Sosial Budaya Sosiologi

Pengertian Sukuisme dan Implikasi Luas Sukuisme dalam Masyarakat Plural

Sukuisme
Written by Umam

Pengertian Sukuisme – Artikel dalam tulisan ini bermuatan ras, etnis, atau golongan, tetapi artikel ini tidak bertujuan untuk menghasut suku tertentu, atau bermaksud untuk menjelek-jelekkan ras atau golongan tertentu, melainkan sebagai suatu solusi dan cara pencegahan masalah dari fenomena kesukuan yang terjadi di Indonesia.

Fenomena kesukuan yang dimaksud di sini adalah realita masyarakat kita yang terlalu memuja-muja kesukuannya atau etnisnya. Namun, di sisi lain juga tidak mau terbuka atau bahkan menolak eksistensi atau dominasi suku lain. Hal itu dapat menyebabkan “crash” di antara kedua suku dan sama sekali tidak menyelesaikan akar permasalahan. Kontak fisik dapat terjadi antara kedua suku yang sama-sama memiliki prinsip keras.

Suku yang terlihat mendominasi dan orang-orangnya percaya bahwa suku mereka lebih berani dan ibaratnya “berani mati”, atau kebal terhadap intimidasi suku lain, percaya bahwa suku merekalah yang paling hebat. Ironisnya, prinsip atau watak keras kesukuan itu tidak diimbangi dengan rasa toleransi atau sikap saling menghargai terhadap suku lainnya. Yang terjadi ibaratnya batu melawan batu, dan jelas tidak ada solusinya. Sebelum kekonyolan itu terjadi, cara pencegahan bisa dilakukan.

Sukuisme, dalam kamus besar Bahasa Indonesia dimaknai sebagai “paham atau praktik yang mementingkan suku bangsa sendiri”. Suatu keadaan yang menunjukan suatu klasifikasi subjektif dari anggota komunitas tertentu dalam keeksistensian mereka.

Sukuisme juga merujuk kepada suatu rasa cinta yang berlebihan terhadap suku bangsa sendiri, yang tak jarang menunjukan ketidaksukaan kepada suku lain baik secara ideologis maupun praksis. Implikasinya ialah sukuisme menjadi akar pemikiran yang menjadi sangat riskan dalam penempatan eksistensi hidup orang banyak.

Masyarakat plural sendiri ialah bentuk komunitas dengan berbagai latar belakang yang multi dimensional. Keanekaragaman ialah suatu sifat mutlak daripada pluralitas masyarakat. Keadaan dimana tidak banyak kesamaan, tetapi dipenuhi dengan perbedaan dalam rasio yang cukup besar. Pluralitas masyarakat ialah bentuk jamak yang menghendaki pembedaan-pembedaan dari suatu sistem bersama.

Dari dua definisi praktis di atas, kita dapat mulai mencoba mengembangkan suatu rekonstruksi perspektif tentang gejala atau implikasi dari kehadiran sukuisme dalam kehidupan masyarakat plural. Perlu menjadi perhatian khusus bahwa pada bagian utama yang ditilik ialah konsep pluralitas masyarakat, kemudian gejala sukuisme. Hal ini penting karena sukuisme merupakan pattern sekunder setelah pluralitas masyarakat sebagai pattern primer. Tanpa ada kaitan dengan pluralitas masyarakat sebagai sebab awal, implikasi sukuisme tidak berdampak signifikan.

Pengertian Sukuisme

Sukuisme atau lebih dikenal dengan primordil atau primordialisme berasal dari kata bahasa Latin primus yang artinya pertama dan ordiri yang artinya tenunan atau ikatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), primordialisme adalah perasaan kesukuan yang berlebihan. Primordialisme adalah suatu perasaan-perasaan dimiliki oleh seseorang yang sangat menjunjung tinggi ikatan sosial yang berupa nilai-nilai, norma, dan kebiasaan-kebiasaan yang bersumber dari etnik, ras, tradisi dan kebudayaan yang dibawa sejak seorang individu baru dilahirkan.

