Pkn

Konsep Wilayah Formal dan Fungsional serta Studi Kewilayahan!

Wilayah Formal

Wilayah Formal – Pembahasan di dalam artikel ini menggunakan istilah wilayah, sehingga kita terlebih dahulu perlu mengerti dan memahami dengan tepat mengenai definisi wilayah, untuk menghindari pemahaman yang kurang lengkap mengenai konsep sesungguhnya. Gagasan dan pemikiran tentang konsep wilayah telah banyak bermunculan, tetapi kenyataan menunjukkan masih adanya kesimpangsiuran dan ketidaksepakatan mengenai arti wilayah itu sendiri.

Kondisi ini sebenarnya mencerminkan beraneka-ragamnya disiplin ilmu yang terlibat dalam studi-studi kewilayahan. Pembicaraan tentang konsep wilayah, meliputi pembahasan mengenai pengidentifikasian wilayah, yakni tentang cara menentukan batas-batas suatu wilayah.

Pertanyaan yang mengemuka misalnya, apa perbedaan yang ada antara satu wilayah dan wilayah lain? Apa makna dari perbedaan tersebut? Apakah perbedaan antarwilayah-wilayah itu berlaku tetap atau dapat berubah-ubah? Mengapa sejumlah wilayah dapat dikatakan homogen? Atau, mengapa ada wilayah yang terdiri atas berbagai karakteristik tertentu?

Apakah batas-batas wilayah itu muncul secara alamiah, meskipun tidak ada campur tangan manusia? Ataukah batas wilayah sebenarnya tidak ada dan batas-batas yang tampaknya “ada” tersebut merupakan hasil kreasi pikiran manusia? Semua persoalan ini hendak dicoba untuk dijawab dalam artikel ini, termasuk berbagai istilah yang berkaitan erat dengan wilayah.

Sembarang tempat, lingkungan, sekitaran, negara, benua, kota, desa, dan aneka wujud lain dari tempat di muka bumi ini dapat disebut sebagai “wilayah”. Mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), beberapa istilah yang akan ditinjau, antara lain daerah, distrik, kawasan, lahan, lingkungan, ruang, regional, wilayah, dan zona. Masing-masing istilah tersebut diuraikan secara rinci di bawah ini.

Kajian Kewilayahan di Indonesia

Daerah (kata benda) memiliki pengertian, yaitu:

  • Bagian permukaan bumi yang berhubungan dengan keadaan alam dan berbagai ciri khususnya;
  • Lingkungan pemerintah, wilayah selingkungan tempat yang dipakai untuk tujuan khusus, dan kawasan;
  • Tempat-tempat sekeliling atau yang termasuk dalam lingkungan suatu kota (wilayah);
  • Tempat-tempat dalam satu lingkungan yang sama keadaannya atau bersifat homogen (iklim, mata pencaharian);
  • Tempat-tempat yang mengalami suatu peristiwa yang sama;
  • Bagian permukaan tubuh.

Adapun distrik (kata benda), memiliki dua arti, yaitu:

  • Bagian kota atau negara yang dibagi untuk tujuan tertentu, wilayah;
  • Daerah bagian dari kabupaten yang pemerintahannya dipimpin oleh pembantu bupati; kawedanan.

Sehubungan dengan kedua arti di atas, pengertian distrik hanya relevan pada saat sistem kawedanan masih berlaku. Oleh karena itu, dengan tidak adanya sistem kawedanan, pengertian distrik di atas tidak tepat lagi untuk digunakan.

Kawasan (kata benda) didefinisikan sebagai daerah tertentu yang memiliki fungsi tertentu. Misalnya kawasan berikat, yang didefinisikan sebagai daerah tertentu yang terikat (terkena) peraturan khusus pabean.

Lahan (kata benda) didefinisikan sebagai tanah terbuka atau tanah garapan. Misalnya lahan garapan yang berarti tanah pertanian yang akan digarap.

Lingkungan (kata benda) terbentuk dari kata kerja lingkung, yang artinya memberi batas (pagar) sekeliling, sedangkan lingkungan menurut KBBI memuat empat arti, yaitu:

  • Daerah yang termasuk di dalamnya;
  • Bagian wilayah dalam kelurahan yang merupakan lingkungan kerja pelaksanaan pemerintahan desa;
  • Golongan, kalangan;
  • Semua yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan.

Wilayah (kata benda) yang menjadi kata kunci di dalam artikel ini memiliki dua arti, yaitu suatu daerah (kekuasaan, pemerintahan, pengawasan) dan lingkungan daerah (provinsi, kabupaten, dan kawedanan). Perlu diingat bahwa kata lingkungan memiliki makna “batas”, sehingga lingkungan daerah berarti suatu daerah dengan batas tertentu, seperti provinsi, kabupaten, dan kota.

