikan tinggi dan lulus dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung) pada 1925 dengan mengambil jurusan teknik sipil. Soekarno dinyatakan lulus ujian insinyur pada tanggal 25 Mei 1926.

Setelah lulus kuliah, dia memuatkan ide-ide politiknya di media massa dengan artikel berjudul “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme”. Tulisan ini begitu menekankan pentingnya ide-ide persatuan antarkelompok, yang kemudian menandai pemikiran politik sepanjang kariernya.

Perjuangan politiknya berlanjut dengan membentuk Algemeene Studie Club (ASC) di Bandung pada 1926, yang merupakan hasil inspirasi dari Indonesische Studie Club oleh Dr. Soetomo. Organisasi ini di kemudian hari menjadi cikal bakal pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 1927.

Dia menerapkan sikap nonkooperatif dengan Belanda yang membuatnya beberapa kali masuk tahanan. Aktivitasnya di PNI menyebabkan dirinya ditangkap oleh Belanda pada 29 Desember 1929 di Yogyakarta, dan esoknya kemudian dipindahkan ke Bandung untuk dijebloskan ke Penjara Banceuy.

Pada 1930, dia dipindahkan ke Sukamiskin dan membacakan pleidoinya yang fenomenal Indonesia Menggugat di pengadilan Landraad Bandung 18 Desember 1930, hingga dibebaskan kembali pada 31 Desember 1931.

Pada 17 Agustus 1945, tak lama setelah Jepang takluk kepada Sekutu, atas desakan para aktivis pemuda yang sempat menculiknya ke Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta diangkat menjadi presiden wakil presiden pertama Indonesia.

2. K.H. Ahmad Dahlan

Potret K.H. Ahmad Dahlan.

K.H. Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta tanggal 1 Agustus 1868 dan meninggal tanggal 23 Februari 1923. Dia adalah putra dari K.H. Abu Bakar bin Kiai Mas Sulaiman (ulama yang menjabat sebagai khatib Masjid Agung Yogyakarta) dan Siti Aminah atau Nyai Abu Bakar binti K.H. Ibrahim (pejabat keagamaan yang menjabat sebagai penghulu Kesultanan Yogyakarta)

Dia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Nyai Chatib Arum, Nyai Muhsinah (Nyai Nur), Nyai Soleh, Muhammad Darwis, Nyai Abdurrahman, Nyai Muhammad Faqih, dan Muhammad Basir.

K.H. Ahmad Dahlan memiliki nama asli Muhammad Darwis dan memperoleh nama kehormatan Raden Ngabehi Ngabdul Darwis dari Hamengkubuwana VII, karena ayahnya mempunyai kedudukan yang tinggi di kesultanan.

Pendidikan yang diterimanya adalah pendidikan informal dari ayahnya. Ketika berusia delapan tahun, dia sudah khatam Al-Qur’an. Dia tidak pernah mendapatkan pendidikan formal karena adanya anggapan kafir dalam masyarakat Kauman bagi orang tua yang menyekolahkan anaknya di lembaga pendidikan umum Belanda.

Menjelang dewasa (sekitar tahun 1870), dia belajar ilmu fikih kepada K.H. Muhammad Saleh dan ilmu nahwu shorof (gramatika bahasa Arab) kepada K.H. Muhsin. Guru-gurunya yang lain adalah K.H. Muhammad Nur, K.H. Abdul Hamid, R.Ng. Sosrosoegondo, dan R. Wedana Dwijosewojo.

Hampir seluruh pemikiran K.H. Ahmad Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi global umat Islam saat itu yang kaku. Kondisi ini diperparah dengan politik kolonial Belanda. Latar belakang tersebut memunculkan ide pembaruannya.

Persentuhan intelektualnya dengan para pemikir reformasi Islam menyebabkan dirinya membentuk pengajian Al-Ma’un di kampung halamannya Melalui pengajian tersebut, dia membentuk suatu kesadaran Islam yang baru bahwa tujuan utama umat Islam adalah memenuhi hak dan berlaku adil kepada para fakir miskin dan anak yatim-piatu.

Inilah yang kemudian disebut sebagai etika welas asih oleh berbagai kalangan Muhammadiyah. Spirit itu menjadi kekuatan yang mendorong para anggota Muhammadiyah dalam melakukan tindakan sosial membela sesama manusia.

