Hukum

PPJB dalam Transaksi Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan

PPJB
Written by Fandy

Pengertian PPJB – Kebutuhan adanya tempat tinggal (papan) merupakan kebutuhan primer bagi seseorang, di samping sandang serta pangan. Selain untuk tempat tinggal, juga dapat sebagai investasi. Perumahan dan permukiman, baik berupa tanah maupun bangunan, menjadi hal yang sangat penting dalam penunjang kelangsungan dan peningkatan kehidupan masyarakat.

Semakin pesatnya perkembangan penduduk, berdampak juga kepada persediaan tanah dan bangunan sebagai kebutuhan pokok manusia karena faktor kepadatan penduduk yang terjadi, meskipun pada dasarnya penyediaan kebutuhan perumahan merupakan salah satu tugas dan tanggung jawab negara, sebagaimana amanat UUD 1945.

Perolehan hak atas tanah, memerlukan adanya proses atau mekanisme tertentu, misalnya karena waris, hibah, jual beli, dan sebagainya. Dalam hal perolehan tersebut melalui transaksi jual beli, hal itu dilakukan di hadapan notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) guna dilakukan peralihan beserta pendaftaran tanah di kantor pertanahan supaya kepastian hukum dapat tercapai, sebagaimana diatur juga dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Selain UUPA, diatur juga dalam PP No. 24 Tahun 1997, yakni salah satu tujuan dari pendaftaran tanah adalah terwujudnya tertib administrasi.

Dalam transaksi jual beli tanah dan/atau bangunan tidak terlepas dari adanya perjanjian/perikatan, yang di dalamnya terdapat persetujuan yang antara para pihak saling mengikatkan diri, dengan satu pihak melakukan penyerahan suatu kebendaan, dan pihak lainnya akan melakukan pembayaran sesuai yang telah diperjanjikan sebelumnya, sebagaimana ketentuan pada Pasal 1457 KUHP.

Dengan demikian, perjanjian tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya, dalam hal ini adalah pihak penjual dan pihak pembeli. Adapun dalam transaksi jual beli objek tanah dan/atau bangunan juga dikenal dengan adanya istilah uang panjar. Berdasarkan ketentuan Pasal 1454 KUHP, dijelaskan bahwa dengan adanya suatu panjar, jual beli tidak dapat dibatalkan, sehingga tidak diakomodasi jika di kemudian hari dalam proses tersebut ada sengketa.

Secara garis besar, beberapa tahapan proses jual beli di hadapan notaris/PPAT, yaitu adanya pembayaran pajak penjual dan pajak pembeli, cek fisik asli sertifikat tanah, penandatanganan Akta Jual Beli (AJB), validasi, dan sebagainya. Namun, dikarenakan suatu hal, proses AJB tersebut terkendala misalnya salah satu pihak pada waktu tertentu tidak bisa hadir, atau status objek jual beli masih dijaminkan atau diagunkan di bank, atau objek jual beli masih proses pemecahan sertifikat, dan sebagainya.

Oleh karena itu, notaris/PPAT memberikan solusi yaitu membuat suatu perjanjian yang bersifat mengikat antara pembeli dan penjual, dalam hal ini dikenal dengan nama Perjanjian Perikatan Jual Beli (PPJB), yang mana pada praktiknya sering menimbulkan permasalahan, baik konflik yang bersumber dari pembeli, penjual, bahkan dari notaris/PPAT, yang notabene PPJB ini merupakan perjanjian pendahuluan.

Penting untuk diketahui bahwa PPJB adalah istilah yang umum dikenal dalam proses jual beli tanah atau rumah. PPJB tidak diatur secara spesifik dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian, terdapat sejumlah peraturan yang menggunakan istilah PPJB, salah satunya yaitu PP 14/2016 dan aturan perubahannya.

Catatan: Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel berjudul Kedudukan Hukum PPJB dalam Proses Jual Beli Tanah yang dipublikasikan di laman hukumonline.com pertama kali pada 26 April 2021.

