in

Resensi Novel The Castle in the Pyrenees karya Jostein Gaarder

The Castle in the Pyrenees bisa disebut sebagai novel filsafat karya Jostein Gaarder yang cukup mengusung kisah romansa dengan melibatkan dua orang dewasa. Hal itu dilihat dari sekian banyak karya tulis miliknya yang menghadirkan tokoh utama anak atau remaja perempuan, seperti novel Dunia Sophie, Dunia Maya, The Orange Girl, The Magic Library, dan Misteri Soliter yang melibatkan tema filosofis mengenai kehidupan dunia dan manusia.

Novel ini terbit pada tahun 2008 dengan judul aslinya, yaitu Slottet i Pyreneen. Novel ini berisi pertanyaan-pertanyaan mengenai nurani dan jiwa manusia, melalui pertalian antara dua manusia dewasa bernama Solrun dan Steinn. Novel dengan tebal kurang lebih 295 halaman ini mengisahkan perdebatan akan pertanyaan mengenai kehidupan setelah kematian dan pertanyaan lainnya akan kehidupan di bumi.

Cerita yang menyelami kedudukan kesadaran manusia di alam semesta. Dapatkah ilmu sains menjelaskan hal demikian?

Jostein Gaarder dengan ciri khasnya, memaparkan berbagai isu ‘dunia’ filsafat agar dapat dipahami menggunakan untaian cerita yang luar biasa apik. Penasaran dengan alur cerita dalam novel The Castle in the Pyrenees? Coba simak ulasan di bawah ini.

Alur Kisah Novel The Castle in the Pyrenees

The Castle in the Pyrenees
The Castle in the Pyrenees

tombol beli buku

Novel The Castle in the Pyrenees menampilkan dua tokoh, yaitu laki-laki dan perempuan dewasa yang telah berpisah, kemudian berjumpa kembali setelah 30 tahun. Steinn dan Solrun kembali bertemu di hotel yang mereka datangi 30 tahun lalu sewaktu mereka masih menjadi sepasang kekasih dan berkuliah di Universitas Oslo. Hotel tua itu terletak di desa Sognefjord, tepatnya di lembah gletser Norwegia Barat.

Akan tetapi, liburan mereka menjadi berantakan sebab ketika di perjalanan, keduanya merasa bahwa VW kodok yang mereka naiki dengan tidak sengaja menabrak seorang nenek tua di jalan gelap di tengah malam. Namun, tidak ada raga yang tergeletak, hanya ada selendang berwarna merah tua dan kepingan kaca spion di jalan.

Polisi sendiri pun tidak mendapati laporan orang mati, bahkan koran dan radio tidak menyiarkan kejadian kecelakaan. Semenjak peristiwa tersebut membuat hubungan keduanya menjadi renggang, kemudian berpisah. Terlebih, ketika perempuan itu hadir di taman cherry dekat hotel kayu itu. Nenek tua itu mengatakan dua kalimat yang dicerna secara berbeda oleh mereka.

Solrun selaku perempuan, mendengar bahwa wanita tua ini mengatakan, “Kamu adalah aku di masa lalu dan aku adalah kamu di masa mendatang”, kemudian ia mengatakan lagi, “Semestinya kalian berdua ditilang, nak.” Sementara Steinn, ia justru mendengar kalimat lain. Mereka beradu argumen terkait persoalan tersebut, makna di balik perkataannya, dan misteri wanita yang mereka percayai bahwa ia telah tewas sebab ditabrak dengan sangat kencang.

Cek di Balik Pena : Beby Chaesara

Saat melintasi pinggiran danau yang jalannya berkelok dan Steinn mengendarai kendaraannya dengan cukup mengebut hingga akhirnya mereka merasa telah menabrak seseorang yang menggunakan syal. Bagaimana bila pada saat itu Steinn tidak mengendarai VW kodoknya saat itu dengan kecepatan tinggi? Apakah mereka akan menabrak wanita tua tersebut? Intinya, banyak pertanyaan yang mengusik keduanya hingga mereka pun memutuskan untuk berpisah.

Lalu, 30 tahun mendatang, tepatnya di tahun 2007. Saat masing-masing dari mereka sudah menikah dan memiliki dua anak, Steinn dan Solrun berjumpa di hotel tua yang dahulu mereka kunjungi saat sedang berlibur. Kini, Steinn tengah bekerja di Universitas Oslo sebagai pengajar ahli di bidang perubahan iklim, sementara Solrun menjadi seorang guru SMA di Bergen, pekerjaan tersebut yang sejak dulu diimpikan oleh Steinn.

