Biologi

7 Hewan Purba yang Masih Hidup di Indonesia

7 Hewan Purba yang Masih Hidup di Indonesia
Written by Nandy

Hewan purba adalah hewan yang hidup pada masa lalu, kemudian mengalami kepunahan. Namun, tidak semua hewan purba mengalami kepunahan. Ada beberapa hewan purba yang masih bertahan, baik di laut dan di darat. Contoh hewan yang sudah punah adalah megalodon, dinosaurus, dan titanoboa. Hewan-hewan tersebut hidup di berbagai zaman dan ukurannya sangat besar.

Berbicara soal hewan purba, manusia ikut bertanggung jawab terhadap lingkungan. Hewan-hewan ini terancam punah karena populasi mereka semakin sedikit. Beberapa hewan yang mengalami kepunahan akibat perburuan manusia, penebangan pohon, kebakaran, dan kesulitan mencari makanan.

Manusia ikut mendorong beberapa hewan yang diprediksi mengalami kepunahan. Contoh hewan purba di Indonesia yang mengalami kepunahan, yaitu orang utan, bekantan, gajah sumatra, harimau sumatera, badak, banteng, dan masih banyak lagi.

Hewan Purba di Indonesia

Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan hewani yang menarik untuk diketahui. Ada berbagai spesies hewan purba yang ada di Indonesia. Hewan ini tersebar di berbagai daerah di Indonesia.

1. Hewan Purba Komodo

hewan purba komodo

Komodo atau lengkapnya biawak komodo (Varanus komodoensis) adalah spesies biawak besar yang terdapat di Pulau Komodo, Rinca, Flores, Gili Motang, dan Gili Dasami di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Biawak ini oleh penduduk asli pulau Komodo juga disebut dengan nama setempat “ora”. Nama lain dari komodo adalah buaya darat, walaupun komodo bukanlah spesies buaya.

Komodo merupakan spesies terbesar dari familia Varanidae, sekaligus kadal terbesar di dunia, dengan rata-rata panjang 2–3 meter dan beratnya bisa mencapai 100 kilogram. Komodo merupakan pemangsa puncak di habitatnya karena sejauh ini tidak diketahui adanya hewan karnivor besar lain selain biawak ini di sebarang geografisnya.

Tubuhnya yang besar dan reputasinya yang mengerikan membuat mereka menjadi salah satu hewan purba paling terkenal di dunia. Sekarang, habitat komodo yang sesungguhnya telah menyusut akibat aktivitas manusia, sehingga lembaga IUCN memasukkan komodo sebagai spesies yang rentan terhadap kepunahan. Biawak komodo telah ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia dan habitatnya dijadikan taman nasional, yaitu Taman Nasional Komodo, yang tujuannya didirikan untuk melindungi mereka.

2. Hewan Purba Buaya

hewan purba buaya

Buaya adalah reptil bertubuh besar yang hidup di air. Secara ilmiah, buaya meliputi seluruh spesies anggota suku Crocodylidae, termasuk pula buaya sepit (Tomistoma schlegelii). Meski demikian nama ini dapat pula dikenakan secara longgar untuk menyebut buaya aligator, kaiman dan gavial; yakni kerabat-kerabat buaya yang berlainan suku.

Buaya umumnya menghuni habitat perairan tawar seperti sungai, danau, rawa dan lahan basah lainnya. Namun, ada pula yang hidup di air payau seperti buaya muara. Makanan utama buaya adalah hewan-hewan bertulang belakang seperti bangsa ikan, reptil dan mamalia, kadang-kadang juga memangsa moluska dan krustasea bergantung pada spesiesnya. Buaya merupakan hewan purba, yang hanya sedikit berubah karena evolusi semenjak zaman dinosaurus.

Dikenal pula beberapa nama daerah untuk menyebut buaya, seperti misalnya buhaya (Sunda); buhaya (Banjar); baya atau bajul (Jawa); bicokok (Betawi), bekatak, atau buaya katak untuk menyebut buaya bertubuh kecil gemuk; senyulong, buaya jolong-jolong (Melayu), atau buaya julung-julung untuk menyebut buaya ikan; buaya pandan, yakni buaya yang berwarna kehijauan; buaya tembaga, buaya yang berwarna kuning kecoklatan; dan lain-lain.