Adapun menurut Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional (2002), wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Ada satu kata yang terkait erat dengan istilah wilayah yaitu teritorial, yang didefinisikan oleh KBBI sebagai bagian wilayah (hukum) suatu negara.

Wilayah Formal

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa istilah daerah memiliki arti yang lebih umum dibandingkan istilah kawasan, lingkungan maupun wilayah. Dalam perkembangannya, selain memiliki ketujuh arti seperti diuraikan sebelumnya, istilah “daerah” juga memuat pengertian opposite dari kata “pusat”. Hal ini terkait dengan arti kedua dalam KBBI seperti disebut di atas. Oleh karena itu, sering kali dirasakan kurang tepat jika suatu lingkungan tertentu disebut daerah, sehingga istilah daerah tidak digunakan di dalam konteks artikel ini.

Terlepas dari betul tidaknya pengertian tersebut, kenyataan yang ada ialah bahwa kita sering menggunakan istilah daerah untuk menyebutkan suatu wilayah atau lingkungan tertentu. Kebiasaan ini muncul sebagai akibat penerapan sistem sentralistik dalam waktu yang cukup lama di Indonesia. Dalam sistem sentralistik, penggunaan istilah “pusat” dan “daerah” lebih menunjukkan persepsi bahwa pusat dipandang superior dibandingkan dengan daerah.

Terlepas dari soal pendikotomian di atas, sebagian pihak lebih memandang istilah wilayah sebagai suatu kesatuan yang secara jelas dapat diidentifikasikan, serta dinamakan sebagai “wilayah alami”. Sementara bagi pihak lain, wilayah hanyalah suatu hasil dari imajinasi dalam bentuk klasifikasi.

Konsep Wilayah Formal dan Wilayah Fungsional

1. Wilayah Formal

Wilayah formal adalah wilayah geografis yang seragam atau homogen menurut kriteria tertentu, sehingga konsep wilayah ini sering disebut sebagai konsep wilayah homogen (homogeous region concept). Bagian-bagian yang ada di dalam suatu wilayah, dianggap memiliki keseragaman tertentu. Berbagai kriteria keseragaman yang digunakan di sini ditentukan terlebih dahulu (predetermined).

Suatu wilayah dikatakan memiliki karakteristik homogen jika ada suatu karakteristik tertentu yang berlaku umum dan dapat diterapkan kepada semua bagian dalam wilayah tersebut. Karakteristik homogen itu dapat berupa kesamaan aktivitas ekonomi, kondisi geografis atau sosial budaya. Awalnya, kriteria yang digunakan dalam pendefinisian wilayah formal lebih mengacu kepada karakteristik fisik seperti topografi, iklim atau vegetasi, dan dikaitkan dengan konsep penentuan secara geografis; batas-batas alam merupakan faktor utama yang membatasi suatu wilayah.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan adanya perubahan dengan menggunakan kriteria ekonomi, seperti wilayah yang umumnya memiliki aktivitas terbesar industri atau pertanian, bahkan kemudian juga menggunakan berbagai kriteria sosial dan politik, seperti kecenderungan pilihan partai politik.

Wilayah alamiah diartikan sebagai wilayah formal secara fisik. Perhatian kepada bentuk wilayah ini sebagian timbul dari kenyataan bahwa faktor-faktor fisik (geografis) cenderung lebih stabil dibanding faktor-faktor lain, seperti ekonomi (yang lebih bersifat dinamis). Oleh karena itu, penggunaan faktor fisik akan jauh lebih memudahkan dalam mempelajari wilayah. Namun demikian, dalam pandangan untuk menjelaskan wilayah menurut faktor fisik sebenarnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Teori Evolusi yang dikemukakan Darwin.

Sejalan dengan konsep Darwin tentang seleksi alami, para ahli geografi meyakini bahwa kelangsungan hidup manusia tergantung kepada kemampuannya menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalnya. Itulah sebabnya muncul pendapat bahwa untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap lingkungan, manusia harus mempelajari lingkungan fisiknya berada.

Wilayah formal ekonomi pada umumnya ditentukan berdasarkan peranan sektor ekonomi yang dominan di suatu wilayah, misalnya seperti wilayah pertambangan migas di Bontang atau wilayah perkebunan kelapa sawit di Kisaran, dengan tidak mengabaikan sifat fisik yang ada di wilayah tersebut.

Pembagian wilayah formal ekonomi di Inggris pernah dilakukan oleh Stamp dan Beaver dengan membagi Inggris menjadi 19 wilayah pertanian dan 13 wilayah industri (Glasson, 1990). Berbagai upaya yang dilakukan kemudian untuk menentukan batas-batas wilayah formal ekonomi didasarkan atas kriteria seperti tingkat pendapatan, tingkat pengangguran dan laju pertumbuhan ekonomi.