3. Ki Hadjar Dewantara

Soewardi Soerjaningrat, Ernest Douwes Dekker, dan Tjipto Mangoenkoesoemo (Tiga Serangkai) ketika diasingkan di Belanda tahun 1914.

Dalam narasi sejarah Indonesia nama Ki Hadjar Dewantara selalu dihubungkan dengan berbagai kegiatannya di dunia pendidikan dan kebudayaan Indonesia melalui Taman Siswa. Dia dilahirkan pada 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Ayahnya bernama G.P.H. Soerjaningrat dan kakeknya adalah G.P.H. Sasraningrat (Paku Alam III).

Dia menjadi orang pertama yang dipercaya oleh pemerintah Republik Indonesia untuk menjabat sebagai Menteri Pengajaran Indonesia ke-1. Namun, seperti yang dialami oleh sebagian besar pegiat kebangsaan, penjara merupakan bagian dari kehidupannya.

Bersama dengan Tjipto Mangoenkoesoemo dan E.F.E. Douwes Dekker, ketiganya mendirikan Budi Utomo menjadi kelompok pertama yang dipenjara oleh penguasa kolonial. Mereka akhirnya harus hidup dalam pengasingan ketika perjuangan kebangsaan baru saja dimulai.

Tidak berselang lama setelah meninggal pada 26 April 1959, Ki Hadjar Dewantara ditetapkan sebagai pahlawan nasional, sekaligus Bapak Pendidikan Indonesia. Selain itu, tanggal kelahirannya juga digunakan secara simbolis sebagai peringatan hari pendidikan nasional.

Penggalan dari semboyan Ki Hadjar Dewantara yang berbunyi Tut Wuri Handayani di kemudian hari juga menjadi bagian dari logo Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Pihak Universitas Gadjah Mada turut menganugerahkan gelar doktor kehormatan dalam ilmu kebudayaan kepadanya.

Dominasi unsur pendidikan dan kebudayaan terhadap Ki Hadjar Dewantara diyakini menjadi salah satu sebab utama kegiatan politiknya tidak menjadi naratif.

4. Dewi Sartika

Potret Dewi Sartika.

Dewi Sartika hidup pada zaman Hindia Belanda. Dia lahir dari keluarga Sunda yang ternama, yaitu R. Rangga Somanegara dan R.A. Rajapermas di Cicalengka pada 4 Desember 1884. Setelah ayahnya meninggal, dia tinggal bersama dengan pamannya dan menerima pendidikan yang sesuai dengan budaya Sunda.

Dia dianggap sebagai tokoh pendidikan modern untuk anak perempuan di Jawa Barat dan selama ini sering dibandingkan dengan R.A. Kartini. Mereka berdua merupakan polopor emansipasi anak perempuan melalui pendidikan modern, yang sama-sama didukung oleh bupati dan pemerintah Hindia Belanda yang menjalankan politik etis.

Sekalipun R.A. Kartini dan Dewi Sartika mendapat dukungan pemerintah Hindia Belanda, mereka bergerak melalui dorongan hati untuk menyelesaikan masalah nyata yang dihadapi perempuan.

Kartini melihat masalah feodalisme dan kolonialisme yang dilihat dan dirasakan di lingkup tempat tinggal dengan kaca mata penyelesaian melalui feminisme dan nasionalisme. Sementara itu, Dewi Sartika melihat perlakuan perempuan seakan-akan mudah dibuang di rumah pamannya.

Pandangan Dewi Sartika terhadap ide feminisme memang tidak sejelas Kartini, sekalipun dia melakukan dobrakan tradisi dengan membuka sekolah modern. Namun, hal itu dilakukan dalam kerangka memberi bargaining power kepada perempuan agar becus menjadi istri dan ibu.

Perjuangannya terlihat dari nama sekolah yang didirikan, yakni Sakola Istri, yang kemudian diubah namanya menjadi Sakola Kautamaan Istri. Dewi Sartika percaya jika penguasaan keterampilan perempuan akan membebaskan mereka. Keterampilan itulah yang akan melindungi perempuan ketika pasangannya membuang atau meninggalkannya.