Dalam bahasa Inggris buaya dikenal sebagai crocodile. Nama ini berasal dari penyebutan orang Yunani terhadap buaya yang mereka saksikan di Sungai Nil, krokodilos; kata bentukan yang berakar dari kata kroko, yang berarti “batu kerikil”, dan deilos yang berarti “cacing” atau “orang”. Mereka menyebutnya “cacing bebatuan” karena mengamati kebiasaan buaya berjemur di tepian sungai yang berbatu-batu.

3. Penyu

hewan purba penyu

Penyu adalah kura-kura laut yang ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut data para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman Jura (145-208 juta tahun yang lalu) atau seusia dengan dhinosaurus. Pada masa itu, Archelon yang berukuran panjang badan enam meter, dan Cimochelys telah berenang di laut purba seperti penyu masa kini.

Penyu memiliki sepasang tungkai depan yang berupa kaki pendayung yang memberinya ketangkasan berenang di dalam air. Walaupun seumur hidupnya berkelana di dalam air, sesekali hewan kelompok vertebrata, kelas reptilia itu tetap harus sesekali naik ke permukaan air untuk mengambil napas. Itu karena penyu bernapas dengan paru-paru. Penyu pada umumnya bermigrasi dengan jarak yang cukup jauh dengan waktu yang tidak terlalu lama. Jarak 3.000 kilometer dapat ditempuh 58-73 hari.

Penyu mengalami siklus bertelur yang beragam, dari 2-8 tahun sekali. Sementara penyu jantan menghabiskan seluruh hidupnya di laut, betina sesekali mampir ke daratan untuk bertelur. Penyu betina menyukai pantai berpasir yang sepi dari manusia dan sumber bising dan cahaya sebagai tempat bertelur yang berjumlah ratusan itu, dalam lubang yang digali dengan sepasang tungkai belakangnya.

Pada saat mendarat untuk bertelur, gangguan berupa cahaya ataupun suara dapat membuat penyu mengurungkan niatnya dan kembali ke laut, juga penyu menggunakan magnetism bumi sebagai bantuan untuk kembali ke kampung halamannya ketika saat masih menjadi tukik, dan kembali saat sudah dewasa untuk bertelur.

Penyu yang menetas di perairan pantai Indonesia ada yang ditemukan di sekitar kepulauan Hawaii. Penyu diketahui tidak setia pada tempat kelahirannya. Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu. Dari ratusan butir telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak hanya belasan tukik (bayi penyu) yang berhasil sampai ke laut kembali dan tumbuh dewasa. Itu pun tidak memperhitungkan faktor perburuan oleh manusia dan pemangsa alaminya seperti kepiting, burung dan tikus di pantai, serta ikan-ikan besar begitu tukik tersebut menyentuh perairan dalam.

penangkaran penyu

4. Ikan Arwana

hewan purba ikan arwana

Arwana Asia (Scleropages formosus) atau Siluk Merah adalah salah satu spesies ikan air tawar dari Asia Tenggara. Ikan ini memiliki badan yang panjang; sirip dubur terletak jauh di belakang badan. Arwana Asia umumnya memiliki warna keperak-perakan. Arwana Asia juga disebut “Ikan Naga” karena sering dihubung-hubungkan dengan naga dari Mitologi Tionghoa.

Arwana Asia adalah spesies asli sungai-sungai di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Ada empat varietas warna yang terdapat di lokasi, yaitu hijau, ditemukan di Indonesia, Vietnam, Birma, Thailand, dan Malaysia; emas dengan ekor merah, ditemukan di Indonesia; emas, ditemukan di Malaysia; dan merah, ditemukan di Indonesia.

Arwana Asia terdaftar dalam daftar spesies langka yang berstatus “terancam punah” oleh IUCN tahun 2004. Jumlah spesies ini yang menurun dikarenakan seringnya diperdagangkan karena nilainya yang tinggi sebagai ikan akuarium, terutama oleh masyarakat Asia. Pengikut Feng Shui dapat membayar harga yang mahal untuk seekor ikan ini.

Arwana adalah ikan bertulang air tawar dari keluarga Osteoglossidae, juga dikenal sebagai bonytongues. Arwana sebenarnya termasuk jenis ikan purba yang hingga kini belum punah. Banyak nama yang melekat kepadanya, di antaranya ikan siluk, ikan kayangan, ikan kalikasi, dan ikan kelasa.