Contohnya, pembagian wilayah North West di Inggris yang dilakukan oleh D.M. Smith yang membagi wilayah menurut kriteria sosial ekonomi majemuk (multiple socio-economic criteria) (Glasson, 1990). Dalam upaya tersebut, Smith menggunakan metode multivariat untuk mengidentifikasi pembagian wilayah.

Wilayah Formal

Terdapat suatu masalah dalam penerapan konsep ini, yang memungkinkan bahwa keseragaman yang diperoleh menurut sebuah kriteria bisa saja sebenarnya tidak homogen jika menggunakan kriteria yang lain. Sebagai contoh, ada suatu wilayah yang terbentuk karena kesamaan aktivitas ekonominya yaitu industri. Namun, sebenarnya di dalam wilayah tersebut tingkat pendidikan masyarakat sangat bervariasi.

Jika pengambil kebijakan di wilayah tersebut ingin membuat kebijakan yang mendorong pertumbuhan sektor industri berteknologi tinggi, padahal sebagian masyarakat pendidikannya tidak sesuai dengan industrialisasi berteknologi tinggi, dapat dibayangkan kegagalan yang akan terjadi.

Tidak mungkin mentransformasi pendidikan masyarakat secara cepat karena umumnya investasi sumber daya manusia membutuhkan waktu yang panjang. Akibatnya, pengembangan wilayah tidak sesuai dengan yang diharapkan sebelumnya.

Konsep wilayah homogen mensyaratkan bahwa kriteria keseragaman yang ada di dalam suatu wilayah memang lebih dominan dibandingkan dengan perbedaan yang ada di wilayah tersebut. Oleh karena itu, konsep ini menjadi menarik bagi para ahli yang banyak menggunakan teknik analisis non-spasial, seperti ahli makro ekonomi regional dan analis neoklasik.

Menurut model makroekonomi regional, ada suatu pandangan bahwa pertumbuhan suatu wilayah secara keseluruhan lebih penting daripada sekadar pertumbuhan yang terjadi pada bagian-bagian tertentu di wilayah tersebut. Dengan demikian, suatu perekonomian nasional dapat dipandang sebagai kumpulan ruang yang saling terpisah yang disebut wilayah, tetapi wilayah haruslah memiliki karakteristik homogen tertentu.

Inilah yang menyebabkan terjadinya sesuatu yang disebut dengan friksi spasial (spatial frictions), yaitu perbedaan dalam satu wilayah diabaikan, sedangkan perbedaan antarwilayah diperbolehkan.

2. Wilayah Fungsional

Wilayah fungsional kadang kala disebut juga sebagai wilayah nodal atau wilayah terkutub (polarized region) dan didefinisikan sebagai wilayah geografis yang menunjukkan suatu koherensi (kecenderungan terpusat) fungsional tertentu, dan terdapat saling ketergantungan antarbagiannya.

Artinya, homogenitas dalam satu wilayah tidak lagi digunakan sebagai kriteria pembentukan wilayah. Bagian-bagian yang ada dalam satu wilayah bersifat heterogen, seperti kota dan desa, tetapi memiliki hubungan fungsional sehingga keduanya menjadi saling berkaitan. Oleh karena itu, dimungkinkan bahwa dalam suatu wilayah yang secara administratif didefinisikan sebagai kota, terdapat kawasan bukan perkotaan (non-urbanized area).

Pembahasan lebih detail tentang perkotaan akan dilakukan tersendiri dalam modul tentang perkotaan yang ditelaah oleh beberapa peneliti lain. Hubungan-hubungan fungsional tersebut biasanya terlihat dalam bentuk pergerakan barang, jasa, dan manusia dari satu bagian ke bagian lain yang berada dalam satu wilayah.

Sebagai contoh, perjalanan ke tempat kerja atau ke tempat berbelanja yang memiliki akses penghubung pusat-pusat pekerjaan (misalnya bisnis atau industri-industri pengolahan) dan perbelanjaan (pasar, mal, dan pertokoan) dengan pusat-pusat subsider, seperti perumahan.

Demikian pula dapat dilihat adanya arus pelajar (mahasiswa) dari suatu wilayah subsider ke pusat-pusat pendidikan (universitas, akademi, tempat kursus). Konsep wilayah fungsional ini telah banyak digunakan oleh para ahli kewilayahan, dengan alasan bahwa pembentukan wilayah fungsional secara eksplisit mampu menangani berbagai masalah di dalam suatu wilayah dan mengedepankan dimensi spasial dalam analisisnya.