Primordialisme dapat ditelusuri secara filosofis dengan ide-ide dari Romantisisme Jerman, terutama dalam karya-karya Johann Gottlieb Fichte dan Johann Gottfried Herder. Untuk Herder, bangsa itu identik dengan kelompok bahasa. Dalam pemikiran Herder itu, bahasa adalah identik dengan pemikiran, dan karena setiap bahasa yang telah dipelajari di masyarakat, setiap masyarakat harus berpikir secara berbeda. Hal ini juga menunjukkan bahwa masyarakat tetap menahan sifatnya dari waktu ke waktu.

Ikatan seseorang pada kelompok yang pertama dengan segala nilai yang diperolehnya melalui sosialisasi akan berperan dalam membentuk sikap primordial. Di satu sisi, sikap primordial memiliki fungsi untuk melestarikan budaya kelompoknya. Namun, di sisi lain sikap ini dapat membuat individu atau kelompok memiliki sikap etnosentrisme, yaitu suatu sikap yang cenderung bersifat subjektif dalam memandang budaya orang lain.

Mereka akan selalu memandang budaya orang lain dari kacamata budayanya. Hal ini terjadi karena nilai-nilai yang telah tersosialisasi sejak kecil sudah menjadi nilai yang mendarah daging (internalized value) dan sangatlah susah untuk berubah dan cenderung dipertahankan bila nilai itu sangat menguntungkan bagi dirinya.

Terdapat dua jenis etnosentris yaitu:

  • Etnosentris infleksibel, yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain.
  • Etnosentris fleksibel, yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain.

Tidak selamanya primordial merupakan tindakan salah. Namun, bisa saja dinilai sebagai sesuatu yang mesti dipertahankan. Dalam sudut pandang ajaran (ritual) misalnya. Perilaku primordialisne merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran intinya.

Faktor-Faktor Penyebab Sukuisme

  • Adanya suatu hal yang dipercayai sebagai sesuatu yang istimewa oleh individu dalam kelompok ataupun perkumpulan sosial tertentu.
  • Adanya sebuah sikap untuk mempertahankan kesatuan suatu kelompok ataupun kesatuan sosial dari ancaman yang datang dari luar.
  • Adanya nilai-nilai yang memiliki kaitan dengan sistem keyakinan, misalnya nilai-nilai keagamaan serta ideologi tertuntu.

Primordialisme dalam Kaitannya dengan Etnis

Primordialisme, dalam kaitannya dengan etnis, berpendapat bahwa “kelompok-kelompok etnis dan kebangsaan ada karena adanya tradisi keyakinan dan tindakan terhadap objek primordial seperti faktor biologis dan lokasi terutama teritorial”.

Argumen ini bergantung pada konsep kekeluargaan, di mana anggota kelompok etnis merasa mereka memiliki karakteristik, asal-usul atau bahkan kadang-kadang hubungan darah. Terlihat melalui suku Igbo dari Nigeria, setelah apa yang mereka rasakan adalah asal-usul mereka sebagai keturunan Yahudi. Primordialisme mengasumsikan identitas etnik sebagai sesuatu yang tetap setelah dibangun.

Implikasi Luas Sukuisme dalam Masyarakat Plural

Kepelbagaian ideologi, budaya, adat, mode, perspektif, dan nilai, ialah bentuk-bentuk dimensional masyarakat plural. Pada bagian mendasar aspek-aspek tersebut menjadi sangat vital dalam relasi antar manusia maupun antar kelompok.

Gejala utama masyarakat plural pada kategori pertama ialah menyangkut masalah ideologi. Ideologi bagi setiap manusia ialah pegangan utama hidup. Tidak ada manusia satu pun yang tak berideologi, batasannya ialah hanya pada “sadar” atau “tidak sadar” bahwa seseorang memiliki ideologi. Namun, pada hakikatnya setiap manusia berideologi.