5. Tenggiling

Tenggiling atau trenggiling (juga disebut sebagai pemakan semut bersisik) adalah mamalia dari ordo Pholidota. Satu keluarga yang masih ada, Manidae, memiliki tiga genera, yaitu Manis yang terdiri atas empat spesies yang hidup di Asia, Phataginus yang terdiri atas dua spesies hidup di Afrika, dan Smutsia yang terdiri atas dua spesies juga tinggal di Afrika. Spesies ini berbagai ukuran dari 30 sentimeter hingga 100 sentimeter. Sejumlah spesies tenggiling punah juga diketahui. Nama pangolin berasal dari kata bahasa Melayu “pengguling”. Tenggiling ditemukan secara alami di daerah tropis di seluruh Afrika dan Asia.

6. Ikan Raja Laut

Coelacanth Indonesia (Latimeria menadoensis) atau juga disebut di Indonesia sebagai ikan raja laut, adalah salah satu dari dua spesies hidup coelacanth, sejenis ikan purba, yang masih ada hingga kini. Coelacanth Indonesia memiliki ciri berwarna sisik tubuh kecokelatan. Ikan langka ini masuk ke dalam daftar IUCN Red List dengan kategori rentan. Satu spesies lainnya, yaitu Latimeria chalumnae (Coelacanth Samudra Hindia Barat) masuk dalam daftar terancam kritis.

Habitat ikan coelacanth Indonesia berada di sekitar perairan Laut Sulawesi, terutama di sekitar Pulau Manado Tua, perairan Malalayang, Teluk Manado, dan di perairan Talise, Minahasa Utara. Habitat ikan coelacanth berada di kedalamanan lebih dari 180 meter dengan suhu maksimal 18 derajat celsius.

Di Indonesia, spesimen coelacanth Indonesia awetan kering disimpan dalam peti kaca dan dipamerkan di Seaworld Indonesia, Jakarta. Sedangkan di Indonesia, setidaknya ada dua awetan basah coelacanth Indonesia, yakni yang disimpan di Museum Biologi LIPI di Cibinong dan di Manado.

Penemuan ikan ini diawali ketika Arnaz dan Mark Erdmann berwisata ke Indonesia untuk berbulan madu pada 18 September 1997. Mereka melihat ikan aneh dijual di pasar Manado Tua, di Sulawesi Utara. Mark mengira ikan itu adalah seekor gombessa (Coelacanth Komoro), meskipun berwarna cokelat, dan bukan biru.

Seorang ahli menyadari foto mereka yang diunggah ke internet dan menyadari betapa pentingnya penemuan ini. Erdmann kemudian menghubungi nelayan setempat dan meminta mereka untuk segera mengirimkan ikan seperti ini, jika ada tangkapan ikan ini kelak. Spesimen Coelacanth Indonesia kedua berukuran panjang 1,2 meter dan berat 29 kilogram berhasil ditangkap hidup-hidup pada 30 Juli 1998.

Ikan ini sempat hidup selama enam jam, memungkinkan ilmuwan untuk mendokumentasikan lewat foto, warnanya, gerakan sirip, dan perilaku umum ikan ini. Spesimen ini kemudian diawetkan dan disumbangkan ke Museum Zoologicum Bogoriense (MZB), bagian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Tes DNA menunjukkan bahwa spesimen ini secara genetik berbeda dari populasi coelacanth di kepulauan Komoro, Samudra Hindia Barat. Secara kasat mata, penampilan coelacanth Indonesia, yang dijuluki penduduk setempat sebagai raja laut, mirip dengan coelacanth Komoro. Perbedaan utamanya adalah warna sisik latar ikan ini, coelacanth Indonesia berwarna cokelat keabu-abuan, sementara coelacanth Komoro berwarna biru keabu-abuan.

Ikan ini disebutkan dalam jurnal ilmiah Prancis Comptes Rendus de l’Académie des sciences Paris terbitan tahun 1999, oleh Pouyaud et al. Ikan ini saat itu adalah spesies baru yang diberi nama ilmiah Latimeria menadoensis. Pada 2005, sebuah studi molekuler memperkirakan waktu percabangan antara dua spesies coelacanth adalah sekitar 40–30 juta tahun lalu.

Pada beberapa kesempatan penelitian langsung di habitat aslinya, Coelacanth ditemukan berdiam di mulut goa batuan lava bawah laut. Secara fisik, sekilas fosil hidup tampak seperti ikan kerapu macan. Loreng-loreng gelap bergigi tajam. Coelacanth Indonesia secara sekilas sangat mirip coelacanth Samudra Hindia Barat (Komoro),  tetapi warna coelacanth Indonesia berwarna kecokelatan, sementara coelacanth Komoro berwarna kebiruan.