Populasi dan industri tidaklah tersebar secara merata di seluruh ruang, tetapi berkumpul (aglomerasi) di lokasi-lokasi tertentu. Kecenderungan adanya aglomerasi ini dapat terlihat di semua tingkat agregasi spasial (level wilayah). Adapun di tingkat nasional terdapat wilayah-wilayah inti dengan kepadatan penduduk yang tinggi, jumlah industri pengolahan yang besar, dan tingkat urbanisasi yang tinggi dibandingkan wilayah lain, padahal di setiap wilayah terdapat kota-kota dominan (node), yakni kota-kota yang menjadi tujuan aliran berbagai input, barang, orang, dan komunikasi, sedangkan di dalam kota itu sendiri terdapat inti-inti yang lebih kecil yang menjadi pusat-pusat bisnis atau sosial, dan mudah dibedakan secara sepintas jika melihat dalam peta kepadatan suatu metropolitan dan sekitarnya.

Sementara itu, di tingkat regional, wilayah dipandang terdiri atas berbagai node yang berbeda dalam ukuran (kota besar, kota, dan kawasan perdesaan) yang terkait bersama secara fungsional. Seperti telah disebutkan sebelumnya, keterkaitan fungsional itu tercermin dari adanya pergerakan orang, barang, dan komunikasi. Derajat asosiasi (keterhubungan) antara berbagai pusat diukur berdasarkan arah dan besar ukuran aliran (misalnya, panggilan telepon, arus penglaju atau commuting flows, dan arus perdagangan).

Jadi, yang diamati adalah arah dan intensitas aliran. Semakin besar daya tarik node-node tersebut, akan semakin besar pula intensitas aliran ke arahnya. Jika kita ingin memasukkan suatu kawasan ke dalam satu wilayah, ada kriteria yang perlu dijawab, menyangkut apakah kawasan tersebut memang memiliki keterkaitan yang lebih kuat nodal (node) yang ada di wilayah itu dibanding node lain di luar wilayah.

Setiap wilayah akan memiliki satu atau lebih node, dan prinsip-prinsip dominansi dapat dipakai untuk menentukan apakah kawasan-kawasan pinggiran (peripheral areas) masuk dalam batas wilayah tersebut atau ke dalam wilayah lain.

Salah seorang perintis konsep wilayah nodal, Ebeneezer Howard, setelah Perang Dunia II berpendapat bahwa pemecahan atas berbagai persoalan dalam mengelola kota-kota besar seperti London, terletak pada pengembangan kelompok kota baru yang dihubungkan dengan kota pusat menurut hubungan fungsional.

Penekanan pada hubungan fungsional juga dikemukakan oleh Patrick Geddes dengan memperkenalkan suatu skema
diagram “place-work-folk“. Selain itu, Geddes juga memperkenalkan istilah ‟wilayah-kota‟, yang kemudian menjadi istilah yang paling luas digunakan bagi wilayah nodal. Penelitian mengenai wilayah nodal dapat berupa pendekatan deduktif maupun pendekatan induktif.

Sebuah contoh pendekatan wilayah nodal ialah konsep kawasan ekonomi fungsional (functional economic area, FEA) yang dibangun oleh Karl Fox (Richardson, 1979). Konsep FEA menggambarkan beberapa jenis kriteria untuk menetapkan batas-batas suatu wilayah, yaitu kriteria penentuan batas terpenting dengan mengukur luas kawasan penglaju (commuting area).

Dengan demikian, FEA didefinisikan sebagai suatu wilayah kota yang berfungsi sebagai nodal, yaitu penentuan batas kota tersebut didasarkan kepada batas-batas penglaju terluar (outer commuting limits). Menurut konsep ini, perekonomian nasional dibagi berdasarkan suatu sistem yang terdiri atas beberapa wilayah (system of regions), yaitu setiap wilayah FEA berfungsi sebagai wilayah nodal.

Beberapa masalah sehubungan dengan konsep FEA antara lain dengan berjalannya sistem desentralisasi di Inggris, konsep batas penglaju (commuting boundary) yang mengelilingi sebuah CBD (central business district) menjadi samar. Namun, ternyata cukup sulit untuk menentukan batas tersebut. Batas-batas politis dan administratif tidak dapat dengan mudah diubah begitu saja mengikuti batasan menurut FEA, sekalipun konsep tersebut dapat diterima secara luas.

Artinya, ada perbedaan antara batas administratif yang ditetapkan secara politik dengan batas wilayah yang memiliki keterkaitan fungsional ekonomi yang tinggi, misalnya secara ekonomi wilayah Jakarta sebenarnya mencakup Tangerang, Depok, dan Bekasi. Namun, secara administratif wilayah tersebut terpisah. Akibatnya, penyusunan perencanaan wilayah secara terintegrasi menjadi sulit untuk diwujudkan.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

BACA JUGA:

About the author

Mochamad Aris Yusuf

Menulis merupakan skill saya yang pada mulanya ditemukan kesenangan dalam mencari informasi. tema tulisan yang saya sukai adalah bahasa Indonesia, pendidikan dan teori yang masuk dalam komunikasi Islam.

Kontak media sosial Linkedin saya Mochamad Aris Yusuf