Dewi Sartika menjalani sekolah di Eerste Klasse School hanya sampai umur sembilan tahun, sehingga membuat dia tidak selesai Sekolah Dasar. Namun, dia berhasil menjadi pendidik dan pengelola sekolah yang kompeten. Murid-murid Dewi Sartika begitu banyak dan mayoritas dari mereka merupakan keluarga dengan penghasilan rendah.

Dewi Sartika melihat peran pendidik yang strategis untuk mengangkat derajatnya. Sekalipun menjadi anak seorang bangsawan, dia mendapatkan stigma anak buangan dan pemberontak. Hal inilah yang membuatnya terbuang dengan ditempatkan di halaman belakang rumah pamannya bersama abdi dalem.

Namun, dari sanalah Dewi Sartika memulai karier sebagai pendidik. Profesi itu dianggapnya tinggi kedudukannya selain menjadi orang tua dan bekerja dengan pemerintah.

Pasca kemerdekaan, kesehatan Dewi Sartika mulai menurun. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda pada masa Perang Kemerdekaan, dia terpaksa ikut mengungsi ke Tasikmalaya. Dia meninggal pada 11 September 1947 di Cineam dan dimakamkan di sana. Setelah keadaan aman, makamnya kemudian dipindahkan ke Jalan Karang Anyar, Bandung.

Dewi Sartika berhasil menjadi tokoh pendidik perempuan, sehingga pemerintah Hindia Belanda memberi anugerah penghargaan perak tahun 1922 dan penghargaan emas tahun 1939. Selain itu, dia juga dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan Isteri, sebagai penghargaan atas jasanya dalam memperjuangkan pendidikan.

Pemerintah Indonesia juga menganugerahi gelar pahlawan pada 1 Desember 1966. Kini, namanya dijadikan sebagai nama jalan di berbagai kota Indonesia, termasuk lokasi sekolah yang didirikannya.

5. R.A. Kartini

Repro negatif potret R.A. Kartini (foto 1890-an).

R.A. Kartini merupakan perempuan yang berasal dari kalangan priayi atau kelas bangsawan Jawa. Dia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan K.H. Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.

Kartini adalah seorang pionir Indonesia baru dalam sistem pemerintahan demokrasi, yang hidup hanya berumur 25 tahun pada zaman kolonial Belanda. Dia ada sepenuh hati ketika gagasan awal politik etis mulai membuka diri bagi para pribumi melalui modernitas pendidikan dan buku-buku.

Jiwa mudanya yang kritis bebas barangkali yang membuat dirinya mudah menangkap jiwa revolusioner.

Selain Pangeran Diponegoro, Kartini telah menjadi inspirator Budi Utomo untuk membuat studi klub dan organisasi gerakan melawan kolonialisme dan imperialisme. Dia telah menginpirasi banyak perempuan pergerakan seperti Sujatin Kartowijono, yang menjadi inisiator adanya Kongres Perempuan Indonesia Pertama.

Ide-ide Kartini hadir sebagai respon perempuan yang masuk ke alam modern melalui anti-imperialisme dan kolonialisme, yang menjadi jiwa dari gerakan kebangsaan. Keberanian dan kata-katanya menjadi mata air inspirasi sejak dahulu hingga sekarang.

Namun, di sisi lain dia tidak ditampilkan sebagai pendobrak feodalisme yang jadi musuh demokrasi. Cara pandang lelaki barangkali yang tidak bisa melihat keunggulannya.

Cara pandang yang tak adil. Jika tidak mengecilkan, kemungkinan adalah meniadakan kenyataan atau membandingkan untuk hal yang tidak sebanding.

Untung saja, Kartini meninggalkan begitu banyak karya tulis. Para intelektual saat ini dapat mengacu kepada karyanya untuk dipelajari dan menjadi dasar untuk meletakkan dirinya secara proporsional dalam pergerakan Indonesia merdeka.

Menurut pendapatnya, agar kaum bangsawan menyadari kewajibannya, pendidikan dan ilmu pengetahuan harus diperluas. Dalam nota Kartini untuk Kementerian Jajahan Belanda tahun 1903, dia menegaskan permasalahan itu.

Lebih lanjut, jika tidak mungkin sekaligus mendidik suatu bangsa yang terdiri atas 27 juta orang, untuk sementara kalangan teratas saja yang diberi pendidikan dan pengetahuan. Hal ini dinilai bermanfaat karena rakyat setia kepada bangsawan.