Saat itulah, keduanya kembali terhubung dengan perbincangan mereka melalui surat elektronik, mengungkapkan kejadian misterius yang tak terlupakan 30 tahun lalu. Melalui surat elektronik (e-mail), cerita dari The Castle in the Pyrenees ini berjalan. Di tengah perjalanan kisah, mereka menyimpulkan alasan Solrun mengakhiri hubungannya dengan Steinn.

Steinn adalah lelaki yang terlalu banyak membicarakan persoalan filsafat, sifatnya menyebalkan yang kerap kali omongannya ingin didengar, ia juga tipikal lelaki yang tidak dapat dihentikan ketika dirinya mengungkapkan berbagai gagasan konyol dan gila. Lain halnya dengan Solrun yang dengan telaten menuliskan cerita dengan uraian yang bermanfaat bagi pembaca untuk mengikuti alur cerita ini.

Setelah perbincangan dan polemik melalui puluhan surat elektronik, mereka sepakat untuk melakukan pertemuan. Steinn dan Solrun yang sebenarnya masih saling menaruh perasaan, sangat ingin memecahkan perdebatan mereka perkara hantu dan hidup kembali sesudah mati.

Steinn yang atheis, tidak percaya akan hantu serta berbagai hal gaib, terlebih adanya kehidupan setelah mati. Hal itulah yang menyebabkan dirinya tidak mempercayai kehadiran roh perempuan tua menggunakan Syal yang diduga sebagai korban tabrakannya itu. Menurut Steinn, dunia merupakan surga dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya.

Saat manusia mati maka mati pula roh yang ada di tubuhnya dan selesai. Akan tetapi, penjelasan secara materi dan perkara arwah pun tidak dapat meyakinkan Solrun. Sedangkan tokoh Solrun yang tidak dapat meyakinkan Steinn mengenai kepercayaan dirinya sebagai umat Kristen, materi, roh, alam lain, dan kebangkita Yesus di hari ketiga. Solrum merasa gagal untuk memberikan penjelasan keyakinannya mengenai dunia fana ini dan hidup setelah kematian.

Sebelumnya memang Solrun berada dalam satu keyakinan dengan Steinn, tetapi ada satu dan lain hal yang membuat Solrun meninggalkan dan beralih menjadi seorang umat Kristen. Steinn terlalu percaya akan logika dan sains yang dapat menjabarkan segala hal. Solrun memandai Steinn dan melihat perspektif lain dari dalam logika Steinn. Ia melihat terdapat sesuatu yang tidak dapat diterima oleh Steinn, yakni iman.

Saat itulah keduanya memutuskan untuk tidak bertemu dan saling membeku. Lalu, bagaimanakah kelanjutan kisah Steinn dan Solrun? Bagaimana dengan kedua pasangan dari masing-masing? Ikuti perjalanan dan pergolakan kisah Steinn dan Solrun, tentunya di novel The Castle in the Pyrenees.

Cecilia and the Angel
Cecilia and the Angel

tombol beli buku

Malam Natal tahun ini sungguh menyedihkan bagi Cecilia. Dia sakit keras dan mungkin tak akan pernah sembuh. Cecilia marah dan menganggap Tuhan tak adil. Namun, terjadi keajaiban. Seorang malaikat–Ariel namanya–mengunjungi Cecilia. Mereka berdua kemudian membuat perjanjian.

Cecilia harus memberitahukan seperti apa rasanya menjadi manusia dan Malaikat Ariel akan memberitahunya seperti apa surga itu. Buku ini memenangi Norwegian Bookseller Prize dan diadaptasi ke dalam film yang juga memenangi Amanda Award, anugerah tertinggi perfilman Norwegia pada tahun 2009.

Keunggulan Novel The Castle in the Pyrenees

Dapat dikatakan bahwa novel The Castle in the Pyrenees mendorong pembaca untuk mengenali secara luas kehidupan di dunia ini. Novel ini seakan mendorong pembaca untuk memahami cara pemikiran dan keyakinan yang berbeda mengenai dunia ini. Meskipun demikian, tokoh Steinn dan Solrun tidak saling menempatkan pendapat yang berbeda. Ending dalam novel ini cukup menarik yang dinarasikan oleh suami dari Solrun, Petter.