Bila ideologi menjadi suatu dasar utama, maka secara implisit ideologi ialah bagian pemikiran yang memiliki keterlindungan defensif. Artinya secara alamiah manusia tidak akan begitu saja menyetujui apabila ideologinya ditentang manusia lain. Ini ialah gejala alami dari akibat seleksi alam terhadap manusia (termasuk bentuk pemikiran).

Menarik bahwa suatu konsepsi semacam ideologi dapat dipertahankan secara mati-matian apabila telah bertransformasi menjadi sebuah bentuk idealisme. Ideal-ideal tersebut pada suatu titik menjadi aksioma yang mengaburkan pertimbangan objektif dari seseorang.

Hal ini yang menjelaskan mengapa ideologi mendapat wilayah defensif dalam hidup manusia. Sukuisme atau paham tentang suku yang memberikan perhatian berlebihan kepada suku sendiri, ialah termasuk integral ideologis. Artinya sukuisme bersifat ideologis, yang dimana dapat dijadikan suatu bentuk konsep ideologi seseorang.

Berangkat dari kenyataan di atas dapat diketahui apabila sukuisme telah menjadi suatu ideologi maka implikasi-nya amat luas. Akibat-akibatnya paling mendasar ialah berkaitan langsung dengan aspke sosial dalam masyarkat. Bila semangat kesukuan menjadi sangat tinggi bahkan tak terkendali, hemat destinasinya dipastikan destruktif. Alasan sederhananya ialah segala sesuatu yang berlebihan tidak-lah baik. Relevansinya ialah kecintaan akan suku tertentu akan mengakibatkan superioritas subjektif dari penganut konsep itu.

Secara sepihak, seseorang akan menempatkan suku lain dalam bingkai inferior, bahkan jauh dibawahnya. Sangat mungkin muncul sentimen “kami paling baik, mereka tidak”. Apabila sentimen semacam ini muncul maka secara perlahan atau cepat disharmoni sangat mungkin terjadi.

Implikasi luas dari pemaparan mengenai sukuisme tidak berhenti pada disharmonis saja tetapi lebih luas dari itu. Salah satunya ialah menjamurnya nepotisme atas alasan satu darah, satu daerah, dan satu suku. Sebagian menganggap bahwa bekerja dengan orang satu daerah atau suku ialah suatu keuntungan karena membawa suatu kemudahan transaksional. Kemudahaan ini dapat saling ditukarkan karena sebagai orang yang sama tentu telah saling memahami setidaknya dalam budaya.

Nepotisme muncul kemudian di sana sebagai akibat dari sama suku, dan parahnya nepotisme sering tidak merujuk kepada kompentensi tetapi kepada ikatan emosi. Pengaruh dukungan dan hasrat menjadi mayoritas juga menjadi pertimbangan real mengapa nepotisme erat dengan sukuisme.

Hasrat mayoritas ialah suatu bentuk alami dari tiap mahkluk. Menjadi yang terbesar dan terutama ialah konsekuensi logis dari kemampuan adaptif manusia. Keterikatan secara sosial di dalam diri setiap orang dalam suku bangsa tertentu membawa semangat saling sama rasa secara umum dalam komunitas. Bila jumlah mereka banyak maka sudah pasti membutuhkan ruang bahkan layanan yang lebih banyak dari kaum yang minor.

Ruang dalam segala dimensi yang lebih banyak semacam ini menjanjikan berbagai macam nilai tambah bagi mereka yang termasuk di dalamnya, sehingga tak pelak setiap komunitas ingin menjadi bagian yang dominan sebagai masyarakat mayor.