Pengertian Sistem PPJB dan PPJB

Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa sistem PPJB adalah rangkaian proses kesepakatan antara setiap orang dengan pelaku pembangunan dalam kegiatan pemasaran yang dituangkan dalam perjanjian pendahuluan jual beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli sebelum ditandatangani akta jual beli.1

Selanjutnya, dalam peraturan yang sama didefinisikan juga bahwa PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun, yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tunggal dan rumah deret yang dibuat di hadapan notaris.2

PPJB

Tujuan PPJB

Mengacu kepada ketentuan PPJB yang terkandung dalam pasal di atas, secara umum dapat dipahami bahwa PPJB adalah kesepakatan awal antara calon penjual dengan calon pembeli yang memperjanjikan akan dilakukannya transaksi jual beli atas suatu benda, pada umumnya benda tidak bergerak termasuk tanah dan rumah.

Tujuan dari PPJB adalah untuk mengikat calon penjual agar pada saat yang telah diperjanjikan dirinya akan menjual benda/hak miliknya kepada calon pembeli, dan pada saat yang sama perjanjian tersebut juga mengikat calon pembeli untuk membeli benda/hak milik calon penjual, sesuai dengan ketentuan yang telah diperjanjikan para pihak.

Jenis-Jenis PPJB

Jika dilihat dari pelunasan pembayaran, ada dua jenis PPJB, yaitu PPJB belum lunas dan PPJB lunas. PPJB belum lunas adalah PPJB yang baru merupakan janji-janji karena harganya belum dilunasi. Selanjutnya, PPJB lunas adalah PPJB yang sudah dilakukan secara lunas, tetapi belum bisa dilaksanakan pembuatan akta jual belinya di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) karena ada proses yang belum selesai, misal pemecahan sertifikat, dan lainnya.

Syarat PPJB

Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap pembangunan dapat dilakukan pemasaran oleh pelaku pembangunan melalui sistem PPJB. Namun, sistem PPJB tersebut hanya dapat dilaksanakan setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:3

  • Status kepemilikan tanah;
  • Hal yang diperjanjikan;
  • PBG;
  • Ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; serta
  • Keterbangunan paling sedikit 20%.

Kekuatan Hukum PPJB

Berdasarkan PP 24/1997 disebutkan bahwa peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.4

Adapun PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.5 Menurut ketentuan tersebut, dapat disimpulkan bahwa yang diakui secara tegas sebagai bukti peralihan hak atas tanah melalui jual beli adalah adanya AJB, meskipun PPJB dan AJB adalah bagian dari proses jual beli tanah.

PPJB biasanya digunakan karena tanah yang akan menjadi objek jual beli belum dapat dialihkan seketika itu karena alasan tertentu, misalnya saja karena tanahnya masih dalam agunan atau masih menunggu proses pemecahan sertifikat, dan lain-lain. PPJB bukan sebuah keharusan, tetapi dapat dilakukan jika pihak-pihak menghendaki PPJB sebelum dibuatnya AJB.

Meskipun pada prinsipnya PPJB adalah tidak mengakibatkan beralihnya hak kepemilikan, tetapi jika mengacu kepada Lampiran SEMA 4/2016 (hal. 5), peralihan hak atas tanah berdasarkan PPJB secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan iktikad baik. Dengan demikian, salah satu jika persyarat tersebut terpenuhi, PPJB juga merupakan bukti peralihan hak atas tanah.

PPJB

Pemecahan Bidang Tanah atau Jual Beli Dulu?

Berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) Permen ATR/BPN 3/1997, AJB merupakan salah satu akta tanah yang dapat dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah, termasuk pemecahan bidang tanah yang merupakan salah satu bentuk perubahan data fisik. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa AJB dapat dilaksanakan terlebih dahulu, kemudian AJB tersebut dijadikan dasar permohonan pemecahan bidang tanah.