The Castle in the Pyrenees ini menghadirkan cerita fiksi menarik dilengkapi dengan kajian filsafat yang pastinya membuat pembaca berasumsi lebih mendalam guna memahami plot cerita yang ada di dalamnya. Oleh sebab itu, novel ini cukup layak dijadikan sebagai bahan bacaan dan renungan bagi segenap orang yang jenuh akan cerita yang terkesan biasa saja atau cerita cinta yang mengiris hati.

Dari novel ini, para pembaca bisa menyadari lebih dalam terkait kehidupan di dunia. Novel ini mengisahkan pula terkait proses suatu hal dapat terjadi, apakah dikarenakan oleh takdir atau hanya kebenaran semata. Tak lupa Gaarder sebagai penulis menyelipkan unsur sains guna menjabarkan proses tersebut, khususnya proses keberlangsungan kehidupan.

Meskipun cenderung berat, novel ini memberikan perbincangan menarik mengenai kematian, tentunya dari perspektif yang berbeda. Mungkin bagi sebagian orang awam, novel ini harus dibaca berulang-ulang sebab erat akan butir filsafat, Gaarder dengan karakter khasnya dalam memainkan pikiran yang tentunya tidak akan membuat kecewa para pembacanya.

Obrolan mengenai kehidupan, sekadar kebetulan, sampai kematian pun dijadikan sebagai bahan perbincangan melalui sudut pandang masing-masing tokoh. Tidak adanya unsur pemaksaan pendapat atau memojokkan pandangan. Membaca novel ini seakan membuka mata menjadi lebih luas sehingga dapat mengartikan segala hal dengan dua perspektif yang berlainan.

The Castle in the Pyrenees tidak hanya menyuguhkan para pembacanya dengan sebuah cerita fiksi, melainkan lebih dari itu. Pembaca pun akan diajak untuk menelaah dan belajar berbagai hal menarik lainnya dan penting dengan kajian filsafat. Terdapat banyak informasi baru yang akan membuat pembaca terkagum dan ikut merenungkan lebih dalam.

Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa novel ini disusun melalui dua sudut pandang, yakni tokoh Steinn dan Solrun yang saling bercakap melalui surat elektronik. Bisa dikatakan bahwa setengah lebih dari bagian novel ini digunakan mengisahkan kenangan 5 tahun kebersamaan mereka, kemudian setengah bagiannya lagi mengisahkan perdebatan peristiwa pascakecelakaan yang dialami oleh mereka.

Steinn dan Solrun telah bersepakat untuk tidak mengungkit kembali peristiwa tersebut, tetapi setelah 30 tahun berlalu dan sudah ditetapkan bahwa tak ada satupun laporan mengenai kecelakaan tersebut, mereka mengulang kembali cerita terkait peristiwa tersebut.

Gaarder tidak secara jelas memberikan gambaran jawaban atas peristiwa maut tersebut. Ia justru meminta pembaca yang mengartikan sendiri terkait kebenaran akan terjadinya peristiwa tabrakan itu atau tidak. Bahkan hingga di akhir cerita, Steinn dan Solrun masih dengan pandangan yang berbeda.

Solrun yang memercayai bahwa mereka telah menabrak perempuan tua bersyal merah hingga menyebabkan meninggal dikarenakan roh atau arwah dari wanita itu menunjukkan diri di hadapan mereka ketika keduanya sedang berlibur. Akan tetapi, Steinn teguh dengan pendiriannya yang menganggap bahwa mereka tidak menabrak apapun sebab tidak adanya bukti fisik, seperti semacam darah yang berjatuhan dan jasad wanita yang semestinya berada di lokasi kejadian.

Bahkan berdasarkan kepolisian pun mengatakan bahwa tidak adanya laporan mengenai kecelakaan. Perdebatan dan pertengkaran keduanya saat ini merembet ke pembahasan mengenai hakikat kehidupan, seperti apakah kehidupan di dunia ini memang ada secara alami atau ada campur tangan dengan yang Maha Kuasa untuk mengatur kehidupan ini.