Pentingnya pendidikan inilah yang ditekankan Kartini untuk memajukan kaum perempuan. Dengan pendidikan, seorang wanita tidak perlu dipingit. Pendidikan akan melengkapi keahlian yang dapat menopang hidup dan menentukan jalan hidupnya dalam urusan perkawinan.

Memberontak terhadap feodalisme, menentang keras poligami, dan memperjuangkan akses pendidikan bagi perempuan adalah pokok-pokok perjuangannya. Dia tahu upaya ini tidaklah mudah dan butuh waktu panjang.

Namun, dia percaya perjuangannya akan membuahkan hasil. “Perubahan akan datang di Bumiputera“, begitulah tulisannya kepada Stella pada 9 Januari 1901. “Jika tidak karena kami, pasti dari orang lain. Emansipasi telah berkibar di udara sudah ditakdirkan“.

6. Mgr. Albertus Soegijapranata

Soegijapranata pada 1946.

Soegija dilahirkan di Surakarta pada 25 November 1896. Dia merupakan anak kelima dari sembilan bersaudara. Ayahnya bernama Karijosoedarmo, sedangkan ibunya bernama Soepiah. Soegija dibesarkan dalam lingkungan keluarga kejawen.

Dia merupakan orang Indonesia pertama yang diangkat menjadi Uskup Agung, setelah sebelumnya dinobatkan menjadi Vikaris Apostolik Semarang.

Selain menjadi seorang biarawan, Soegija adalah seorang pengajar ilmu pasti, bahasa Jawa, dan agama di Kolose Xaverius Muntilan. Dia mendapatkan nama Albertus Magnus setelah prosesi pembaptisan yang dilakukan oleh Pastor Meltens, S.J. ketika menjalani pendidikan di Kolose Xaverius.

Setelah menamatkan sekolahnya, dia berkeinginan untuk menjadi imam. Hal inilah yang menyebabkan dirinya pada 1916 dikirim untuk mengikuti kegiatan imamat dan mulai mendalami ilmu agama Katolik, bahasa Latin, bahasa Yunani, dan filsafat di Gymnasium, Uden, Belanda di bawah asuhan Ordo Salib Suci atau Ordo Sanctae Crucis (OSC).

Setelah berada di Gymnasium, Soegija kemudian masuk Novisiat SJ di Mariendaal. Dia belajar filsafat di Kolese Berchman, Oudenbosch pada 1923 hingga 1926. Hingga tahun 1928, Soegija mengabdikan dirinya di Kolese Xaverius sebagai pengajar karena setelah itu dia kembali lagi ke Belanda untuk memperdalam ilmu teologi di Maastricht.

Pada 1931, Soegija menerima Sakramen Imamat yang ditahbiskan oleh Uskup Roermond di Maastricht dan menambah namanya dengan Pranata. Dua tahun setelah itu, dia kembali ke Indonesia dan ditugaskan sebagai pastur pembantu di Bintaran. Tak lama kemudian, dia diangkat menjadi Pastur Paroki.

Berdasarkan telegram dari M.G.R Montini di Roma, Soegijapranata diangkat sebagai Vikaris Apostolik yang memangku jabatan keuskupan. Selain menjadi Uskup Agung pertama di Indonesia, Soegijapranata dikenal sebagai imam Katolik pertama yang menyesuaikan dan mengembangkan ajaran Katolik berdasarkan adat ketimuran.

Pada masa penjajahan Belanda, dia tidak hanya memperjuangkan kelangsungan Rumah Sakit St. Carolus, tetapi juga berjuang menentang anggapan bahwa gereja identik dengan kolonial Belanda. Dia meninggal di Belanda tahun 1963 dan dimakamkan di TMP Giritunggal, Semarang. Dia ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 1963.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai perjuangan dan jasa dari 6 Pahlawan Kemerdekaan Inspiratif. Menghargai jasa para pahlawan tidak hanya dengan mengenang dalam hati dan berterima kasih, melainkan juga dengan meneladani sikap dan perbuatan mereka.

Grameds dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang para pahlawan tersebut, mulai dari latar belakang kehidupannya, pendidikan, dan riwayat perjuangannya.

Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang sejarah Indonesia agar bisa memaknainya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Penulis: Fandy Aprianto Rohman

BACA JUGA:

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.