Berdasarkan Pasal 133 ayat (1) ATR/BPN 3/1997, permohonan pemecahan bidang tanah yang telah didaftar di sisi lain tidak disyaratkan untuk mencantumkan AJB. Pasal tersebut menjelaskan jika hendak dilakukan pemecahan bidang tanah, yang perlu dilampirkan dalam permohonannya, yaitu:

  • Sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan;
  • Identitas pemohon;
  • Persetujuan tertulis pemegang hak tanggungan, apabila hak atas tanah yang bersangkutan dibebani hak tanggungan.

Mengacu kepada kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa tidak ada ketentuan yang mengharuskan dilakukannya pemecahan bidang tanah terlebih dahulu sebelum dilakukannya AJB maupun sebaliknya. Oleh karena itu, para pihak boleh memilih melakukan AJB terlebih dahulu atau melakukan pemecahan bidang tanah terlebih dahulu.

Dalam praktiknya, umumnya penjualan sebagian hak atas tanah dilakukan dengan pemecahan bidang tanah terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk memudahkan pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut. Selain itu, pihak pembeli dapat segera melakukan proses balik nama setelah adanya AJB.

Proses peralihan hak atas tanah, terlebih atas tanah yang telah dilakukan pemecahan sertifikat, sangat mungkin untuk dilakukan dengan langsung membuat AJB di hadapan PPAT tanpa harus lebih dahulu membuat PPJB. Pada intinya, PPJB adalah perjanjian pendahuluan yang bukan merupakan kewajiban. Dengan kata lain, pada prinsipnya peralihan hak atas tanah tidak mengharuskan adanya PPJB. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, PPJB merupakan perjanjian pendahuluan sebelum dilakukannya perjanjian jual beli dengan AJB.

PPJB

Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam PPJB

PPJB sebelum AJB dilakukan apabila ada kondisi tertentu yang mengharuskan untuk melakukan proses tersebut. Praktik PPJB ini sering kali digunakan oleh para developer (pengembang) yang bisa berfungsi sebagai uang muka pembayaran dari pembeli. Oleh karena itu, harus diperhatikan dalam PPJB ini, yaitu objek PPJB, jaminan dari penjual, kewajiban penjual, kewajiban pembeli, dan isi muatan PPJB.

Dengan telah ditandatanganinya PPJB oleh semua pihak di hadapan pejabat umum, PPJB tersebut termasuk ke dalam akta autentik, sehingga kedudukan akta autentik tersebut bersifat sempurna, kecuali dibuktikan sebaliknya. Perlindungan hukum kepada para pihak dilihat dari dua perspektif atau sudut pandang, yaitu perlindungan hukum oleh:

1. Penjual

Pada PPJB terdapat hak dan kewajiban dari penjual dan pembeli. Adapun contoh yang dipraktekkan misalnya dalam PPJB mewajibkan pembeli untuk melakukan pembayaran sejumlah uang dengan ada jangka waktu yang telah disepakati, serta dikaitkan juga dengan adanya persyaratan batal apabila hal tersebut tidak dilaksanakan sesuai ketentuan PPJB.

Penjual juga mempunyai kewajiban untuk melakukan penyerahan objek, apabila persyaratan dalam PPJB sudah dilaksanakan, sehingga nantinya pembeli akan menandatangani Berita Acara Serah Terima (BAST) objek.

2. Pembeli

Salah satu bentuk perlindungan hukum bagi pembeli dalam PPJB, yaitu adanya permintaan pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali. Apabila kesepakatan dalam PPJB tidak terpenuhi dan/atau tidak dipenuhi oleh penjual, dikarenakan hal itu mengakibatkan kerugian bagi pembeli, dia bisa mengajukan tuntutan atau permintaan ganti rugi
atas hal tersebut.