Topik cerita yang mereka perbincangkan memang jauh lebih berat apabila dibandingkan dengan peristiwa kecelakaan yang terjadi. Seakan-akan peristiwa fisik hanya dipakai untuk menjembatani dan mengantarkan cerita filosofis. Bagi pembaca yang sudah tak asing dengan karya-karya dari Gaarder sebab memiliki kekhasannya sendiri. Novel The Castle in the Pyrenees ini cukup direkomendasikan bagi pembaca yang membutuhkan sengatan mengenai perenungan rohani.

Penyajian cerita yang disuguhkan dengan cara saling kirim-mengirim surat elektronik, seperti yang dilakukan oleh tokoh Solrun dan Steinn, sebenarnya merupakan hal menarik dari novel ini. Adapun hal lain yang menjadi keunikan dari novel ini, yakni pembagian perspektif narasi ceritanya. Saat beberapa penulis lainnya menggunakan point of view orang ketiga ataupun orang pertama dalam karya tulis mereka, lain halnya dengan Gaarder yang mencoba untuk menggunakan sudut pandang orang kedua sebagai pencerita di novel ini.

Melalui sudut pandang kedua inilah yang membuat kita selaku pembaca seakan-akan menjadi sosok dari tokoh Steinn ataupun Solrun, tergantung dari siapa yang menulis surat elektronik tersebut.

Selain itu, novel ini juga mengangkat sebuah perdebatan ‘abadi’ yang memperselisihkan antara sisi rasional dan spiritual. Solrun memercayai akan adanya takdir serta kekuatan tak kasat mata yang telah menghendaki jalannya kehidupan di bumi ini. Sedangkan Steinn teguh akan pendiriannya yang memiliki pandangan dan pemikiran bahwa kehidupan di dunia ini memang sudah berjalan dengan sendirinya, tidak ada yang namanya sebuah ‘kebetulan’ semata.

Dalam hal ini, tokoh Solrun digambarkan dengan ideologi spiritualnya, sementara Steinn digambarkan dengan sosok yang sangat rasionalis dan keras kepala. Akan tetapi, dengan pembahasan yang terbilang dan terkesan rumit itu, layaknya pembahasan metafisik (baca: filsafat) lainnya, penulis berhasill mengemukakan fenomena tersebut dengan gayanya sendiri sehingga fenomena yang diangkat tidak begitu berat dan dapat dinikmati serta dibaca oleh pembaca awam.

Seperti tujuan dari filsafat sendiri, yakni mendorong manusia untuk memikirkan atau merenungkan mengenai suatu hal, novel ini berhasil memberikan sentuhan tersebut kepada para pembacanya. Pembaca akan memikirkan beberapa saat mengenai suatu hal ketika membaca gagasan pokok, baik yang disampaikan oleh Steinn maupun Solrun.

Karya tulis Gaarder yang satu ini tidak mempunyai sosok yang mengambil peran antagonis, seperti halnya novel-novel kebanyakan. Kedua tokoh dalam cerita pun dibuat protagonis, pembaca seolah sedang bertarung dengan kenyataan dan realitas kehidupan bahwa keduanya sudah berpisah cukup lama, bahkan mereka pun sudah mempunyai keluarga sendiri-sendiri.

Akan tetapi, saling bertukar pesan melalui surat elektronik yang terjadi antara Steinn dan Solrun mempunyai histori ini justru mendukung tema percintaan yang sudah lama kembali ke permukaan. Kemudian, peristiwa misteri kecelakaan yang menimpa mereka berdua juga sebenarnya tidak kalah menarik untuk diikuti dan ditelusuri. Hal itu karena tetap memfokuskan pada rumitnya perdebatan mereka yang mana nantinya misteri itu akan terjawabkan pada akhir cerita.

Untuk ending cerita novel ini, pembaca barangkali bersepakat bahwa cerita yang bagus ialah cerita yang mempunyai plot twist sehingga seakan tidak terkesan klise. Dalam novel The Castle in the Pyrenees, berhasil menyajikan ending dengan gaya yang terbilang mengejutkan. Penasaran dengan ending seperti apa yang dimaksud? Baca novel The Castle in the Pyrenees.

Misteri Soliter
Misteri Soliter

tombol beli buku

Hans Thomas, 12 tahun, bersama sang ayah melakukan perjalanan ke Yunani untuk mencari sang ibu. Perjalanan panjang itu diwarnai kejadian-kejadian aneh. Seorang kurcaci memberi Hans Thomas sebuah kaca pembesar, seorang tukang roti memberikan sekerat roti berisi buku mini yang berkisah tentang pelaut yang terdampar di sebuah pulau; setumpuk kartu remi yang tiba-tiba hidup, dan seorang Joker yang nyaris tahu segala.