Ketiga implikasi praktis di atas hanyalah sedikit dari banyak implikasi yang muncul secara singkat. Kesimpulan yang dapat ditarik untuk sementara ini ialah sukuisme menjadi batu kerikil kecil di jalan yang berpotensi membuat orang banyak terantuk apabila tidak ditimbun dari jalan. Khususnya dalam konteks masyarakat Indonesia sukuisme tidak dapat menjadi ideologi primordial dalam kehidupan bangsa, akan tetapi pada realitanya banyak dari masyarakat yang tidak juga keluar dari lingkaran sukuisme. Indonesia belum sekalipun menjadi benar-benar nasional, bahkan rakyatnya tidak pernah nasionalis.

Upaya Pencegahan Konflik yang Bersifat Sukuisme

Tentunya kita tidak ingin konflik sukuisme terjadi dan menyebabkan dampak-dampak di atas. Intinya, pada zaman modern ini ego kesukuan harus diminimalisir atau ditekan semaksimal mungkin agar masyarakat dapat bersaing dengan masyarakat lainnya. Masyarakat juga harus disejahterakan, dengan begitu mereka akan melihat dunia luar dan belajar banyak hal dari kehidupan dan tidak hanya sekadar memikirkan urusan perut semata.

Selama urusan perut sudah teratasi (kemiskinan sudah diatasi), seseorang tidak lagi mempermasalahkan urusan perut dan beralih ke hal-hal positif lainnya. Jika hal itu terjadi, perlahan-lahan SDM Indonesia akan naik derajat dan tidak terjadi gap yang terlalu lebar antara si kaya dan si miskin.

Selanjutnya, menghilangkan ego kesukuan bukan berarti menampik asal usul sukunya melainkan membuang yang sekiranya buruk dari sukunya yang membahayakan suku lain dan menggantinya dengan rasa toleransi dan saling menghormati. Karena dengan cara itu masyarakat dapat tumbuh dengan tanpa saling curiga-mencurigai.

Pendidikan dan wawasan juga penting. Pendidikan sebagai sarana pengembangan individu sedangkan wawasan sebagai cakrawala ilmu dan pengetahuan yang akan menjadikan seseorang menjadi berguna dan mendapatkan banyak ilmu. Dengan wawasan kita mengerti banyak hal. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kita juga jadi mengerti tentang masalah-masalah yang lebih luas secara global. Wawasan dan ilmu juga menjadi salah satu ciri atau indikator bahwa individu telah memiliki SDM yang berkualitas. Apalagi jika dibekali ilmu agama dan ilmu-ilmu spesifik lainnya.

Dengan kesejahteraan, pendidikan, ilmu dan wawasan, serta bekal agama, faktanya banyak sekali faktor-faktor yang harus dipenuhi untuk menjadi individu yang memiliki SDM yang berkualitas. Dan ironisnya hampir 20 juta atau bahkan lebih masyarakat Indonesia tidak atau belum memiliki kriteria SDM yang berkualitas tersebut. Bukan berarti karena mereka bodoh, melainkan karena (lagi-lagi) urusan perut.

Jika itu bisa teratasi, seseorang akan merangkak ke tahapan selanjutnya entah itu pendidikan, ilmu, dan hal-hal positif lain. Jika pemikiran masyarakat tidak sempit dan memandang bahwa dunia itu luas, serta berwawasan luas, dan memiliki toleransi yang tinggi, maka SDM seperti itu sudah benar-benar jauh melampaui ekspektasi SDM yang berkualitas.

Berikut ini adalah upaya pencegahan konflik yang bersifat sukuisme.

1. Mendekatkan Diri kepada Tuhan

Teman-teman pasti sudah tahu isi sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa. Ini artinya kita harus mempercayai keberadaan Tuhan. Tiap agama memiliki ajaran untuk menjalankan perintah Tuhan dan menjauhi segala hal yang dilarang oleh Tuhan. Tuhan menciptakan keberagaman bukan untuk menjadikannya penyebab konflik dan perpecahan. Melainkan agar kita belajar untuk saling menerima, menghargai, dan membantu antarsesama.