Akta PPJB adalah jenis “partij akte”, akta tersebut memuat kehendak para pihak, janji para pihak serta hak dan kewajiban para pihak, di dalam akta tersebut memuat berbagai macam isi yang dikehendaki para pihak di hadapan notaris. Klausul mengenai jangka waktu pemenuhan hak dan kewajiban harus dicantumkan di akta PPJB, sebab akan muncul ketidakpastian bagi para pihak untuk mendapatkan hak dan kewajibannya.

Suatu akta akan menjadi masalah apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasinya atau salah satu pihak merasa dirugikan. Hal ini menyebabkan kerugian bagi para pihak yang telah membuat dan menyepakati akta yang telah dibuat, tetapi dalam perjalanannya suatu akta perjanjian tidak berjalan sesuai dengan kesepakatan para pihak yang membuatnya, terdapatnya kondisi yang berakibat suatu perjanjian harus berakhir tidak sesuai dengan kesepakatan awal.

Terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan terjadinya pembatalan akta jual beli tersebut, yaitu harga jual beli yang telah disepakati dalam perjanjian pengikatan jual beli tidak dilunasi oleh pihak pembeli sampai jangka waktu yang telah diperjanjikan; para pihak tidak melunasi kewajibannya dalam membayar pajak; dan dokumen-dokumen tanahnya yang diperlukan untuk proses peralihan hak atas tanah (jual beli tanah di hadapan PPAT) belum selesai sampai jangka waktuyang telah diperjanjikan.

Inilah yang membuat terdapat perlindungan hukum bagi para pihak untuk melindungi kepentingannya dan memberikan suatu kepastian hukum dalam akta PPJB. Pembeli juga mempunyai kewajiban utama untuk membayar
harga dari apa yang dibelinya itu, pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan/perjanjian yang bersangkutan dengan aturan tambahan bahwa jika para pihak tidak menentukannya, pembayaran itu harus dilakukan di tempat pada waktu penyerahan benda itu.

Perlindungan hukum dalam akta PPJB dapat dirumuskan sendiri oleh calon penjual, biasanya berupa persayaratan yang biasanya dimintakan sendiri oleh calon penjual itu sendiri. Berbeda dengan perlindungan terhadap calon penjual, perlindungan terhadap pembeli biasanya selain dilakukan dengan persyaratan juga diikuti dengan permintaaan pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali.

Tujuannya adalah apabila pihak penjual tidak memenuhinya, pihak pembeli dapat menuntut dan memintakan ganti rugi sesuai dengan kesepakatan yang diatur dalam perjanjian pengikatan jual beli. Dengan demikian, perlindungan hukum yang dapat diberikan kepada semua pihak dalam PPJB. Selain perlindungan hukum akta tersebut juga berlandaskan Pasal 1338 KUHPa yang berasaskan kebebasan berkontrak, serta niat baik dari para pihak untuk memenuhi kesepakatan yang telah dibuat.

Kesimpulan

Kekuatan hukum dari PPJB pada prinsipnya tertuang dalam kaidah hukum sebagaimana pada Pasal 1338 KUHP. PPJB ini telah mempunyai payung hukum, yaitu melalui UU No. 1 Tahun 2011, SEMA No. 4 Tahun 2016, dan Permen PUPR No. 11/PRT/M/2019. Oleh karena itu, pelaksanaan PPJB sebelum AJB diperbolehkan dengan adanya persyaratan yang harus dipenuhi sebagaiman ketentuan dalam peraturan-peraturan tersebut.

Dasar Hukum

Rujukan

  1. Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman (“PP 12/2021”).
  2. Pasal 1 angka 11 PP 12/2021.
  3. Pasal 22 ayat (3) dan (5) PP 12/2021.
  4. Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997.
  5. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

 

About the author

Fandy

Perkenalkan nama saya Fandy dan saya sangat suka dengan sejarah. Selain itu, saya juga senang menulis dengan berbagai tema, terutama sejarah. Menghasilkan tulisan tema sejarah membuat saya sangat senang karena bisa menambah wawasan sekaligus bisa memberikan informasi sejarah kepada pembaca.