Siapakah mereka? Dan ke manakah mereka akan membawa Hans Thomas? Misteri Soliter adalah bacaan yang ditulis khusus bagi mereka yang ingin belajar filsafat tanpa harus berkerut kening.

Kelemahan Novel The Castle in the Pyrenees

Hal menarik dari novel ini mengenai penyajian cerita sudah disinggung sebelumnya, yakni di mana dihadirkan dengan bentuk kirim-mengirim surat elektronik antara tokoh Solrun dan Steinn sehingga novel ini mempunyai dua narator berbeda yang mengisahkan sebuah cerita dan peristiwa pada pembaca.

Akan tetapi, teknik tersebut menjadikan novel ini cukup membingungkan para pembacanya di awal sebab yang menjadi pembeda antara surat elektronik yang dikirim oleh Solrun dan surat elektronik yang dikirim oleh Steinn hanyalah terdapat pada perbedaan jenis font yang dipakai.

Pertukaran antara narator satu ke narrator lain dalam novel ini hanya dilakukan menggunakan sebuah enter menuju paragraf baru berikutnya dan tidak ada tanda pemisah. Maka dari itu, bagi yang hendak membaca novel ini, dibutuhkan konsentrasi penuh agar tidak kebingungan saat membaca novel ini.

Novel ini memang tidak banyak kelemahannya. Oleh karena itu, kelemahan yang telah disebutkan di atas bukanlah menjadi penghalang kelayakan novel ini. Dengan artian bahwa kelemahan itu hanyalah bagian kecil yang tidak mengganggu alur cerita di novel ini.

Kesimpulan Novel The Castle in the Pyrenees

Saat membaca novel The Castle in the Pyrenees, pembaca seolah-olah seperti sedang kebetulan membaca surat elektronik milik orang lain. Membaca, menyimak, mendapatkan ilmu dan pengetahuan baru dengan tanpa merasa terusik oleh pemikiran dan ide yang ada dalam novel ini.

Namun, mengingat bahwa novel ini merupakan cerita fiksi, tetapi pembaca tentu akan mengharapkan sentuhan romansa di akhir cerita sebab memang dahulunya tokoh Steinn dan Solrun pernah menjalin hubungan yang cukup lama di masa lalu. Lima tahun, bukanlah waktu yang singkat dan selama itulah hal-hal menyenangkan sedang dirasakan di masa muda. Mereka merasakan berbagai perjalanan indah yang tidak terlupakan.

Bahkan, saat pertemuan kembali selama 30 tahun lamanya, pembaca seakan dibuat bertanya-tanya, apakah mereka akan menjalin hubungan kembali atau bagaimana? Untuk mengetahui jawabannya, tentu kalian harus membaca novel The Castle in the Pyrenees karya Jostein Gaarder yang satu ini.

Selain itu, novel ini memang sangat direkomendasikan bagi pembaca yang haus atau membutuhkan bacaan mengenai berbagai fenomena yang berkaitan dengan filsafat, tetapi enggan membaca buku filsafat karena rumit. Karya tulis milik Jostein Gaarder memanglah dikenal memiliki sentuhan filsafat yang diolah menjadi bacaan ringan dan mudah untuk dipahami oleh berbagai kalangan, bahkan orang awam sekalipun.

Itulah Resensi Novel The Castle in the Pyrenees karya Jostein Gaarder. Apabila Grameds tertarik dan ingin memperluas pengetahuan terkait bidang apapun atau ingin mencari novel dengan berbagai genre, tentu kalian bisa temukan, beli, dan baca bukunya di Gramedia.com dan Gramedia Digital karena Gramedia senantiasa menjadi #SahabatTanpaBatas bagi kalian yang ingin menimba ilmu.

Penulis: Tasya Talitha Nur Aurellia

Sumber: dari berbagai sumber

Dunia Maya
Dunia Maya

tombol beli buku

Novel Dunia Maya karya Jostein Gaarder ini menyoroti gagasan-gagasan yang besar: penciptaan alam semesta, evolusi kehidupan di bumi, munculnya manusia, dan tujuan dari keberadaan manusia.

 

Written by Tasya Talitha