Keunikan paling nyata ikan ini adalah keberadaan sepasang sirip dada, sirip perut, satu sirip anal (bagian belakang bawah), dan satu sirip punggung yang tidak menyatu dengan tubuh, tetapi menjulur, bercuping, dan berdaging seperti tungkai. Untuk tetap pada posisinya, coelacanth menggerakkan sirip perut dan sirip dadanya seperti dayung.

Gerakan maju datang dari sirip anal dan sirip punggung belakang. Rahang atas coelacanth dapat bergerak membuka seperti rahang bawah. Dengan kemampuan itu, coelacanth, ikan karnivora, dapat memangsa ikan yang lebih besar. Coelacanth menetaskan telurnya di dalam perut, bukan di luar tubuhnya.

7. Belangkas

Mimi atau Belangkas (suku Limulidae) mencakup empat jenis hewan beruas (artropoda) yang menghuni perairan dangkal wilayah paya-paya dan kawasan mangrove. Kesemuanya merupakan anggota suku Limulidae dan menjadi satu-satunya wakil dari bangsa Xiphosurida yang masih sintas di bumi. Cetakan fosil hewan ini tidak mengalami perubahan bentuk berarti sejak masa Devon (400-250 juta tahun yang lalu) dibandingkan dengan bentuknya yang sekarang, meskipun jenisnya tidak sama.

Orang Jawa menyebut mimi untuk yang berjenis kelamin jantan dan mintuna untuk yang betina. Hewan ini monogamik, sehingga sering dijadikan simbol kelanggengan pasangan suami-isteri. Orang Inggris mengenalnya sebagai horseshoe crab atau “ketam ladam” karena bentuknya yang dianggap seperti ladam kuda. Belangkas merupakan satwa dilindungi di Indonesia.

Esktrak plasma darahnya (Haemocyte lysate) banyak digunakan dalam kajian biomedis dan lingkungan. Di Amerika Serikat, Tiongkok, dan Jepang ekstrak darah ini digunakan sebagai bahan pengujian endotoksin serta untuk mendiagnosis penyakit meningitis dan gonore. Serum anti-toksin menggunakan belangkas telah berkembang di Eropa, Amerika Serikat, Jepang, dan Asia Barat.

Warna darah belangkas adalah biru, terbentuk dari senyawa mirip hemoglobin pada manusia, yang disebut hemosianin. Apabila hemoglobin memiliki atom besi sebagai pusat, hemosianin memiliki atom tembaga sebagai pusatnya.

Daging dan telur belangkas bisa dikonsumsi. Masyarakat Melayu di Kota Tinggi, Johor, mengenal masakan asam pedas dan sambal tumis belangkas. Belangkas juga disantap dengan hanya memanggang atau membakar saja. Namun, belangkas menghasilkan sejenis racun yang bisa memabukkan. Hanya bagian tertentu saja boleh dimakan dan hanya seorang yang sudah terbiasa dan ahli saja yang mengetahui cara menyajikan makanan laut belangkas ini dengan aman.

Nah, Grameds. Demikian sekelumit cerita tentang hewan purba yang masih hidup di Indonesia. Ternyata cara hewan-hewan ini mempertahankan hidup sangat unik. Namun, meski hewan ini sebagian besar adalah hewan buas, kita tidak boleh memburu hewan-hewan ini agar ekosistem alam tetap terjaga kelestariannya.

Untuk kalian yang ingin selalu mengikuti perkembangan informasi dari Gramedia, jangan lupa unduh aplikasi Gramedia Digital di gawai kalian. Banyak informasi seru yang akan dibagikan setiap harinya. Selain itu, promo-promo menarik seputar produk Gramedia yang keren akan selalu hadir melalui ruang digital kalian. Dapatkan juga potongan harga menarik untuk setiap promonya. Gramedia Digital hadir untuk kalian, karena Gramedia Digital adalah #SahabatTanpaBatas.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait Hewan Purba

BACA JUGA:

About the author

Nandy

Perkenalkan saya Nandy dan saya memiliki ketertarikan dalam dunia menulis. Saya juga suka membaca buku, sehingga beberapa buku yang pernah saya baca akan direview.

Kontak media sosial Linkedin saya