2. Memahami Adanya Perlindungan bagi Hak Warga Negara

Sebagai negara hukum, Indonesia juga menjamin akan memberikan perlindungan pada semua hak yang dimiliki warga negara. Sebagai salah satu contohnya, Indonesia memberikan kebebasan pada masyarakatnya untuk memeluk agama dan beribadah sesuai kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Hal itu tercatat dalam Undang-Undang Dasar Negara Tahun 1945, pasal 28 E. Indonesia kemudian juga menjamin warga negaranya terbebas dari tindakan yang sifatnya diskriminatif dan berhak mendapat perlindungan. Hukum itu tercatat dalam UUD 1945 Pasal 28 I Ayat 2.

3. Saling Menghargai dan Menghormati Keberagaman

Ada banyak hal yang menunjukkan sifat menghargai dan menghormati keberagaman, misalnya:

  • Menghormati dan menghargai orang yang memiliki suku, budaya, asal daerah, agama, atau golongan yang berbeda dari kita.
  • Bergaul dengan siapa saja tanpa melihat latar belakang suku, budaya, agama, dan golongan.
  • Mau mengenal dan mempelajari kebudayaan dan adat dari daerah lain.

4. Tidak Menyimpan Prasangka Buruk pada Orang Lain yang Berbeda

Dalam hidup bermasyarakat kita bisa bertemu dengan banyak orang. Tentunya mereka bisa saja berasal dari latar belakang yang berbeda. Meski berbeda, kita tidak boleh memiliki prasangka buruk kepada orang atau kelompok yang memiliki perbedaan. Sebaliknya, kita harus bisa menghargai dan menghormati perbedaan yang ada di antara masyarakat.

5. Mengamalkan Nilai-Nilai Persatuan dan Kesatuan

Berikut adalah contoh perilaku yang mengamalkan nilai-nilai persatuan dan kesatuan Indonesia, yaitu:

  • Menguatkan dan mengembangkan prinsip Bhineka Tunggal Ika.
  • Meningkatkan rasa kekeluargaan, kebersamaan, musyawarah, gotong royong, dan lain-lain.
  • Menghindari sifat atau pandangan yang bisa memicu konflik, misalnya egoisme, yaitu mementingkan diri sendiri atau suatu kelompok; ekstrimisme, yaitu terlalu kuat meyakini sesuatu dan sudah melewati batas wajar; primordialisme, yaitu memegang teguh hal yang diajarkan sejak kecil, bisa berupa keyakinan atau adat istiadat; etnosentrisme, yaitu pandangan yang menganggap budaya kelompoknya yang terbaik, dan merendahkan nilai dari kelompok lain; fanatisme, keyakinan yang berlebihan terhadap sesuatu; dan tidak mempedulikan orang lain.

6. Menumbuhkan Sikap Nasionalisme

Nasionalisme adalah paham nasionalisme yang mencakup makna kesadaran dan semangat cinta tanah air, kebanggaan sebagai bangsa, atau menjunjung tinggi kehormatan bangsa. Selain itu, contoh sikap nasionalis adalah mengikuti dan menaati hukum, melestarikan budaya, melestarikan produk asli, membanggakan negara, dan sebagainya.

7. Menumbuhkan Sikap Patriotisme

Patriotisme adalah sikap seseorang yang rela mengorbankan segalanya demi kejayaan dan kemakmuran tanah airnya. Contoh patriotisme antara lain menjaga kerukunan atau ketertiban, menyanyikan lagu-lagu nasional dan memahami maknanya, menghadiri upacara bendera pada hari Senin dan hari libur nasional, dan sebagainya.

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

 

About the author

Umam

Perkenalkan saya Umam dan memiliki hobi menulis. Saya juga senang menulis tema sosial budaya. Sebelum membuat tulisan, saya akan melakukan riset terlebih dahulu agar tulisan yang dihasilkan bisa lebih menarik dan mudah dipahami.